Saturday, 30 December 2006

Puisi Filantropi



Keacuhan mengambil bentuk lain ketika telah terjadi reproduksi makna dari sebuah proses modernisasi. Ikatan kebertetanggaan menjadi ikatan yang dilandasi habitasi-profesi. Budaya kota sebagaimana modernisasi mengambil bentuk lain seperti informalitas menjadi organisasi formal, asosisasi sukarela diturunkan oleh kapitalisme melalui lembaga filantropis mereka. Sesungguhnya reproduksi nilai tersebut telah memproduksi sebuah pemahaman baru tentang kerja-kerja kolaborasi sosial.

Apa yang dipahami sebagai social intercourse memang menempati ruang otonominya sendiri, namun kerinduan untuk bertemu tatap muka dengan orang yang sama yang bukan klien, bukan pelanggan, bukan atasan dan bukan rekanan bisnis tetap hadir-setidaknya di kepala kawan-kawan yang memiliki satu hobby atau kawan lama. Kebutuhan seperti ini niscaya menempati setiap orang yang sadar bahwa hidup perlu jeda, tertawa dan memparodikan diri sendiri.

Puisi menempati ruang sukarela, kedermawanan kepada siapa saja yang betah melakukan kritik diri. Semangat kebebasannya setidaknya secara longgar dapat ditafsirkan sebagai sebuah oase bagi pengelana yang kelelahan.

***

Troubadour abad kita (di Indonesia) lahir, menempati ruang-merdeka. Kelas yang mengaku terdidik namun centil, ragu dalam bertindak, dan takut dengan ukuran-ukuran kualitas karena masih terkesima oleh demagog di bangku-bangku kuliah. Terkadang sangat manja. Ujungnya cuma ingin menyatakan dengan kenes ’aku mau uangmu’. Puisi filantropi hadir karena kegenitan yang sama. Lepas kerja puisi filantropi ini menghiasi kafe, jalanan macet, kaki lima, happening art sebuah simposium anti kapitalis, dan malam anugrah kesenian yang berhadiah jutaan atau piala sekelas RT. Kelas demagog barupun tercipta. Raksasa perusahaan dengan tampilan well educated person yang menempati bangku very important person, pada jamuan tunggal memperingati kelahiran maestro seni atau malam tujuh belas Agustusan. Disini puisi mendapat tempat seperti kebutuhan primer mengalahkan menu makan malam.

Puisi filantropi campuran yang cair dari idealita sepenggal dan hiburan slapstic, opera sabun, generasi tontonan iklan, campur sari genjotan libido dalam lanskap kemiskinan. Pengaburan dari ketidakberdayaan yang mengungkung. Produk gagal dari cetakan bernama sekolahan. Dan sebagai produk gagal tentu berdiskon tinggi, murah, namun jika dibagi gratisan merek perusahaan yang dermawan tetap dilabelkan. Alumni Akademia Fiksi. Bergelar honoris causa yang hampir muskil untuk dijelaskan jika dihubungkan dengan hidup sebenarnya dan capaian pengetahuan.

Kolaborasi kata dalam bait demi bait puisi filantropi, menyuguhkan keharuan layaknya bencana, merah jambu bagai remaja, gertak tajam demonstran bayaran. Gerakan kata-kata di dalamnya lebih menyerupai kolase, cuplikan dari pecahan-pecahan bacaan. Tak lengkap namun cukuplah sebagai sebuah simulasi emosi dari beragam referensi. Ada kebahagiaan, ada kejutan, ada ketakutan, ada kesedihan, ada kemarahan, ada rasa jijik. Emosi yang nampak seringkali hanya sampai pada citraan pembaca bukan pada isi bacaan yang seharusnya menjadi takaran.

Puisi filantropi tidak lahir dari perenungan dalam di puncak gunung, tapi lahir dari keramaian kesempatan dan peluang. Kadang kebuntuan deadline terpecahkan. Uang. Bukan disiplin layaknya misionaris. Gengsi bukan kebutuhan. Gaya hidup bukan karakter. Dengan demikian puisi filantropi sibuk mencari donor , layaknya multi level marketing maka multi level donor pun tercipta. Media kebudayaanpun butuh suntikan. Pada setiap ampulnya tetap dinyatakan independensi lembaga yang sekarat namun berusaha tegar tersenyum merah dadu. Puisi tetap hidup selama lembaga kebudayaan resipen tetap diinfus. Dalam social intercourse seperti ini kualitas, platform seni, digelontorkan oleh pelbagai media dan lembaga kebudayaan, disorongkan, diperdebatkan, sebuah simulakrum moral dalam memecah struktur ketimpangan budaya sesungguhnya. Karena suntikan, lembaga budaya seringkali mengalami obeysitas (kata rekaan penulis) sejenis ketaatan yang keterlaluan pada donor. Otentisitas karakter terabaikan, sebagai gantinya setiap kepala harus berisi kode moral universal, disahkan agar terlihat sesuai konvenan.

Puisi filantropi terbit sambil lalu. Ditakdirkan untuk ngepop, tergesa, informatif, dan menghibur. Perkara keabadian urusan belakang, karena gerak zaman tidak memusingkan kegelisahan kata. Jika dapat puisi filantropi dibacakan selebritas pada konser atau acara amal. Semangat membaca momentum seperti ini diturunkan dari konsep pasar. Pilihan pembaca (pendengar) dihadapkan pada kegagalan tampilan atau ketenaran empunya acara atau pada pengantar sampul atau pada pesanan resensi koran. Referensi lain tak sempat lekat karena well educated person hanya citraan dari duplikasi. Harus nampak terpelajar dan terdidik agar nampak berkelas. Kata-kata harus dicetak miring, dengan catatan kaki yang melimpah, kalau bisa isi dibuat membingungkan karena harus melihat ke pranala lain.

Puisi filantropi secara tak sadar hadir seketika. Kebiasaan. Puisi ini hadir dalam kemiskinan berbahasa. Sebagai sesuatu yang hadir dan lahir karena zamannya menghendaki demikian, maka puisi filantropi ini secara potensial mengalami ancaman kebangkrutan. Bukan cuma pada aset kata-katanya, namun secara ideologis akan mengacu melulu pada permasalahan dan perenungan dalam perspektif donor. Puisi (sebagai sebuah produksi) dalam tarian politik membutuhkan rujukan-rujukan, inter-relasi secara politik inilah yang dimaksud sebagai kepentingan ideologis. Alih-alih mengayakan jagad puisi, dialog para penggiatnya justru pada pengkutuban sanggar-kantong budaya (kelas kaki lima dan mahasiswa, atau kelas debutan berbakat) lengkap dengan ritual memitoskan don-nya. Kegigihan untuk menyampaikan pesan dari donor dermawan kepada khalayak umum menjadi misi utama.

Puisi filantropi layaknya ekonomi, memiliki kemampuan menyelewengkan, korup, ketergantungan, berutang pada donor. Pada hal-hal yang bukan milik kita. Posisi ini bukan anti ’asing’. Juga tidak dalam posisi berlawanan kau dan aku, kami dan kalian. Namun lebih dititikberatkan pada apa sesungguhnya yang menjadi harta bersama, bahasa. Kesanggupan untuk mempertahankan hak, melawan ketergantungan pada kuasa budaya lain, menjadi identitas sendiri, bahkan menjadi individualispun layak diperjuangkan. Puisi filantropi menganggap sepi idealisme macam ini.

Puisi filantropi begitu saja nongol, sekenanya, diagendakan, namun sulit juga untuk menyentuhnya dan meringkusnya sebagai subjek. Secara struktur kebahasaan masih harus didedah, namun motif dan tampilan luarlah-sebagai sebuah pertunjukkan-puisi filantropi ini jujur pada khalayak. Kejujuran ini sertamerta adalah bawaan kebaikan (limbah yang tidak dapat disembunyikan-good externallities) dari pekerja seni, khususnya penggiat puisi-disadari atau tidak. Kejujuran seperti ini efek samping kebiasaan yang didasarkan transaksi rutin, mode produksi puisi masa kini.

***

Filantropi menjadi metafora ketika realitas menulis penyair. Posisi penyair menulis peristiwa, tidak lagi metafora. Dalam kondisi kematian realita seperti ini filantropi ganti menjadi puisi. Realitas mati karena tidak ada kesinambungan antara masa lalu, masa kini dan masa depan, tentang awal dan akhir, hubungan sebab-akibat, semuanya terputus dari akal sehat karena ketiadaan kemungkinan yang bisa digali, ketakutan yang dikendalikan, seperti permainan curang dalam skenario judi yang adil. Satu-satunya pilihan menulis peristiwa, bukan metafora. Dongengan tulis yang menjadi jejak sejarah. Tokohnya fiktif, konteks ruang dan waktunya fiktif. Peristiwanya fakta, aktual, dan terus mengalir. Kata-kata dalam puisi menjadi nyata, intim, dan dapat disentuh, dikudap, digeret-geret dari ruang kerja sampai ruang tidur. Dengan demikian ia indah lantaran begitu hidup, sering mampir walau tidak dikenal, tiba-tiba familiar.

Filantropi menjadi puisi karena kemiskinan mengungkung kehidupan-kebebasan, ujaran-ajaran membeku di kepala menjadi dogma, kekayaan kata-kata dan budaya yang tidak dapat dijamah. Kasih manusia sama dengan rasa kasihan, iklan filantropi menciptakan pahlawan masa kini. Menjadi miskin lambat laun menyenangkan. Maka, kata-kata, budaya, dipungut dari pemberi dana. Dipas-paskan seolah kita pernah memilikinya. Kasatnya, filantropi menjadi puitis, begitu memesonakan. Kesukarelaan menjadi kewajiban. Puisi hadir seperti belas kasihan, meminta perhatian.

