Mata tak juga menetap, lekat pada satu titik, yang berubah jadi kawan,
kehilangan, sampah, keinginan, syair, mata yang melihat, mendengar,
percakapan dari jauh setelah berjalan sekian lama berhenti di kedai
bukan kopi dengan penjaga berbadan besar, bertato, musik hingar,
alkohol, rock n roll dan lintingan ganja ditawarkan. Aman.
Wajah merah bukan tanpa sebab. TV dimatikan bukan tanpa sebab. Speaker
keras berdendang dengan lampu kedai bukan kopi nyala secukupnya. Mari
menambah energi malam ini. Tak cukup mengutuki orang-orang sesiangan,
orang-orang mentertawakan badut pentas yang sedang memerankan dirinya
kemarin. Hah hah. Siapa yang berhak mengatur laku. Dunia melukai. Luka
baik. Kesenangan kadang buruk. Luka baik ada di kedai bukan kopi.
Menarilah the dancer, mr.
Tambourine, mr. Brownstone, mr. Jumping Jack Flash, excuse mrs. where r
u? the stage is empty, your flesh fill my spotlight, berilah sedikit cinta warna putih air kelapa.
Selamat datang! Never old to rock n roll.
Kita tidak pernah tahu. Tapi aku layak bertanya, apakah aku masih ada
besok pagi. Tak ada penjamin. Enyahlah ukuran waktu. Sekarang waktu
baik untuk tidak berbuat apa-apa [ouwgh!]. Kemarin aku lupa. Besok
belum tentu ada. Mimpi kali ini butuh asupan. Kedai bukan kopi lebih
dari nyenyak setelah lapar bisa dinikmati.
Ketidaktahuan membawa rahmat, keingintahuan membawa bencana, terlalu
banyak tahu membuat frustasi, pencarian tahu kesia-siaan. Ruang ini
begitu penuh dengan malam. Pura-pura tahu malam tidak gelap, padahal
kejujuran ada padanya. Datanglah bersama cahaya dari benang-merah,
benang putih, sesuatu tentang kebajikan, kebijakan, kelayakan, giliran
prasangka membunuh perlawanan, tidak jauh dari sekitar letak hati, ada
tawaran untuk berdiam. Bersikap seperti hari libur, yang dipertanyakan
manfaatnya. Di kedai bukan kopi setiap teguk jadi liburan, dan
lintingan ganja seperti malam ploncoan. Aman.
Ini bukan sekadar tarian swing yang dinyanyikan group rock n roll.
Kemacetan selama ini cuma permainan. Tak hapal apa yang sedang
ditarikan. Tak ada maaf untuk kaki yang terinjak. Sengaja. Biar tetap
terjaga. Matamu semerah api naga. Kau tersenyum. Sukar untuk
dibayangkan. Bukan untuk minuman terakhir, pembicaraan tentang
perencanaan masa depan juga tidak bisa membuatmu senang, apalagi
setelah kata kepastian ada dan dikembalikan kepada masing-masing pihak.
Aku tak mungkin menentukan masa depan. Tetap tinggal, jangan berjalan
terlalu jauh dari titik berangkat.
Persepsikan waktu ini tidak memiliki tanda. Bukan tuhan atau hantu. Kau
sendirian saja. Rekreasi. Duduk diatas ranting yang dulunya singasana
belalang. Bukan seperti waktu ini, atau seperti waktu itu [‘dulu’ kau
menyebutnya tentang saat yang telah usai itu]. Ranting yang sama setiap
hari jadi ayunan. Kau belalang. Cuma tahu insting, akhirnya mati
setelah menunaikan kewajiban yang sebentar. Tapi, sebentar, waktu cuma
persepsi tanpa tanda yang jadi referensi perbandingan. Kau abadi dalam
persepsi tentang ada. Kau tak jadi mati. Namun, disini, semua berhenti.
Disana ada satu lagi yang seharusnya ikut berhenti. Botol ketiga.
Sensasi hasutan, dibesut dari bermacam buku filsafat yang kau baca.
ASLI
Bukan rampokan, tiruan, asembling. Siapa butuh standar. Kedai bukan
kopi menyediakan 90% mendekati uap ether. Sampai impianmu encer jadi
kotoran cair. Mengalirlah duka. Cukupkan. Rebahlah. Damai dalam ramai
yang tidak lagi mengganggu. Kau masuk ke masa kecil, masa bapakmu,
kakekmu, buyutmu, masa purba, dan monyet juga suka putih air kelapa.
Air surga.
Sampai dimana kita?
Kata bijak dari kering gurun bertutur, luka sesungguhnya tidak ada,
juga suka, jika kita tahu dimana tempat kita bermula maka semuanya
adalah sama. Identiklah luka dan suka. Kenikmatannya berbanding lurus
dengan intensitas pengalaman. Aku semakin dekat. Setelah waktu tak ada,
jarak perlahan menyingkir ke tepi. Jadi penonton di samping waktu, di
tribun paling atas, hening tak bergeming.
Tambah lagi! Masih aman.
Kedai bukan kopi berwarna pucat malam. Seorang kawan telah memberi kabar gembira-matahari tak pernah tenggelam. Never old to rock n roll. Fever Odd Two Lock Then Blow.
Lidah jadi kelu. Tapi aku masih mampu membaca pikiranmu, bahkan tambah
terang setelah bertemu leluhur di goa mimpi. Kau cuma mimpi yang lain.
Aku juga bisa berenang ke dalamnya. Kolam asap meluap dari dada ke
otak. Jadi tangan penjemput. Mari, ini aku, itu jalanku, ini cermin,
pandanglah, ada aku.
Semua titik jadi kunang-kunang. Bukan di Manhattan seperti Umar Kayam,
di depan kedai bukan kopi, sebelah-menyebelah dengan deretan
kedai-kedai kopi dan ketan bubuk. Satu buku tua laku, tentang masa lalu
yang jadi komik. Pahlawannya berhamburan keluar mencari yang lain.
Bosan menumpas kematian. Yang lain tak juga beranjak dari posisi
pembaca, duduk. Sialan, aku juga bisa! Pahlawan? Di ujung lain,
terngiang ucapan, merdeka (cuma) sekali saja. Bung!
Orang lalu-lalang, kapten kapal mau pulang, sambil memaki gravitasi bumi, juga matahari yang tak pernah tenggelam.
widhy | sinau
No comments:
Post a Comment