Tanggapan Atas Artikel Abdul Halim: Playboy dan Paham Kebebasan, Koran Tempo/23 April 2006
--Sudah lama aku bertanya: Mengapa bayi lahir selalu menjerit.
Menjerit, sebutan aktif penanda suara raung-melengking; bebunyian yang
tak bisa kusetarakan dengan teriak tangis atau bahana tawa.--
Menjerit, sebutan aktif penanda suara raung-melengking; bebunyian yang
tak bisa kusetarakan dengan teriak tangis atau bahana tawa.--
Dua mahluk. Bertikai. Saling hantam, nyaris menikam. Membunuh. Dua
mahluk; pengadilan pun perlu. Tampaknya: harus membaku. Membeku.
Orang ketiga, muncul. "Itu kebebasan!" Dua mahluk, saling peluk.
Memukul. "Itu kebebasan!" Rasa merasa. Melangkah dekat. Prasangka. (Dua
mahluk, hanya merasa. Merasa bebas.) Orang ketiga, "Itu kebebasan!"
Salah duga.
Orang ketiga menilai, dua mahluk bebas. Bertikai, saling gampar, saling
hajar. Bebas. Modal ; Komunal. Komunal ; Modal. Perang. (Aku dengar,
orang ketiga: sama bebas berlandas sikap dialog, saling bagi,
solidaritas.)
Dunia tak pernah tua. Barangkali.
Ah, betapa, dua mahluk, orang
ketiga, merepotkan. Padahal, sama dungu saja. Mungkin juga tidak. Tapi,
kalau mereka--dua mahluk--bebas; lalu mengapa saling ... Kata tikai
lahir dari: kuasa. Kekuasaan. Modal ; komunal. Komunal ; modal.
Pertarungan kuasa! Perang! Bukan, bebas!
Ah, bila mereka--dua
mahluk--tentu mereka--dua mahluk--sadar batasan. Karena tidak bebas,
bebas mencuat. Meloncat! Padahal, di dasar tetap saja jurang tak
beralas.
Ah, orang ketiga ... rasanya
terlalu wibawa. Tak sanggup, --ku sentuh. Dua mahluk, punya kuasa,
saling hantam; dilihat bebas. Kuasa condong korupsi; bebas: laut bunga
di tengah dahaga.
Ah, orang ketiga, dua mahluk, sama.
Ah, semoga masih ada mimpi di negeri ini.
--Sudah lama aku curiga: pasti kematian dan air mata berkerabat sangat erat. Mimpi...--
[TO D.D VIA BGIN]
Kebebasan itu relatif...
ReplyDeleteKebebasan pun bisa opresif...
Ah, ada lagi yang baru. Jadi, semuanya relatif? Kalau semuanya relatif, mengapa harus ada kebebasan. Kenapa tidak hidup dengan kerelatifan saja.
ReplyDeleteKalau memang opresif, dimana relatifnya! Itu yang tidak jelas dalam komentar Anda.
Tapi, apa pun itu, teng-q.
Tepat sekali
ReplyDeleteKebebasan justru mencekik.
ReplyDeleteBuat apa kebebasan jika harus ada batasan?
Bikin rancu saja.
Kalau melek moral saja, gimana?
Masalahnya, apakah itu 'pelaku' menyadari bahwa dirinya sudah bebas; atau hanya sekadar perasaan saja. Menurut gua, antara orang yang bebas dengan merasa bebas ada perbedaan. Yang paling mudah diidentifikasi adalah dampaknya.
ReplyDeleteTerkait moral, itu sama saja. Selama 'pelaku' merasa bermoral, masalah cekik-mencekik pun tetap ada. Beda dengan 'pelaku' moral yang sudah tidak memperdulikan cekik-mencekik sebagai solusi.