Wednesday, 21 June 2006
Misteri!!! Bukan!!!
Pernah suatu ketika, ketika aku sedang tertidur, ada yang bersuara.
Entah siapa, aku tidak ingat namanya. Tapi, kurang-lebih, aku ingat
katanya. "Puisi itu adalah mahluk di dalam gua yang memiliki tiga ratus
lima puluh ribu mata yang tersebar di sekujur tubuh berlengan enam
ratus tiga pasang plus kaki tujuh ratus delapan puluh tiga koma enam
setengah; serta alat kelamin yang menempel di seluruh dinding liang
gua."
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sekitar dua minggu lalu, aku dan temanku bercanda di sebuah meja
bertaplak kotak-kotak coklat hitam. "Pancaran panorama landai menuju
nyanyi yang akrab, menghasilkan penampilan sebuah museum yang masih
bisa menarik." Itu kalimat dari temanku yang bila aku tuliskan Gibal;
tapi, menyebut: Jibal.
03 Juni 2006. Aku dan Gibal memperbincangkan puisi-puisi Temy.
(Sebenarnya, yang aku tuliskan ini bukanlah risalah analisa atau apapun
namanya yang entah-entah. Aku cuma mau menyebutkannya sebagai: curhat.)
Ada 18 puisi Temy Melianto. Dan, pastilah tidak semua kami manisi
satu-persatu. Ada yang hanya diseruput, ada yang hanya dicium harum,
ada juga yang hanya, ah entahlah.
Dua hari lalu, aku dan temanku berdebat. Maklum, di jaman demokrasi
yang tak pernah jelas berasal dari mana untuk apa dan bagaimana
perwujudan lengkap dengan ragam persyaratan, perdebatan sebagai bentuk
dari ke-modern-an peradaban. Apa itu kritik? Dan, apa pula fungsinya?
Alhasil, tidak ada yang terjawab tuntas. Malah, mungkin saja kami
saling marah.
Minggu pertama bulan Juli, aku membeli sebuah buku 'Perihal Kontrak
Sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik'. Jean Jacques Rousseau.
Harganya: Rp5.000. Hingga sekarang, aku sudah sampai di halaman 14,
tidak ada yang jelas bagi aku; kecuali:
Rousseau berusia 56 tahun ketika menikahi Therese Levassuer. Dan,
sepuluh tahun kemudian, Rousseau meninggal dunia. Nanti, 2 Juli,
peringatan 228 tahun atau dua ABAD lebih kematian Rousseau. Apakah
kematian juga bersifat politis? Entahlah.
Aku kembali mengingat tanggal 3 Juni. Sebulan sebelum peringatan
kematian Rousseau, tentu jika paket programt tersebut sampai ke
Indonesia; atau sama sekali di Perancis tidak mengadakan acara
pengenangan-pengenangan seperti itu. Ah, tampaknya tidak mungkin. Aku
jadi teringat Samuel Beckket, beberapa bulan lalu di Gedung Kesenian
Jakarta, 50 tahun 'Mengenang Beckket'.
03 Juni 2006. Seperti mengunjungi 'museum'. Antik. Segala yang
terpajang memiliki perawalan. Permulaan. Entah diketahui atau tidak
bagaimana, yang pasti kapan ditemukan pastilah tercatat. Memasuki
'museum' berarti memasuki suatu bentuk keabadian temporer. Aku teringat
tulisan: 1794: Sisa tulang belulang Rousseau dipindahkan ke Pantheon,
Paris, dalam buku 'Perihal Kontrak Sosial dan Prinsip-Prinsip Hukum
Politik'. Demikian juga,
mengawali pembacaan puisi Temy, pembacaan yang memaktubkan ihwal
pe-lisan-an, termasuk pelisanan puisi hingga pelisanan ulang teks
tersebut, aku dan Gibal terseret arus masuk kedalam kondisi keabadian
temporer. Keabadian, suara masa lalu yang masih hidup. Temporer, ah
bukankah sekarang abad 21!?!
Adakah yang salah? Tidak ada, menurut saya. 'Museum' memang begitu.
Dan, satu-satunya lokus didunia yang fana ini, yang mampu menyimpan
keabadian adalah Museum. Kuburan, tidak! Dan, tidak ada yang salah
untuk memasuki Museum. Tapi, sangatlah salah untuk masuk Kuburan!
Apakah kematian bersifat politis?
Temy Melianto. 18 puisi Temy Melianto. Usai membaca, saya tahu bahwa
saya sedang membaca puisi. Tidak hanya itu, saya pun merasa sedang
membaca suatu puisi. Rasa dan nalar begini, rasa dan nalar yang menyatu
ini, tidak pernah aku alami begitu kuat. Seakan aku mengetahui: tulisan
Temy adalah Puisi. Biasanya, usai membaca suatu puisi, pertanyaan yang
muncul malah: "Apa maksudnya sih tulisan ini?" bukan "Ya..., ini
puisi!!!"
Saya sadar, respon yang saya alami tentu tak sama bahkan sebanding
dengan mahluk penghuni planet Bumi lainnya yang juga membaca suatu
puisi. Beda. Itu yang pasti. Dan, beda itu seperti Kuburan; sebabnya
jelas: sama-sama pasti. Dan, memasuki alam perbedaan memang membutuhkan
keberanian yang amat sangat. Kuburan bukanlah museum yang sudah
memiliki citra-citra rekreaktif.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku bilang, ingin mempersingkat sekian ratus kebingungan bilangan
desimal menjadi satu kata: Misteri! Suara itu menjawab: Bukan!
[D-v l]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment