Wednesday, 18 October 2006

PARENTAL ADVISORY: KEBODOHAN YANG TAK BOLEH BELAJAR

Film 'Pocong' karya Rudi Soedjarwo dinyatakan tidak lulus sensor oleh
Lembaga Sensor Film (LSF). Alasannya, berdasarkan Koran Tempo edisi
Selasa 17 Oktober 2006, ada 9; diantaranya tidak bersesuaian dengan
norma kesopanan, menonjolkan adegan kekerasan dan kekejaman lebih dari
50 persen, hingga terkesan kebaikan dikalahkan kejahatan. Ketua LSF
Titie Said menambahkan pula dampak dari film itu. Menurut dia, film itu
dapat membangkitkan luka lama dan dendam akibat peristiwa berdarah Mei
1998.

Persoalan tidak lulus sensor mengartikan satu hal pokok, yakni
ketidak-layakan tayang. Mengingat kata 'ketidak-layakan', saya
terkenang pernyatan Franz Magnis Suseno di tahun 2003, tentang etika.
Persoalan rumit itu disederhanakan menjadi satu kalimat sederhana:
tidak semua hal yang dapat dilakukan (baca: kebebasan) boleh dilakukan
(baca: tanggung jawab). Pencitraan praktis dari inti etika tersebut,
kira-kira: meski semua manusia berpotensi (baca: dapat) membunuh, tapi
kerja membunuh itu sendiri tidaklah layak dilakukan. Bila ditarik lebih
panjang, persoalan ini bermuara pada kebebasan bertanggung-jawab.
Seseorang dapat dimintai pertanggung-jawaban atas perbuatan yang
dilakukan hanya bisa terlaksana apabila yang bersangkutan memiliki
kebebasan memilih tindakan.

Kembali ke soal film 'Pocong' yang berbiaya Rp3 miliar ini. Untuk
pertama kalinya, film ini haruslah dilihat sebagai salah satu mode
ekspresi kesenian, diantara sekian banyak mode ekspresi kesenian
lainnya, seperti sastra, suara, lukisan, teater dan lainnya. Dan, dunia
ekspresi kesenian ini pada dasarnya berlandaskan kebebasan atau semesta
probabilitas. Karena itu pulalah maka seniman memiliki keleluasaan
'boleh melakukan apa saja'. Namun, adanya keleluasaan ini tidak
mengandaikan bahwa seniman menihilkan soal etika dalam berkarya.
Seniman tetap memiliki standar etika, yang saya sebut dengan 'institusi
etika prifat'. Di dalam 'institusi etika prifat' inilah tersimpan mana
yang boleh dan tidak. "Institusi etika prifat' ini pulalah yang
memungkinkan Rudi Soedjarwo menghasilkan film 'Pocong'.

Keberadaan 'institusi etika prifat' didalam diri Rudi terbukti melalui
pembelaannya sendiri. Menurut Rudi--masih dalam artikel Koran Tempo
edisi Selasa 17 Oktober 2006--film Holywood dan tayangan televisi lebih
sadis dari film 'Pocong' yang ia buat. Tidak hanya itu. Film 'Pocong'
pun disebut Rudi memiliki pesan moral, yakni 'kita harus lebih takut
kepada manusia daripada kepada setan'. Pembelaan ini merupakan bentuk
pertanggungjawaban Rudi atas pilihan dan kebebasan ekspresi yang dia
miliki.

Memang, selama film 'Pocong' dibuat untuk konsumsi sendiri, keperluan
pribadi, maka tidak akan pernah ada masalah muncul. Tapi, ketika film
ini hendak masuk ke ruang publik, masalah timbul. 'Institusi etika
publik' menyaring hasil 'institusi etika prifat'. Kategori layak atau
tidak pun bermain.

Dari perspektif ini, terlihat jelas bahwa LSF berposisi sebagai
'institusi etika publik'. Lembaga ini menyaring hasil kerja Rudi
bersama rumah produksi Sinemart. Proses seleksi yang membutuhkan waktu
dua minggu dilakukan tiga tahap, dari kelompok pertama ke pelaksana
harian lalu ke pelaksana harian plus yang berisi agamawan, budayawan,
Badan Intelijen Negara (BIN) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Untuk kehati-hatian ini, saya pribadi mengucapkan salut. Namun, hasil
akhir yang menyatakan bahwa film 'Pocong' tidak layak tayang,
jelas-jelas menyakitkan.

Tentu saja, 'institusi etika prifat' milik Rudi beserta Sinemart
terlebih dahulu tersakiti. Dan, bisa jadi beberapa personal di LSF,
misalnya Titie Said  pun bersedih; sebab menurut dia kualitas
sinematografi, pencahayaan, akting dan dialog fim tersebut tergolong
'oke'. Selain mereka, saya pun merasa tersakiti. Dan, dengan menyadari
dasar keberadaan LSF adalah hak sosial individu yang dilimpahkan ke
negara, maka rasa tersakiti itu pun semakin menusuk. Dengan kata lain,
saya sebagai individu yang telah melimpahkan hak sosial ke negara
dengan kesadaran sendiri mengambil pisau dan menyayatkannya ke tubuh
saya sendiri. Ya, putusan LSF adalah putusan saya sendiri untuk
menghujamkan belati ke pembuluh nadi saya.

