Selami Bayangan
direjam gerah
keringat buncah
jalanan riuh
pecah lolongan resah
bayangku setia dilangkah
rasa sepi mencekam
di lelah malam
lampu jalan remang temaram
kaki mengayun keram
bayangku tetap setia
menyilang kelam
dikelana penuh riam
pengembara menyelam
fitrahnya yang bersemayam
bayangan dalang semesta alam
tak kan karam di iklim yang runyam
Februari 2006. Jakarta
Suara Kemarau
makin jauh lari darimu
semakin kerontang melanda
kudatang membawa kemarau
seiring angin kering menerpa
jalan aspal batu koral
menuju bendungan kaki gunung
tubuh renta kebaya lusuh
mencangkung di keteduhan
memalu batu
di hulu
godam mendentam
pecahkan bongkahan
gemericik di pintu air
suara bening nyanyian sunyi
melompong cakrawala
kemukus entah mahkota
kota apa
nafas bukit rayapi permukaan
riak berlarian peluk tepian
kubuang kemarau hati
seiring pulangnya
para kuli batu kali
air mengalir untuk kembali
lentera siang di bahu
menjadi fajar di ufuk sana
1995. Cilacap
Cahaya Diri
ruang yang kudatangi
dijaga kilatan mata belati
mesin menderam lari sembrani
di kerongkong pintu
cermin sudah berdebu
membaca diri
yang adalah wujud kalam
sifat mustafa mulai sekarat
sapa diri dalam sholawat
bias safaat mencuat
di perilaku melekat
bukan dihiasan yang tersemat
"Bacalah"
kueja kejujuran
kutolak penghianatan
kuantarkan apa yang harus
disampaikan
kubuang kedunguan
rindu pada nabi
berjarak rehatan hati
Mei 2006. Jakarta
Lembar Impian
tinggalkan udara ramah
kemas segala kenangan indah
serta impian di selembar ijazah
malam dibedah kereta mendesah
gerus jarak seakan tak pernah lelah
pagi di gerbang kota
di pintu kereta
di setasiun tua
kata terucap sama
"Kalah siapa"
caling caling gedung meranggas
tak mau kalah kota pun beringas
dompet di saku sekejap amblas
masih tersimpankah harapan
menatap lekat lembar lamaran
langkah mulai berat mengayun
samar pandang tujuan
di kumuh terminal bersandar
dalam bis, sajak selembar
dibaca gemetar
berdamai dengan jalanan
tersadar di tikungan jalan
oleh setumpuk puisi penuh coretan
hari hari dilipat tahun
dalam syair tahun tahun dilarungkan
tabrak kebuntuan
lantang penyair jalanan
Januari 2006. Jakarta
Nyala Puisi
sepi
terus sepi
tantang yang bernyali
arungi sunyi sendiri
susuri jembatan gelap
sempit tak bertepi
dengan obor yang nyalanya
tidak lebih terang dari temaram
baranya kata kata
diludahi pekat dengus udara
disangga puisi
dari lika liku kekalutan
asap menyebar perih
deretan mata memicing
seperti kelilipan
lalu berpaling
daun daun segera menggulung
layar dikancing gelombang
nujum apa yang harus dibakar
dirapal bibir kering gemetar
Maret 2006. Jakarta
Temy Melianto, kelahiran Ciamis, 1976. Kini, tinggal di Pamulang
No comments:
Post a Comment