Monday, 1 January 2007
Risalah 2007: Manajemen kebetulan, manajemen sambil lalu dan manajemen akal-akalan.
Penguasa terburuk bukanlah yang suka memukul melainkan yang mengharuskanmu memukul diri sendiri.
Cadas Tanios-Amin Maalouf
Entah apakah ada perbedaan antara tahun lalu dan sekarang. Jika kita percaya dengan matematika sesungguhnya kecenderungan perubahan di Indonesia berdasarkan data yang ada adalah diminishing-menurun tidak bertambah baik. Setidaknya nuansa itu langsung saya dapatkan dalam kehidupan di Jakarta. Analisa paling sederhana adalah ketika kita sudah mulai menghabiskan tabungan kita. Perbedaan apa yang diinginkan dalam suasana krisis seperti ini ? Sementara transaksi ekonomi diluar sektor riil merayakan akhir tahun dengan kemenangan. Dan transaksi diluar sektor riil inilah yang menjadi indikator ekonomi bangsa. Diluar tembok analisa ekonomi saya harus kecapaian melihat pengemis dengan berbagai bentuk menjamur sebelum musim penghujan. Bertambah tahun semakin banyak. Dan lepas dari persoalan kesukarelaan keberadaan mereka sudah mengganggu afeksi dan motorik saya. 2007 setelah 2006, cuma itu penjelasannya. 2006 setelah 2005. 2005 setelah pemilu yang paling demokratis, setelah kita berhasil memilih pemimpin. Sebuah stepping stone yang diawali riwayat ‘paling’ dan pemimpin superlatifpun (setidaknya ini iklan dari para jubir kepresidenan dan intelektual yang selalu salah dalam meramal, atau tepatnya mislead dalam memaparkan data) terpilih dengan aneka macam atribut yang hampir jadi dongeng.
Di 2006 setelah hidup soliter. Gerak diam seperti gerak pikiran. Cukup banyak gunanya. Cuma dalam diam kita dapat menimang-nimang keyakinan. Di tahun 2006 saya menikah. Cari peruntungan. Karena rencana bisnis yang saya buat diawal tahun 2006 mentargetkan hal itu. Mengapa menikah termasuk rencana bisnis ? Karena bisnis buku dan kopi yang saya lakukan murni dari unsur hobi. Dan calon istripun diseleksi sehingga berasiran dan sanggup menambahkan nilai pada bisnis ini (karena satu hobby). Disamping harus mampu mengisi ruang sosialnya dan menjemput impiannya sendiri. Menikah merupakan pengalaman bisnis yang layak diuji cobakan, karena sudah banyak permintaan agar Sinau bisa dibuat di tempat lain. Persoalannya sistem franchise seperti apa yang sanggup menyertakan idealisme bukan bisnis. Sementara jika bicara keuntungan kedai Sinau masih jauh dari bisnis yang ideal, karena mendurhakai konsep manajemen.
Kedai Sinau mengalami kebangkrutan (dalam hitungan bisnis). Bukan pada visi tapi pada tataran operasional. Visi yang bagus ternyata tidak cukup. Aktivitas keseharian yang menuju visi tersebut yang tidak dimiliki oleh kedai Sinau. Aktivitas keseharian tersebut murni pada persoalan manajemen. Dan persoalan pertama dalam manajemen adalah kepemimpinan. Bagaimana seorang pemimpin memberikan contoh yang bukan fiksi (bukan lagi teori). Sementara kepemimpinan 4 tahun kedai Sinau seperti fiksi, melulu menciptakan tokoh kepahlawanan. Fiksi tentang komunitas yang bisa digembleng untuk mempercayai visinya sendiri dan bergerak maju bersamaan dengan orientasi bisnis, ternyata gagal dijadikan pengalaman nyata. Lagi-lagi persoalan kepemimpinan. Mungkinkah kedai bisa berjalan tanpa menghadapi persoalan manajemen seperti ini, dimana orang tidak menjadi maling buku, menepati kata-katanya untuk membayar utang? Ternyata tidak. Manajemen memainkan peranan penting. Keseharian adalah masa depan. Kebiasaan dibentuk dari aktivitas yang diulang-ulang setiap hari. Dan rutinitas seperti ini jika ditekuni ternyata memiliki tantangan, bagaimana menciptakan pasar dalam visi kedai Sinau yang cuma ingin menjual buku sastera dan filsafat, sambil berjualan kopi ?
