Wednesday, 14 June 2006

CINTA AKAN KEABADIAN DAN RASA INFERIORITAS:





    Pertama-tama, ini hanyalah sebuah refleksi pribadi.
Jadi, sama sekali bukan transkrip atau deskripsi atas jalannya diskusi
di Kedai Buku Sinau. Sebagai refleksi pribadi, ini hanyalah pantulan
hati dan pikiran penulis atas jalannya diskusi tersebut.

* * *

    Mengapa inferioritas ada? Mengapa rasa minder diri
itu muncul dan berkembang dalam diri? Apa yang sebenarnya terjadi
sehingga rasa minder ini muncul?

    Ada banyak cara untuk memandang dan menghayati
kehidupan ini. Dan setiap cara mempunyai konsekuensinya masing-masing
bagi perasaan dan pikiran kita.

    Dalam kehidupan sehari-hari, dalam perbincangan
sehari-hari, ya bahkan perbincangan yang tampak remeh-temeh belaka, di
situlah diseleksi dan ditempa cara pandang dan penghayatan macam apa
yang kita internalisasi dalam diri. Maka, berhati-hatilah terhadap
setiap kawan karena sesungguhnya setiap kawan menawarkan cara pandang
dan penghayatannya (yang mungkin sekali berasal dari warisan yang dia
internalisasi lagi dari lingkungannya) untuk kita internalisasi. Karena
setiap orang yang tak awas itu mudah sekali jatuh ke pelukan cara
pandang dan penghayatan sekelilingnya tanpa kritis, maka sesungguhnya
setiap orang hanya sekedar pewaris tangan ke-sekian dari cara pandang
dan penghayatan tertentu.

    Seperti dikatakan, setiap cara pandang dan
penghayatan tertentu akan menumbuhkan konsekuensi-konsekuensi tertentu
terhadap perasaan dan pikiran kita. Maka, silakan perhatikan bagaimana
setiap cara pandang dan penghayatan diri anda membentuk perasaan dan
pikiran anda. Perhatikan, siapa yang anda kasihi, siapa yang anda
benci, siapa yang anda pentingkan, siapa yang anda acuhkan, siapa yang
anda ajak menyatu dalam kebahagiaan, siapa yang anda kecualikan dari
kebahagiaan dan seterusnya. Perhatikan pula, apa aktivitas yang penting
dan tidak penting buat anda, apa benda yang berharga dan tidak berharga
buat anda, apa yang anda anggap baik dan yang anda anggap buruk dan
seterusnya.

* * *

    Rasa minder diri, konsekuensi dari cara pandang
apakah itu? Cara pandang dan penghayatan atas kehidupan yang
bagaimanakah yang melahirkan inferioritas?

    Alam raya tampak begitu tenang dini hari ini. Langit
malam begitu hening dan damai. Apakah yang membuat alam raya begitu
anggun? Pernahkah alam raya merasa minder diri karena cercaan manusia?
Begitu takjubnya pada keanggunan alam, bahkan Musashi, sang pendekar
samurai Jepang, pernah sujud hormat kepada alam...

    Rasa minder diri tak lain merupakan konsekuensi
niscaya dari cara pandang yang merendahkan kualitas kemanusiaan diri
sendiri dengan terlalu melebih-lebihkan kualitas kemanusiaan orang
lain. Dan mengapa cara pandang demikian bisa muncul?

    Karena: cara kita menilai kualitas kemanusiaan yang salah.

    Kita mengukur kualitas kemanusiaan atas dasar
kepatuhannya pada apa-apa yang dipujikan oleh khalayak ramai. Ketika
khalayak ramai memuji-muji bentuk tubuh yang langsing, maka ketika kita
gendut, kita pun minder. Ketika khalayak ramai memuji-muji orang yang
ber-hp, maka kita pun minder jika tak ber-hp. Ketika khalayak ramai
memuji-muji orang yang bersorban saat di masjid, maka kita pun minder
diri saat tak bersorban saat di masjid. Ketika khalayak ramai
memuji-muji murid yang nilainya 8, maka ketika nilai kita hanya 6, kita
pun minder. Dan seterusnya.

    Ringkasnya, minder diri muncul dan tumbuh berkembang
menguasai diri saat kita merasa berbeda dengan khalayak ramai dan
berbeda dalam artian yang rendah. Kita merasa berbeda kelas, berada
dalam kelas yang lebih rendah, dari khalayak ramai.

    Maka, untuk menyembuhkan rasa minder diri, kurasa
kita harus mengubah dulu secara menyakitkan cara pandang dan
penghayatan kita atas kehidupan yang sungguh-sungguh salah. Kenapa
menyakitkan? Karena setiap perubahan mental senantiasa menimbulkan rasa
tak nyaman, rasa tak enak dalam diri. Batin kita bukanlah mesin yang
bisa dibongkarpasang seenaknya komponennya tanpa menimbulkan efek
tertentu terhadap perasaan dan pikiran kita. Percayalah itu...

    Dan cara pandang macam apakah yang harus diinternalisasi sebagai gantinya?

    Jawabnya ialah: perhatikan bagaimana ajaran-ajaran
mulia agama besar dunia mengajak kita untuk mengadopsi tolok ukur
manusia, aktivitas maupun benda macam apa yang harusnya kita anggap
penting, yang kita hormati, kita ikuti, kita sayangi dan sebagainya.
Ringkasnya, timbalah kearifan dalam agama anda, apapun agama anda,
bagaimana cara memandang dan menghayati kehidupan, bagaimana menilai
kualitas kemanusiaan manusia itu. Benarkah agama-agama besar itu
mengajak kita untuk menjadi bagian dari khalayak yang memuji-muji
kualitas kemanusiaan atas dasar bentuk tubuh, kepemilikan, gelar dan
sebagainya? Jawabnya terserah kepada anda.

    Tapi, bagiku ada satu (atau paling tidak salah satu)
hal utama yang harus ada dalam cara pandang dan penghayatan hidup kita:
yaitu cinta akan keabadian. Keabadian itu berari melampaui ruang dan
waktu. Mensemesta.

    Tapi, bagaimana aku yang hina papa ini bisa melampaui ruang dan waktu, bisa mensemesta?

    Esensi manusia ialah dalam predikatnya. Predikat itu
adalah nama lain bagi dampaknya bagi yang lain, bagi yang selainnya.
Kerja adalah pengejawantahan dari predikat itu, adalah pengobyektifan
dari predikat tersebut. Kerja adalah cara kita mengabadikan diri kita,
menjejakkan keberadaan diri kita melampaui ruang dan waktu. Kerja yang
sejati ialah kerja yang ditujukan bukan saja untuk kini dan di sini
(yang terbatas), namun ialah kerja yang diabdikan untuk melampaui ruang
dan waktu, kerja yang ingin berdampak bagi ruang dan waktu yang luas.
Sebuah kerja yang mensemesta.

* * *

    Begitu cepat waktu berlalu. Dan kata Disraeli,
“Hidup ini terlalu singkat untuk berpikir dan berbuat hal-hal yang
kecil.” Aku setuju.

    Mari, berhentilah minder. Mari peluk cara pandang
dan penghayatan baru. Minder diri hanyalah penyakit buat mereka-mereka
yang bermental lemah yang membiarkan dirinya menjadi korban khalayak
ramai begitu saja. Sementara mereka yang cinta keabadian tak sempat
untuk minder diri karena dirinya begitu sibuk bekerja demi semesta.
Hidup ini terlalu singkat untuk diisi dengan pengalaman hidup minder
diri!!!

    Semesta menunggu baktimu...



Eko P Darmawan (diskusi reboan)



                Bogor Atas – Malang, menjelang setengah tiga malam

8 Juni 2006



NB:

Kupersembahkan tulisan ini terutama buat mereka yang menderita depresi berat akibat minder diri...

Obatnya ada di jiwa kalian sendiri

Jadi kalian adalah tabib bagi diri kalian sendiri






No comments:

Post a Comment