Start: | Jun 3, '06 8:00p |
Location: | Kedai Buku Sinau, Bekasi Timur I No.32 A, Jatinegara |
Tuesday, 30 May 2006
Poet's Corner 'Doa Anakku'
Poet's Corner; Malam; Sabtu 03 Juni 2006, Jatinegara
Selami Bayangan
direjam gerah
keringat buncah
jalanan riuh
pecah lolongan resah
bayangku setia dilangkah
rasa sepi mencekam
di lelah malam
lampu jalan remang temaram
kaki mengayun keram
bayangku tetap setia
menyilang kelam
dikelana penuh riam
pengembara menyelam
fitrahnya yang bersemayam
bayangan dalang semesta alam
tak kan karam di iklim yang runyam
Februari 2006. Jakarta
Suara Kemarau
makin jauh lari darimu
semakin kerontang melanda
kudatang membawa kemarau
seiring angin kering menerpa
jalan aspal batu koral
menuju bendungan kaki gunung
tubuh renta kebaya lusuh
mencangkung di keteduhan
memalu batu
di hulu
godam mendentam
pecahkan bongkahan
gemericik di pintu air
suara bening nyanyian sunyi
melompong cakrawala
kemukus entah mahkota
kota apa
nafas bukit rayapi permukaan
riak berlarian peluk tepian
kubuang kemarau hati
seiring pulangnya
para kuli batu kali
air mengalir untuk kembali
lentera siang di bahu
menjadi fajar di ufuk sana
1995. Cilacap
Cahaya Diri
ruang yang kudatangi
dijaga kilatan mata belati
mesin menderam lari sembrani
di kerongkong pintu
cermin sudah berdebu
membaca diri
yang adalah wujud kalam
sifat mustafa mulai sekarat
sapa diri dalam sholawat
bias safaat mencuat
di perilaku melekat
bukan dihiasan yang tersemat
"Bacalah"
kueja kejujuran
kutolak penghianatan
kuantarkan apa yang harus
disampaikan
kubuang kedunguan
rindu pada nabi
berjarak rehatan hati
Mei 2006. Jakarta
Lembar Impian
tinggalkan udara ramah
kemas segala kenangan indah
serta impian di selembar ijazah
malam dibedah kereta mendesah
gerus jarak seakan tak pernah lelah
pagi di gerbang kota
di pintu kereta
di setasiun tua
kata terucap sama
"Kalah siapa"
caling caling gedung meranggas
tak mau kalah kota pun beringas
dompet di saku sekejap amblas
masih tersimpankah harapan
menatap lekat lembar lamaran
langkah mulai berat mengayun
samar pandang tujuan
di kumuh terminal bersandar
dalam bis, sajak selembar
dibaca gemetar
berdamai dengan jalanan
tersadar di tikungan jalan
oleh setumpuk puisi penuh coretan
hari hari dilipat tahun
dalam syair tahun tahun dilarungkan
tabrak kebuntuan
lantang penyair jalanan
Januari 2006. Jakarta
Nyala Puisi
sepi
terus sepi
tantang yang bernyali
arungi sunyi sendiri
susuri jembatan gelap
sempit tak bertepi
dengan obor yang nyalanya
tidak lebih terang dari temaram
baranya kata kata
diludahi pekat dengus udara
disangga puisi
dari lika liku kekalutan
asap menyebar perih
deretan mata memicing
seperti kelilipan
lalu berpaling
daun daun segera menggulung
layar dikancing gelombang
nujum apa yang harus dibakar
dirapal bibir kering gemetar
Maret 2006. Jakarta
Temy Melianto, kelahiran Ciamis, 1976. Kini, tinggal di Pamulang
direjam gerah
keringat buncah
jalanan riuh
pecah lolongan resah
bayangku setia dilangkah
rasa sepi mencekam
di lelah malam
lampu jalan remang temaram
kaki mengayun keram
bayangku tetap setia
menyilang kelam
dikelana penuh riam
pengembara menyelam
fitrahnya yang bersemayam
bayangan dalang semesta alam
tak kan karam di iklim yang runyam
Februari 2006. Jakarta
Suara Kemarau
makin jauh lari darimu
semakin kerontang melanda
kudatang membawa kemarau
seiring angin kering menerpa
jalan aspal batu koral
menuju bendungan kaki gunung
tubuh renta kebaya lusuh
mencangkung di keteduhan
memalu batu
di hulu
godam mendentam
pecahkan bongkahan
gemericik di pintu air
suara bening nyanyian sunyi
melompong cakrawala
kemukus entah mahkota
kota apa
nafas bukit rayapi permukaan
riak berlarian peluk tepian
kubuang kemarau hati
seiring pulangnya
para kuli batu kali
air mengalir untuk kembali
lentera siang di bahu
menjadi fajar di ufuk sana
1995. Cilacap
Cahaya Diri
ruang yang kudatangi
dijaga kilatan mata belati
mesin menderam lari sembrani
di kerongkong pintu
cermin sudah berdebu
membaca diri
yang adalah wujud kalam
sifat mustafa mulai sekarat
sapa diri dalam sholawat
bias safaat mencuat
di perilaku melekat
bukan dihiasan yang tersemat
"Bacalah"
kueja kejujuran
kutolak penghianatan
kuantarkan apa yang harus
disampaikan
kubuang kedunguan
rindu pada nabi
berjarak rehatan hati
Mei 2006. Jakarta
Lembar Impian
tinggalkan udara ramah
kemas segala kenangan indah
serta impian di selembar ijazah
malam dibedah kereta mendesah
gerus jarak seakan tak pernah lelah
pagi di gerbang kota
di pintu kereta
di setasiun tua
kata terucap sama
"Kalah siapa"
caling caling gedung meranggas
tak mau kalah kota pun beringas
dompet di saku sekejap amblas
masih tersimpankah harapan
menatap lekat lembar lamaran
langkah mulai berat mengayun
samar pandang tujuan
di kumuh terminal bersandar
dalam bis, sajak selembar
dibaca gemetar
berdamai dengan jalanan
tersadar di tikungan jalan
oleh setumpuk puisi penuh coretan
hari hari dilipat tahun
dalam syair tahun tahun dilarungkan
tabrak kebuntuan
lantang penyair jalanan
Januari 2006. Jakarta
Nyala Puisi
sepi
terus sepi
tantang yang bernyali
arungi sunyi sendiri
susuri jembatan gelap
sempit tak bertepi
dengan obor yang nyalanya
tidak lebih terang dari temaram
baranya kata kata
diludahi pekat dengus udara
disangga puisi
dari lika liku kekalutan
asap menyebar perih
deretan mata memicing
seperti kelilipan
lalu berpaling
daun daun segera menggulung
layar dikancing gelombang
nujum apa yang harus dibakar
dirapal bibir kering gemetar
Maret 2006. Jakarta
Temy Melianto, kelahiran Ciamis, 1976. Kini, tinggal di Pamulang
Tak Ada Kamu, (...) Apalah Artinya Kamu?
Rating: | ★★★ |
Category: | Movies |
Genre: | Other |
23.04. pada sebuah lipatan. Aku duduk di depan televisi Akira sembari menikmati seduhan air plus teh celup yang sudah tinggal seperempat gelas.
Seorang lelaki memasuki sebuah rumah. Melihat tampangnya, aku mengingat satu kata yang dapat mewakili keseluruhan suasana batin dia: kesusahan. Tapi, yang paling memikat adalah sebuah pertanyaan: apakah aku sedang menonton film? Memang, diawal sudah diberi peringatan, genre: video prosa. (Ah, entah apa pula yang sedang diujicobakan?)
Aku jelaskan, perasaan itu timbul karena aku melihat tampang pun perawakan Ricardhus Ardhita. Maaf, aku harus menyebut; mungkin karena aku terbiasa menikmati sinetron yang mengandalkan tampang, hingga aku berkesimpulan: sepertinya bukan film, tapi dokumenter. Mungkin, Gama bisa saja berkomentar bahwa dia adalah aktor yang hebat, atau merupakan lulusan casting terbaik yang sudah dilakukan pihak produksi, atau segala macam argumentasi yang dibangun, dikukuhkan lalu menjadi kokoh. Oke, kalau begitu; perkenankan aku menggunakan perbandingan untuk memperjelas masalah; setelah paragraph ini.
