Tuesday, 30 May 2006

Poet's Corner; Malam; Sabtu 03 Juni 2006, Jatinegara

Selami Bayangan



direjam gerah

keringat buncah

jalanan riuh

pecah lolongan resah

bayangku setia dilangkah



rasa sepi mencekam

di lelah malam

lampu jalan remang temaram

kaki mengayun keram

bayangku tetap setia

menyilang kelam



dikelana penuh riam

pengembara menyelam

fitrahnya yang bersemayam

bayangan dalang semesta alam

tak kan karam di iklim yang runyam



Februari 2006. Jakarta





Suara Kemarau



makin jauh lari darimu

semakin kerontang melanda

kudatang membawa kemarau

seiring angin kering menerpa



jalan aspal batu koral

menuju bendungan kaki gunung

tubuh renta kebaya lusuh

mencangkung di keteduhan

memalu batu



di hulu

godam mendentam

pecahkan bongkahan

gemericik di pintu air

suara bening nyanyian sunyi



melompong cakrawala

kemukus entah mahkota

kota apa

nafas bukit rayapi permukaan

riak berlarian peluk tepian



kubuang kemarau hati

seiring pulangnya

para kuli batu kali



air mengalir untuk kembali

lentera siang di bahu

menjadi fajar di ufuk sana



1995. Cilacap





Cahaya Diri



ruang yang kudatangi

dijaga kilatan mata belati

mesin menderam lari sembrani



di kerongkong pintu

cermin sudah berdebu

membaca diri

yang adalah wujud kalam



sifat mustafa mulai sekarat

sapa diri dalam sholawat

bias safaat mencuat

di perilaku melekat

bukan dihiasan yang tersemat



"Bacalah"

kueja kejujuran

kutolak penghianatan

kuantarkan apa yang harus

disampaikan

kubuang kedunguan



rindu pada nabi

berjarak rehatan hati



Mei 2006. Jakarta





Lembar Impian



tinggalkan udara ramah

kemas segala kenangan indah

serta impian di selembar ijazah

malam dibedah kereta mendesah

gerus jarak seakan tak pernah lelah



pagi di gerbang kota

di pintu kereta

di setasiun tua

kata terucap sama

"Kalah siapa"



caling caling gedung meranggas

tak mau kalah kota pun beringas

dompet di saku sekejap amblas

masih tersimpankah harapan

menatap lekat lembar lamaran



langkah mulai berat mengayun

samar pandang tujuan

di kumuh terminal bersandar

dalam bis, sajak selembar

dibaca gemetar



berdamai dengan jalanan

tersadar di tikungan jalan

oleh setumpuk puisi penuh coretan

hari hari dilipat tahun

dalam syair tahun tahun dilarungkan

tabrak kebuntuan

lantang penyair jalanan



Januari 2006. Jakarta





Nyala Puisi



sepi

terus sepi

tantang yang bernyali

arungi sunyi sendiri



susuri jembatan gelap

sempit tak bertepi

dengan obor yang nyalanya

tidak lebih terang dari temaram



baranya kata kata

diludahi pekat dengus udara

disangga puisi

dari lika liku kekalutan



asap menyebar perih

deretan mata memicing

seperti kelilipan

lalu berpaling

daun daun segera menggulung

layar dikancing gelombang



nujum apa yang harus dibakar

dirapal bibir kering gemetar



Maret 2006. Jakarta





Temy Melianto, kelahiran Ciamis, 1976. Kini, tinggal di Pamulang





No comments:

Post a Comment