Saturday, 30 December 2006
Puisi Filantropi
Keacuhan mengambil bentuk lain ketika telah terjadi reproduksi makna dari sebuah proses modernisasi. Ikatan kebertetanggaan menjadi ikatan yang dilandasi habitasi-profesi. Budaya kota sebagaimana modernisasi mengambil bentuk lain seperti informalitas menjadi organisasi formal, asosisasi sukarela diturunkan oleh kapitalisme melalui lembaga filantropis mereka. Sesungguhnya reproduksi nilai tersebut telah memproduksi sebuah pemahaman baru tentang kerja-kerja kolaborasi sosial.
Apa yang dipahami sebagai social intercourse memang menempati ruang otonominya sendiri, namun kerinduan untuk bertemu tatap muka dengan orang yang sama yang bukan klien, bukan pelanggan, bukan atasan dan bukan rekanan bisnis tetap hadir-setidaknya di kepala kawan-kawan yang memiliki satu hobby atau kawan lama. Kebutuhan seperti ini niscaya menempati setiap orang yang sadar bahwa hidup perlu jeda, tertawa dan memparodikan diri sendiri.
Puisi menempati ruang sukarela, kedermawanan kepada siapa saja yang betah melakukan kritik diri. Semangat kebebasannya setidaknya secara longgar dapat ditafsirkan sebagai sebuah oase bagi pengelana yang kelelahan.
***
Troubadour abad kita (di Indonesia) lahir, menempati ruang-merdeka. Kelas yang mengaku terdidik namun centil, ragu dalam bertindak, dan takut dengan ukuran-ukuran kualitas karena masih terkesima oleh demagog di bangku-bangku kuliah. Terkadang sangat manja. Ujungnya cuma ingin menyatakan dengan kenes ’aku mau uangmu’. Puisi filantropi hadir karena kegenitan yang sama. Lepas kerja puisi filantropi ini menghiasi kafe, jalanan macet, kaki lima, happening art sebuah simposium anti kapitalis, dan malam anugrah kesenian yang berhadiah jutaan atau piala sekelas RT. Kelas demagog barupun tercipta. Raksasa perusahaan dengan tampilan well educated person yang menempati bangku very important person, pada jamuan tunggal memperingati kelahiran maestro seni atau malam tujuh belas Agustusan. Disini puisi mendapat tempat seperti kebutuhan primer mengalahkan menu makan malam.
Puisi filantropi campuran yang cair dari idealita sepenggal dan hiburan slapstic, opera sabun, generasi tontonan iklan, campur sari genjotan libido dalam lanskap kemiskinan. Pengaburan dari ketidakberdayaan yang mengungkung. Produk gagal dari cetakan bernama sekolahan. Dan sebagai produk gagal tentu berdiskon tinggi, murah, namun jika dibagi gratisan merek perusahaan yang dermawan tetap dilabelkan. Alumni Akademia Fiksi. Bergelar honoris causa yang hampir muskil untuk dijelaskan jika dihubungkan dengan hidup sebenarnya dan capaian pengetahuan.
Kolaborasi kata dalam bait demi bait puisi filantropi, menyuguhkan keharuan layaknya bencana, merah jambu bagai remaja, gertak tajam demonstran bayaran. Gerakan kata-kata di dalamnya lebih menyerupai kolase, cuplikan dari pecahan-pecahan bacaan. Tak lengkap namun cukuplah sebagai sebuah simulasi emosi dari beragam referensi. Ada kebahagiaan, ada kejutan, ada ketakutan, ada kesedihan, ada kemarahan, ada rasa jijik. Emosi yang nampak seringkali hanya sampai pada citraan pembaca bukan pada isi bacaan yang seharusnya menjadi takaran.
Puisi filantropi tidak lahir dari perenungan dalam di puncak gunung, tapi lahir dari keramaian kesempatan dan peluang. Kadang kebuntuan deadline terpecahkan. Uang. Bukan disiplin layaknya misionaris. Gengsi bukan kebutuhan. Gaya hidup bukan karakter. Dengan demikian puisi filantropi sibuk mencari donor , layaknya multi level marketing maka multi level donor pun tercipta. Media kebudayaanpun butuh suntikan. Pada setiap ampulnya tetap dinyatakan independensi lembaga yang sekarat namun berusaha tegar tersenyum merah dadu. Puisi tetap hidup selama lembaga kebudayaan resipen tetap diinfus. Dalam social intercourse seperti ini kualitas, platform seni, digelontorkan oleh pelbagai media dan lembaga kebudayaan, disorongkan, diperdebatkan, sebuah simulakrum moral dalam memecah struktur ketimpangan budaya sesungguhnya. Karena suntikan, lembaga budaya seringkali mengalami obeysitas (kata rekaan penulis) sejenis ketaatan yang keterlaluan pada donor. Otentisitas karakter terabaikan, sebagai gantinya setiap kepala harus berisi kode moral universal, disahkan agar terlihat sesuai konvenan.
Puisi filantropi terbit sambil lalu. Ditakdirkan untuk ngepop, tergesa, informatif, dan menghibur. Perkara keabadian urusan belakang, karena gerak zaman tidak memusingkan kegelisahan kata. Jika dapat puisi filantropi dibacakan selebritas pada konser atau acara amal. Semangat membaca momentum seperti ini diturunkan dari konsep pasar. Pilihan pembaca (pendengar) dihadapkan pada kegagalan tampilan atau ketenaran empunya acara atau pada pengantar sampul atau pada pesanan resensi koran. Referensi lain tak sempat lekat karena well educated person hanya citraan dari duplikasi. Harus nampak terpelajar dan terdidik agar nampak berkelas. Kata-kata harus dicetak miring, dengan catatan kaki yang melimpah, kalau bisa isi dibuat membingungkan karena harus melihat ke pranala lain.
Puisi filantropi secara tak sadar hadir seketika. Kebiasaan. Puisi ini hadir dalam kemiskinan berbahasa. Sebagai sesuatu yang hadir dan lahir karena zamannya menghendaki demikian, maka puisi filantropi ini secara potensial mengalami ancaman kebangkrutan. Bukan cuma pada aset kata-katanya, namun secara ideologis akan mengacu melulu pada permasalahan dan perenungan dalam perspektif donor. Puisi (sebagai sebuah produksi) dalam tarian politik membutuhkan rujukan-rujukan, inter-relasi secara politik inilah yang dimaksud sebagai kepentingan ideologis. Alih-alih mengayakan jagad puisi, dialog para penggiatnya justru pada pengkutuban sanggar-kantong budaya (kelas kaki lima dan mahasiswa, atau kelas debutan berbakat) lengkap dengan ritual memitoskan don-nya. Kegigihan untuk menyampaikan pesan dari donor dermawan kepada khalayak umum menjadi misi utama.
Puisi filantropi layaknya ekonomi, memiliki kemampuan menyelewengkan, korup, ketergantungan, berutang pada donor. Pada hal-hal yang bukan milik kita. Posisi ini bukan anti ’asing’. Juga tidak dalam posisi berlawanan kau dan aku, kami dan kalian. Namun lebih dititikberatkan pada apa sesungguhnya yang menjadi harta bersama, bahasa. Kesanggupan untuk mempertahankan hak, melawan ketergantungan pada kuasa budaya lain, menjadi identitas sendiri, bahkan menjadi individualispun layak diperjuangkan. Puisi filantropi menganggap sepi idealisme macam ini.
Puisi filantropi begitu saja nongol, sekenanya, diagendakan, namun sulit juga untuk menyentuhnya dan meringkusnya sebagai subjek. Secara struktur kebahasaan masih harus didedah, namun motif dan tampilan luarlah-sebagai sebuah pertunjukkan-puisi filantropi ini jujur pada khalayak. Kejujuran ini sertamerta adalah bawaan kebaikan (limbah yang tidak dapat disembunyikan-good externallities) dari pekerja seni, khususnya penggiat puisi-disadari atau tidak. Kejujuran seperti ini efek samping kebiasaan yang didasarkan transaksi rutin, mode produksi puisi masa kini.
***
Filantropi menjadi metafora ketika realitas menulis penyair. Posisi penyair menulis peristiwa, tidak lagi metafora. Dalam kondisi kematian realita seperti ini filantropi ganti menjadi puisi. Realitas mati karena tidak ada kesinambungan antara masa lalu, masa kini dan masa depan, tentang awal dan akhir, hubungan sebab-akibat, semuanya terputus dari akal sehat karena ketiadaan kemungkinan yang bisa digali, ketakutan yang dikendalikan, seperti permainan curang dalam skenario judi yang adil. Satu-satunya pilihan menulis peristiwa, bukan metafora. Dongengan tulis yang menjadi jejak sejarah. Tokohnya fiktif, konteks ruang dan waktunya fiktif. Peristiwanya fakta, aktual, dan terus mengalir. Kata-kata dalam puisi menjadi nyata, intim, dan dapat disentuh, dikudap, digeret-geret dari ruang kerja sampai ruang tidur. Dengan demikian ia indah lantaran begitu hidup, sering mampir walau tidak dikenal, tiba-tiba familiar.
Filantropi menjadi puisi karena kemiskinan mengungkung kehidupan-kebebasan, ujaran-ajaran membeku di kepala menjadi dogma, kekayaan kata-kata dan budaya yang tidak dapat dijamah. Kasih manusia sama dengan rasa kasihan, iklan filantropi menciptakan pahlawan masa kini. Menjadi miskin lambat laun menyenangkan. Maka, kata-kata, budaya, dipungut dari pemberi dana. Dipas-paskan seolah kita pernah memilikinya. Kasatnya, filantropi menjadi puitis, begitu memesonakan. Kesukarelaan menjadi kewajiban. Puisi hadir seperti belas kasihan, meminta perhatian.
Puisi filantropi mencoba mengumpulkan semangat kolektif masyarakat, menyatukannya dengan kepentingan negara dan donor, hasilnya pengemis kolektif, di tingkat negara dan komunitas. Keduanya, baik negara dan komunitas menunduk pada kedermawanan perusahaan nasional, transnasional, multinasional, dan multi level donor. Bahkan pada perusahaan fiktif akal-akalan pengusaha negeri sendiri yang ingin mencuci uangnya. Modus ekonomi seadanya (subsistence), serba kekurangan (poverty), atau tergantung donor (donor driven) ini yang nampak pada kebanyakan penyair dalam berkesenian, namun belum tentu hadir dalam karya mereka yang terlampau nyata, perkasa.
Jika dalam ekonomi dikenal ungkapan ’underground economy’ dimana persoalan ekonomi langsung dilihat kejahatan pelaku (secara kriminal dan moral), maka puisi filantropi bekerja ’underground’ pula, bukan pada genre puisinya (struktur, bentuk, isi dan kejujuran ) namun pada potensinya (si pelaku-bukan karya) untuk mengkudeta bahasanya sendiri, ditahbiskan sebagai tafsiran realitas mayoritas. Perilaku ekonomi jenis ini, yang cuma berdagang sesuai pesanan donor, setidaknya membuat dunia puisi kelimpahan, seperti bantuan bencana, akankah dihadang keruwetan yang sama ? Sementara persoalan kemiskinan yang masih dan terus bertambah di Indonesia, bermetamorfosa menjadi metáfora. Sehingga sulit sekali percaya, adakah sebenarnya miskin dalam lanskap alam yang begitu kaya, budaya yang begitu berharta.
***
Secara magis kepercayaan tunduk pada ramalan masa depan. Publik seni yang secara pesimis dianggap berjarak (oleh kebanyakan seniman) dari proses berkesenian yang dipenuhi oleh imajinasi ternyata kecanduan pada metafora, mulai dari pemilihan presiden sampai meramal kebenaran kata-kata dari ramalan kuncen gunung berapi, penunggu pantai selatan dan imam rumah ibadah, konsultan asing, lembaga survei, media massa, pasar, cuaca, tentara, sampai infotainment. Bayangkan ramalan dari ramalan menjadi sebuah pekerjaan.
***
Masa depan selalu imaji. Imaji begitu dekat dengan keseharian publik seni kita. Masa depan adalah puisi. Puisi berurusan dengan akurasi dan temu kembali. Puisi secara sadar membuat akurasi imajinasi dengan mengekstraksi kandungan suatu citra, mulai dari sejarahnya, asal usul, kontur dan tekstur citra: kebanyakan diwakili kata-kata.