Selang beberapa detik, tampang lelaki pun berganti. Layar terisi wajah seorang perempuan. Galih Pacar Ungu, namanya. Mengingat Galih, mengingatkan aku pada rasa yang tercipta dalam kisah roman Romeo dan Juliet; saat keduanya saling bertatapan mata dalam suatu pesta. Dan, karena Galih Pacar Ungu ini pula aku jadi memiliki kemampuan untuk menyimpulkan bahwa 'pada sebuah lipatan' adalah film. Oke, tentu saja aku tidak memungkiri, pikiran itu hasil dari tradisi menonton televisi di tanah air sendiri.
Ricardhus dan Galih, diam. Sepanjang film, kalaupun video prosa dapat diterima langsung masuk kedalam kategori film tanpa melalui perdebatan panjang, Ricardhus dan Galih, diam. Kediaman yang mereka lakukan sebenarnya tidak memiliki makna apa-apa; selain tampang: Ricardhus tampak susah, murung, resah, gundah, beragam siksa batiniah seakan berkumpul dalam dirinya; Galih tampak sedikit riang, baik hati, pemurah, pendiam, tentu saja ayu. Tapi, tak ada sesuatu yang berarti dari mimik yang mereka tawarkan; bila saja Teguh Hati tidak bermain menjadi penata musik di balik layar. Atau, Kelly sebagai penata cahaya (meski hasil yang didapatkan sebenarnya tidak optimal, menurut aku). Apa yang diperagakan oleh Ricardhus dan Galih, tak lebih dari aksi aktor Tora Sudiro dalam film 'Banyu Biru'. Tora Sudiro hanya mampu menyusah-nyusahkan tampang saja, tapi yang terasa malah dia tidak susah. Tora hanya mencoba seakan-akan tampak susah; hingga monolog pun harus dibuat untuk menambah efek resah. Sebabnya: tentu saja diakibatn tampang yang tidak memberikan tampilan kesusahan yang menyatu. Dalam bahasa sederhana, Galih dan Ricardhus serupa Tora Sudiro, memerankan kediaman dengan mimik yang tak utuh. (Hei..., aku pikir itu pekerjaan aktor kaliber; seperti kelompok Warung Kopi DKI. Hahahaha....)
Karena ketiadaan makna yang kutemukan didalam pewujudan si tokoh, aku pun beralih ke lukisan, bangau kertas, sofa, kipas angin, mug, baju coklat dan ungu Galih, kemeja lengan panjang Ricardhus yang entah berwarna apa, dilipat hingga persikuan, dapur, komputer tenteng, cermin, pisau cukur, lampu, pintu, gagang pintu, yang ternyata, tak memberikan pengertian apapun bagi aku. Hingga,
aku pun mengulang film untuk kedua kali. Ricardhus muncul, Galih muncul. Aku mencoba mendeteksi musik dan pencahayaan. Aku tertawa. Lalu, bertanya: ada apa dibalik lipatan? Cuma ada kenangan. Apa pula fungsi kenangan? Tak ada yang jelas; utamanya dalam 'pada sebuah lipatan'. Terlalu banyak yang harus diserahkan kepada penonton, aku rasa bukanlah film yang mencerdaskan. Haruskah bangau kertas merah yang tertimpa gelas atau tiupan kipas yang menerbang semua bangau;
sedikit menginterupsi: bangau kertas adalah simbolisasi harapan (tapi, harus diingat juga, 1000 bangau kertas simbolisasi harapan yang bakal terwujud);
menjadi alasan untuk mengenang harapan yang terbang? Harapan yang hilang? Harapan Ricardhus didalam diri Galih. Tak ada yang bisa aku benarkan. Harapan itu ada. Tapi, entah siapa yang berharap. Bukan Galih, bukan Ricardhus, mungkin; hanya aku saja yang berharap 'pada sebuah lipatan' memberikan kejutan diakhir. Tapi, ternyata tidak; meski harus aku akui aku sempat tergoda untuk menyimpulkan bahwa pada dasarnya video prosa penyerta buku 'kupu-kupu bersayap gelap' memang telah mengalami penggarapan ide yang matang. Sayangnya, pengejawantahan ide itu sendirilah yang ternyata menjadi masalah. Atau, ini semua karena aku yang kurang cerdas. Bisa jadi. Tapi, bisa juga tidak.
[David Tobing]
Bahasa Muslihat pada Suatu Pagi Yang Aneh Setelah Bercengkrama Lama di Rumah Merah Malam Sebelumnya
Ada sebuah lelucon lama berikut ini:
Pertanyaan: Bagaimana caranya agar kita tahu kapan politisi berbohong?
Jawab: Setiap kali mereka berbohong,
mereka selalu menggerakkan bibir mereka. (Artinya politisi tidak pernah
berhenti berbohong dan selalu berbohong –masa?)
Jadi begitu. Politisi layaknya.
Kawan di kedai bertanya, baik-buruk adalah benar. Manusia harus otonom.
Baik-buruk sama dengan benar. Sebuah keputusan pilihan. Bisa jadi.
Tergantung asal-usul. Yang mana saja. Dimana salah. Berdiam di
kemiskinan dan kematian. Ini Indonesia.
30 menit yang lalu sambil makan ketupat tahu di kost:
Orang Indonesia tidak takut dengan dosa. Juga sukar memberi maaf.ada cerita sufi kira-kira seperti ini:
‘sebayangan berkelabat melintas
jembatan titian rambut di belah tujuh, penghubung pengadilan dengan
kemerdekaan (angggaplah seperti surga)—bayangan siapa itu? Kasak kusuk
pencari tahu? Bayang orang yang rajin beribadah, mungkin. Bayangan
orang yang selalau menepati janji. Termasuk ketika dipanggil oleh
tuhan. Banyak sekali orang seperti ini di Indonesia. Ah masa, ah iya.
Ah masa.
Tanya saja ke yang lebih tahu.
Duhai junjunganku, bayangan siapakah itu.
Bayang orang yang selalu memberikan
maaf atas kesalahan orang lain terhadap dirinya sebelum ia berangkat
tidur, dan meminta ampunan pada tuhan atas apa yang telah ia lakukan
seharian.
Hanya seperti itu? Bukan, semua itu adalah persoalan kualitas. Bukan penjumlahan.
1 mingggu yang lalu di kedai:
bayangan siapa itu yang menuju sorga dengan cepat?
Ah dasar si Komeng.
{ jembatan titian serambut di belah tujuh hancur setelah Komeng lewat, lagukan--tuhan-tuhan ya maha force one--}
2 menit sebelum tulisan ini dibuat:
di Indovision seperti tiba-tiba muncul film I Excuse.
‘...saya akan pergi ke Indonesia jika ternyata saya gagal dan kalah dalam pengadilan nanti...’
kata seorang dokter yang terbukti secara medis lewat penelitian DNA memperkosa dan menyebabkan kehamilan seorang pasiennya.
‘mengapa’
[1] pertama saya orang indonesia
[2] saya yakin bisa menang dalam pengadilan di Indonesia, uang saya kan banyak.
1 bulan lalu di kedai yang sama:
Saya warga Indonesia Raya. Indonesia sekarang bukanlah Indonesia Raya.
Seseorang memaksa saya membuka kedai lebih awal cuma ingin menengok ke dalam. Katanya lagi, ‘saya ketemu kawan pagi ini’
Saya terenyuh, saya juga fasis, kok. cuma belum ada kesempatan.
‘tuhan masih sayang’
saya masih berbuat dosa
‘asal ada pertobatan’
saya masih meragukan
‘asal terus mencari jawaban’
3 detik yang lalu tulisan belum selesai sms berbunyi
‘assalamu’alaikum. Mas, masih punya link ke lsm, partai politik, tokoh gak. Aku benar-benar butuh bantuan neh.’
dijawab:
Terpikir maunya begitu. Tapi sekarang aku benar-benar mengacau sendirian.
Habiskah? belum?
Sebelumnya ada ketulusan kawan seperjalanan, semoga mas dan kawan-kawan
yang mengitari selalu mendapatkan kemudahan dalam pencapaian tujuan.
