Pramoedya Ananta Toer | PAT-selalu berkata, ini jamannya kalian, orang
muda! Perubahan selalu datang dari orang muda! Orang tua sudah memiliki
karakter, susah untuk berubah, sayangnya bangsa ini telah kehilangan
karakter!
Jika saja bangsa ini penuh dengan orang muda, apakah bangsa ini kembali berkarakter?
1 Mei, sehari sebelumnya PAT menurut berita masih mengepalkan tinjunya,
ketika Romo Mudji dan Budiman Soejatmiko membisikkan kata-kata sakti,
jangan pergi bangsa ini membutuhkan Anda! Dalam koma PAT mengepalkan
tinjunya! Aku cuma bisa menafsir, perubahan selalu datang dari orang
muda!
[semoga dalam komanya PAT berjalan-jalan ke masa muda,
dimana-hitam-putihnya dibaca oleh semua orang, kawannya dalam
berpolemik Chairil Anwar-yang lebih dulu abadi dalam kumpulannya yang
terbuang/seorang eksentrik, bohemian borjuis (kah) ketika bertemu dulu?
Sikapnya yang berbeda, juga cinta dengan Indonesia! Dia mati muda,
dengan kau tak kutemukan bedanya]
Venez M’aider
Datang dan Selamatkan Aku
Seorang PAT yang aku kenal tidak akan bicara seperti itu. Juga terhadap
Tuhan yang ia yakin ada, tak perlu diminta datang karena Tuhan sudah
memberikan kebebasan, otonomi kepada manusia untuk mengatur dan
menentukan nasibnya sendiri. Dalam berbagai kesempatan ia mengungkapkan
bagaimana manusia harus menjadi manusia [atau cuma memiliki pilihan
menjadi manusia] sehingga ia bisa memahami kemanusiaan secara utuh,
tidak teror, tidak aniaya, tidak melupakan sejarah kemanusiaannya.
Bagaimana dengan masa lalu PAT, ia biasanya terkekeh sambil menghisap
dalam-dalam rokoknya [cuma lelaki sejati yang merokok-katanya ketika menawarkan sebatang rokok kepadaku yang tidak merokok]. Itu pilihan. Masa lalu adalah bagian dari pilihan, yang tidak layak untuk disesali. Saya
masih muda. Cuma orang muda yang bisa membuat perubahan. PAT orang tua
serius yang suka bercanda, matanya kadang menatap tajam orang di
depannya-mencari kesungguhan, terkadang mata itu juga menerawang
jauh-sangat jauh, jam terbangku belum sanggup mengimbangi ulang-alik
PAT dalam satu momen pertanyaan. Ia kembali mengembuskan asap rokok
yang dihisapnya dalam-dalam. Dulu tidak ada orang yang mengemis untuk
sebuah tujuan, sekarang bangsa ini jadi pengemis! Semuanya, tidak yang
muda tidak yang tua!
Perlahan aku menafsir perubahan yang terjadi seperti tokoh Bakir dalam
novelnya Korupsi (1957), perubahan seperti umur, perlahan namun pasti,
membuat lupa diri. Bakir adalah kebanyakan manusia yang hidup diluar
pagar tembok PAT.
PAT menegaskan ada yang tidak berubah.
Aku, galau dengan angka 1957-2006, Bakir dimana-mana, sekarang
berjalan-jalan di puing Leningrad, Berlin, Perancis dengan identitas
Indonesia. Adakah yang tidak berubah. PAT menegaskan eksistensi
individu yang tidak berubah. Kekalahan bukanlah akhir segalanya.
Internasionale? Kekalahan seperti yang diajarkan dalam setiap novelnya
adalah liturgi. Doa kolektif. Maka setiap novel PAT walau eksistensi
individu adalah segalanya, namun tujuan kolektif-semangat kepahlawanan
adalah standar utama karyanya, dimulai dari kualitas individu, kemudian
kelompok. Bukankah itu Adi Manusia. PAT menjawabnya tidak, itu manusia
biasa-seperti kau, aku. Lantas kualitas kepahlawanan itu? Tak
sempat dijawab. Aku lagi-lagi mencoba menafsir, kejujuran untuk
menghadapi kenyataan, sambil mencoba memahami hakikat kekalahan. Itu
kemenangan sejati. PAT yang masih sangat njawani
itu yang aku tangkap ketika bicara tentang laku batin sang maestro.
Blora, Budi Utomo, kolonial, transisi, amis revolusi, P. Buru. PAT
mengatakan antara 1947-1965 saat dimana Indonesia penuh dengan rasa
percaya diri, membangun karakter, bebas dan mencari jati diri sebagai
bangsa - lepas dari paham politiknya-aku mengatakan dalam hati – dulu
standar kepahlawanan masih sangat jelas, tokoh politik keluar masuk bui
oleh penguasa – baik penguasa inlander atau asing tak pernah gamang
dengan sikap politiknya- tak mudah dibeli sampai mati-maka bui adalah
bagian dari keindahan bersikap- dan dahulu konon benturan sikap
bukanlah pengenyahan dan penistaan terhadap yang lain.
Sekarang…
Venez M’aider
May Day
Internasionale kabarnya berkumandang bagai azan sebelum dunia serempak
merayakannya…di Utan Kayu, digumamkan di Karet Bivak…30 April 2006.
Banyak pahlawan tentunya yang datang, dengan standar Indonesia (bisa
dilihat di nisan Taman Makam Pahlawan di seluruh tanah air Indonesia).
Sebelumnya, menurut kabar, PAT mengepalkan tinju untuk terakhir kali…
Anda masih dibutuhkan di Indonesia…
Sejak 2002, PAT diundang untuk bertamu di kota Malang…venez m’aider
(lalu aku malu karenanya). Logika ketuhanan digunakan ketika orang
terus menerus menjadi (merasa) kalah. Kekalahan adalah liturgi, tafsir
aku terhadap karya PAT.
Semoga PAT tidak jadi tuhan atau hantu di Indonesia.
Cukup kematian menjadi pembebasan, toh, kita sama-sama belum tahu,
sedang apa dia disana? Walau kematian cuma memisahkan jiwa dari
tubuhnya…
Tubuh PAT adalah lembar demi lembar sikapnya dalam setiap tulisannya…jiwanya adalah apa yang bisa dijadikan inspirasi…
Bagi aku, jangan merengek apalagi mengemis!
Venez M’aider (1890 Partai Sosialis Perancis mendukung hari libur bagi kaum buruh, jatuh pada tanggal 1 May)
Relevankah dengan tinjumu yang terkahir kali?
Aku masih mencari dalam beberapa tafsir.
Salam kepada Bung Chairil yang menjadi tetanggamu, juga nisan tanpa nama yang mungkin mengilhamimu dalam setiap tulisan.
widhy | sinau
No comments:
Post a Comment