Mengibaratkan publik puisi (seni) berjarak dari posisi tidak memiliki kapasitas menafsirkan metafora jauh dari relevan. Penyair lebih baik memosisikan diri untuk menemukan kembali kritik diri. Tentang apa dan siapa dirinya. Bagian dari masyarakat yang gandrung imajinasi. Mendekatkan imajinasi puisi yang dibentuk oleh kesadaran diri-kritik diri dengan imajinasi yang dikaburkan menjadi halusinasi. Kemakmuran dari mengemis (baca: filantropi) adalah halusinasi. Secara patologis tak ada kekayaan dari kerja mengemis, tak ada harga diri, tak ada kebanggaan, tak ada kemanusiaan yang sejati hadir dalam transaksi penadahan tangan. Jika berkesenian nyemplung pada mode transaksi seperti ini apa yang bisa diharapkan dari konsep kritik diri, temu kembali kata-kata. Citra-citra menjadi ditentukan, kodenya jelas, seragam. Gagah boleh, tapi tetap tunduk kepada kuasa uang. Ujungnya tak ada kesesuaian antara pernyataan sikap di puisi dengan perbuatan.
***
Jika imajinasi menempati urusan spiritual menyangkut kepercayaan dan kemegahan. Dimana pencitraan spiritual sebegitu berharga. Maka berkesenian (puisi) dapat mencari kembali akar budaya kedermawanan dan kesukarelaan tanpa harus menadahkan tangan dan menghamba pada kuasa uang dan budaya. Citra spiritual sesungguhnya adalah hilangnya kemunafikan, dimulai dari cara bekerja dan bersahabat. Antara mencari uang dan berani membayar untuk sebuah korbanan, yang secara tegas dihubungkan dengan pengelolaan hak-hak dan kewajiban. Sehingga tanpa perlu menipu diri sendiri, puisi hadir bersama imajinasi masyarakat yang menginginkan perubahan yang berasal dan berhubungan langsung dengan spiritual mereka. Bukan imajinasi karitatif yang diusung puisi filantropi. Kemegahan capaian puisi yang hadir demikian adalah dengan kembalinya kedudukan moral pada posisi tepatnya, bukan pada metafora. Juga bukan pada puisi. Cuma ada dalam tindakan.
widhy | sinau
resep #2
Rating: | ★★★★ |
Category: | Other |
Urusan ada rintangan di jalan, adalah urusan belakangan. Yang utama adalah bergerak.
Kata-kata itu datang dari penjual kopi di sekitar stasiun Jatinegara. Betapa sulitnya untuk meninggalkan ‘kebiasaan lama’, berlaku buruk dan merugikan masyarakat. Betapa sulitnya. Di komunitas manapun baik yang kita sebut penjahat, maupun yang kita sebut orang baik, atau mediocre (yang penting hidup-makan, tidur, beranak pinak dan mati-soal prinsip tergantung selera pasar (bayangkan bahkan ada yang menghambakan dirinya pada negara) norma tetap ada. Dan norma selalu mengikat. Bahkan dalam komunitas punk yang melabelkan dirinya anarkipun ada norma-jangan membuat norma bagi orang lain- lakukan itu sebagai kewajiban bagi dirimu sendiri. Punk ternyata luar biasa, begitu penuh spritual. Entah punkers disini, itu saya dapat dari bacaan lama yang terselip di loakan yang dulu adalah bagian dari hidup saya—Haec demikian pedagang kopi itu bercerita.
Kopi bagi dia adalah melatih kesabaran dengan melayani, walaupun terkadang sulit juga melepaskan ego. Bahwa aku bukan pelayan, tapi pedagang. Ehm, tapi ternyata menjadi pedagang itu adalah pelayan. Puji Tuhan. Melayani bukan tugas ulama atau pendeta, namun juga setiap manusia.
Melepaskan diri dari norma lama yang begitu berkerak bukan main sulitnya. Dan ternyata begitu mudahnya ketika kita tidak lagi berpikir untuk takut. Takut ditinggal kawan, takut tidak dapat tempat di komunitas yang baru. Namun ternyata takut itu terbantah oleh ketentuan gerak. Bergerak adalah melawan takut. Jika ada yang bergerak menuju takut sesungguhnya ia tidak bergerak. Namun membayangkan dirinya sedang bergerak dan mengkhayalkan hal-hal yang mungkin menimpa dirinya. Sementara ketentuan bergerak adalah dunia nyata dan sekarang.
Hijrah akhirnya berurusan dengan menghilangkan takut. Rasa takut yang manusiawi itu, setelah hijrah akan ada lagi, tentu dengan bayangan takut yang lain. Tapi kita sudah naik kelas satu tingkat. Dan ternyata begitu lewat dari rasa takut pertama, kita ketagihan untuk melewati rasa takut kedua. Dulu saya menyebutnya sebagai menguji adrenalin. Sekarang saya cuma mengatakan inilah hidup-resep kopi yang bertujuan-bergerak dari rasa takut.
widhy | sinau
resep #1
Rating: | ★★★★ |
Category: | Other |
Kehidupan yang diselubungi prasangka ternyata memang cuma melukai diri sendiri, sebelum ia sempat melukai orang lain. Prasangka, lebih cepat dari cahaya, lebih berbahaya dari senjata. Dalam pergaulan prasangka adalah lonceng kematian. Begitu kira-kira pesan yang ingin disampaikan Haqi Baqi tentang resep kopinya.
Sementara optimisme bagian dari racikan rahasia, sederhana saja. Pasrah setelah optimal berusaha. Tidak ada kebaikan yang lebih baik dari usaha. Gagal dan sukses adalah hasil yang bukan cuma satu pihak penentunya. Ada banyak orang yang membantu kita secara langsung dan tak langsung. Dalam seluruh aktivitas. Sedangkan usaha dan kerja adalah latihan untuk menguji setiap kemungkinan dan meningkatkan keahlian. Kerja kelompok dan soliter sama saja. Dalam kerja soliterpun secara tak langsungpun ada yang membantu kita. Karena pada dasarnya setiap transaksi adalah menyelesaikan persoalan atau pekerjaan yang kita tidak bisa kerjakan sendiri. Transaksi adalah ruang sosial, hubungan antar manusia. Bahkan ilmu ekonomi kontemporerpun dan ahli antropologi menjelaskan kesuksesan ekonomi sebuah bangsa dengan satu kata; kepercayaan. Jika ini terbangun maka modal ekonomi lain seperti finansial akan tercapai. Bukankah kepercayaan teraduk kental dalam racikan kopi tanpa prasangka dan sikap optimis.
widhy | sinau
Monday, 18 December 2006
tiga cerita

Rating: | ★★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Romance |
Author: | wm. ahmad |
dari buku terbitan pustaka sinau ini, uniknya semua berkenaan dengan kebetulan! Mulai dari ide penerbitan sampai waktu penerbitan. Terimakasih untuk menjadikan buku ini sebagai langkah pertama penerbitan sinau. Terimakasih untuk waktu yang belum mengizinkan naskah lain terbit, terimakasih untuk semua yang bergegas, yang pupus dan yang menjadi masa depan, semuanya seakan seperti pemula, seperti dalam sajak pemula di kumpulan puisi ini,
***
pemula
Laut menatapmu seperti dirinya tumbuh dalam dirimu
Rupamu seperti rumah
Isinya melulu kesunyian yang membuat bahagia
Lalu suara-suara asing
Seperti biola saat pertama kali diketemukan
Dan gelombang yang penasaran pecah di batu karang
Suaranya cipratan cat yang dikuas teratur
Itukah kesederhanaan perasaan
Semuanya seakan seperti pemula
***
Buku ini lebih cocok jadi suvenir perkawinan dibandingkan jika dijual bebas, norak dan narcist. Bagaimana tidak, wong yang membuat buku dan menulis resensi ini adalah penulisnya sendiri.
Btw, kalau dijual harganya cuma 12.000 rupiah saja.
Katalog Dalam Terbitan (KDT) Perpustakaan Nasional RI
w.m. ahmad
tiga cerita
November 2006
ISBN 979-15449-0-5
60 halaman, 13.5 x 13,5 cm
1. tiga cerita 2. Puisi, Sastra 3. Indonesia
Judul
Cetakan pertama, November 2006
Penulis: w.m. ahmad
Rancang sampul: henricus ferdiansyah
Diterbitkan oleh:
kedai buku | sinau
jl. Bekasi Timur 1, No. 32A
Jakarta 13350
e-mail: kedai_sinau@yahoo.com
Sunday, 17 December 2006
benang magenta
berdua kita menatap laut
langit magenta mulai menetes
menggaris kelambu udara
kupakaikan pada tubuhmu
(jemarimu menganyam benang pemberian langit yang seusia dengan kita sore itu)
berdua kita menenggelamkan laut
dalam gulungan kertas
yang diikat benang magenta
tegak meski telah kuyup
(masih ada ruang tertutup tak lelah dimasuki doa yang barusan lahir setelah
peristiwa laki-laki dan perempuan ingin jadi sempurna)
Wednesday, 6 December 2006
iseng: profil pengunjung versi penjaga
Hampir tiga tahun ini saya bekerja untuk kedai. Tentu saja sebagai pegawai. Saya ingat pada saat pertama kali saya ke kedai, waktu itu saya masih berstatus sebagi siswa SMA. Di sinau saya bertemu dengan banyak mahasiswa yang suka baca buku. Awal itulah yang membuat saya terjungkal pada belantara wacana pemikiran manusia tentang dunia. Pengaruh orang-orang dan para pendatang kedai inilah yang membuat saya belajar untuk mencintai buku. Dari pembeli akhirnya jadi penjual dan samapi saat ini pun begitu.
Interaksi yang terjadi pengunjung banyak memberi pengalamn yang unik pada diri saya, mulai dari peristiwa tragis sampai humoris. Mulai dari pembeli yang memborong buku banyak sampai kami disamperin maling. Bahkan sampai hal-hal yang bersifat subyektif seperti dapat sahabat baru, jaringan baru, dan mungkin pacar baru.
Para pembeli maupun yang hanya berkunjung saja ini dari berbagai kalangan. Mulai kalangan atas—yang mungkin nyasar, sampai kalangan nglesot—paling bawah, bahkan orang gila pun pernah. Mereka datang biasanya karena penasaran ini perpustakaan atau bukan dan tidak sedikit yang mengatakan sinau ini tempat yang unik walaupun begitu komentar kekurangannya lebih banyak, maklum pencitraan kedai sebagai toko buku kesannya memang kurang.
Setiap kedai buka ada saja anak SMA yang datang ke kedai—kebetulan tempatnya memang dekat SMA—setiap saya tanya kenapa mereka jam sembilan pagi sudah disini. Tentu saja memang mereka mbolos, kadang saya juga kurang nyaman dengan tindakan mereka juga. Tapi apa mau dikata mereka ke sinau juga baca buku dan kadang mereka membeli buku. Bukankah mereka disini juga belajar? Jangan kuatir saya tetap tegas ke mereka jika terlalu sering, kaitannya lebih pada nama baik Kedai Sinau.
Jika anda cangkruk pada sekitar jam tiga sore ke bawah di sinau. Anda akan dapat tontonan gratis model-model baju anak remaja khususnya cewek. Dengan tubuh bahenolnya mereka melintasi sinau dan tentu saja mengundang kejantanan kami untuk sesekali mensiuli. Jadi lokasi kedai memang berada tepat di jalur lalu lintas sebuah Mall yang berada di barat sinau. Sayangnya mereka tidak pernah masuk kedai, oh ya saya ingat salah satu dari mereka pernah masuk kedai untuk menanyakan: “Mas, jual pulsa?”
Kalo menurut data dan pengamatan saya yang datang kedai mayoritas tetap mahasiswa. Lebih spesifiknya mahasiswa yang senang baca buku serius. Bagaimana tidak la wong yang jaga sinau mukanya serius he..2.Anak-anak muda yang dengan seabreg wacananya kadang berdiskusi bareng dengan saya atau dengan teman-teman lain yang datang. Untuk acara puncaknya kami diskusi rutin setiap hari rabu malam alias malam kamis jam tujuh malam. Layaknya diskusi lain selalu berganti peserta tapi untungnya diskusi ini tetap bertahan. Ini juga berkat salah satu teman yang tetap konsisten datang membantu saya mengisi diskusi.
Masih soal diskusi tema-tema yang kami bahas biasanya soal-soal yang dekat dengan kami mulai harga krupuk sampai tatanan dunia dan sesekali nyrempet bahasan teologis—bisanya untuk humor saja. Kami ada satu teman yang selalu paling banyak ngomongnya di diskusi—ya karena dia yang jadi alasan teman-teman untuk datang. Namanya Santoso, dia keturunan Cina umur sekitar tiga puluh duaan yang punya istri jawa dan berprofesi sebagai hermes—maksudnya penterjemah. Dia kami juluki perpustakaan berjalan karena minatnya yang luas dan ingatannya yang cukup kuat. Kami sangat senang jika dia bercerita tentang suatu zaman atau uraiannya tentang teori pemikir tertentu dan yang lebih menarik jika dia mediskusikan teorinya sendiri. Banyak hal yang dia bicarakan bahkan otak saya saja tidak cukup menampungnya.