Di koran pagi
Politisi Taiwan berkata, ‘petani sesungguhnya penggerak roda ekonomi’
Politisi Indonesia (sebelumnya adalah akademisi-intelektual arus utama-,’jangan munafik, korupsi justru menjadi penggerak roda ekonomi’
Orang Indonesia buat apa percaya dosa.
Adakah jaminan? Sebagian percaya baik-buruk adalah benar.
[rasanya seperti kertas yang diremas, tulisannya luntur kena keringat, pagi gugur ditabrak aneh, sebelumnya Rumah Merah meriah]
Kita buat ayat-ayat sendiri.
Aturan pakai:
Tak ada yang haram.
Tak ada portal.
Tak ada yang menyelinap.
Tak ada yang selingkuh.
{he he he kembali ke bait pertama: setiap keputusan adalah politik}
widhy | sinau
Pertanyaan: Bagaimana caranya agar kita tahu kapan politisi berbohong?
Jawab: Setiap kali mereka berbohong,
mereka selalu menggerakkan bibir mereka. (Artinya politisi tidak pernah
berhenti berbohong dan selalu berbohong –masa?)
Jadi begitu. Politisi layaknya.
Kawan di kedai bertanya, baik-buruk adalah benar. Manusia harus otonom.
Baik-buruk sama dengan benar. Sebuah keputusan pilihan. Bisa jadi.
Tergantung asal-usul. Yang mana saja. Dimana salah. Berdiam di
kemiskinan dan kematian. Ini Indonesia.
30 menit yang lalu sambil makan ketupat tahu di kost:
Orang Indonesia tidak takut dengan dosa. Juga sukar memberi maaf.ada cerita sufi kira-kira seperti ini:
‘sebayangan berkelabat melintas
jembatan titian rambut di belah tujuh, penghubung pengadilan dengan
kemerdekaan (angggaplah seperti surga)—bayangan siapa itu? Kasak kusuk
pencari tahu? Bayang orang yang rajin beribadah, mungkin. Bayangan
orang yang selalau menepati janji. Termasuk ketika dipanggil oleh
tuhan. Banyak sekali orang seperti ini di Indonesia. Ah masa, ah iya.
Ah masa.
Tanya saja ke yang lebih tahu.
Duhai junjunganku, bayangan siapakah itu.
Bayang orang yang selalu memberikan
maaf atas kesalahan orang lain terhadap dirinya sebelum ia berangkat
tidur, dan meminta ampunan pada tuhan atas apa yang telah ia lakukan
seharian.
Hanya seperti itu? Bukan, semua itu adalah persoalan kualitas. Bukan penjumlahan.
1 mingggu yang lalu di kedai:
bayangan siapa itu yang menuju sorga dengan cepat?
Ah dasar si Komeng.
{ jembatan titian serambut di belah tujuh hancur setelah Komeng lewat, lagukan--tuhan-tuhan ya maha force one--}
2 menit sebelum tulisan ini dibuat:
di Indovision seperti tiba-tiba muncul film I Excuse.
‘...saya akan pergi ke Indonesia jika ternyata saya gagal dan kalah dalam pengadilan nanti...’
kata seorang dokter yang terbukti secara medis lewat penelitian DNA memperkosa dan menyebabkan kehamilan seorang pasiennya.
‘mengapa’
[1] pertama saya orang indonesia
[2] saya yakin bisa menang dalam pengadilan di Indonesia, uang saya kan banyak.
1 bulan lalu di kedai yang sama:
Saya warga Indonesia Raya. Indonesia sekarang bukanlah Indonesia Raya.
Seseorang memaksa saya membuka kedai lebih awal cuma ingin menengok ke dalam. Katanya lagi, ‘saya ketemu kawan pagi ini’
Saya terenyuh, saya juga fasis, kok. cuma belum ada kesempatan.
‘tuhan masih sayang’
saya masih berbuat dosa
‘asal ada pertobatan’
saya masih meragukan
‘asal terus mencari jawaban’
3 detik yang lalu tulisan belum selesai sms berbunyi
‘assalamu’alaikum. Mas, masih punya link ke lsm, partai politik, tokoh gak. Aku benar-benar butuh bantuan neh.’
dijawab:
Terpikir maunya begitu. Tapi sekarang aku benar-benar mengacau sendirian.
Habiskah? belum?
Sebelumnya ada ketulusan kawan seperjalanan, semoga mas dan kawan-kawan
yang mengitari selalu mendapatkan kemudahan dalam pencapaian tujuan.
Di koran pagi
Politisi Taiwan berkata, ‘petani sesungguhnya penggerak roda ekonomi’
Politisi Indonesia (sebelumnya adalah akademisi-intelektual arus utama-,’jangan munafik, korupsi justru menjadi penggerak roda ekonomi’
Orang Indonesia buat apa percaya dosa.
Adakah jaminan? Sebagian percaya baik-buruk adalah benar.
[rasanya seperti kertas yang diremas, tulisannya luntur kena keringat, pagi gugur ditabrak aneh, sebelumnya Rumah Merah meriah]
Kita buat ayat-ayat sendiri.
Aturan pakai:
Tak ada yang haram.
Tak ada portal.
Tak ada yang menyelinap.
Tak ada yang selingkuh.
{he he he kembali ke bait pertama: setiap keputusan adalah politik}
widhy | sinau
Monday, 29 May 2006
pada sebuah lipatan: adakah yang nyaman pada masa lalu yang begitu egois meninggalkan yang lain yang selalu menawarkan kenyamanan a.k.a sebagai kewajiban
Rating: | ★★★ |
Category: | Movies |
Genre: | Independent |
pada sebuah lipatan. rasa bersalah. yang menjadi sebab utama. mungkinkah rasa senang menjadi sebab kembali ke ruang yang lama ditinggalkan. bukankah senang itu bersama-sama. mari bergembira bersama-sama.
pada sebuah lipatan. kekuatan diam adalah kekuatan sejarah yang sesungguhnya. sehingga menjadi multitafsir. tawaran untuk diam adegan per adegan yang merupakan kekuatan. satu persatu ruang dimasuki. satu persatu ruang hadir. satu persatu ruang tak jadi ruang sebelumnya. sekarang jadi tujuan pencarian. adakah bertemu kejutan-kejutan.
pada sebuah lipatan menyembunyikan kekuatan justru pada lipatan. kejutan pertama adalah barisan bangku yang ditutupi kain putih seakan begitulah kita meninggalkan rumah untuk sekian lama. kamar-kamar tertutup dibuka pintu nostalgia satu-satu. demi satu. kembali mengingat.
Pasangan yang mengabaikan isterinya.
Perempuan yang mengisi waktu luang sendirian.
Pasangan yang bekerja keras.
Perempuan yang rajin memperhatikan.
Pasangan yang asik sendiri.
Perempuan yang suka tersenyum, pendiam, bekerja.
Pasangan yang ingin kembali.
Perempuan telah pergi.
Pasangan yang membuatkan kopi.
Laki-laki yang tidak begitu peduli.
pada sebuah lipatan: sebuah main-main. cukup mengganggu jika ditonton lebih dari satu kali. dua-tiga kali cukup membantu melihat detil adegan. mulai pergantian baju laki-laki. kegiatan yang berganti oleh laki-laki. tidak begitu dengan sang isteri. ada yang terus bersembunyi dalam sebuah lipatan.
entah jika cuma menonton sekali. sepertinya simbol begitu jauh. atau terlalu dekat dengan keseharian.
widhy | sinau
Judul Film | pada sebuah lipatan
Pemain | Richardus Ardita
Galih Pacar Ungu
Penulis naskah | Gama Marhaendra
Penata musik |Teguh Hari
Penyutradaraan| | Andi Seno Aji
Chandra Hutagaol
Gama Marhaendra
KAUMANA
Lukai aku. Aku balik melukaiku. Ini persoalan ibadah. Sepanjang sajadah
aku melupakanmu. Sepanjang doa juga aku meninggalkanmu. Keimanan ini
seperti kelambu. Takut dengan nyamuk, tidak takut dengan pikiran
sendiri. Nyamuk bertambah. Kelambu jadi berlapis. Pikiran aman. Stabil.