Disinilah keberatan dan ketidaksetujuan saya atas putusan LSF itu.
Menurut saya, putusan 'institusi etika publik' LSF melabelkan satu hal
ke 'institusi etika prifat' yang dimiliki tiap individu, yakni
kebodohan. LSF dengan kekuasaannya mengklaim bahwa publik yang bakal
menikmati film ini adalah sekumpulan orang bodoh-tolol yang tidak
memiliki standar etika. Dan karena itu, satu film Rudi
Soedjarwo--perkiraan saya berdurasi maksimal dua jam--mampu meracuni
khalayak penonton untuk berbuat kekerasan dan kekejaman seperti yang
ditampilkan film tersebut. 'Institusi etika prifat', khususnya saya,
dicap bodoh-tolol oleh LSF 'institusi etika publik'. Betapa, hak sosial
yang saya berikan kepada LSF ternyata telah disalah-gunakan dengan
merenggut kebebasan milik saya untuk menilai apa dan bagaimana film
'Pocong' itu.

Selain itu, hal lain yang menyinggung adalah dugaan bahwa film 'Pocong'
dapat 'membangkitkan luka lama dan dendam akibat peristiwa berdarah Mei
1998'. Kalimat yang disuarakan Titie Said, bagi saya naif. Dugaaan atau
kekhawawtiran atau ketakutan dalam pernyataan itu menyiratkan dua hal.
Pertama, 'kita' harus melupakan tragedi; Kedua, 'kita' harus hidup
damai tanpa 'luka lama dan dendam...' Saya secara pribadi menyakini
bahwa siratan pertama bukanlah pilihan posisi bagi seorang yang bernama
Titie Said, yang menurut saya, mampu merasakan derita yang dialami
korban tragedi itu. Ketua LSF ini pastilah bermaksud pada siratan
kedua, yakni 'luka lama dan dendam...' itu harus diselesaikan hingga
'kita' dapat hidup damai bersama.

Disitulah letak kenaifan LSF. Sebab, dampak tragedi Mei 1998 bukanlah
terletak di dalam film, melainkan di kenyataan itu sendiri. Apakah
Indonesia memang sudah menuntaskan sejarah kelam bangsa yang selalu
mengagungkan nilai ramah tamah dan sopan santun ini?

Di sisi lain, dugaan atau kekhawatiran atau ketakutan LSF itu ternyata
membongkar pola pikir 'institusi etika publik' ini. Melalui dugaan itu,
saya pun dapat melihat apa dan bagaimana film di mata 'institusi etika
publik' ini. Film bagi 'institusi etika publik' ini berada di atas
kenyataan. Dan pola pikir inilah yang berusaha 'mereka' suntikkan ke
kepala 'institusi etika prifat' yang kadung dicap bodoh-tolol. Film
melebihi kenyataan! Menurut saya, ini pola pikir yang salah. Seharusnya
'institusi etika publik' ini mempromosikan ide bahwa film merupakan
sub-ordinat kenyataan. Jadi,  sebagus apa pun film yang dibuat,
tetap saja kenyataan yang menempati posisi teratas.

Apakah putusan LSF ini bisa dibatalkan atau tidak--seperti perubahan
keputusan dari meluluskan menjadi menarik dari peredaran film 'Buruan
Cium Gue!' yang dikarenakan desakan 'institusi etika
prifat'-yang-memublik*--wallahuallam, saya tidak bisa memastikan. Yang
pasti, setidaknya hingga saat ini, 'institusi etika publik' menegaskan
bahwa 'institusi etika prifat' cuma berisi kebodohan, ketololan, tolol bakero belaka!
Bila sudah begini, kodrat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan dengan
derajat tertinggi (baca: memiliki akal budi) diantara semua mahluk
ciptaan-Nya pun menjadi semakin didangkalkan. Dan, jika memang benar
'institusi etika prifat' berintikan kebodohan, apakah saya, yang bodoh
ini, memang tidak berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi? Jika memang
benar demikian, saya terpaksa mengacuhkan keberadaan 'institusi etika
publik' yang menyebalkan seperti, maaf LSF cuma salah satunya saja di
Indonesia yang susah dicinta ini.







*: Saya sendiri tidak sependapat dengan desakan dan putusan menarik
film 'Buruan Cium Gue!' dari peredaran; sebab ide ini lagi-lagi cuma
menegaskan pelabelan 'institusi etika prifat' yang bodoh-tolol. Dan
'insitusi etika prifat'-yang-memublik cumalah kesemuan belaka, sebab
itu menjadi tirani 'institusi etika publik' semata.



--David Tobing--



No comments:

Post a Comment