Kadang saya jadi detektif juga untuk para langganan yang selalu menyembunyikan identitasnya. Maklum lah siapa tahu dia intel sinau kan banyak jualan buku-buku kiri. Wajar saja kan kalo udah langganan menanyakan asal usulnya, kan ini lebih memperkuat hubungan kami dan menurut buku penjualan yang saya baca: urusan menjual sekarang bukan hanya urusan senyuman dan kerapian saja tapi juga urusan emosional. Strategi itu berhasil untuk langganan yang lain tapi tidak untuk orang satu ini. Walaupun begitu dia tetap beli buku di sinau dan setelah saya pikir asalkan dia tetap beli buku saya tidak peduli darimana asalnya meskipun dia malaikat. Hampir satu tahun dia menjadi langganan sampai pada hari apa gitu saya lupa, dompetnya tertinggal di kedai. Malam-malam dia telpon bahwa telah menerima musibah yaitu kehilangan dompet. Kontan saja saya ngomong bahwa dompetnya ada di saya, dia telpon sekitar jam sebelas malam pas saya lagi makan ketan di pasar. Langsung saja dia nyamperi saya padahal rumahnya sekita lima belas kilo dari temapt saya. Nah malam itu dia mulai buka buku bahwa dia baru mantan anggota DPRD Malang. Sekarang saya baru ngerti bahwa hidup di dunia poltik itu kurang nyaman, lha wong curiga terus ke orang.
Sebenarnya masih banyak yang ingin saya ceritakan tapi mungkin akan sangat membosankan karena saya bukan pencerita dan penulis yang baik. Kecuali ada sastrawan, ilmuwan, filosof, tukang klenik yang mau ngendon di kedai bisa menjadi pencerita yang baik dan saya terbuka untuk itu.
Aris | Sinau
Malang, 1 Desember 2006
PS: anak muda yang mengaku mahasiswa penggemar sastra dan gerakan sosial yang berdatangan ke sinau kebanyakan dari fakultas arsitektur, teknik sipil-mesin, dan filsafat stain, sisanya cangkrukan penggemar obrolan ngalor-ngidul dan kopi tanpa menyematkan gelar dan latar belakang pendidikan.
Friday, 10 November 2006
PAHLAWAN, TRAGEDI FIKSI DI KESEHARIAN
Kepada Homeros, aku sempat bertanya:
Apakah ada pahlawan dalam epikmu? Dia cuma tersenyum sambil berucap,
"Apa yang kau baca?" Lantas, aku jawab saja: Keindahan!
Di
suatu malam, dengan cara yang cuma bisa dimengerti Tuhan, aku bertemu
Laksmi Pamuntjak. "Kita hidup dalam perang," katanya. Lalu,
seorang Belanda yang sudah meninggal dunia bercerita kepadaku.
"Sebelum terjadi pembuahan, 300 juta sel sperma disemburkan ke
liang vagina. Dari 300 juta sel sperma itu, cuma satu saja bertugas
membuahi satu sel telur. Lainnya, adalah sel pembunuh dan sel
pelindung. Jadi, satu sel sperma itu berenang berdampingan dengan sel
pelindung; melindungi dirinya dari gempuran sel pembunuh. Sesederhana
itulah muasal perang dalam kehidupan manusia."
Oktober
2006 lalu, Komite Nobel mengumumkan pemenang Nobel Perdamaian.
Muhammad Yunus dan Bank Grameen. Lewat bantuan mahluk penghuni baru
di Bumi, internet namanya (dan tentu saja dari 'berselancar' ke
http://moyas.multiply.com), aku menemukan artikel wawancara Muhammad
Yunus dengan jurnalis Times Ishaan Tahoor. 2030, di Bumi berdiri
Museum Kemiskinan, pernyataan Muhammad Yunus. Ditelisik lebih jauh,
pemikiran itu sudah ada di dalam dirinya sejak 1990-an. Perdamaian
dan Pengentasan Kemiskinan.
Selesai membaca artikel itu, aku
mengaktifkan 'play' di tape recorderku. Mungkin, ini suatu kebetulan.
'Imagine there no country...' Jhon Lennon. Mendengarnya, imajinasiku
bertualang ke masa yang tak pernah kuada, masa perang Vietnam. Berapa
nyawa yang harus melayang, hingga 'Godlob' pun memberanikan diri
menghadirkan tokoh ayah yang tega membunuh anak kandungnya sendiri.
'Kepada setan pun tak kuminta hukuman seperti ini,' begitulah kata
akhir sang istri setelah menembak sang suami pembunuh putranya.
Di
cerita, fiksi pun dapat menjadi fakta. September-nya Noorca M.
Massardi. Terheboh, polemik Gunter Grass dan Nobel Kesusateraan yang
diterimanya.
Mengingat itu semua, aku kembali terkenang
percakapan dengan Homeros, yang sepengetahuan aku ada spekulasi yang
menyebutkan nama itu fiksi. Maksudnya, penulis sebenarnya dari Illiad
itu tidak diketahui; ada yang menyebut bahwa karya itu ditulis
beberapa penulis, ada juga yang menyebut karya itu ditulis oleh
seorang penulis; tapi, semua sepakat memakai Homeros sebagai
pengarang Illiad.
Malam hari, aku melihat rubrik desain di
salah satu harian berskala nasional, bagi orang Indonesia; dan bagi
orang luar negeri bisa berarti berskala internasional. Desain,
khususnya arsitektur selalu berkembang. Mulai dari bangunan kastil
yang kokoh, hingga museum futuristik di, kalau aku tak salah, di
Spanyol (ah..., namanya aku lupa.) Bagunan-bangunan itu, semacam
hiperbola yang muncul dalam keseharian. Untuk Indonesia, contohnya
'ruang publik' pedestrian tepat di seberang halte busway Bank
Indonesia.
Aku berpikir: sebagai manusia, tampaknya kita tak
lepas dari hiperbola. Menghadirkan fiksi dalam kenyataan. Demikian
juga pahlawan. Sebab sisa perang yang kutemui cuma kuburan.
"Apakah
keindahan itu harus tragis?" pertanyaan aku pada Homeros, yang
dia jawab dengan menghilang.
[Deif-Feil]
Thursday, 26 October 2006
benang magenta
Start: | Nov 5, '06 11:00a |
End: | Nov 5, '06 2:00p |
Location: | sekolah tinggi ilmu statistik|jalan otista no. 64, jatinegara, jakarta timur |
kau
bayangkan
sebelumnya
Wednesday, 18 October 2006
PARENTAL ADVISORY: KEBODOHAN YANG TAK BOLEH BELAJAR
Lembaga Sensor Film (LSF). Alasannya, berdasarkan Koran Tempo edisi
Selasa 17 Oktober 2006, ada 9; diantaranya tidak bersesuaian dengan
norma kesopanan, menonjolkan adegan kekerasan dan kekejaman lebih dari
50 persen, hingga terkesan kebaikan dikalahkan kejahatan. Ketua LSF
Titie Said menambahkan pula dampak dari film itu. Menurut dia, film itu
dapat membangkitkan luka lama dan dendam akibat peristiwa berdarah Mei
1998.
Persoalan tidak lulus sensor mengartikan satu hal pokok, yakni
ketidak-layakan tayang. Mengingat kata 'ketidak-layakan', saya
terkenang pernyatan Franz Magnis Suseno di tahun 2003, tentang etika.
Persoalan rumit itu disederhanakan menjadi satu kalimat sederhana:
tidak semua hal yang dapat dilakukan (baca: kebebasan) boleh dilakukan
(baca: tanggung jawab). Pencitraan praktis dari inti etika tersebut,
kira-kira: meski semua manusia berpotensi (baca: dapat) membunuh, tapi
kerja membunuh itu sendiri tidaklah layak dilakukan. Bila ditarik lebih
panjang, persoalan ini bermuara pada kebebasan bertanggung-jawab.
Seseorang dapat dimintai pertanggung-jawaban atas perbuatan yang
dilakukan hanya bisa terlaksana apabila yang bersangkutan memiliki
kebebasan memilih tindakan.
Kembali ke soal film 'Pocong' yang berbiaya Rp3 miliar ini. Untuk
pertama kalinya, film ini haruslah dilihat sebagai salah satu mode
ekspresi kesenian, diantara sekian banyak mode ekspresi kesenian
lainnya, seperti sastra, suara, lukisan, teater dan lainnya. Dan, dunia
ekspresi kesenian ini pada dasarnya berlandaskan kebebasan atau semesta
probabilitas. Karena itu pulalah maka seniman memiliki keleluasaan
'boleh melakukan apa saja'. Namun, adanya keleluasaan ini tidak
mengandaikan bahwa seniman menihilkan soal etika dalam berkarya.
Seniman tetap memiliki standar etika, yang saya sebut dengan 'institusi
etika prifat'. Di dalam 'institusi etika prifat' inilah tersimpan mana
yang boleh dan tidak. "Institusi etika prifat' ini pulalah yang
memungkinkan Rudi Soedjarwo menghasilkan film 'Pocong'.
Keberadaan 'institusi etika prifat' didalam diri Rudi terbukti melalui
pembelaannya sendiri. Menurut Rudi--masih dalam artikel Koran Tempo
edisi Selasa 17 Oktober 2006--film Holywood dan tayangan televisi lebih
sadis dari film 'Pocong' yang ia buat. Tidak hanya itu. Film 'Pocong'
pun disebut Rudi memiliki pesan moral, yakni 'kita harus lebih takut
kepada manusia daripada kepada setan'. Pembelaan ini merupakan bentuk
pertanggungjawaban Rudi atas pilihan dan kebebasan ekspresi yang dia
miliki.
Memang, selama film 'Pocong' dibuat untuk konsumsi sendiri, keperluan
pribadi, maka tidak akan pernah ada masalah muncul. Tapi, ketika film
ini hendak masuk ke ruang publik, masalah timbul. 'Institusi etika
publik' menyaring hasil 'institusi etika prifat'. Kategori layak atau
tidak pun bermain.
Dari perspektif ini, terlihat jelas bahwa LSF berposisi sebagai
'institusi etika publik'. Lembaga ini menyaring hasil kerja Rudi
bersama rumah produksi Sinemart. Proses seleksi yang membutuhkan waktu
dua minggu dilakukan tiga tahap, dari kelompok pertama ke pelaksana
harian lalu ke pelaksana harian plus yang berisi agamawan, budayawan,
Badan Intelijen Negara (BIN) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Untuk kehati-hatian ini, saya pribadi mengucapkan salut. Namun, hasil
akhir yang menyatakan bahwa film 'Pocong' tidak layak tayang,
jelas-jelas menyakitkan.
Tentu saja, 'institusi etika prifat' milik Rudi beserta Sinemart
terlebih dahulu tersakiti. Dan, bisa jadi beberapa personal di LSF,
misalnya Titie Said pun bersedih; sebab menurut dia kualitas
sinematografi, pencahayaan, akting dan dialog fim tersebut tergolong
'oke'. Selain mereka, saya pun merasa tersakiti. Dan, dengan menyadari
dasar keberadaan LSF adalah hak sosial individu yang dilimpahkan ke
negara, maka rasa tersakiti itu pun semakin menusuk. Dengan kata lain,
saya sebagai individu yang telah melimpahkan hak sosial ke negara
dengan kesadaran sendiri mengambil pisau dan menyayatkannya ke tubuh
saya sendiri. Ya, putusan LSF adalah putusan saya sendiri untuk
menghujamkan belati ke pembuluh nadi saya.
Disinilah keberatan dan ketidaksetujuan saya atas putusan LSF itu.
Menurut saya, putusan 'institusi etika publik' LSF melabelkan satu hal
ke 'institusi etika prifat' yang dimiliki tiap individu, yakni
kebodohan. LSF dengan kekuasaannya mengklaim bahwa publik yang bakal
menikmati film ini adalah sekumpulan orang bodoh-tolol yang tidak
memiliki standar etika. Dan karena itu, satu film Rudi
Soedjarwo--perkiraan saya berdurasi maksimal dua jam--mampu meracuni
khalayak penonton untuk berbuat kekerasan dan kekejaman seperti yang
ditampilkan film tersebut. 'Institusi etika prifat', khususnya saya,
dicap bodoh-tolol oleh LSF 'institusi etika publik'. Betapa, hak sosial
yang saya berikan kepada LSF ternyata telah disalah-gunakan dengan
merenggut kebebasan milik saya untuk menilai apa dan bagaimana film
'Pocong' itu.