Terkendali. Kita pikirkan hal lain: yang membuat gatal orang. Kita jadi
nyamuk. Biarkan saja orang yang tidak berkelambu. Kenapa tak punya
pertahanan seperti kita. Atau darah mereka pahit. Atau kulit mereka
badak. Atau mereka tak punya pengalaman dengan nyamuk. Nyamuk rekaan
ini akan keluar siang atau malam. Kaumana bicara terus tentang tuhan
tapi semakin jadi hantu. Kaumana kering seperti bukit kapur yang
memantulkan setiap bayang. Kaumana fatamorgana. Datang di jam dua belas
siang di jalan yang lurus. Saat menjelang sore kau lelap, seharusnya
kau terjaga. Jaga nyamuk di jaga monyet. Jangan berahi terus yang kau
pikirkan, seolah ibadahmu penuh dengan rekaan mesum tentang asal yang
tak pernah kau pelajari muasalnya selain dari cerita masa kecil.
Kaumana kurus kurang makan. Pikirannya kerasukan. Lupa membasuh tangan,
wajah, Seharusnya kita berjumpa di waktu lalu. Sehingga kita mudah
bicara. Kaumana pergi. Dunia ingkar janji. Kaumana cari-cari luar.
Dalamannya bolong. Ditutup kelambu. Biar bisa telanjang. Dan anti
nyamuk. Kaumana jadi nyamuk. Bawa tombak ke setiap tempat. Kaumana
hendak apa. Apa? Apa? Kaumana susah mendengar. Katanya cuma suara
tertentu yang jadi arah. Suara lain suara lain suara lain sulih suara.
Tidak penting. Arah mana arah mana arah mana-mana. Tidak penting.
Tertentu, mungkin. Penentu pasti. Ditentukan, kebiasaan. Penentuan
bukan pilihan yang begitu disuka. Kaumana apa yang berselaput,
berselimut sore-sore. Vertigo. Dunia bukan ingkar janji cuma jungkir
balik. Biasa. Kebanyakan tidur. Lupa makan.
Kaumana berkawan dengan Manakau. Tak ada yang tahu sejak kapan. Manakau
tempat aku tempat kau tempatan kaku. Manakau ternyata Kaumana. Dimana
tak jelas juga. Manakau Kaumana. Tanya Nyata.
{bayangkan ada denting gitar-bayangkan saja}
Tanya Nyata. Cinta atau luka. Yang ada di kedalaman bla-bla-bla.
Keduanya mungkin memusuhi nyamuk. Mahluk kecil yang lucu
bentuknya. Namun mantap bertenaga. Nyamuk cuma bisa dikalahkan
perusahaan racun multinasional penghasil segala racun pengganti
obat-obatan. Adakah yang lebih murah? Ada: upah. Kaumana adalah Manakau
upahan. Doa, doa biar bertenaga ada ransum buat yang ramah, berdaya
tahan tinggi, dan sentimentil. Biar seperti penebar racun sejati yang
dihargai sampai mati. Dunia ingkar janji. Obat vertigo ternyata racun
serangga.
{bayangkan saja obat nyamuk sebagai senjata-bayangkan saja-berapa yang telah mati di seluruh dunia}
Pusing tujuh keliling.
Dunia ingkar janji.
Umur nyamuk sembilan hari.
Umur Kaumana tak tentu.
Umur Manakau tertentu.
Ditentukan yang tertentu Kaumana dan Manakau saling pandang.
Jadi nyamuk lumayan. Sembilan hari.
Tak tentu. Tertentu. Tetap. Ditentukan.
Tanya Nyata. Mau apa lagi.
disini Kaumana kering kembali.
Manakau hilang di peraduan.
Jadi nyamuk kejam penghisap darah yang dingin tertawa-tawa melihat korbannya.
{bayangkan tawa nyamuk membahana-kehadirannya saja mengganggu telinga}
Kaumana kehilangan ruang. Semua dimasuki Manakau.
Tanya Nyata. Sesiapa yang asing jika bukan Kaumana yang sedang dimabuk cinta. Kencan Lupa.
Tersenyum sendiri. Aku asing. Kaumana bergumam. Aku asing.
Apakah orang-orang ingat pada bentuk. Kaumana berkaca. Sok cantik gertak Genit.
Seperti ini rupanya. Kaumana melihat nyamuk remuk ditepuk adik yang
belajar melawan gatal. Tamparan tangan mengamuk tidak cukup sekali
mendera tubuh nyamuk, plak, plak, plak, plak. Bukan kebetulan adik
semakin mahir menampar. Pengasuh menyibak udara dengan aroma racun
serangga buatan induk semang. Hari ini tujuh nyawa tanpa ditanya. Plak.
Usai. Tak perlu kelambu, kan.
Manakau ikut menggelepar mati kegirangan.
Apakah mungkin aku lupa jatuh cinta.
{bayangkan Iga Mawarni jadi nyamuk-menggigit sampai meninggalkan bekas-bayangkan saja Kasmaran, nyamuk, empuk dan jazz}
Au rasanya. Au. Au.
widhy | sinau
Tuesday, 23 May 2006
Mbah Maridjan-Gunung Merapi, Arum Prameswari-Soeharto-Mochtar Pabotinggi, Goenawan Mohamad-Ahmadinejaad-George W. Bush, Pertemuan Aku dan Kau
Wua...lah!?!
Nama :
Maridjan
Gelar : Raden Ngabehi Surakso Hargo
Panggilan : Mbah
Maridjan
Tahun Lahir : 1927
Istri : Mbah Putri
Pekerjaan :
Jaga Merapi sejak 1974
Tambahan : 1982 diangkat Sri Sultan
Hamengku Buwono IX menjadi Juru Kunci Merapi
Nama :
Gunung
Panggilan : Merapi
Tempat Lahir : Zona subduksi lempeng
Indo-Austalia dan Eurasia, bagian selatan Pulau Jawa
Tahun Lahir :
? (Klaim : Gunung termuda di Pulau Jawa)
Tinggi : 2.968 meter di
atas permukaan laut
Tipe : Stratovolkano
Tambahan : Sejak 1548,
tercatat meletus 68 kali.
Wua...lah!?!
Dia, Arum
Pawestri, warga Sukmajaya, Depok, Jawa Barat. 'Dilema Tuntutan Bebas
Soeharto'. Itu, judul surat dia (wua...lah, rasanya, tak pernah aku
menjumpai surat berjudul) di rubrik 'Surat Pembaca' harian Kompas,
Jumat 19 Mei 2006. Singkat surat : atas dasar kemanusiaan, pemerintah
harus membebaskan Soeharto dari segala tuntutan sekaligus memaafkan;
tapi, hal itu tidak berarti menjadi simbol pembebasan para koruptor
kakap lainnya. Dan, Arum pun yakin bahwa masyarakat, mungkin tepatnya
rakyat Indonesia, pasti memaafkan Soeharto.
Dia, Mochtar
Pabotinggi. Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
'Konsekuensi Merangkul Pengkhianatan'. Jelas. Soeharto harus
menjalani proses hukum. Itu menurut Mochtar Pabotinggi di majalah
Tempo edisi 15-21 Mei 2006. Klaim Mochtar : Soeharto mengkhianati
nilai-nilai Pancasila; akibatnya hancurlah seluruh
sendi-sendi kehidupan di Indonesia. Lainnya : sejarah Indonesia
terlalu kelam; tidak ada yang terang; sejarah yang kelam jadi beban
di kepala hingga jalan saja tertunduk. "Saya mau berjalan dengan
kepala tegak," obsesi Mochtar Pabotinggi.
Wua...lah!?!
(Kok pendapat Soeharto tidak pernah terdengar? Malah munculnya...)
Wua...lah!?!
Ahmadinejaad melawat Indonesia, muncul tulisan
'Ahmadinejaad'. Rubrikasi: Catatan Pinggir, majalah Tempo edisi 15-21
Mei 2006. Di bagian akhir risalah, menyinggung George W. Bush yang
tidak mungkin membalas, pun membaca surat Ahmadinejaad, Presiden
Iran. Perkara nilai! Tepatnya, pertentangan nilai. Amerika dengan nilai
yang diakrabkan dengan ajaran Kristen; sebaliknya Iran dengan nilai
yang diakrabkan dengan ajaran Islam. Hasilnya...,
Wua...lah!?! (Kok pada berantam? Yang ngajarinnya ngomong apa ya?)
Kenapa sampah harus
dibuang ke keranjang sampah?
