Rating: | ★★★ |
Category: | Movies |
Genre: | Other |
23.04. pada sebuah lipatan. Aku duduk di depan televisi Akira sembari menikmati seduhan air plus teh celup yang sudah tinggal seperempat gelas.
Seorang lelaki memasuki sebuah rumah. Melihat tampangnya, aku mengingat satu kata yang dapat mewakili keseluruhan suasana batin dia: kesusahan. Tapi, yang paling memikat adalah sebuah pertanyaan: apakah aku sedang menonton film? Memang, diawal sudah diberi peringatan, genre: video prosa. (Ah, entah apa pula yang sedang diujicobakan?)
Aku jelaskan, perasaan itu timbul karena aku melihat tampang pun perawakan Ricardhus Ardhita. Maaf, aku harus menyebut; mungkin karena aku terbiasa menikmati sinetron yang mengandalkan tampang, hingga aku berkesimpulan: sepertinya bukan film, tapi dokumenter. Mungkin, Gama bisa saja berkomentar bahwa dia adalah aktor yang hebat, atau merupakan lulusan casting terbaik yang sudah dilakukan pihak produksi, atau segala macam argumentasi yang dibangun, dikukuhkan lalu menjadi kokoh. Oke, kalau begitu; perkenankan aku menggunakan perbandingan untuk memperjelas masalah; setelah paragraph ini.
Selang beberapa detik, tampang lelaki pun berganti. Layar terisi wajah seorang perempuan. Galih Pacar Ungu, namanya. Mengingat Galih, mengingatkan aku pada rasa yang tercipta dalam kisah roman Romeo dan Juliet; saat keduanya saling bertatapan mata dalam suatu pesta. Dan, karena Galih Pacar Ungu ini pula aku jadi memiliki kemampuan untuk menyimpulkan bahwa 'pada sebuah lipatan' adalah film. Oke, tentu saja aku tidak memungkiri, pikiran itu hasil dari tradisi menonton televisi di tanah air sendiri.
Ricardhus dan Galih, diam. Sepanjang film, kalaupun video prosa dapat diterima langsung masuk kedalam kategori film tanpa melalui perdebatan panjang, Ricardhus dan Galih, diam. Kediaman yang mereka lakukan sebenarnya tidak memiliki makna apa-apa; selain tampang: Ricardhus tampak susah, murung, resah, gundah, beragam siksa batiniah seakan berkumpul dalam dirinya; Galih tampak sedikit riang, baik hati, pemurah, pendiam, tentu saja ayu. Tapi, tak ada sesuatu yang berarti dari mimik yang mereka tawarkan; bila saja Teguh Hati tidak bermain menjadi penata musik di balik layar. Atau, Kelly sebagai penata cahaya (meski hasil yang didapatkan sebenarnya tidak optimal, menurut aku). Apa yang diperagakan oleh Ricardhus dan Galih, tak lebih dari aksi aktor Tora Sudiro dalam film 'Banyu Biru'. Tora Sudiro hanya mampu menyusah-nyusahkan tampang saja, tapi yang terasa malah dia tidak susah. Tora hanya mencoba seakan-akan tampak susah; hingga monolog pun harus dibuat untuk menambah efek resah. Sebabnya: tentu saja diakibatn tampang yang tidak memberikan tampilan kesusahan yang menyatu. Dalam bahasa sederhana, Galih dan Ricardhus serupa Tora Sudiro, memerankan kediaman dengan mimik yang tak utuh. (Hei..., aku pikir itu pekerjaan aktor kaliber; seperti kelompok Warung Kopi DKI. Hahahaha....)
Karena ketiadaan makna yang kutemukan didalam pewujudan si tokoh, aku pun beralih ke lukisan, bangau kertas, sofa, kipas angin, mug, baju coklat dan ungu Galih, kemeja lengan panjang Ricardhus yang entah berwarna apa, dilipat hingga persikuan, dapur, komputer tenteng, cermin, pisau cukur, lampu, pintu, gagang pintu, yang ternyata, tak memberikan pengertian apapun bagi aku. Hingga,
aku pun mengulang film untuk kedua kali. Ricardhus muncul, Galih muncul. Aku mencoba mendeteksi musik dan pencahayaan. Aku tertawa. Lalu, bertanya: ada apa dibalik lipatan? Cuma ada kenangan. Apa pula fungsi kenangan? Tak ada yang jelas; utamanya dalam 'pada sebuah lipatan'. Terlalu banyak yang harus diserahkan kepada penonton, aku rasa bukanlah film yang mencerdaskan. Haruskah bangau kertas merah yang tertimpa gelas atau tiupan kipas yang menerbang semua bangau;
sedikit menginterupsi: bangau kertas adalah simbolisasi harapan (tapi, harus diingat juga, 1000 bangau kertas simbolisasi harapan yang bakal terwujud);
menjadi alasan untuk mengenang harapan yang terbang? Harapan yang hilang? Harapan Ricardhus didalam diri Galih. Tak ada yang bisa aku benarkan. Harapan itu ada. Tapi, entah siapa yang berharap. Bukan Galih, bukan Ricardhus, mungkin; hanya aku saja yang berharap 'pada sebuah lipatan' memberikan kejutan diakhir. Tapi, ternyata tidak; meski harus aku akui aku sempat tergoda untuk menyimpulkan bahwa pada dasarnya video prosa penyerta buku 'kupu-kupu bersayap gelap' memang telah mengalami penggarapan ide yang matang. Sayangnya, pengejawantahan ide itu sendirilah yang ternyata menjadi masalah. Atau, ini semua karena aku yang kurang cerdas. Bisa jadi. Tapi, bisa juga tidak.
[David Tobing]
No comments:
Post a Comment