Selain itu, hal lain yang menyinggung adalah dugaan bahwa film 'Pocong'
dapat 'membangkitkan luka lama dan dendam akibat peristiwa berdarah Mei
1998'. Kalimat yang disuarakan Titie Said, bagi saya naif. Dugaaan atau
kekhawawtiran atau ketakutan dalam pernyataan itu menyiratkan dua hal.
Pertama, 'kita' harus melupakan tragedi; Kedua, 'kita' harus hidup
damai tanpa 'luka lama dan dendam...' Saya secara pribadi menyakini
bahwa siratan pertama bukanlah pilihan posisi bagi seorang yang bernama
Titie Said, yang menurut saya, mampu merasakan derita yang dialami
korban tragedi itu. Ketua LSF ini pastilah bermaksud pada siratan
kedua, yakni 'luka lama dan dendam...' itu harus diselesaikan hingga
'kita' dapat hidup damai bersama.
Disitulah letak kenaifan LSF. Sebab, dampak tragedi Mei 1998 bukanlah
terletak di dalam film, melainkan di kenyataan itu sendiri. Apakah
Indonesia memang sudah menuntaskan sejarah kelam bangsa yang selalu
mengagungkan nilai ramah tamah dan sopan santun ini?
Di sisi lain, dugaan atau kekhawatiran atau ketakutan LSF itu ternyata
membongkar pola pikir 'institusi etika publik' ini. Melalui dugaan itu,
saya pun dapat melihat apa dan bagaimana film di mata 'institusi etika
publik' ini. Film bagi 'institusi etika publik' ini berada di atas
kenyataan. Dan pola pikir inilah yang berusaha 'mereka' suntikkan ke
kepala 'institusi etika prifat' yang kadung dicap bodoh-tolol. Film
melebihi kenyataan! Menurut saya, ini pola pikir yang salah. Seharusnya
'institusi etika publik' ini mempromosikan ide bahwa film merupakan
sub-ordinat kenyataan. Jadi, sebagus apa pun film yang dibuat,
tetap saja kenyataan yang menempati posisi teratas.
Apakah putusan LSF ini bisa dibatalkan atau tidak--seperti perubahan
keputusan dari meluluskan menjadi menarik dari peredaran film 'Buruan
Cium Gue!' yang dikarenakan desakan 'institusi etika
prifat'-yang-memublik*--wallahuallam, saya tidak bisa memastikan. Yang
pasti, setidaknya hingga saat ini, 'institusi etika publik' menegaskan
bahwa 'institusi etika prifat' cuma berisi kebodohan, ketololan, tolol bakero belaka!
Bila sudah begini, kodrat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan dengan
derajat tertinggi (baca: memiliki akal budi) diantara semua mahluk
ciptaan-Nya pun menjadi semakin didangkalkan. Dan, jika memang benar
'institusi etika prifat' berintikan kebodohan, apakah saya, yang bodoh
ini, memang tidak berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi? Jika memang
benar demikian, saya terpaksa mengacuhkan keberadaan 'institusi etika
publik' yang menyebalkan seperti, maaf LSF cuma salah satunya saja di
Indonesia yang susah dicinta ini.
*: Saya sendiri tidak sependapat dengan desakan dan putusan menarik
film 'Buruan Cium Gue!' dari peredaran; sebab ide ini lagi-lagi cuma
menegaskan pelabelan 'institusi etika prifat' yang bodoh-tolol. Dan
'insitusi etika prifat'-yang-memublik cumalah kesemuan belaka, sebab
itu menjadi tirani 'institusi etika publik' semata.
--David Tobing--
Tuesday, 26 September 2006
Hikayat Pithecanthropus di Era Informasi
Suatu ketika, sepasang manusia, lelaki dan perempuan, berjalan
telanjang di sebuah taman. Demikianlah ujar hikayat, yang hingga
sekarang tak bosan dipertanyakan, siapa mereka, taman macam apa, dan
mengapa mereka bisa bertelanjang segala? Tapi, hingga ber-mileu
berlalu, jawaban pasti tak ketemu. Sedang hikayat, hidup selalu.
Satu buku teori menyebutkan, tiga syarat negara. Ada wilayah, ada
penduduk, dan ada pemerintahan. Lalu, bagaimana pula jadinya ketika
negara itu penduduknya mati semua. Atau, kalau mau lebih jelas 200 juta
lebih warga negara indonesia mati semua, apakah negara itu ada? Atau,
bagaimana pula bila muncul gempa bumi pun tsunami dahsyat yang
menghapuskan daratan kepulauan indonesia, apakah negara ada? lalu, dari
mana indonesia dan segala bentuk pemerintahan itu berasal? Kira-kira
begitulah pertanyaan yang muncul usai membaca buku teori yang rasanya
sudah lapuk dan tak berarti itu.
Miles Davis berkata, kira-kira, "Tak perduli aku apa tanggapan orang.
Yang penting, aku nikmati tiap nada yang kumainkan." Lalu, seorang
penyair datang kepada pakar fisika kuantum. "Apakah fisika mengenal
metafora?" tanya penyair pada pakar fisika kuantum. Dia menjawab
sederhana, "Aku cuma tahu, cara menjabarkan reaksi pemecahan uranium di
papan." Lalu, penyair itu bertanya, "Dimana metaforanya?" Pakar fisika
kuantum itu cuma bisa menjawab, "Aku tidak tahu kau mau jawaban apa?"
Tak lama kemudian, perdebatan itu pun muncul sebagai berita utama di
halaman koran kota-kota terkemuka.
Suatu hari, aku dengan temanku berdebat. Atas dasar apa kita
mempercayai sejarah? Aku menjawab: Keterikatan emosional. Temanku
menjawab: Karena hal itu memang benar telah terjadi. "Sekalipun itu
sudah terjadi, tanpa keterikatan emosional, sejarah itu tidak akan
tercatat dan diketahui," jelas aku. "Demikian juga, karena kedekatan
emosional, maka yang salah pun jadi benar. Sejarah jadi hilang. Begitu
'kan maksudmu?" balas temanku tak kalah garang. Setelah puas berucap,
kami pun pulang, tanpa bertanya: Buat apa ada sejarah?
Dan, malam pun tiba. Hikayat kembali dilanjutkan kepada kanak-kanak,
tentang sepasang manusia, laki-laki dan perempuan, asal mula negara,
kata-kata Miles Davis, juga percakapan penyair dengan pakar fisika
kuantum, hingga akhirnya, semua orang berkata : "Sudah malam. Saatnya
tidur. Besok masih banyak yang harus kalian lakukan."
[Deif-Feil]
Monday, 18 September 2006
Ketika Paus Mulai Vokal, Lumba-lumba Menyelamatkan Konsonan (Gunther Grass Yang Fakta dan Karyanya Yang Fiksi)
Paus:
Iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii...IIIIIII
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
IIIIIIIII
IIII
II
I
I
I
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
Paus:
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...AAAAAA
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
AAAAAAAAAAAAAAAAAA
AAAAAAAAAAAAA
AAAAAAA
AAAA
AA
A
A
A
Lumba-lumba:
(ada konsonan yang terlupa, apakah Paus lupa atau sedang luka, kasihan dia)
Masa Depan Indonesia: Integritas atau Ambiguitas (spaduk di organisasi pemuda di Salemba), ada yang bisa bantu menjelaskannya?
Paus (...$A¥A diulang-ulang 1000kali):
IIIIIIIIIIIIiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaAAAA
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiiiiiiiiiiiiiIIIIII
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Lumba-lumba:
(Maaf, belum kutemukan tafsirnya di Wikipedia, sejak ada aksara sampai
sekarang, Hmmm sedang apa Paus disana, ada apa juga di Indonesia-dimana
pula konsonan?
Hmmm kejutan yang aneh)
Dami N Toda dalam Kompas Minggu (17/09/06) menulis tentang Gunther
Grass yang FAKTA dan karyanya yang FIKSI. Dalam balutan waktu mana
Gunther Grass kini hadir, sebagai seorang mantan prajurit Waffen-SS
atau seorang perenung moral yang Nobel?
Sejauh mana sejarah menjadi fakta dan tulisan sejarah yang jadi karya
fiksi di Indonesia yang katanya negara totaliter [itu dulu, sekarang
negara partikelir-cari di Wikipedia Humor) karya fiksi merupakan
ujaran-ajaran yang mengandung kebenaran sejarah, dan masa lalu membunuh
masa depan, bukan karena aktualitasnya namun karena ujaran-ajaran,
tokoh-dan penokohan, selalu ragu-ragu di mata para pemeluk teguh-fiksi
apa yang dia baca sehingga jadi fakta begitu rupa. Kata kawan di kedai
nalar ternyata terbatas! Menalar fiksi apalagi. Lantas apa kaitan
transedensi pernyataan ‘Kehormatanku berati Setia (pada Hitler)motto
waffen-SS, Hidup Mulia atau Mati Sahid (Hamas-Palestina), Pada Tuhan
Aku Percaya (uang dollar Amerika-Indonesia gagal melakukan copycatnya
di lembaran uang), Avoda Ivrit (bekerja sendiri jangan upah orang untuk
melakukannya-Slogan Israel ketika menjejak kaki pertama kali ke tanah
Palestina).
Masa lalu membunuh masa depan. Waktu bekerja untuk siapa saat ini. Juga
Tuhan yang katanya cuma satu berbeda nama. Masa depan kemudian
kerasukan masa lalu-yang disebut keabadian, ada dimana-perenungan: pada
kemuliaan, kerja keras, kesetiaan, kepercayaan, atau biarkan bergeming
bingung layaknya Bhinneka Tunggal Ika. Mungkin kita butuh baca fiksi
lebih banyak lagi, temukan nada vokal yang sumbang pendapat (bukan
pendapat sumbang) tanpa harus kehilangan konsonan.
widhy | sinau
Friday, 1 September 2006
Demokrasi, Pisau Galileo dan Kepergian Pluto
Negara itu tidak ada gunanya meskipun engkau berkata: Sesekali, kita pun perlu bertanya kepada Yang Maha Kuasa, dimanakah selayaknya Pluto kita letakkan. Jadi, buat apa ada demokrasi, dan mengapa pula tidak ada politisi yang pernah mati bunuh diri? Karena itu : The Beatles=Liverpool=Inggris, Soneta=Rhoma Irama=Indonesia, The Doors=Jim Morrison=Amerika, Bob Marley=Reggae=Jamaica. Negara masih berguna! Tapi, perlu juga dibentuk fens klub. Tidak usah ada partai kalau begitu. Ada atau tidak ada itu tidak masalah.
Sekali waktu, pernah aku bercakap dengan seseorang diantara seorang yang berjalan dari masa ke masa di depan emperan toko di kaki lima sangatlah ramai sekali orang-orang berseliweran: Mau kemana? Dia cuma melihat dan berkata: Biarkan saja.
Di saat engkau berjalan di planet-planet, lalu berjalan diantara galaksi-galaksi, maka dimanakah aku engkau temui? Bukankah engkau akan bertemu aku di depan emperan toko tempat orang berlalu-lalang, tapi tak pernah mengetahui kemana demokrasi itu pergi. Jadi, kalau engkau hendak berbelanja, harus pergi pagi-pagi sekali, agar bebas memilih. Kalau pemilu dilakukan pukul 09.00, maka di waktu subuh, hasil perhitungan berapa biaya yang dikeluarkan sudah diketahui. Tak perlu bawa uang yang banyak, cuma seperlunya saja. Jangan terlalu banyak pula berdoa ketika berjalan-jalan di galaksi, sebab asteroid yang melayang itu seperti bajaj. Kadang berbelok atas perintah abang pengemudi. Setelahnya, engkau pun terjatuh, melihat aku membeli dua ekor ikan yang menjadi korban ranjau darat.
Seperti Galileo yang mencari aku, dia menemukan wujud pasti dalam ketakpastian. Karena dunia ini adalah probabilitas, eksperimen selalu terjadi. Kalau memang tepat guna, tak ada salah. Kalau tidak tepat, maka ada yang bunuh diri, ada juga yang melarikan diri. Masalahnya, semua itu perlu dibuktikan. Kalau pun tidak berbukti, jangan salah tanggap. Probabilitas itu nantinya menjadi suatu kepastian bahwa pergerakan acak asteroid itu tergantung kemacetan yang terjadi. Makanya, diperlukan beribu-ribu jalur busway untuk mengatasi keterlambatan jam kerja. Jadi, buat apa membeli mobil?
Sesekali, buatlah satu puisi. Meski cuma satu-dua baris dengan satu-dua kata, itu tidak jadi soal.
Note: Ini tulisan sesat!
[Deif-Feil]
Tuesday, 29 August 2006
laki-laki yang tiba-tiba melankolis

dibawanya daun berbentuk hati. aku akan mengirisnya. jika tanpa sebab hujan tidak jadi.
dikunyahnya pula buah pala kering yang disangrai dan dicampur bako:
semoga ia terlihat cantik. kepalanya terasa menjadi tujuh.
masing-masing bagiannya berisi organ tubuh kekasih. ia berdoa aneh:
semoga kita menderita. kemanusiaan lebih dekat dengannya. sambil
membayangkan punggungnya dicambuk duri api. ia bersenandung: aku cuma
penyair gagal dengan berbagai pertanyaan bodoh tapi penting.
kegagalan seperti mimpi. cuma angan yang tak jadi berani. aku tenggelam
namun belum mati. berbagai pertanyaan bodoh tapi penting bergayut jadi
ranting, jadi getah, jadi sarang semut, jadi puisi. kegagalan seperti
puisi, tidak butuh nabi. dunia juga tidak berhenti, sebelum dan sesudah
ada puisi. dunia cuma kumpulan kode. kau tidak harus memecahkannya,
apalagi berteori.
usil sekali puisi dibuat seranjang dengan kopi. tak mungkin terlihat
manis bukan. apalagi sepagi ini kau sudah salah kostum. kita tidak
ingin pergi ke tempat perayaan. juga tidak ingin pergi ke kuburan. kita
cuma akan pergi berdua dengan balon udara, belajar takut dan mengerti
gravitasi. kita juga akan hancurkan awan dengan campuran garam,
sehingga pecah jadi hujan, kita cuma menghantar petir. kita tidak ingin
jadi nabi apalagi ahli berpuisi. setelah hujan kita bagi daun berbentuk
hati. sebab hujan kita buat sendiri. kita juga tak butuh pawang sayang.
(laki-laki yang tiba-tiba melankolis, hatinya merona rindu-seperti
puisinya yang seperti lembab sarang semut-dari ranting, dari getah
pepohonan tempat dia mencari rumah—dan sebab-sebab pertanyaan: apakah
perubahan ini baik atau buruk, apakah butuh teman jika ingin
bersendiri—apakah karya harus lahir dari kesunyian—sementara akal tak
usai mengejar berbagai pertanyaan bodoh tapi penting, lebih dari
selembar daun berbentuk hati yang lainkali ia namakan puisi yang gagal
jadi karena hujan tak kunjung tiba, dan kita gentar menaikkan balon
udara)
laki-laki yang tiba-tiba melankolis mengunyah-ngunyah buah pala yang
disangrai dan dicampur bako. menulis pada selembar daun berbentuk hati:
jika punya gigi tentu saja bisa sakit gigi, jangan tunjuk, merunduk,
dedahkan lagi kopi yang dicampur puisi. mungkin bisa hamil, toh ia
bukan betina atau jantan yang perlu ditata kemaluannya.
PS:
living is easy with eyes closed, misunderstanding all you see.
It's getting hard to be someone but it all works out, it doesn't matter much to me
strawberry fields forever |the beatles
widhy |sinau
foto: dvd tbg
Thursday, 24 August 2006
Candu!
berselonjor di bawah pokok randu. Ketika itu, langit begitu hitam,
bertabur ramai serak suara serangga, di antara kepulan asap candu,
tidak ada bintang dan rembulan menghias kekelaman. Pelupuk sayu mataku,
mengikut hentak irama kakimu melangkah, perlahan sekali, serupa degup
serambi jantung di tubir sakratul maut.
Aku merasa engkau meniupkan sesuatu ke telinga aku. Tiupan yang
menjelma jadi ratusan uap-uap candu yang berkelakar di alam nalar,
meloncati alam imaji, menarikan warna radiasi dalam lanskap ingatan
yang penuh ratus kenangan infantil, hingga menelungkupkan diri,
terangkat, melayang, terbang, menuju kehilangan di langit yang begitu
hitam. Pokok randu, selamat tinggal. Kata-kata itu, aku keluarkan
melalui jutaan celah pori-pori di sekujur tubuh aku; sebab aku tak
mampu menetaskannya melalui bibir yang kelu, lewat bibir yang terlampau
banyak menabur serapah, pun sumpah. Ketika itu, aku mengingat kembali
apa yang engkau lakukan di telinga aku, setelah begitu perlahan engkau
melangkah. Keping ingatan dan kenangan yang cacat cuma mencatat, engkau
meniupkan sesuatu ke telinga aku.
Bersama ragam warna radiasi yang memenuhi setiap ceruk nalar, bentangan
imaji, kilas-kilat intuisi, aku merasa engkau tidak meniupkan sesuatu
ke telinga aku. Telinga aku yang memiliki gendang penyaring, bukanlah
lokus yang tepat untuk merasakan tiupan serupa salakan angin yang
begitu enggan bersalaman dengan diam. Tersebab idnera telingan,
bayangan kabur dalam kepala aku pun menggemakan bunyi gempita:
Engkau berbicara. Sesungguhnya, meski pelupuk mataku sayu, pun padat
ragaku begitu rapuh, atau pijakan ringkih kedua belah kaki yang sudah
melampaui letih, aku masih sanggup berkira apa yang engkau lakukan di
telinga aku. Berkata! Atau, engkau meniupkan kata-kata, serupa aku
mengucap kata-kata "Pokok randu, selamat tinggal," melalui jutaan celah
pori-pori yang menghuni seluruh permukaan ari. Dalam tabung tubuh
menelungkup yang terangkat melayang menuju kehilangan di langit hitam
ini, aku mencoba kembali mengingat perkataan yang engkau tiupkan ke
telinga aku, sebelum kesia-siaan menjemput aku dengan satu tikaman,
tepat menghujam bidang payudaraku.
Aku mencari perkataan yang engkau ucapkan dalam relung ingatanku. Tapi,
segala upaya terbuai warna-warni radiasi dari gelinjang nalar pun
gejolak imajinasi yang melantakkan segala peka pada indra pelihat,
peraba, pendengar, penghirup, pengecap, meluruh hingga menghantam
gelombang jiwa gembala yang resah di padang sabana kelana, tapi tak
kunjung aku menemukan keping ingatan yang berisi perhiasan dari aksara
katamu. Ruhku semakin melayang bersama kepulan candu yang membubung,
menarik jiwa yang menggenggam mata, telinga, hidung, lidah dan selimut
kulit jangat yang menjuntai tipis seuntai, menuju kehilangan pada
kegelapan yang samar-samar menyanyikan nur bergemerlapan di kelindan
ranah kekacauan abadi.
Di ranah kekacauan abadi, kelindan jasad dan jiwa selalu bergelut,
bergumul, saling memagut, terkadang menunduk, sampai akhirnya pandu ruh
mengambil tahta berbicara. Aku memutuskan meloncat meninggalkan segala
menuju keheningan, ketiadaan, kekosongan, seragam dengan limpah
kepenuhan yang selalu mengucur meski perlahan serupa irama langkah
engkau yang mendekati aku yang sedang bermabuk ribuan candu.
[Deif Feil]
Monday, 14 August 2006
Tak ada kata kembali. Sementara terang segala benda, mewujud sesuai dengan esensinya. Sempurna.

Anjing jadi kamu, jadi aku. Berubah jadi apa yang kita telah lihat
sebelumnya. Sebelum datang kamu, anjing seperti anjing. Setelahnya
anjing seperti aku. Lucunya aku seperti kamu. Kita menamakannya doggy
style. Sementara anjing sesungguhnya menamakannya ‘sebelum ada kamu’.
Sebelum ada kamu, anjing biasa saja, tak tahu dirinya anjing. Setelah
kau rawat, anjing merasa harus setia, penuh komitmen, menjaga harta
benda, dan tahu diri: hanya anjing. Sebelum ada kamu kematian biasa
saja rasanya, setelahnya kematian begitu menakutkan, mengiba,
berkaing-kaing. Sepertinya anjing tetap anjing, sementara kau dan aku
dapat bertukar tempat. Siapa kamu mempertanyakan kedirianku, membelahku
seperti si buruk rupa. Sementara setiap kali kita bertemu wajah kita
tertukar. Kau persis sepertiku, seperti anjing. Sebelum ada kau dan
aku, anjing tak seperti kita. Sekarang kita bertiga sering bertukar
kata, gerak dan wajah. Lalu kita menikmatinya, lalu kita
menamainya, lalu kita mengencinginya, lalu kita menguasainya, lalu kita
memperebutkannya, lalu kita melolong bersama, lalu kita memagari diri
kita, lalu kita membuatnya seakan-akan semuanya abadi. Kita bertiga
dalam terang tak berjasad, wujud kita seperti apa tak ada yang tahu.
Sebelum ada kita berdua, anjing merasa dirinya anjing, tentu tidak sama
dengan kita berdua. Sampai kita menera muka pintu rumah kita: awas ada
anjing galak.
widhy |sinau
Friday, 11 August 2006
Ghibah, Lumpur Panas dan Uang Logam
Majelis Ulama Indonesia (MUI), menetapkan infotainment itu termasuk
ghibah. Haram. Dosa. Dan, hasil akhir yang tak terbantahkan (mungkin
juga diperdebatkan), neraka!
Seorang teman mengajukan penawaran kepada saya, "Maukah engkau mengetahui bagaimana caranya menyatukan dosa dengan ibadah?"
Mendengar penawaran itu, terus terang aku terkaget-kaget luar biasa.
Aku pun lantas bersuara dengan (mungkin) seribu tanda seru, "Itu tidak
mungkin!!! (perwakilan dari seribu tanda seru)" Lalu, dengan penuh
kepahaman, aku menjelaskan bahwa dosa tidak mungkin menyatu dengan
ibadah. Saat seorang melakukan dosa, maka adalah mustahil pada saat itu
juga ia melakukan ibadah. "Secara intuitif pun kau sebenarnya mampu
membedakan hal itu." sergah aku kepadanya.
Saat aku sedang asyik-asyiknya menguraikan bantahan, tiba-tiba, muncul
seorang entah dari mana. Seorang itu bergumam. "Apakah mungkin seperti
sekeping uang logam?" Berulang-ulang. Dan, kami terdiam. Menatap
ke arah si penggumam.
Apa sebab Israel menggempur Lebanon? Lalu, mengapa pula Israel
bersikeras melakukan hal itu; padahal banyak negara yang menghendaki
serangan tersebut dihentikan? Mungkinkah hal itu berhubungan dengan
jumlah sepeda motor yang semakin meningkat di Jakarta? Atau, terkait
dengan pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang akan datang? Rasanya,
seperti membaca sebuah buku yang tak lengkap dan tak jelas. Entah
karena pengarangnya yang rada kurang, atau pembacanya memang kelewat
lambat. Tapi, rasanya semua sudah jelas. Ada apa dibalik penghakiman
Saddam Husein? Atau, kenapa pula Fidel Castro harus sakit? Kapan
manusia bisa pindah ke Mars? Ah, Banjir Kanal Timur (BKT) saja butuh
waktu sampai 2008. Terus buat apa ada Mahkamah Agung? Atau, buat apa
pula Bagir Manan?
Saat ini, lumpur panas dari sumur Lapindo Brantas Inc masih terus
meluncur, mencari permukaan yang baru. Dan, aku mengetik tulisan ini
dimulai dari fatwa. Ghibah! Haram! Mungkin, uang logam!
[Deif-Feil]
Monday, 7 August 2006
sakit yang berpengalaman

Walau belum bulat benar namun setiap titik telah menyatu dengan rasa
dan logika masa depan yang melempar setiap persoalan pada mesin
pemecahan masalah sebelah kiri dan kanan otak mencoba memahami gerak
setiap yang lewat untuk dijadikan catatan penutup yang akan dibacakan
saat reuni atau selesai shalat dalam lingkaran konsentrasi yang
diserang kantuk yang bosan rutinitas dan ingin menghambur keluar
berlarian di jalanan yang sudah tidak enak dibuat berkendaraan karena
sesak memadat tidak memberikan celah kenikmatan sedikitpun bagi udara
untuk menyempurnakan hari yang dianggap sempurna ketika lewat jam lima
enam menit udara di lambung muntah di depan monitor komputer jadi
alasan untuk berlibur enam hari kerja melepas suntuk atas biaya dinas
dan kesetiaan untuk menghasilkan uang yang dapat menyempurnakan hari
semua orang yang datang setiap akhir pekan membawa bunga dan brownies
kukus sebagai tanda duka dan ucapan lekas sembuh dari kawan
sejawat yang mengatakan enak juga diberi kesempatan untuk menikmati
hari-hari cuma dengan berbaring dan membuktikan harga sebuah kesehatan
yang baru terasa saat sakit seperti yang pernah diceramahkannya pada
saat reuni dan selesai shalat dalam lingkaran konsentrasi yang diserang
kantuk yang bosan rutinitas keseharian yang disempurnakan oleh sakit
yang berpengalaman jadi muntah di depan monitor komputer.
widhy |sinau
Wednesday, 2 August 2006
ketika kamu jadi biru dan semua yang berada di dekatmu jadi rona kebiruan seperti lebam yang tak jadi luka menganga karena latihan bertahun dan nasib yang memihak pada kekuatan doa

Itu bukan disini tentunya bukan kebaikan yang kebetulan dari si pemukul
atau tongkatnya yang tidak sakti lagi menakuti pemasang pamflet atau
pembaca puisi yang menggangu jalanan dan waktu makan di ruang baca bus
atau kaki lima yang dinikmati sementara ketika telah jadi buku dan
ditulis oleh pengelana darah biru baru yang begitu sok tahu mengartikan
ketergesaan cita-cita dan hari esok yang bertambah lucu di berita dan
ceramah akademis kaum terdidik sementara bencana tiap hari mengongkosi
pendidikan, ransum, dan asuransi kerugian mereka ketika berjalan-jalan
ke daerah terpencil nan eksotis di lembah-lembah hijau berkabut matamu
jadi terang dan senin menjadi inspirasi setiap kepergian yang
kepulangannya bisa ditunda sebab lain untuk diceritakan sebagai uji
keberanian akan petualangan layaknya masa muda yang penuh dengan
perjuangan untuk pembebasan himpitan bersama si miskin yang saat ini
bertambah banyak menadahkan tangan dan mencari bantuan atas nama
kelaparan yang bernilai sama dengan investasi rumah di pesisir berpasir
putih tempat merenung, bersemedi dan yoga dengan pemandangan horizon
langit dan laut yang menyatu dalam biru yang menepi dari keriuhan para
junior dan saingan yang berlomba meminta pelatihan empati sebagai
syarat menjadi orang kaya terdidik terbaik yang pernah diciptakan tuhan
dengan lebam-lebam pukulan tongkat sebagai bentuk ujian kesungguhan
memahami doa yang bukan kebetulan ada karena kelaparan atau penindasan
tapi karena proses penciptaan yang terencana dan terdukung baik oleh
kekuatan latihan bertahun untuk menahan luka biru sebagai sebuah garis
nasib darah biru yang baru.
Saturday, 29 July 2006
waktu senja manusia malah pergi meninggalkan rumah-rumah mereka

toleransi kontradiksi kombinasi kultural suci meregang-regang susut
menciut tegang merapal nama kota kitab berhala tetangga masa lalu di
belakang massa masa depan di kuil-kuil pemujaan semacam pasar
bertransaksi dengan kudapan roti bawang putih dan secangkir kopi dari
pagi sampai kering matahari tinggi percakapan bukan tanpa perhatian
penjelasan peringatan dari tabu yang berasal dari toleransi kontradiksi
kombinasi kultural suci sementara ditinggalkan untuk berperang sejenak
dari keyakinan yang datang di koran-koran gratis setiap hari sampai
waktu senja manusia malah pergi meninggalkan rumah-rumah mereka yang
tidak lagi terbaca di peta-peta di tanah yang malu dengan kehadiran
urat-urat syaraf yang putus di kemaluan yang melulu kencang melototi
siaran tv keimanan terkini dengan asupan tablet vitamin tak kenal lelah
menginjak harga kontrak gaji buruh sepetak sawah petani tanpa surat
garapan bikin selera makan bertambah cemas tentang keberadaan doa yang
luput dilakoni sendirian saat butuh toleransi kontradiksi kombinasi
kultural suci ditabuhkan tabu tentang siapa dirinya yang oleh angin
jadi sayup buram oleh lembab hujan tak jadi menggayut di
pikiran-pikiran orang-orang yang bergegas di lampu merah tanpa pernah
tahu arah selain rumah dengan penguasa koran dan siaran hiburan
mengangkang beternak anak lampiaskan kemarahan pada ketetapan-ketetapan
yang diluar akal mereka karena tak pernah sempat merenungkan daun yang
menjadi kuning di atap rumah dan rambut yang satu dua memutih dan
tanggal dari akarnya setiap pagi waktu sisiran dengan isteri yang
kecewa karena jatah yang terus berkurang disaat sikap gagah perkasa
bicara politik dan hukum yang sukar dijelaskan awam jadi waham
berkepanjangan di siang bolong keluyuran di kepala-kepala dengan mata
merah tanpa rasa lelah menghitung setiap kemungkinan mimpi-mimpi
disengat matahari yang leluasa menembus ozon yang dicuri di air kemasan
jadi hitam menyebar ke permukaan air tanah yang asin menunggu gunung
pindah ke kota bukan sekadar jalan namun menetap karena rumah-rumah
ditinggalkan para penghuninya yang cari bara kesenangan di luar pikiran
mereka yang sebelumnya tabu diungkapkan kena demam berkesudahan setelah
rock n roll berkumandang tinggi dan kering berahi jadi kram kopi anti
tidur mengambang diatas contekan kepercayaan yang meragukan ketika
diskusi dilanjutkan putus-putus oleh diksi yang kurang lebih dikenal
wajahnya teraba lekukkannya tak tertembus makna dibaliknya yang samar
oleh kelambu pemasaran di lantai lain sebuah rumah bertingkat-tingkat
yang telah kosong sebelum waktu singgah bertamu di depan pintu dengan
gambar anjing dan peringatan atas kebebalan pagar bertemperamen tinggi
menutupi setiap lapis ketakutan pengetahuan tentang ketidaktahuan
orang-orang yang tahu dimana mencari tahu
: di sana ada pintu yang tidak pernah terkunci berisi hasutan yang
lebih pintar dari perang yang tak berkesempatan menengok ke belakang
karena di muka ada kegemilangan yang centang perenang menunggu
tuan-tuan yang dipaksa waktu pergi meninggalkan rumah-rumah mereka saat
senja
widhy|sinau
Thursday, 13 July 2006
PUTAR FILM
Start: | Jul 29, '06 9:00p |
End: | Jul 29, '06 11:00p |
Location: | Kedai buku Sinau Jakarta, Jl. Bekasi Timur 1, no.32, Jakarta 13350 |
Film tentang troubardour ini dibintangi oleh Joh Travolta
PoetCorner
Start: | Jul 15, '06 8:00p |
End: | Jul 16, '06 1:00a |
Location: | Kedai buku Sinau Jakarta, Jl. Bekasi Timur 1, no.32, Jakarta 13350 |
Saturday, 8 July 2006
Sendok Garpu Bebotolan
air menyela keheningan. Bulan masih saja bergelantungan di dedahan
pohon waru. Kolam sudah tak penuh ikan, sebab airnya terlalu gelap.
Kelam. Bahkan, sudah terlalu diam bagi dunia gaduh tak berkesudahan.
Dari dalam kamar, engkau mendengar, denting. Sepertinya, engkau
berpikir, ada yang mengetuk-ngetukkan sendok garpu ke beragam
bebotolan. Mengetuk bergantian. Berdenting serupa perkusi
gamelan.
Semua orang sudah tidur. Engkau masih saja memperhatikan beragam
bebotolan. Ada yang langsing, bulat, tegap, kuntet bahkan gepeng. Ada
warna bening, gelap, hijau juga coklat. Semua bebotolan kosong, engkau
perhatikan seksama sambil membayangkan asal mula musik perkusi gamelan.
Engkau pun lalu mengambil sendok garpu. Dan entah dengan cara apa
engkau menggabungkan bayangan makan malam dengan musik perkusi gamelan,
bebotolan mulai berdenting. Denting serupa perkusi gamelan. Denting
magis yang serupa santapan makan malam. Denting yang masuk, merasuk ke
dalam bentangan mimpi semua orang tidur,
hingga terbangun. Semua orang terbangun. Bentangan mimpi tersaput
taring-taring bunyi. Taring yang seakan-akan memangsa bentangan mimpi.
Taring yang seakan berfungsi menyalurkan santapan makan malam bagi
engkau yang sedang larut memainkan musik perkusi gamelan dengan
rangkaian pergantian sendok garpu mengetuk-ngetuk bebotolan. Semakin
didera taring-taring pada mimpi, semua orang terbangun bergegas
mengaduh. Berteriak, memanjat, meloncat, berjalan, hingga
dengan cara yang entah bagaimana sudah berdiri di depan engkau dengan
wajah muka memerah, otot leher menegang, tangan mengepal, bergetar
seluruh badan dengan mata memejam.
Semua orang sudah tidur. Engkau masih saja memperhatikan pecahan
bebotolan. Engkau masih berpikir, berimajinasi, dengan cara
bagaimanakah bebotolan ini pecah. Lalu, kau menemukan jawab ketika
melihat sendok garpu di kedua tanganmu. Engkau memberanikan diri
menduga, penyebab bebotolan pecah karena ketukan sendok garpu yang
terlampau, terlampau ... asyik menikmati denting bebotolan. Denting
bebotolan yang dengan cara yang entah bagaimana berubah menjadi
taring-taring pencabik bentangan mimpi.
Engkau masih saja memperhatikan pecahan bebotolan, seperti memandang
remah-remah makan malam. Masihkah ada cara membunyikan, memusikkan
pecahan bebotolan menjadi perkusi gamelan? engkau berpikir,
berimajinasi. Sendok garpu bergerak pelan-pelan menuju pecahan
bebotolan yang sudah tampak menjadi remah-remah makan malam. Sendok
garpu bergerak perlahan mengumpulkan pecahan bebotolan, menyendoknya,
menggarpunya, lalu mengangkatnya bersama pecahan bebotolan, dan engkau
memasukkannya ke rongga mulut. Engkau mengunyahnya seakan mendengar
kembali denting-denting bebotolan yang diketuk-ketuk geraham dan gigi
gigi taring. Dan, mata engkau pun terpejam terhanyut dalam bentangan
mimpi bersama sama orang yang terbangun.
Semua orang sudah tidur, terbangun melihat engkau tertidur dengan
bebunyian yang mendengung di dalam mulut. Semua orang terbangun,
melihat engkau bermimpi sambil memegang sendok garpu di atas pecahan
bebotolan. Semua orang terbangun, lalu mendengar
hari sudah malam. burung burung pun enggan terbang. cuma suara gamelan
samar dan bebotolan samar terdengar, dan dunia gaduh tak berkesudahan
pun tertidur lelap bermimpi memegang denting bebunyian sendok garpu dan
bebotolan.
[Deif Feil]
Wednesday, 5 July 2006
Mobil Yang Sembahyang
Kebenaran datang di jalan curam menurun, berkelok dan basah oleh
kabut. Kebetulan bukan dari arah yang lurus. Doa kami adalah tunjukan
kami jalan yang normal. Sejak perjalanan serakah memakan usia kami
tanpa ampun. Dan anomali tertempel di tiap pikiran yang terbersit
tiba-tiba setiap kali akan mendapatkan celaka. Amien. Serempak dalam
perbedaan agama.
Sesuatu harus tampak indah. Aku adalah persepsimu adanya. Walaupun
begitu aku tak berubah hakikatnya. Begitulah keindahan. Sejak
ketelanjangan gagal menggagahiku, aku mencelup semua warna jadi kembang
setaman. Sesajian yang setia di agenda kerja. Setiap kali adalah kerja,
karena gerak adalah akar makna.
Bergerak dalam keadaan tetap adalah diam, definisi fisika yang tidak
berguna ketika segala rem tidak berguna. Momentum lebih tepat untuk
mendeskripsikan tubrukan antara takut mati dan percaya tuhan. Momentum
karena rem lepas kendali. Bebas. Maka satu-satunya jalan adalah
percaya pada supir yang ahli mengemudi. Itupun tergantung jenis mobil,
usia, dan waktu kadaluarsa asuransinya jika kita cinta benda. Mainkan
kopling dan gas dengan berani.
Ajal datang namun kelewat malam. Menginap sekamar bersama, ajal lupa
tugasnya. Warung kopi cantik jadi tempat selingkuh sempurna antara
tugas dan mimpi bawah sadar. Ajal bercerita disinilah ia mengumpulkan
orang-orang yang seiman dengannya. Dalam mabuk kita satu rasa, satu
bahasa, satu kata. Ajal dikeloni semalaman, pagi dibangunkan dupa
kembang setaman. Si pencipta keindahan.
Jalan yang curam menurun, berkelok dan basah oleh kabut
tanda-tanda rahasia alam. Rahasia yang hampir kita selalu ingin
enyahkan bukan pecahkan. Rahasia yang mengejar-ngejar rasa bersalah.