Biar sampah masuk
surga!!!
Wua...lah!?!
[ D a v i d T o b i n g
]
Wua...lah!?!
Saturday, 20 May 2006
Kebangkitan Bukan Jiwa

Rating: | ★★★★ |
Category: | Other |
1. Your stomach growls when you don't eat rice for a day.
2. You believe kecap ABC could turn bad cooking to gourmet food.
3. You know more than 10 acronyms/abbreviations.
4. You talk during a movie.
5. You use a dipper instead of toilet paper in the bathroom.
6. You eat fried rice in the morning.
7. You prefer Versace or Moschino jeans over Gap or Levi's.
8. You don't think Jim Carrey is funny.
9. You think Onky Alexander is a hunk.
10. You think Rhoma Irama is kampungan.
11. You carry a 16 oz. jar of sambal to where ever you travel.
12. Driving a car that is cheaper than $15,000 embarrasses you.
13. You think dangdut is stupid, but listen to it anyway, because you are homesick.
14. You are willing to travel 25 miles to buy tahu and tempeh.
15. You are "Dreaming of a WARM Christmas".
16. You are very good at avoiding potholes and other road hazards.
17. Your local McDonald's serves rice and sambal.
18. You think Super Mie is a staple food.
19. You have ever tried passing a Rp 50 coin as a quarter in a US vending machine or pay phone.
20. You have ever successfully bribed a police officer.
21. You have ever successfully bribed a customs officer.
22. When watching TV you regularly find that all the channels broadcast
the same thing.
23. You do your shopping in Singapore.
24. Your drivers license claims you are 5 years older then you really are.
25. You have ever legally bought pirated software or VCDs.
26. You have ever been forced to memorize UUD'45.
27. You have bought something from a barefooted street peddler.
28. You know exactly how many islands Indonesia has.
29. You have ever eaten something sold off a cart on wheels.
30. You realized that money is everything before you were six.
31. The first thing that comes to mind when hearing the word "Jakarta"
is "macet".
32. Someone you know has ever ridden on top of a train.
33. Your daily commute includes thinking up new ways to ride the city
bus for free.
34. You don't mind people being late.
35. You think standing in line is a waste of time.
36. You have tried every Monday of your youth trying to avoid upacara
bendera.
37. You have used a mosquito repellent that looks like a coil and is lit
on one end.
38. You use the terms "Ni yee", "cai-lah" and "Ih, jijay" on daily basis.
39. You know what Pancasila is, what it means and know it by heart.
40. You complain that movies in America don't have sub-titles.
41. Your daily conversation may include enactments of TV commercials.
42. You have ever consulted a dukun.
43. Your whole class has ever cheated on a test, and gotten away with it.
44. You have ever spent the night before an exam looking for someone who
sells the questions.
45. You like the smell of terasi.
46. You think the Thomas Cup is equal to the Super Bowl.
47. You can name a manufacturer of shuttlecocks and badminton birdies.
48. You have a 16' satellite dish hidden in your back yard.
49. You have ever ridden in a motor vehicle with three wheels.
50. You miss your maid on laundry day.
51. Your clothing has brand names printed on it that are visible from 50' away.
52. You attend weddings only until you are done eating.
53. You have attended weddings that you are not invited to.
54. You go to McDonald's to get your weekly supply of ketchup, salt,
pepper and napkins.
55. You know more than one music group that stole the tune of
Cranberries' "Zombie".
56. You have a can of Baygon on your kitchen table.
57. You make major decisions based on gengsi.
58. You take advantage of Wal-Mart's 30-day money-back guarantee to "borrow" home appliances.
59. Someone in your family has extra pockets in his outfit to hide cookies from the all-you-can-eat bar.
60. You have paid more then $1,000 to get your name on your license plate.
61. You carry your hand phone always, even to a 'no service' area.
62. You think bribery as a 'tip in advance'.
63. You think of the road as a place to park.
64. You fly Garuda just to get to know the stewardesses.
65. You send your kids to US & Australia just so they can go to school.
66. You go to a park and drink 'teh botol'.
67. You travel to L.A or Sydney from Jakarta more than 3 times a year.
68. You mix soccer and boxing at the same time.
69. You consume more cloves in your cigarettes than in your food..
70. You have more credit cards than your wallet can hold.
71. You have a car with 20' wheel.
72. You work for the government to get rich quick.
73. Your friends in the US & Australia refer to you as their 'Indonesian
connection.'
74. You have been to a motel that can 'hide' your car.
75. You give guests a roll of toilet paper or a box of facial tissues to
wipe their hands after eating.
Kalau masih kurang ada yang lebih sedikit; baca buku Mochtar Lubis; Manusia Indonesia (1976)-anything else you should known better?
Friday, 19 May 2006
Filosofi Kamput | Fever Odd Two Lock Then Blow
Mata tak juga menetap, lekat pada satu titik, yang berubah jadi kawan,
kehilangan, sampah, keinginan, syair, mata yang melihat, mendengar,
percakapan dari jauh setelah berjalan sekian lama berhenti di kedai
bukan kopi dengan penjaga berbadan besar, bertato, musik hingar,
alkohol, rock n roll dan lintingan ganja ditawarkan. Aman.
Wajah merah bukan tanpa sebab. TV dimatikan bukan tanpa sebab. Speaker
keras berdendang dengan lampu kedai bukan kopi nyala secukupnya. Mari
menambah energi malam ini. Tak cukup mengutuki orang-orang sesiangan,
orang-orang mentertawakan badut pentas yang sedang memerankan dirinya
kemarin. Hah hah. Siapa yang berhak mengatur laku. Dunia melukai. Luka
baik. Kesenangan kadang buruk. Luka baik ada di kedai bukan kopi.
Menarilah the dancer, mr.
Tambourine, mr. Brownstone, mr. Jumping Jack Flash, excuse mrs. where r
u? the stage is empty, your flesh fill my spotlight, berilah sedikit cinta warna putih air kelapa.
Selamat datang! Never old to rock n roll.
Kita tidak pernah tahu. Tapi aku layak bertanya, apakah aku masih ada
besok pagi. Tak ada penjamin. Enyahlah ukuran waktu. Sekarang waktu
baik untuk tidak berbuat apa-apa [ouwgh!]. Kemarin aku lupa. Besok
belum tentu ada. Mimpi kali ini butuh asupan. Kedai bukan kopi lebih
dari nyenyak setelah lapar bisa dinikmati.
Ketidaktahuan membawa rahmat, keingintahuan membawa bencana, terlalu
banyak tahu membuat frustasi, pencarian tahu kesia-siaan. Ruang ini
begitu penuh dengan malam. Pura-pura tahu malam tidak gelap, padahal
kejujuran ada padanya. Datanglah bersama cahaya dari benang-merah,
benang putih, sesuatu tentang kebajikan, kebijakan, kelayakan, giliran
prasangka membunuh perlawanan, tidak jauh dari sekitar letak hati, ada
tawaran untuk berdiam. Bersikap seperti hari libur, yang dipertanyakan
manfaatnya. Di kedai bukan kopi setiap teguk jadi liburan, dan
lintingan ganja seperti malam ploncoan. Aman.
Ini bukan sekadar tarian swing yang dinyanyikan group rock n roll.
Kemacetan selama ini cuma permainan. Tak hapal apa yang sedang
ditarikan. Tak ada maaf untuk kaki yang terinjak. Sengaja. Biar tetap
terjaga. Matamu semerah api naga. Kau tersenyum. Sukar untuk
dibayangkan. Bukan untuk minuman terakhir, pembicaraan tentang
perencanaan masa depan juga tidak bisa membuatmu senang, apalagi
setelah kata kepastian ada dan dikembalikan kepada masing-masing pihak.
Aku tak mungkin menentukan masa depan. Tetap tinggal, jangan berjalan
terlalu jauh dari titik berangkat.
Persepsikan waktu ini tidak memiliki tanda. Bukan tuhan atau hantu. Kau
sendirian saja. Rekreasi. Duduk diatas ranting yang dulunya singasana
belalang. Bukan seperti waktu ini, atau seperti waktu itu [‘dulu’ kau
menyebutnya tentang saat yang telah usai itu]. Ranting yang sama setiap
hari jadi ayunan. Kau belalang. Cuma tahu insting, akhirnya mati
setelah menunaikan kewajiban yang sebentar. Tapi, sebentar, waktu cuma
persepsi tanpa tanda yang jadi referensi perbandingan. Kau abadi dalam
persepsi tentang ada. Kau tak jadi mati. Namun, disini, semua berhenti.
