Kepada Homeros, aku sempat bertanya:
Apakah ada pahlawan dalam epikmu? Dia cuma tersenyum sambil berucap,
"Apa yang kau baca?" Lantas, aku jawab saja: Keindahan!
Di
suatu malam, dengan cara yang cuma bisa dimengerti Tuhan, aku bertemu
Laksmi Pamuntjak. "Kita hidup dalam perang," katanya. Lalu,
seorang Belanda yang sudah meninggal dunia bercerita kepadaku.
"Sebelum terjadi pembuahan, 300 juta sel sperma disemburkan ke
liang vagina. Dari 300 juta sel sperma itu, cuma satu saja bertugas
membuahi satu sel telur. Lainnya, adalah sel pembunuh dan sel
pelindung. Jadi, satu sel sperma itu berenang berdampingan dengan sel
pelindung; melindungi dirinya dari gempuran sel pembunuh. Sesederhana
itulah muasal perang dalam kehidupan manusia."
Oktober
2006 lalu, Komite Nobel mengumumkan pemenang Nobel Perdamaian.
Muhammad Yunus dan Bank Grameen. Lewat bantuan mahluk penghuni baru
di Bumi, internet namanya (dan tentu saja dari 'berselancar' ke
http://moyas.multiply.com), aku menemukan artikel wawancara Muhammad
Yunus dengan jurnalis Times Ishaan Tahoor. 2030, di Bumi berdiri
Museum Kemiskinan, pernyataan Muhammad Yunus. Ditelisik lebih jauh,
pemikiran itu sudah ada di dalam dirinya sejak 1990-an. Perdamaian
dan Pengentasan Kemiskinan.
Selesai membaca artikel itu, aku
mengaktifkan 'play' di tape recorderku. Mungkin, ini suatu kebetulan.
'Imagine there no country...' Jhon Lennon. Mendengarnya, imajinasiku
bertualang ke masa yang tak pernah kuada, masa perang Vietnam. Berapa
nyawa yang harus melayang, hingga 'Godlob' pun memberanikan diri
menghadirkan tokoh ayah yang tega membunuh anak kandungnya sendiri.
'Kepada setan pun tak kuminta hukuman seperti ini,' begitulah kata
akhir sang istri setelah menembak sang suami pembunuh putranya.
Di
cerita, fiksi pun dapat menjadi fakta. September-nya Noorca M.
Massardi. Terheboh, polemik Gunter Grass dan Nobel Kesusateraan yang
diterimanya.
Mengingat itu semua, aku kembali terkenang
percakapan dengan Homeros, yang sepengetahuan aku ada spekulasi yang
menyebutkan nama itu fiksi. Maksudnya, penulis sebenarnya dari Illiad
itu tidak diketahui; ada yang menyebut bahwa karya itu ditulis
beberapa penulis, ada juga yang menyebut karya itu ditulis oleh
seorang penulis; tapi, semua sepakat memakai Homeros sebagai
pengarang Illiad.
Malam hari, aku melihat rubrik desain di
salah satu harian berskala nasional, bagi orang Indonesia; dan bagi
orang luar negeri bisa berarti berskala internasional. Desain,
khususnya arsitektur selalu berkembang. Mulai dari bangunan kastil
yang kokoh, hingga museum futuristik di, kalau aku tak salah, di
Spanyol (ah..., namanya aku lupa.) Bagunan-bangunan itu, semacam
hiperbola yang muncul dalam keseharian. Untuk Indonesia, contohnya
'ruang publik' pedestrian tepat di seberang halte busway Bank
Indonesia.
Aku berpikir: sebagai manusia, tampaknya kita tak
lepas dari hiperbola. Menghadirkan fiksi dalam kenyataan. Demikian
juga pahlawan. Sebab sisa perang yang kutemui cuma kuburan.
"Apakah
keindahan itu harus tragis?" pertanyaan aku pada Homeros, yang
dia jawab dengan menghilang.
[Deif-Feil]
Friday, 10 November 2006
PAHLAWAN, TRAGEDI FIKSI DI KESEHARIAN
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment