Seorang teman, mengajukan tesis. Mmmm, begini tesis dia. Hakikat
manusia adalah kritik. Wau..., aku terperangah. Belum pernah aku
mendengar tesis yang yang yang yang yang begitu gagah gagah nan
perkasa, mungkin juga perjaka perjaka perjaka.
Dengan tesis itu, dia pun memberikan implikasi logis dari manusia yang
benar benar benar benar manusia. Bahkan, bila mengikut atau mengutip
langsung perkataan dia, kalimat itu berbunyi, "Hakekat manusia, kritik.
Maka jelas, manusia yang sesungguhnya menjadi sedemikian sempurna
kebenaran akan kemanusiaan dirinya sendiri menjadi terbantahkan bila
manusia yang sesungguhnya menjadi sedemikian sempurna kebenaran akan
kemanusiaan dirinya sendiri mengingkari kritik!" Memang, pada saat
pertama kali aku mendengar serentetan bunyi perjaka, emmmm... mungkin
tak ada salahnya bila aku menggunakan kata perawan, ...serentetan bunyi
perawan, aku pun terpana. Aku tanya saja dia: Maksud lu? Akhirnya, aku
pun berhasil meringkas kalimat itu menjadi: manusia yang benar benar
benar benar manusia adalah manusia yang tidak mengingkari kritis
sebagai hakikat. "Ya, kurang lebih seperti itulah, meski tidak seperti
itu pula yang aku maksudkan, tetapi aku rasa dengan ada perkataan
benar, manusia, kritik, aku rasa kau sudah mengerti sedikit apa yang
aku jelaskan." Begitu dia berkata setelah aku menjelaskan hasil daya
tangkap otakku atas kalimat dia yang begitu perkasa perkasa perkasa nan
gagah pun perawan.
Tanpa sungkan dia menjelaskan, ketiadaan kritik mengakibatkan manusia
mati. "Meskipun begitu, bukan berarti manusia tidak mati bila ia tetap
melakukan kritik," balas aku karena dia meremehkan kecerdasan yang
sudah dengan susah payah--bahkan hingga berkeringat darah pula--ibuku
berusaha mewujudkannya. Sambil mendenguskan nafas dia pun berujar,
"Mati sebelum mati sesungguh merupakan kesialan yang berlipat ganda
deritanya."
Aku merasa kalimat yang dia lontarkan itu tak kalah perkasa perkasa
perkasa perkasa nan gagah gagah gagah pun perawan plus perjaka. Dia
lanjut menjelaskan, sambil mengerutkan kening, menatap jalang. Kematian
adalah kepastian. Menurut dia, berdasarkan teori yang dia bangun diatas
keyakinan dia, kepastian kematian lebih kalah pasti dari kepastian
kritik yang harus dilakukan manusia. "Jika kematian pasti, maka kritik
pun menjadi lebih pasti!" Begitulah kalimat yang paling sederhana
sederhana sederhana yang dia ucapkan kepada aku. Memang, segala yang
tertulis disini aku tuliskan seturut kemampuan aku beradaptasi dengan
penjelasan perkasa perkasa perkasa perkasa nan gagah gagah gagah pun
perawan dan perjaka yang dia selonjorkan di hadapan aku. Jadi, mungkin
saja aku salah mencerap. Tapi, aku pikir kemampuan aku untuk salah
mencerap itu berdasarkan keyakinan aku bahwa dia pun bukan orang yang
benar dan patut diikuti; atau harus diikuti. (Meski begitu, aku agak
sulit menentukan dia orang yang seperti apa. Sedikit banyak dia benar,
tapi rasanya terlampau banyak dia salah.)
Dalam hati, aku berucap: Itu sama saja pastinya dengan mimpi yang bakal
dialami manusia! "Ah, kau bermimpi!" Mendadak dia menarik nafas, lalu
menahan di diafragma, dan bersenandung: "Apa maksud kau?" menyetarai
kemampuan seorang diva opera. Kini, gantian aku menelurkan penjelasan
penjelasan penjelasan yang disertai dengan kekaburan kekaburan
kekaburan. "Mimpi," terang aku, "berada dalam posisi yang setara dengan
kematian. Sama pasti. Tidak ada yang menempati posisi lebih pasti.
Posisi superlatif itu khayalan. Setiap manusia pasti bakal bermimpi.
Sebabnya, sudah jelas. Manusia perlu tidur. Bahkan, ada juga yang dalam
keadaan terbangun bermimpi. Jadi, masalahnya bukan manusia yang sesungguhnya menjadi sedemikian sempurna kebenaran akan
kemanusiaan dirinya sendiri menjadi terbantahkan bila manusia yang
sesungguhnya menjadi sedemikian sempurna kebenaran akan kemanusiaan
dirinya sendiri mengingkari kritik,
tapi manusia itu harus memiliki bermimpi. Pasti kau bingung.
Sederhananya, mimpi itu pasti. Maka, damai itulah yang harus menjadi
kondisi ideal dari manusia yang sudah sedemikian rupa tercipta sejak
awal mula dunia ada untuk menghadirkan hukum-hukum demi terciptanya
kedamaian di muka kita ini." Aku melihat alis matanya mengerut, bahkan
hampir menyerupai dua ekor ulat hitam yang beringsut saling mendekat
hingga menyatu. Dia melepas nafas yang rasanya amat panjang aku dengar,
lalu berujar, "Itu pemikiran yang dangkal. Kalau dangkal, tidak ada
tantangan. Tidak ada tantangan itu berarti tidak perkasa. Tidak perkasa
itu, berarti tidak ada kritik. Itu artinya, kau sudah tidak menjadi
manusia lagi." Kalimat itu, ia akhiri dengan senyuman sinis, yang tidak
akan pernah aku lupakan; mengingat ibuku sudah dengan susah payah
hingga berkeringat darah berusaha mencerdaskan aku.
Demi kehormatan keluarga, terutama ibu yang membiayai seluruh proses
peningkatan kecerdasan aku, sederetan kalimat satir ini pun aku
ucapkan, "Tampaknya, kau perlu istirahat. Nanti baru mengigau lagi."
Aku langsung beranjak berdiri, melangkah pergi, demi kehormatan
keluarga dan harga diri.
"Tidak ada ukuran abadi untuk segala sesuatu! Kau memang tidak pernah
hidup dengan kritik, kecuali keabadian mimpi saja yang menghadiahimu
kenyamanan menikmati matahari yang tidak pernah terbenam ini!
Hahahaha....!!!"
[TO BGIN VIA D.D]
No comments:
Post a Comment