Disana ada satu lagi yang seharusnya ikut berhenti. Botol ketiga.
Sensasi hasutan, dibesut dari bermacam buku filsafat yang kau baca.
ASLI
Bukan rampokan, tiruan, asembling. Siapa butuh standar. Kedai bukan
kopi menyediakan 90% mendekati uap ether. Sampai impianmu encer jadi
kotoran cair. Mengalirlah duka. Cukupkan. Rebahlah. Damai dalam ramai
yang tidak lagi mengganggu. Kau masuk ke masa kecil, masa bapakmu,
kakekmu, buyutmu, masa purba, dan monyet juga suka putih air kelapa.
Air surga.
Sampai dimana kita?
Kata bijak dari kering gurun bertutur, luka sesungguhnya tidak ada,
juga suka, jika kita tahu dimana tempat kita bermula maka semuanya
adalah sama. Identiklah luka dan suka. Kenikmatannya berbanding lurus
dengan intensitas pengalaman. Aku semakin dekat. Setelah waktu tak ada,
jarak perlahan menyingkir ke tepi. Jadi penonton di samping waktu, di
tribun paling atas, hening tak bergeming.
Tambah lagi! Masih aman.
Kedai bukan kopi berwarna pucat malam. Seorang kawan telah memberi kabar gembira-matahari tak pernah tenggelam. Never old to rock n roll. Fever Odd Two Lock Then Blow.
Lidah jadi kelu. Tapi aku masih mampu membaca pikiranmu, bahkan tambah
terang setelah bertemu leluhur di goa mimpi. Kau cuma mimpi yang lain.
Aku juga bisa berenang ke dalamnya. Kolam asap meluap dari dada ke
otak. Jadi tangan penjemput. Mari, ini aku, itu jalanku, ini cermin,
pandanglah, ada aku.
Semua titik jadi kunang-kunang. Bukan di Manhattan seperti Umar Kayam,
di depan kedai bukan kopi, sebelah-menyebelah dengan deretan
kedai-kedai kopi dan ketan bubuk. Satu buku tua laku, tentang masa lalu
yang jadi komik. Pahlawannya berhamburan keluar mencari yang lain.
Bosan menumpas kematian. Yang lain tak juga beranjak dari posisi
pembaca, duduk. Sialan, aku juga bisa! Pahlawan? Di ujung lain,
terngiang ucapan, merdeka (cuma) sekali saja. Bung!
Orang lalu-lalang, kapten kapal mau pulang, sambil memaki gravitasi bumi, juga matahari yang tak pernah tenggelam.
widhy | sinau
Saturday, 13 May 2006
Perkasa Perkasa Perkasa Perkasa Nan Gagah Gagah Gagah pun Perawan dan Perjaka
Seorang teman, mengajukan tesis. Mmmm, begini tesis dia. Hakikat
manusia adalah kritik. Wau..., aku terperangah. Belum pernah aku
mendengar tesis yang yang yang yang yang begitu gagah gagah nan
perkasa, mungkin juga perjaka perjaka perjaka.
Dengan tesis itu, dia pun memberikan implikasi logis dari manusia yang
benar benar benar benar manusia. Bahkan, bila mengikut atau mengutip
langsung perkataan dia, kalimat itu berbunyi, "Hakekat manusia, kritik.
Maka jelas, manusia yang sesungguhnya menjadi sedemikian sempurna
kebenaran akan kemanusiaan dirinya sendiri menjadi terbantahkan bila
manusia yang sesungguhnya menjadi sedemikian sempurna kebenaran akan
kemanusiaan dirinya sendiri mengingkari kritik!" Memang, pada saat
pertama kali aku mendengar serentetan bunyi perjaka, emmmm... mungkin
tak ada salahnya bila aku menggunakan kata perawan, ...serentetan bunyi
perawan, aku pun terpana. Aku tanya saja dia: Maksud lu? Akhirnya, aku
pun berhasil meringkas kalimat itu menjadi: manusia yang benar benar
benar benar manusia adalah manusia yang tidak mengingkari kritis
sebagai hakikat. "Ya, kurang lebih seperti itulah, meski tidak seperti
itu pula yang aku maksudkan, tetapi aku rasa dengan ada perkataan
benar, manusia, kritik, aku rasa kau sudah mengerti sedikit apa yang
aku jelaskan." Begitu dia berkata setelah aku menjelaskan hasil daya
tangkap otakku atas kalimat dia yang begitu perkasa perkasa perkasa nan
gagah pun perawan.
Tanpa sungkan dia menjelaskan, ketiadaan kritik mengakibatkan manusia
mati. "Meskipun begitu, bukan berarti manusia tidak mati bila ia tetap
melakukan kritik," balas aku karena dia meremehkan kecerdasan yang
sudah dengan susah payah--bahkan hingga berkeringat darah pula--ibuku
berusaha mewujudkannya. Sambil mendenguskan nafas dia pun berujar,
"Mati sebelum mati sesungguh merupakan kesialan yang berlipat ganda
deritanya."
Aku merasa kalimat yang dia lontarkan itu tak kalah perkasa perkasa
perkasa perkasa nan gagah gagah gagah pun perawan plus perjaka. Dia
lanjut menjelaskan, sambil mengerutkan kening, menatap jalang. Kematian
adalah kepastian. Menurut dia, berdasarkan teori yang dia bangun diatas
keyakinan dia, kepastian kematian lebih kalah pasti dari kepastian
kritik yang harus dilakukan manusia. "Jika kematian pasti, maka kritik
pun menjadi lebih pasti!" Begitulah kalimat yang paling sederhana
sederhana sederhana yang dia ucapkan kepada aku. Memang, segala yang
tertulis disini aku tuliskan seturut kemampuan aku beradaptasi dengan
penjelasan perkasa perkasa perkasa perkasa nan gagah gagah gagah pun
perawan dan perjaka yang dia selonjorkan di hadapan aku. Jadi, mungkin
saja aku salah mencerap. Tapi, aku pikir kemampuan aku untuk salah
mencerap itu berdasarkan keyakinan aku bahwa dia pun bukan orang yang
benar dan patut diikuti; atau harus diikuti. (Meski begitu, aku agak
sulit menentukan dia orang yang seperti apa. Sedikit banyak dia benar,
tapi rasanya terlampau banyak dia salah.)
Dalam hati, aku berucap: Itu sama saja pastinya dengan mimpi yang bakal
dialami manusia! "Ah, kau bermimpi!" Mendadak dia menarik nafas, lalu
menahan di diafragma, dan bersenandung: "Apa maksud kau?" menyetarai
kemampuan seorang diva opera. Kini, gantian aku menelurkan penjelasan
penjelasan penjelasan yang disertai dengan kekaburan kekaburan
kekaburan. "Mimpi," terang aku, "berada dalam posisi yang setara dengan
kematian. Sama pasti. Tidak ada yang menempati posisi lebih pasti.
Posisi superlatif itu khayalan. Setiap manusia pasti bakal bermimpi.
Sebabnya, sudah jelas. Manusia perlu tidur. Bahkan, ada juga yang dalam
keadaan terbangun bermimpi. Jadi, masalahnya bukan manusia yang sesungguhnya menjadi sedemikian sempurna kebenaran akan
kemanusiaan dirinya sendiri menjadi terbantahkan bila manusia yang
sesungguhnya menjadi sedemikian sempurna kebenaran akan kemanusiaan
dirinya sendiri mengingkari kritik,
tapi manusia itu harus memiliki bermimpi. Pasti kau bingung.
Sederhananya, mimpi itu pasti. Maka, damai itulah yang harus menjadi
kondisi ideal dari manusia yang sudah sedemikian rupa tercipta sejak
awal mula dunia ada untuk menghadirkan hukum-hukum demi terciptanya
kedamaian di muka kita ini." Aku melihat alis matanya mengerut, bahkan
hampir menyerupai dua ekor ulat hitam yang beringsut saling mendekat
hingga menyatu. Dia melepas nafas yang rasanya amat panjang aku dengar,
lalu berujar, "Itu pemikiran yang dangkal. Kalau dangkal, tidak ada
tantangan. Tidak ada tantangan itu berarti tidak perkasa. Tidak perkasa
itu, berarti tidak ada kritik. Itu artinya, kau sudah tidak menjadi
manusia lagi." Kalimat itu, ia akhiri dengan senyuman sinis, yang tidak
akan pernah aku lupakan; mengingat ibuku sudah dengan susah payah
hingga berkeringat darah berusaha mencerdaskan aku.
Demi kehormatan keluarga, terutama ibu yang membiayai seluruh proses
peningkatan kecerdasan aku, sederetan kalimat satir ini pun aku
ucapkan, "Tampaknya, kau perlu istirahat. Nanti baru mengigau lagi."
Aku langsung beranjak berdiri, melangkah pergi, demi kehormatan
keluarga dan harga diri.
"Tidak ada ukuran abadi untuk segala sesuatu! Kau memang tidak pernah
hidup dengan kritik, kecuali keabadian mimpi saja yang menghadiahimu
kenyamanan menikmati matahari yang tidak pernah terbenam ini!
Hahahaha....!!!"
[TO BGIN VIA D.D]
manusia adalah kritik. Wau..., aku terperangah. Belum pernah aku
mendengar tesis yang yang yang yang yang begitu gagah gagah nan
perkasa, mungkin juga perjaka perjaka perjaka.
Dengan tesis itu, dia pun memberikan implikasi logis dari manusia yang
benar benar benar benar manusia. Bahkan, bila mengikut atau mengutip
langsung perkataan dia, kalimat itu berbunyi, "Hakekat manusia, kritik.
Maka jelas, manusia yang sesungguhnya menjadi sedemikian sempurna
kebenaran akan kemanusiaan dirinya sendiri menjadi terbantahkan bila
manusia yang sesungguhnya menjadi sedemikian sempurna kebenaran akan
kemanusiaan dirinya sendiri mengingkari kritik!" Memang, pada saat
pertama kali aku mendengar serentetan bunyi perjaka, emmmm... mungkin
tak ada salahnya bila aku menggunakan kata perawan, ...serentetan bunyi
perawan, aku pun terpana. Aku tanya saja dia: Maksud lu? Akhirnya, aku
pun berhasil meringkas kalimat itu menjadi: manusia yang benar benar
benar benar manusia adalah manusia yang tidak mengingkari kritis
sebagai hakikat. "Ya, kurang lebih seperti itulah, meski tidak seperti
itu pula yang aku maksudkan, tetapi aku rasa dengan ada perkataan
benar, manusia, kritik, aku rasa kau sudah mengerti sedikit apa yang
aku jelaskan." Begitu dia berkata setelah aku menjelaskan hasil daya
tangkap otakku atas kalimat dia yang begitu perkasa perkasa perkasa nan
gagah pun perawan.
Tanpa sungkan dia menjelaskan, ketiadaan kritik mengakibatkan manusia
mati. "Meskipun begitu, bukan berarti manusia tidak mati bila ia tetap
melakukan kritik," balas aku karena dia meremehkan kecerdasan yang
sudah dengan susah payah--bahkan hingga berkeringat darah pula--ibuku
berusaha mewujudkannya. Sambil mendenguskan nafas dia pun berujar,
"Mati sebelum mati sesungguh merupakan kesialan yang berlipat ganda
deritanya."
Aku merasa kalimat yang dia lontarkan itu tak kalah perkasa perkasa
perkasa perkasa nan gagah gagah gagah pun perawan plus perjaka. Dia
lanjut menjelaskan, sambil mengerutkan kening, menatap jalang. Kematian
adalah kepastian. Menurut dia, berdasarkan teori yang dia bangun diatas
keyakinan dia, kepastian kematian lebih kalah pasti dari kepastian
kritik yang harus dilakukan manusia. "Jika kematian pasti, maka kritik
pun menjadi lebih pasti!" Begitulah kalimat yang paling sederhana
sederhana sederhana yang dia ucapkan kepada aku. Memang, segala yang
tertulis disini aku tuliskan seturut kemampuan aku beradaptasi dengan
penjelasan perkasa perkasa perkasa perkasa nan gagah gagah gagah pun
perawan dan perjaka yang dia selonjorkan di hadapan aku. Jadi, mungkin
saja aku salah mencerap. Tapi, aku pikir kemampuan aku untuk salah
mencerap itu berdasarkan keyakinan aku bahwa dia pun bukan orang yang
benar dan patut diikuti; atau harus diikuti. (Meski begitu, aku agak
sulit menentukan dia orang yang seperti apa. Sedikit banyak dia benar,
tapi rasanya terlampau banyak dia salah.)
Dalam hati, aku berucap: Itu sama saja pastinya dengan mimpi yang bakal
dialami manusia! "Ah, kau bermimpi!" Mendadak dia menarik nafas, lalu
menahan di diafragma, dan bersenandung: "Apa maksud kau?" menyetarai
kemampuan seorang diva opera. Kini, gantian aku menelurkan penjelasan
penjelasan penjelasan yang disertai dengan kekaburan kekaburan
kekaburan. "Mimpi," terang aku, "berada dalam posisi yang setara dengan
kematian. Sama pasti. Tidak ada yang menempati posisi lebih pasti.
Posisi superlatif itu khayalan. Setiap manusia pasti bakal bermimpi.
Sebabnya, sudah jelas. Manusia perlu tidur. Bahkan, ada juga yang dalam
keadaan terbangun bermimpi. Jadi, masalahnya bukan manusia yang sesungguhnya menjadi sedemikian sempurna kebenaran akan
kemanusiaan dirinya sendiri menjadi terbantahkan bila manusia yang
sesungguhnya menjadi sedemikian sempurna kebenaran akan kemanusiaan
dirinya sendiri mengingkari kritik,
tapi manusia itu harus memiliki bermimpi. Pasti kau bingung.
Sederhananya, mimpi itu pasti. Maka, damai itulah yang harus menjadi
kondisi ideal dari manusia yang sudah sedemikian rupa tercipta sejak
awal mula dunia ada untuk menghadirkan hukum-hukum demi terciptanya
kedamaian di muka kita ini." Aku melihat alis matanya mengerut, bahkan
hampir menyerupai dua ekor ulat hitam yang beringsut saling mendekat
hingga menyatu. Dia melepas nafas yang rasanya amat panjang aku dengar,
lalu berujar, "Itu pemikiran yang dangkal. Kalau dangkal, tidak ada
tantangan. Tidak ada tantangan itu berarti tidak perkasa. Tidak perkasa
itu, berarti tidak ada kritik. Itu artinya, kau sudah tidak menjadi
manusia lagi." Kalimat itu, ia akhiri dengan senyuman sinis, yang tidak
akan pernah aku lupakan; mengingat ibuku sudah dengan susah payah
hingga berkeringat darah berusaha mencerdaskan aku.
Demi kehormatan keluarga, terutama ibu yang membiayai seluruh proses
peningkatan kecerdasan aku, sederetan kalimat satir ini pun aku
ucapkan, "Tampaknya, kau perlu istirahat. Nanti baru mengigau lagi."
Aku langsung beranjak berdiri, melangkah pergi, demi kehormatan
keluarga dan harga diri.
"Tidak ada ukuran abadi untuk segala sesuatu! Kau memang tidak pernah
hidup dengan kritik, kecuali keabadian mimpi saja yang menghadiahimu
kenyamanan menikmati matahari yang tidak pernah terbenam ini!
Hahahaha....!!!"
