Perlahan sekali, samar langkahmu mendekati aku yang sedang duduk
berselonjor di bawah pokok randu. Ketika itu, langit begitu hitam,
bertabur ramai serak suara serangga, di antara kepulan asap candu,
tidak ada bintang dan rembulan menghias kekelaman. Pelupuk sayu mataku,
mengikut hentak irama kakimu melangkah, perlahan sekali, serupa degup
serambi jantung di tubir sakratul maut.
Aku merasa engkau meniupkan sesuatu ke telinga aku. Tiupan yang
menjelma jadi ratusan uap-uap candu yang berkelakar di alam nalar,
meloncati alam imaji, menarikan warna radiasi dalam lanskap ingatan
yang penuh ratus kenangan infantil, hingga menelungkupkan diri,
terangkat, melayang, terbang, menuju kehilangan di langit yang begitu
hitam. Pokok randu, selamat tinggal. Kata-kata itu, aku keluarkan
melalui jutaan celah pori-pori di sekujur tubuh aku; sebab aku tak
mampu menetaskannya melalui bibir yang kelu, lewat bibir yang terlampau
banyak menabur serapah, pun sumpah. Ketika itu, aku mengingat kembali
apa yang engkau lakukan di telinga aku, setelah begitu perlahan engkau
melangkah. Keping ingatan dan kenangan yang cacat cuma mencatat, engkau
meniupkan sesuatu ke telinga aku.
Bersama ragam warna radiasi yang memenuhi setiap ceruk nalar, bentangan
imaji, kilas-kilat intuisi, aku merasa engkau tidak meniupkan sesuatu
ke telinga aku. Telinga aku yang memiliki gendang penyaring, bukanlah
lokus yang tepat untuk merasakan tiupan serupa salakan angin yang
begitu enggan bersalaman dengan diam. Tersebab idnera telingan,
bayangan kabur dalam kepala aku pun menggemakan bunyi gempita:
Engkau berbicara. Sesungguhnya, meski pelupuk mataku sayu, pun padat
ragaku begitu rapuh, atau pijakan ringkih kedua belah kaki yang sudah
melampaui letih, aku masih sanggup berkira apa yang engkau lakukan di
telinga aku. Berkata! Atau, engkau meniupkan kata-kata, serupa aku
mengucap kata-kata "Pokok randu, selamat tinggal," melalui jutaan celah
pori-pori yang menghuni seluruh permukaan ari. Dalam tabung tubuh
menelungkup yang terangkat melayang menuju kehilangan di langit hitam
ini, aku mencoba kembali mengingat perkataan yang engkau tiupkan ke
telinga aku, sebelum kesia-siaan menjemput aku dengan satu tikaman,
tepat menghujam bidang payudaraku.
Aku mencari perkataan yang engkau ucapkan dalam relung ingatanku. Tapi,
segala upaya terbuai warna-warni radiasi dari gelinjang nalar pun
gejolak imajinasi yang melantakkan segala peka pada indra pelihat,
peraba, pendengar, penghirup, pengecap, meluruh hingga menghantam
gelombang jiwa gembala yang resah di padang sabana kelana, tapi tak
kunjung aku menemukan keping ingatan yang berisi perhiasan dari aksara
katamu. Ruhku semakin melayang bersama kepulan candu yang membubung,
menarik jiwa yang menggenggam mata, telinga, hidung, lidah dan selimut
kulit jangat yang menjuntai tipis seuntai, menuju kehilangan pada
kegelapan yang samar-samar menyanyikan nur bergemerlapan di kelindan
ranah kekacauan abadi.
Di ranah kekacauan abadi, kelindan jasad dan jiwa selalu bergelut,
bergumul, saling memagut, terkadang menunduk, sampai akhirnya pandu ruh
mengambil tahta berbicara. Aku memutuskan meloncat meninggalkan segala
menuju keheningan, ketiadaan, kekosongan, seragam dengan limpah
kepenuhan yang selalu mengucur meski perlahan serupa irama langkah
engkau yang mendekati aku yang sedang bermabuk ribuan candu.
[Deif Feil]
No comments:
Post a Comment