Kepemimpinan mikro di kedai Sinau nampaknya sama bergetah di tingkatan negara. Sebagai pemegang kendali manajemen bangsa, pengelola negara sebenarnya sedang menciptakan fiksi, dengan menokohkan seseorang dan seluruh kabinet dengan perantaraan media massa, yang daya kritiknya perlu dipertanyakan ide dasarnya, apakah memang sebuah kritik yang disuarakan atau cuma berita dari jurubicara resmi yang sedang diungkap. Media massa sepanjang 2006 ternyata soliter, tidak sedang menjadi musuh ataupun menjadi kawan pengelola negara. Negara juga soliter tidak sedang memikirkan rakyatnya, malah menyuruh rakyatnya memukuli dirinya sendiri. Sebuah tindakan yang aneh yang dilakukan negara dan media massa. Mengapa negara dan media massa menjadi penting. Kerena dua institusi itu yang paling diharapkan masyarakat. Rakyat kebanyakan ditentukan oleh berita dan derita. Dua hal ini yang menjadi objek dua institusi tersebut. Pahlawan ditentukan oleh berita dan derita.
Rakyat korban manajemen, begitu juga karyawan-buruh. Mendurhakai manajemen setidaknya dapat ditelusuri dari tiga kebiasaan mengelola: pertama manajemen kebetulan, kedua manajemen sambil-lalu, ketiga manajemen akal-akalan. Manajemen kebetulan berlaku seperti ketika ada bencana, tiba-tiba kita sadar ada hal-hal yang perlu diantisipasi di masa mendatang. Manajemen kebetulan sama sekali tidak memperhatikan unsur masa depan dalam perencanaannya. Ia disebut sebagai manajemen semata-mata karena seolah-olah ada pengaturan, padahal sama sekali tidak. Manajemen kebetulan semata-mata ada karena kebetulan, kehadiran tiba-tiba, sehingga sangat reaktif, sepotong.
Kedua, manajemen sambil-lalu. Dalam manajemen sambil lalu aktivitas pengelolaan didasarkan pada obrolan sepintas lalu, rumor di sms, ilham yang sering hadir dalam emosi sesaat, biasanya dalam kemarahan. Manajemen sambil lalu ini sering salah kaprah disebut sebagai manajemen intuisi. Cuma batu asahnya saja yang tidak ada. Intuisi sesungguhnya adalah asahan, sedangkan manajemen sambil-lalu diasah dari obrolan yang seringkali datang dari orang-orang paling menyedihkan dalam cerita kehidupan. Dalam politik Indonesia orang-orang tersebut adalah purnawirawan ABRI dan birokrat sipil eselon satu purna bakti, tokoh politik yang menokohkan dirinya namun kalah melulu, pendeta dan ulama yang berpretensi kekuasaan an sich dan pemaksa atas keyakinannya, selebritas yang hilang pamor, dan orang-orang yang kehilangan terus menerus.
Ketiga manajemen akal-akalan, jika 2 jebakan manajemen tadi datang dari pemimpin maka manajemen akal-akalan datang dari bawahan-ummat-rakyat. Manajemen akal-akalan sering dijelaskan sebagai siasat, semacam tipuan gerak. Bawahan seringkali melakukan manajemen akal-akalan untuk menutupi kesalahan dan kecurangan. Berbagai alasan bisa saja disorongkan, intinya sebagai akal-akalan.
Jarak ternyata dimanfaatkan dalam mengelola negara. Jika penguasa melakukan manajemen kebetulan dan manajemen sambil-lalu maka rakyat melakukan manajemen akal-akalan. Sialnya, distorsi kata pemerintah dan penguasa sudah mendarah daging-rakyat menjadi yang diperintah dan yang dikuasai. Cuma akal-akalanlah yang bisa dilakukan oleh bawahan dan rakyat dalam bertahan hidup dalam situasi pengelolaan negara yang dilakukan secara kebetulan dan sambil lalu.
Dalam bisnis buku seperti yang dilakukan kedai Sinau-sebenarnya jarak yang jauh bukan persoalan-bukankah teknologi informasi menebas jarak ? Namun manajemen tipuan mendistorsi informasi, sehingga keputusan yang dibuat tidak berdasarkan kondisi sebenarnya.
Sebenarnya ada persoalan besar ketika bawahan dan rakyat cuma bisa mencuri-menjadi maling, bukan cuma permasalahan salah urus manajemen negara namun ada persoalan mental. Orang-orang yang melakukan manajemen akal-akalan adalah orang-orang kalah. Mereka tidak memiliki perlawanan. Tidak ada daya juang. Tidak ada cita-cita di tingkat komunal. Sebuah visi praktis bersama yang milik buruh-rakyat. Dan visi kolektif milik buruh dan majikan. Ada kegagalan serius dalam mengolah mental. Majikan yang semena-mena dan buruh yang menjadi penakut. Budaya yang terbentuk cuma budaya maling, besar dan kecil cuma ukuran pembeda.
Manajemen akal-akalan milik orang yang secara mental kalah. Sehingga perlawanan mustahil dilakukan. Orang-orang bermental kalah ini senang sekali diperintah dengan tangan besi. Memukuli dirinya sendiri. Otonomi dan kebebasan tidak menjadikan mereka lebih baik dan optimis. Yang ada dalam mental orang kalah adalah ketergantungan menyeluruh pada pihak lain. Dan usaha didefinisikan untuk ‘mencari kesempatan mencuri’ atau berpindah majikan. Daur hidupnya adalah membuat kesalahan, kehilangan, dan berganti majikan. Ritualnya memukuli diri sendiri dan berkeluh kesah tentang nasib yang tidak juga berubah. Menutup mata atas kemungkinan yang bisa dibuat sebagai harga dari sebuah kebebasan dan otonomi. Dalam perspektif ekonomi orang kalah macam ini tidak memiliki pilihan tapi dipilihkan. Orang yang tidak bisa memilih seringnya tidak bertanggung jawab pula atas apa yang dipilihkan kepada mereka.
Bagaimana 2007. Mendurhakai manajemen atau bencana manajemen. Bussiness as usual ? Di tingkat negara saya tidak ingin tahu. Tepatnya saya tidak butuh negara. Akan lebih banyak lagi tuntutan saya mengenai pengurangan peran negara. Apalagi pemerintahan yang berlangsung. Apalagi wakil rakyat yang semakin berjarak. Tentang kedai Sinau saya bisa cerita. Perubahan itu niscaya. Mau berubah adalah soal lain. Saya cuma ingin bercerita tentang beberapa tamu dan pengunjung kedai Sinau di Jatinegara yang cukup punya otonomi dan kebebasan dalam menentukan jalan hidup mereka, cerita tentang mereka dan kunjungan saya di kedai kopi dan buku menjadi resep kopi a la kedai Sinau. Mereka orang bebas, dan saya belajar banyak untuk mengerti manajemen, memberikan visi praktis. Mereka bergerak untuk mengurangi peran negara dalam kehidupan mereka sendiri. Ada yang membentuk asosiasi sipil atau bergerak sendirian, tujuannya meyakinkan orang lain dan menyebarkan rasa optimis-tentu dengan contoh yang ia lakukan sendiri. Kearifan seperti ini muncul dari orang yang belajar. Dan menempatkan impian-impian mereka di tahap kemungkinan, bukan di tidur siang. Menjajal setiap kemungkinan dan mengukur capaian. Kepemimpinan yang terus menerus belajar untuk tidak percaya pada pengkondisian ciptaan orang lain. Yang berani bersabda dunia itu tuna, aku yang menyempurnakannya. Dalam kemurungan yang nyaris sempurna, di kedai Sinau Jatinegara banyak orang yang berusaha mengobati dirinya. Mencoba bersikap seperti apa adanya, tanpa akal-akalan. Maka jika di tahun 2006 temanya Setiap Orang Yang Datang Adalah Orang Yang Tepat. Di tahun 2007 tema kedai Sinau menjadi Bayar dan Berkawan !
Bayar dan Berkawan ! Mengapa ? Dalam situasi serba kekurangan ada seorang Benny yang setiap hari datang di kedai Sinau Jakarta, jika banyak pelanggan di kedai, ia datang sebagai kawan dan diperlakukan sebagai kawan juga oleh kedai. Namun jika sama sekali, pada suatu malam, di kedai tak berpengunjung maka Benny dengan kesadarannya membayar secangkir kopi, yang cuma dihargainya 1000 rupiah dan menyodorkan rokok 369nya. Benny inspirasi Bayar dan Berkawan. Pengunjung setia yang setiap hari menjadi inspirasi. Benny seorang yang bisa menemani kita menikmati malam seperti siang hari-tidak sekadar termenung, bahkan bisa leluasa mengobati dirinya sendiri, bertambah baik setiap hari, mencicipi setiap kepahitan, berpijak pada realitas. Sebelumnya Benny adalah fiksi. Begitu juga cerita tentang komunitas yang pernah ingin direalisasikan di kedai Sinau Malang dan Jakarta, juga fiksi. Kemampuan membayar adalah harga untuk sebuah korbanan yang bernilai sama dengan pelayanan yang diberikan. Membayar adalah sebuah kebebasan, dan bukan suatu akal-akalan. Sementara komunitas di kedai Sinau seringkali berperan jadi pelanggan yang kapitalis (lawan dari tuduhan mereka mengenai pedagang selalu kapitalis-eksploitatif). Mengapa komunitas dan pelanggan/pengunjung bisa menjadi kapitalis, karena dibawah sadar mereka, komunitas bukan untuk memampulabakan diri mereka sendiri, tapi eksploitatif, serakah. Sikap eksploitatif ini berkedok kesukarelaan dalam berkawan-namun sesungguhnya parasit yang cuma ingin mencari makan gratisan. Bercerita fiksi tentang kepahlawanan dan kehidupan yang bahkan mereka tak sadari cuma kebohongan. Aksi kolektif yang ingin digalangpun selalu dibenturkan kepada pembiayaan (dan itu dibebankan/urusan kedai). Percobaan demi percobaan untuk bertukar pengalaman dan melakukan manajemen pengetahuan gagal dijalankan.
Bayar dan Berkawan ! Membayar adalah sebuah kesadaran untuk berkorban, membayar dengan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu. Sebagai sebuah korbanan ini tentu menjadi sebuah konsekuensi logis dan berlaku bagi yang ingin berkomunitas ataupun murni menjadi pembeli. Dan sesuatu yang didapatkan itu tentulah keuntungan bagi kedua belah pihak, penjual dan pembeli. Seseorang yang tidak serius menjual untuk mendapatkan laba atau bekerja sungguh-sungguh bukanlah orang yang rasional secara ekonomis. Andaipun ia beruntung maka ia cenderung tidak menjaga apa yang telah menjadi keuntungannya (ini karakter orang kalah). Konsep membayar adalah konsep ekonomi.
Sedangkan berkawan adalah pengakuan tentang identitas secara jujur-sehingga yang diharapkan adalah perlakuan setara, manusiawi dan personal. Di kedai semua pertemuan pertama dianggap sebagai kebetulan belaka, pertemuan kedua adalah keisengan, pertemuan ketiga adalah pelanggan, pertemuan keempat dan kelima adalah perkawanan, pertemuan keenam dan seterusnya mulai membicarakan impian dan kolektivitas. Berkawan adalah bicara logika ekonomi pula, dimana tugas dari perkawanan adalah memberikan bobot nilai dengan cara yang bukan berkaitan dengan pertukaran sesuatu dengan sesuatu senilai sama dengan sejumlah uang (menguangkan sesuatu atau mengukur dengan ukuran materi) namun dengan nilai-nilai yang dipercaya oleh seseorang (dan bagaimana orang tersebut menilai-menimbang sesuatu) dan membuktikan penilaiannya dengan tindakan bukan dengan kata-kata.
Bagaimana dengan nasib perkawinan ? Visi 2007 adalah perkawinan bisnis. Dimana terjadi dua institusi yang akan menggerakkan mimpi kolektif. Tentu ruang yang dibangun masih dalam koridor Bayar dan Berkawan ! Saya hampir percaya seratus persen bahwa lebih banyak keinginan dibandingkan kebutuhan. Dan keinginan tak kunjung habis. Seorang pembelajar bertugas mempelajari kebutuhan sehingga bukan menjadi orang yang selalu dipilihkan, dan belajar untuk bertukar lepas antara bermacam barang yang kita beri bobot nilai dan kita percayai bersesuaian dengan cita-cita kita.
Bayar dan Berkawan menjadi obat bangkit dari kebangkrutan. Semoga.
widhy | sinau
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
sick! (di urban dictionary=great=cool=completly wrong= just say hello=shalom=fresh=absolute new)
ReplyDeletemateri=uang=energi=kekekalan (bagi yang bergantung padanya)
berkawan=de-materialize xself = nilai = untangible asset = countable if you're there = nowhere = everywhere
kehadiran itu soal persepsi
pemimpin soal siapa yang mendapat giliran terdepan, karena bergilir dengan menggunakan teknik antrian pasti bergantian=kepemimpinan persoalan etika mengganti, menggilir semata
syaratnya bukan syarat 'harus' tapi syarat 'cukup' seperti yang tersebut: ada dua orang atau lebih
'you will not count the price, but you will count the cost'
bayar dan berkawan=price=value=cost