Puisi filantropi mencoba mengumpulkan semangat kolektif masyarakat, menyatukannya dengan kepentingan negara dan donor, hasilnya pengemis kolektif, di tingkat negara dan komunitas. Keduanya, baik negara dan komunitas menunduk pada kedermawanan perusahaan nasional, transnasional, multinasional, dan multi level donor. Bahkan pada perusahaan fiktif akal-akalan pengusaha negeri sendiri yang ingin mencuci uangnya. Modus ekonomi seadanya (subsistence), serba kekurangan (poverty), atau tergantung donor (donor driven) ini yang nampak pada kebanyakan penyair dalam berkesenian, namun belum tentu hadir dalam karya mereka yang terlampau nyata, perkasa.

Jika dalam ekonomi dikenal ungkapan ’underground economy’ dimana persoalan ekonomi langsung dilihat kejahatan pelaku (secara kriminal dan moral), maka puisi filantropi bekerja ’underground’ pula, bukan pada genre puisinya (struktur, bentuk, isi dan kejujuran ) namun pada potensinya (si pelaku-bukan karya) untuk mengkudeta bahasanya sendiri, ditahbiskan sebagai tafsiran realitas mayoritas. Perilaku ekonomi jenis ini, yang cuma berdagang sesuai pesanan donor, setidaknya membuat dunia puisi kelimpahan, seperti bantuan bencana, akankah dihadang keruwetan yang sama ? Sementara persoalan kemiskinan yang masih dan terus bertambah di Indonesia, bermetamorfosa menjadi metáfora. Sehingga sulit sekali percaya, adakah sebenarnya miskin dalam lanskap alam yang begitu kaya, budaya yang begitu berharta.

***
Secara magis kepercayaan tunduk pada ramalan masa depan. Publik seni yang secara pesimis dianggap berjarak (oleh kebanyakan seniman) dari proses berkesenian yang dipenuhi oleh imajinasi ternyata kecanduan pada metafora, mulai dari pemilihan presiden sampai meramal kebenaran kata-kata dari ramalan kuncen gunung berapi, penunggu pantai selatan dan imam rumah ibadah, konsultan asing, lembaga survei, media massa, pasar, cuaca, tentara, sampai infotainment. Bayangkan ramalan dari ramalan menjadi sebuah pekerjaan.

***

Masa depan selalu imaji. Imaji begitu dekat dengan keseharian publik seni kita. Masa depan adalah puisi. Puisi berurusan dengan akurasi dan temu kembali. Puisi secara sadar membuat akurasi imajinasi dengan mengekstraksi kandungan suatu citra, mulai dari sejarahnya, asal usul, kontur dan tekstur citra: kebanyakan diwakili kata-kata.

Mengibaratkan publik puisi (seni) berjarak dari posisi tidak memiliki kapasitas menafsirkan metafora jauh dari relevan. Penyair lebih baik memosisikan diri untuk menemukan kembali kritik diri. Tentang apa dan siapa dirinya. Bagian dari masyarakat yang gandrung imajinasi. Mendekatkan imajinasi puisi yang dibentuk oleh kesadaran diri-kritik diri dengan imajinasi yang dikaburkan menjadi halusinasi. Kemakmuran dari mengemis (baca: filantropi) adalah halusinasi. Secara patologis tak ada kekayaan dari kerja mengemis, tak ada harga diri, tak ada kebanggaan, tak ada kemanusiaan yang sejati hadir dalam transaksi penadahan tangan. Jika berkesenian nyemplung pada mode transaksi seperti ini apa yang bisa diharapkan dari konsep kritik diri, temu kembali kata-kata. Citra-citra menjadi ditentukan, kodenya jelas, seragam. Gagah boleh, tapi tetap tunduk kepada kuasa uang. Ujungnya tak ada kesesuaian antara pernyataan sikap di puisi dengan perbuatan.

***
Jika imajinasi menempati urusan spiritual menyangkut kepercayaan dan kemegahan. Dimana pencitraan spiritual sebegitu berharga. Maka berkesenian (puisi) dapat mencari kembali akar budaya kedermawanan dan kesukarelaan tanpa harus menadahkan tangan dan menghamba pada kuasa uang dan budaya. Citra spiritual sesungguhnya adalah hilangnya kemunafikan, dimulai dari cara bekerja dan bersahabat. Antara mencari uang dan berani membayar untuk sebuah korbanan, yang secara tegas dihubungkan dengan pengelolaan hak-hak dan kewajiban. Sehingga tanpa perlu menipu diri sendiri, puisi hadir bersama imajinasi masyarakat yang menginginkan perubahan yang berasal dan berhubungan langsung dengan spiritual mereka. Bukan imajinasi karitatif yang diusung puisi filantropi. Kemegahan capaian puisi yang hadir demikian adalah dengan kembalinya kedudukan moral pada posisi tepatnya, bukan pada metafora. Juga bukan pada puisi. Cuma ada dalam tindakan.



widhy | sinau

2 comments:

  1. Ini tulisan apa? kok kacau balau sekali, kawan?

    ReplyDelete
  2. kerutan atau kedutan
    begitu ditulis aku tenang, yang berkerut yang membaca he he he
    sebenarnya ini bagian dari pengantar yang belum selesai dari kumpulan puisi
    ide tentang filantropi yang menjadi puisi dan sebaliknya puisi yang bekerja seperti lembaga filantropi

    ReplyDelete