Pecahkan, pecahkan, pecahkan. Atau biarkan ketidaktahuan sehingga
tanggungjawab mencari tubuh lain. Siapa yang menghuni tubuhmu kecuali
rahasia yang cuma bisa dibuka ajal yang mabuk dan kemalaman di warung
kopi cantik. Pecahkan, pecahkan, pecahkan sebelum ajal dan rahasia
mempertemukan perasaan yang dimabuk dupa kembang setaman, ramuan
keindahan. Mimpi bawah sadar jadi hambar, rahasia dipecahkan, kadang
tersebar sampai jauh, kadang jadi lagu blues, kadang dibiarkan saja
pergi tanpa tiket kembali.
Mobil kami sembahyang tiap pagi. Kami terkena najis. Silahkan percaya,
jalan hidup mobil yang sudah tidak layak secara ekonomi itu benar-benar
dipenuhi keberuntungan. Tuhan mobil yang kebetulan asembling Jepang itu
tidak kami ketahui dengan pasti. Dupa dan aroma kembang setaman seolah
jadi penghubung antara takdir dengan keberuntungan. Dunia kebetulan.
Dunia yang tidak pernah bisa diduga.
Mobil cinta yang akan jadi nostalgia. Tempat perasaan diaduk sejak
teknologi sms jadi tempat kecelakaan setelah kerbau, dan segala
binatang liar jadi gambar di rambu jalan. Sms yang mengaduk hati setiap
penumpang dan supir yang ternyata bermasalah dalam satu atap mobil. Sms
yang tidak akan berhenti, sampai pulsa habis. Sementara mobil mengejar
ajal yang bangun kesiangan dalam kecepatan yang tetap, diam menurut
fisika. Kami sebenarnya saling berdiam walau sms berkejaran dengan ibu
jari dan debaran hati. Please reply...Berempat serempak memohon...
Mobil bergerak cepat di jalan lurus mendatar, ajal berhasil kami lewati. Bye.
Di tempat minum, Walk of Life-Dire Strait mengumandang...
action, emotion, dedication, divotion, walk of life...
widhy | sinau
Saturday, 1 July 2006
pesta buku jakarta 2006
Start: | Jul 1, '06 8:00a |
End: | Jul 9, '06 9:00p |
Location: | istora senayan jakarta |
pelataran istora senayan
1-9 juli 2006
Memang Sepak Bola Bisa Menyebalkan
Tujuh jam kemudian, tepatnya setelah 18 menit pertama pertandingan
Jerman-Argentina bermula, rasanya ke-warga-negara-an aku pun berubah.
Aku bukan lagi Indonesia, negara berbendera dua warna saja, merah
putih. Warna aku lebih variatif, biru muda, putih, bermotif garis, juga
lengkap dengan bagian tengah bendera terisi lingkaran yang menyerupai
matahari berwarna kuning. Lalu, rambut aku pun serasa kembali memanjang
melihat Juan Pablo Sorin menggelandang bola dan tubuhnya. Lantas, aku
pun berubah rasa menjadi sahabat paling dekat Riquelme; bahkan aku juga
turut menanggung beban yang dipanggul penyerang depan, Hernan Crespo.
Lantas,
selama lebih dari setengah jam aku merasa hidup bersama lawan yang
paling jelas. Lawan yang lebih menakutkan dari setan! Tentunya, kalau
setan itu memang ada. Lawan yang berjumlah tak jelas. Kadang sangat
sedikit, kadang berubah menjadi banyak. Semua tergantung kecerdasan.
Apakah Ballack bisa bekerja sama dengan Lahm menjadikan umpang crossing
bagi kepala penyerang panjang Klose? Untungnya, Jerman malam itu, di
episode pertama, bermain lemah. Ayala, Gonzales, Rodriguez dan Tevez
memang bermain cemerlang, meski kedudukan masih tetap seperti awal si
kulit bundar di tendang dari titik tengah lapangan Berlin, Jerman.
Lalu,
aku menikmati segelas kopi pahit, menyalakan rokok, menanti babak kedua
sembari menertawakan dua mahluk pengisi layar kaca yang berkebangsaan
Indonesia, mencoba mencari kira kemanakah arah pengakhiran
pertandingan. Tapi, cuma satu hal saja yang aku ingat, saat lelaki
pembawa acara, aku lebih suka menyebutnya pengembara acara, bertanya :
Apakah yang harus Jerman lakukan di babak kedua? Lantas diam sejenak;
bersambung : Juga Argentina. Ronni Pattinasarani berkata, entah apa aku
lupa sebab aku sedang nikmat-nikmatnya membaca cover buku Filsafat
Taqwa, Keyakinan Membebaskan Kaum Yang Sesat; entah karangan siapa
pula, aku rasa ini hanyalah imajinasi saja. Dan,
lapangan Berlin seakan memancarkan sinar. Lelaki tua berambut usia
senja mengenakan setelan jas biru sudah tampak unjuk-tampang di layar
televisi kaca. Juergen Klinsmann, lelaki parlente berkemeja lengan
panjang celana standard warna hitam sudah siap tegang, pun ambil bagian
nampang di layar televisi kaca Akira. Dari ruang pengganti, dua puluh
dua pemain berlari, keluar dari liang menuju lapangan pertarungan.
Permainan pun mulai!
Bola sudah bergulir dari titik tenang lapangan. Kegelisahan pun
menanjak seiring ke-warga-negara-an biru putih bergaris-garis makin
melekat di dalam benak hingga jiwa. Semakin waktu bertambah, semakin
mudah untuk menertawakan segala kebodohan pejuang Aria. Kegagalan umpan
yang kerap terjadi karena ganggu tarian Tanggo, makin membuat aku
serasa di atas angin sambil berkata : Ah, beginikah namanya berada di
atas angin? Ya, semua berlangsung lancar tanpa hambatan hingga di
menjelang menit ke-empat episode dua, saat Riquelme mengambil sepak
pojok pertama episode dua. Dan, waktu pun melangkah seiring putaran
bola yang mengudara pun pemain yang sudah tidak lagi berjejak di tanah
sampai kepala Roberto Ayala mengubah hukum alam arah dan laju bola
hingga terpaksa terhenti di dalam mistar jala sang penjaga gawang
Jerman Jens Lehmann. Itulah menit ke-49! 1 Argentina 0 Jerman. Gol!!!
Aku tertawa lega langsung menghina para pemuda berbendera merah kuning
hitam bergambar elang. Hingga,
Roberto Abbondanzieri pun diganti di menit tujuh puluh satu. Melihat
pengganti dia yang berambut panjang, aku pun tidak yakin; sekalipun ia
berkostum sama merah. Aku gelisah. Leonardo Franco bukanlah manusia
yang tepat menjaga gawang; sebab sepengingatan aku tiap penjaga gawang
berambut panjang adalah bukan penjaga gawang! Atau dengan kata lain :
Tidak ada satu pun penjaga gawang berambut panjang. Mungkin,
pengecualian saja bagi Rene Higuita, kiper Kolombia. Lainnya, tidak!
Usai penggantian itu, kegelisahanku semakin menggelora. Klinsmann
memasukkan darah segar Oliver Neuville. Ke-Argentina-an aku pun makin
mendidih, sejak Pekerman mengganti pengumpan bola ke kepala Ayala
dengan Esteban Cambiasso. Aku merasa diriku bermetamorphosis. Bukan
lagi diatas angin. Apalagi sejak kualitas David Odonkor mulai terasa.
Sejenak,
aku merasa hatiku berubah menjadi jala, lengkap dengan mistar dan
penjaga. Sepuluh pemain berseragam biru lantas menjelma menjadi sel-sel
darah yang sedang menghadang laju penyakit kuman. Bahkan bola bundar
pun aku rasa semakin kerap berubah tampang saat memasuki kawasan
pertahanan. Oh, Tuhan! Aku berharap, Argentina tetap menang. Kacau.
Sekacau ritme permainan Tanggo, jiwa aku kacau. Kegelisahanku memuncak
saat bola meloncati ubun-ubun kepala Podolski lalu sampai ke kening
Miroslav Klose, yang akhirnya menciptakan apa yang disebut dengan menit
80, suatu sebutan yang menjadi sangat berharga hari itu bagi seluruh
warga Kanselir Merkel. Gol! Dan, aku tertunduk,
melihat waktu sudah mencapai tengah malam.
Tiga puluh menit tambahan jantung aku makin berdebar. Hanya satu yang
bisa menyelamatkan aku saat itu : Bola kembali bersarang di gawang
Jerman. Bila hal itu terjadi, seluruh sel-sel darah aku kembali
berjalan normal dalam pembuluh, demikian juga dengan segala penat
syarat-syaraf aku akan lenyap mengetahui gawang Panser bergetar. Tapi,
semakin aku berharap, semakin aku ketakutan melihat Odonkor dan Ballack
yang rasanya sudah menjadi monster menyeramkan! Belum lagi ditambahkan
dengan Lahm, singkatnya aku melihat mereka sudah tidak lagi mengenakan
kostum putih. Tapi, hitam! Hitam, sangat hitam. Hingga, pertarungan
usai, berlanjut ke titik adu pinalti.
Ah, sudahlah. Leonardo Franco memang bukan penjaga gawang. Lehmann
menyeramkan. Dan, tak ada yang patut diceritakan. Argentina kalah,
Jerman merayakan kemenangan. Sejenak,
darah aku berhenti mengalir. Kepedihan pun aku rasakan. Aku akhirnya
mengerti, mengapa Esteban Cambiasso menitikkan air mata. Aku pun
memahami mengapa Roberto Ayala kehilangan gairah untuk beranjak tegak.
Juga aku paham mengapa Sorin harus tetap merangkul sahabat yang sudah
kehilangan daya bertahan. Aku juga paham mengapa ratusan ribu penduduk
kota Buenos Aires bahkan jutaan warga Negara Perak menyatu dalam
kesedihan. Bahkan, aku juga menyatu dalam ketercengangan suporter
Argentina yang memenuhi Olympiastadion. Seluruh mengharu-biru. Di
tengah kesesakan emosi pilu, aku mencoba
mengangkat segelas kopi, lalu meneguknya. Pahit! Bersamaan dengan itu,
aku pun bersyukur, betapa sepak bola begitu membantu aku untuk
mendapatkan ke-warga-negara-an baru, meski hanya berlangsung sementara
waktu. Dari pukul pukul 10 malam hingga jam 1-an. Aku pun tersadar,
sepak bola juga menyadarkan aku bahwa aku adalah warga negara penduduk
berbendera merah putih, Indonesia. Memang, pada kenyataannya aku tidak
memiliki dasar untuk menjadi larut dalam tangisan Argentina. Siapa
mereka disana, aku hanya tahu tak seberapa. Siapa aku disini, mereka
pun tak tahu begitu banyak. Cuma satu. Cuma satu memang yang menjadi
dasar aku larut dalam tangisan penuh haru-biru :
Pukul 15.00, 30 Juni 2006, aku dan Pak Medi taruhan. Segelas kopi pahit Warung Tegal. Aku memilih Argentina, Pak Medi Jerman.
tiba-tiba aku tersentak saat meraih kembali ke-warganegara-an Indonesia
di usai pertandingan sepak bola. Ada satu kalimat terpajang : Memang
Sepak Bola Bisa Menyebalkan!!!
[Deif-Feil]
Wednesday, 21 June 2006
Misteri!!! Bukan!!!
Pernah suatu ketika, ketika aku sedang tertidur, ada yang bersuara.
Entah siapa, aku tidak ingat namanya. Tapi, kurang-lebih, aku ingat
katanya. "Puisi itu adalah mahluk di dalam gua yang memiliki tiga ratus
lima puluh ribu mata yang tersebar di sekujur tubuh berlengan enam
ratus tiga pasang plus kaki tujuh ratus delapan puluh tiga koma enam
setengah; serta alat kelamin yang menempel di seluruh dinding liang
gua."
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sekitar dua minggu lalu, aku dan temanku bercanda di sebuah meja
bertaplak kotak-kotak coklat hitam. "Pancaran panorama landai menuju
nyanyi yang akrab, menghasilkan penampilan sebuah museum yang masih
bisa menarik." Itu kalimat dari temanku yang bila aku tuliskan Gibal;
tapi, menyebut: Jibal.
03 Juni 2006. Aku dan Gibal memperbincangkan puisi-puisi Temy.
(Sebenarnya, yang aku tuliskan ini bukanlah risalah analisa atau apapun
namanya yang entah-entah. Aku cuma mau menyebutkannya sebagai: curhat.)
Ada 18 puisi Temy Melianto. Dan, pastilah tidak semua kami manisi
satu-persatu. Ada yang hanya diseruput, ada yang hanya dicium harum,
ada juga yang hanya, ah entahlah.
Dua hari lalu, aku dan temanku berdebat. Maklum, di jaman demokrasi
yang tak pernah jelas berasal dari mana untuk apa dan bagaimana
perwujudan lengkap dengan ragam persyaratan, perdebatan sebagai bentuk
dari ke-modern-an peradaban. Apa itu kritik? Dan, apa pula fungsinya?
Alhasil, tidak ada yang terjawab tuntas. Malah, mungkin saja kami
saling marah.
Minggu pertama bulan Juli, aku membeli sebuah buku 'Perihal Kontrak
Sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik'. Jean Jacques Rousseau.
Harganya: Rp5.000. Hingga sekarang, aku sudah sampai di halaman 14,
tidak ada yang jelas bagi aku; kecuali:
Rousseau berusia 56 tahun ketika menikahi Therese Levassuer. Dan,
sepuluh tahun kemudian, Rousseau meninggal dunia. Nanti, 2 Juli,
peringatan 228 tahun atau dua ABAD lebih kematian Rousseau. Apakah
kematian juga bersifat politis? Entahlah.
Aku kembali mengingat tanggal 3 Juni. Sebulan sebelum peringatan
kematian Rousseau, tentu jika paket programt tersebut sampai ke
Indonesia; atau sama sekali di Perancis tidak mengadakan acara
pengenangan-pengenangan seperti itu. Ah, tampaknya tidak mungkin. Aku
jadi teringat Samuel Beckket, beberapa bulan lalu di Gedung Kesenian
Jakarta, 50 tahun 'Mengenang Beckket'.
03 Juni 2006. Seperti mengunjungi 'museum'. Antik. Segala yang
terpajang memiliki perawalan. Permulaan. Entah diketahui atau tidak
bagaimana, yang pasti kapan ditemukan pastilah tercatat. Memasuki
'museum' berarti memasuki suatu bentuk keabadian temporer. Aku teringat
tulisan: 1794: Sisa tulang belulang Rousseau dipindahkan ke Pantheon,
Paris, dalam buku 'Perihal Kontrak Sosial dan Prinsip-Prinsip Hukum
Politik'. Demikian juga,
mengawali pembacaan puisi Temy, pembacaan yang memaktubkan ihwal
pe-lisan-an, termasuk pelisanan puisi hingga pelisanan ulang teks
tersebut, aku dan Gibal terseret arus masuk kedalam kondisi keabadian
temporer. Keabadian, suara masa lalu yang masih hidup. Temporer, ah
bukankah sekarang abad 21!?!
Adakah yang salah? Tidak ada, menurut saya. 'Museum' memang begitu.
Dan, satu-satunya lokus didunia yang fana ini, yang mampu menyimpan
keabadian adalah Museum. Kuburan, tidak! Dan, tidak ada yang salah
untuk memasuki Museum. Tapi, sangatlah salah untuk masuk Kuburan!
Apakah kematian bersifat politis?
Temy Melianto. 18 puisi Temy Melianto. Usai membaca, saya tahu bahwa
saya sedang membaca puisi. Tidak hanya itu, saya pun merasa sedang
membaca suatu puisi. Rasa dan nalar begini, rasa dan nalar yang menyatu
ini, tidak pernah aku alami begitu kuat. Seakan aku mengetahui: tulisan
Temy adalah Puisi. Biasanya, usai membaca suatu puisi, pertanyaan yang
muncul malah: "Apa maksudnya sih tulisan ini?" bukan "Ya..., ini
puisi!!!"
Saya sadar, respon yang saya alami tentu tak sama bahkan sebanding
dengan mahluk penghuni planet Bumi lainnya yang juga membaca suatu
puisi. Beda. Itu yang pasti. Dan, beda itu seperti Kuburan; sebabnya
jelas: sama-sama pasti. Dan, memasuki alam perbedaan memang membutuhkan
keberanian yang amat sangat. Kuburan bukanlah museum yang sudah
memiliki citra-citra rekreaktif.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku bilang, ingin mempersingkat sekian ratus kebingungan bilangan
desimal menjadi satu kata: Misteri! Suara itu menjawab: Bukan!
[D-v l]
Tuesday, 20 June 2006
Come On For Party
kepemilikan bersama?
bancakan?
aku mati maka kau mati.
pesta ini pesta senjang
pengetahuan juga pengalaman
kulumat ijazah
buku bukti
bukti buku
kau lumat mulutku
kata-kata jadi subur
di perut asing
bikin sensasi
sampai lupa beda
pesta ini pesta senjang
kerja keras milik siapa
kau berpikir aku melongo
aku berpikir kau bekerja
aku sudah bekerja
kau berpikir
aku sudah berpikir
kau melongo
aku berhenti
berpikir bekerja melongo
ajal kita tertukar kata
widhy |sinau
Juni 2006
Saturday, 17 June 2006
Wednesday, 14 June 2006
CINTA AKAN KEABADIAN DAN RASA INFERIORITAS:
Pertama-tama, ini hanyalah sebuah refleksi pribadi.
Jadi, sama sekali bukan transkrip atau deskripsi atas jalannya diskusi
di Kedai Buku Sinau. Sebagai refleksi pribadi, ini hanyalah pantulan
hati dan pikiran penulis atas jalannya diskusi tersebut.
* * *
Mengapa inferioritas ada? Mengapa rasa minder diri
itu muncul dan berkembang dalam diri? Apa yang sebenarnya terjadi
sehingga rasa minder ini muncul?
Ada banyak cara untuk memandang dan menghayati
kehidupan ini. Dan setiap cara mempunyai konsekuensinya masing-masing
bagi perasaan dan pikiran kita.
Dalam kehidupan sehari-hari, dalam perbincangan
sehari-hari, ya bahkan perbincangan yang tampak remeh-temeh belaka, di
situlah diseleksi dan ditempa cara pandang dan penghayatan macam apa
yang kita internalisasi dalam diri. Maka, berhati-hatilah terhadap
setiap kawan karena sesungguhnya setiap kawan menawarkan cara pandang
dan penghayatannya (yang mungkin sekali berasal dari warisan yang dia
internalisasi lagi dari lingkungannya) untuk kita internalisasi. Karena
setiap orang yang tak awas itu mudah sekali jatuh ke pelukan cara
pandang dan penghayatan sekelilingnya tanpa kritis, maka sesungguhnya
setiap orang hanya sekedar pewaris tangan ke-sekian dari cara pandang
dan penghayatan tertentu.
Seperti dikatakan, setiap cara pandang dan
penghayatan tertentu akan menumbuhkan konsekuensi-konsekuensi tertentu
terhadap perasaan dan pikiran kita. Maka, silakan perhatikan bagaimana
setiap cara pandang dan penghayatan diri anda membentuk perasaan dan
pikiran anda. Perhatikan, siapa yang anda kasihi, siapa yang anda
benci, siapa yang anda pentingkan, siapa yang anda acuhkan, siapa yang
anda ajak menyatu dalam kebahagiaan, siapa yang anda kecualikan dari
kebahagiaan dan seterusnya. Perhatikan pula, apa aktivitas yang penting
dan tidak penting buat anda, apa benda yang berharga dan tidak berharga
buat anda, apa yang anda anggap baik dan yang anda anggap buruk dan
seterusnya.
* * *
Rasa minder diri, konsekuensi dari cara pandang
apakah itu? Cara pandang dan penghayatan atas kehidupan yang
bagaimanakah yang melahirkan inferioritas?
Alam raya tampak begitu tenang dini hari ini. Langit
malam begitu hening dan damai. Apakah yang membuat alam raya begitu
anggun? Pernahkah alam raya merasa minder diri karena cercaan manusia?
Begitu takjubnya pada keanggunan alam, bahkan Musashi, sang pendekar
samurai Jepang, pernah sujud hormat kepada alam...
Rasa minder diri tak lain merupakan konsekuensi
niscaya dari cara pandang yang merendahkan kualitas kemanusiaan diri
sendiri dengan terlalu melebih-lebihkan kualitas kemanusiaan orang
lain. Dan mengapa cara pandang demikian bisa muncul?
Karena: cara kita menilai kualitas kemanusiaan yang salah.
Kita mengukur kualitas kemanusiaan atas dasar
kepatuhannya pada apa-apa yang dipujikan oleh khalayak ramai. Ketika
khalayak ramai memuji-muji bentuk tubuh yang langsing, maka ketika kita
gendut, kita pun minder. Ketika khalayak ramai memuji-muji orang yang
ber-hp, maka kita pun minder jika tak ber-hp. Ketika khalayak ramai
memuji-muji orang yang bersorban saat di masjid, maka kita pun minder
diri saat tak bersorban saat di masjid. Ketika khalayak ramai
memuji-muji murid yang nilainya 8, maka ketika nilai kita hanya 6, kita
pun minder. Dan seterusnya.
Ringkasnya, minder diri muncul dan tumbuh berkembang
menguasai diri saat kita merasa berbeda dengan khalayak ramai dan
berbeda dalam artian yang rendah. Kita merasa berbeda kelas, berada
dalam kelas yang lebih rendah, dari khalayak ramai.
Maka, untuk menyembuhkan rasa minder diri, kurasa
kita harus mengubah dulu secara menyakitkan cara pandang dan
penghayatan kita atas kehidupan yang sungguh-sungguh salah. Kenapa
menyakitkan? Karena setiap perubahan mental senantiasa menimbulkan rasa
tak nyaman, rasa tak enak dalam diri. Batin kita bukanlah mesin yang
bisa dibongkarpasang seenaknya komponennya tanpa menimbulkan efek
tertentu terhadap perasaan dan pikiran kita. Percayalah itu...
Dan cara pandang macam apakah yang harus diinternalisasi sebagai gantinya?
Jawabnya ialah: perhatikan bagaimana ajaran-ajaran
mulia agama besar dunia mengajak kita untuk mengadopsi tolok ukur
manusia, aktivitas maupun benda macam apa yang harusnya kita anggap
penting, yang kita hormati, kita ikuti, kita sayangi dan sebagainya.
Ringkasnya, timbalah kearifan dalam agama anda, apapun agama anda,
bagaimana cara memandang dan menghayati kehidupan, bagaimana menilai
kualitas kemanusiaan manusia itu. Benarkah agama-agama besar itu
mengajak kita untuk menjadi bagian dari khalayak yang memuji-muji
kualitas kemanusiaan atas dasar bentuk tubuh, kepemilikan, gelar dan
sebagainya? Jawabnya terserah kepada anda.
Tapi, bagiku ada satu (atau paling tidak salah satu)
hal utama yang harus ada dalam cara pandang dan penghayatan hidup kita:
yaitu cinta akan keabadian. Keabadian itu berari melampaui ruang dan
waktu. Mensemesta.
Tapi, bagaimana aku yang hina papa ini bisa melampaui ruang dan waktu, bisa mensemesta?
Esensi manusia ialah dalam predikatnya. Predikat itu
adalah nama lain bagi dampaknya bagi yang lain, bagi yang selainnya.
Kerja adalah pengejawantahan dari predikat itu, adalah pengobyektifan
dari predikat tersebut. Kerja adalah cara kita mengabadikan diri kita,
menjejakkan keberadaan diri kita melampaui ruang dan waktu. Kerja yang
sejati ialah kerja yang ditujukan bukan saja untuk kini dan di sini
(yang terbatas), namun ialah kerja yang diabdikan untuk melampaui ruang
dan waktu, kerja yang ingin berdampak bagi ruang dan waktu yang luas.
Sebuah kerja yang mensemesta.
* * *
Begitu cepat waktu berlalu. Dan kata Disraeli,
“Hidup ini terlalu singkat untuk berpikir dan berbuat hal-hal yang
kecil.” Aku setuju.
Mari, berhentilah minder. Mari peluk cara pandang
dan penghayatan baru. Minder diri hanyalah penyakit buat mereka-mereka
yang bermental lemah yang membiarkan dirinya menjadi korban khalayak
ramai begitu saja. Sementara mereka yang cinta keabadian tak sempat
untuk minder diri karena dirinya begitu sibuk bekerja demi semesta.
Hidup ini terlalu singkat untuk diisi dengan pengalaman hidup minder
diri!!!
Semesta menunggu baktimu...
Eko P Darmawan (diskusi reboan)
8 Juni 2006
NB:
Kupersembahkan tulisan ini terutama buat mereka yang menderita depresi berat akibat minder diri...
Obatnya ada di jiwa kalian sendiri
Jadi kalian adalah tabib bagi diri kalian sendiri