[TO BGIN VIA D.D]
Monday, 8 May 2006
“MEMAHAMI 1001 CORAK ALAM KEHIDUPAN”
DISKUSI SOSIOLOGI
“MEMAHAMI 1001 CORAK ALAM KEHIDUPAN”
DASAR PEMIKIRAN
Salah satu ciri khas dari mentalitas orang awam
ialah mengira bahwa dunia sosial itu berjalan secara natural atau alami
mengikuti gerak yang diatur oleh kekuatan-kekuatan yang
supra-manusiawi. Maka jadilah orang-orang awam ini sebagai orang yang
menjalani hidupnya secara naif tanpa kesadaran reflektif akan mau
kemana dan dibawa kemana dirinya oleh dunia lingkungan sosialnya. Jika
masyarakat tersusun dari individu-individu yang demikian, maka yang
tercipta ialah sebuah masyarakat yang bermentalitas gerombolan massa
yang tak lebih dari buih-buih zaman, yang hanyut terseret arus
kian-kemari. Masyarakat yang sedemikian tak akan memiliki pertahanan
diri yang kokoh sehingga akan dengan mudahnya dibentuk dan diarahkan
oleh kekuatan-kekuatan sosio-historis yang lebih sadar dan perkasa
dibandingkan dengan dirinya. Pada saatnya, masyarakat yang sedemikian
akan kehilangan keotentikan dirinya dalam menjalani sejarahnya sebagai
sebuah masyarakat.
Tentu, masyarakat yang sedemikian rapuh dan lembek
itu bukanlah sosok masyarakat yang kita inginkan. Masyarakat yang
sedemikian akan menjadi sebuah masyarakat yang dengan tenangnya dan
naifnya menghancurkan dirinya sendiri. Masyarakat yang sedemikian akan
menjadi masyarakat yang dengan mudahnya dibentuk sesuai dengan
keinginan kekuatan-kekuatan di luar dirinya.
Untuk mencegah semakin menguatnya masyarakat yang
demikian, maka haruslah individu-individu anggota masyarakat haruslah
diajak untuk melangkah ke taraf yang lebih tinggi dari kondisi
keawamannya saat ini. Kualitas keawaman masyarakat haruslah
ditransendensi sehingga mereka tumbuh bukan menjadi masyarakat yang
hanya menjadi bahan empuk pembentukan kekuatan-kekuatan di luar
dirinya.
Sosiologi dalam konteks ini menjadi sebuah alat
analisis yang sangat berguna. Sosiologi pertama-tama menyadarkan
manusia bahwa dunia sosial itu bukanlah sesuatu yang terbentuk dan
berjalan secara alami, secara natural, namun merupakan sesuatu yang
terbentuk secara sosio-historis. Dengan kata lain, dunia sosial itu
bukanlah sesuatu mesti diterima begitu saja karena dunia sosial
merupakan produk dan sekaligus bagian dari proses sosio-historis
tertentu.
Untuk turut menyebarluaskan kemampuan penalaran
sosiologi sebagai alat analisis itu, Komunitas Diskusi Kedai Sinau
Malang mengadakan acara Diskusi Sosiologi yang bertema besar “Memahami
1001 Corak Alam Kehidupan.”
TUJUAN
Mengembangkan kecintaan dan pemahaman akan sosiologi
sebagai alat analisis yang membantu terciptanya masyarakat yang cerdas
secara sosio-historis.
TOPIK-TOPIK DISKUSI SOSIOLOGIS
Adapun topik-topik yang akan dibicarakan ialah:
- Minggu I : Bunuh Diri
- Minggu II : Pertarungan Karakter
- Minggu III : Sosiologi Televisi
- Minggu IV : Suka Berbelanja
- Minggu V : Membunuh
- Minggu VI : Kekerasan Dalam Rumah Tangga
- Minggu VII : Perilaku korup
- Minggu VIII dst: berdasarkan usulan peserta diskusi
METODE DISKUSI
Sesi Visualisasi: seorang atau lebih aktor mementaskan fragmen drama
mini tentang karakter sosiologis yang hendak diperbincangkan. Sesi ini
bertujuan untuk memberikan ilustrasi empiris mengenai topik yang sedang
diperbincangkan sehingga peserta diskusi bisa memahami realitas empiris
mana yang tengah dibicarakan.
Sesi Kajian Sosiologis: para peserta diskusi memperbincangkan topik
yang diperbicangkan dengan mendasarkan diri pada ilutrasi yang
disajikan dalam fragmen drama yang dikombinasikan dengan analisis
secara sosiologis sehingga bisa topik tersebut bisa dilihat dan
dipahami dalam konteks yang lebih luas serta dalam proses maupun
sebab-akibatnya yang menyertainya. Di sini, diskusi lebih mengarah pada
pengayaan ketimbang pada penentuan analisis yang benar.
Sesi Ide Konstruktif: pada sesi ini, para peserta diskusi baru boleh
mengajukan gagasan-gagasannya mengenai apa yang harus dilakukan
terhadap fenomena atau topik sosiologis yang sedang diperbincangkan dan
bagaimana caranya. Sekali lagi, di sini sifatnya lebih pada pengayaan.
FASILITATOR
- Eko P. Darmawan (penulis buku Agama Itu Bukan Candu, Lenin Dan Revolusi Bolshevik 1917 dll)
- Achmad Santoso (penulis dan penterjemah: buku Perang Jawa, Manusia dan Adi Manusia, Counterpleasure dll)
WAKTU
Setiap hari Rabu, pukul 19.00-selesai.
TEMPAT
Kedai Buku Sinau Malang: Jl. Bogor Atas, no. 1C Malang 65113
Tuesday, 2 May 2006
JERIT. MIMPI?
Tanggapan Atas Artikel Abdul Halim: Playboy dan Paham Kebebasan, Koran Tempo/23 April 2006
--Sudah lama aku bertanya: Mengapa bayi lahir selalu menjerit.
Menjerit, sebutan aktif penanda suara raung-melengking; bebunyian yang
tak bisa kusetarakan dengan teriak tangis atau bahana tawa.--
Menjerit, sebutan aktif penanda suara raung-melengking; bebunyian yang
tak bisa kusetarakan dengan teriak tangis atau bahana tawa.--
Dua mahluk. Bertikai. Saling hantam, nyaris menikam. Membunuh. Dua
mahluk; pengadilan pun perlu. Tampaknya: harus membaku. Membeku.
Orang ketiga, muncul. "Itu kebebasan!" Dua mahluk, saling peluk.
Memukul. "Itu kebebasan!" Rasa merasa. Melangkah dekat. Prasangka. (Dua
mahluk, hanya merasa. Merasa bebas.) Orang ketiga, "Itu kebebasan!"
Salah duga.
Orang ketiga menilai, dua mahluk bebas. Bertikai, saling gampar, saling
hajar. Bebas. Modal ; Komunal. Komunal ; Modal. Perang. (Aku dengar,
orang ketiga: sama bebas berlandas sikap dialog, saling bagi,
solidaritas.)
Dunia tak pernah tua. Barangkali.
Ah, betapa, dua mahluk, orang
ketiga, merepotkan. Padahal, sama dungu saja. Mungkin juga tidak. Tapi,
kalau mereka--dua mahluk--bebas; lalu mengapa saling ... Kata tikai
lahir dari: kuasa. Kekuasaan. Modal ; komunal. Komunal ; modal.
Pertarungan kuasa! Perang! Bukan, bebas!
Ah, bila mereka--dua
mahluk--tentu mereka--dua mahluk--sadar batasan. Karena tidak bebas,
bebas mencuat. Meloncat! Padahal, di dasar tetap saja jurang tak
beralas.
Ah, orang ketiga ... rasanya
terlalu wibawa. Tak sanggup, --ku sentuh. Dua mahluk, punya kuasa,
saling hantam; dilihat bebas. Kuasa condong korupsi; bebas: laut bunga
di tengah dahaga.
Ah, orang ketiga, dua mahluk, sama.
Ah, semoga masih ada mimpi di negeri ini.
--Sudah lama aku curiga: pasti kematian dan air mata berkerabat sangat erat. Mimpi...--
[TO D.D VIA BGIN]
Monday, 1 May 2006
PAT
Buru. Waktu. Henti. Disini. Kembali. Abadi. Luka. Bukan. Apa-apa.
Tembok. Putih. Hitam. Belukar. Memiliki. Bunga.
Pangkas. Luangmu. Di liang. Waktu. Tidak. Berumah.
Hidup. Cuma. Sebentar. Delapan puluh. Atau. Dua Tujuh. Bilangan. Genap
yang jadi ganjil. Jangan. Pikir. Di depan. Miskin. Jadi. Duri. Darah.
Bukan. Mahkota. Bisu.
Buru.
Aku.
Belum.
Tuntas.
Dikejar.
Sebelum.
Semua. Terputar. Biar.
Mati. Tidak. Kenal.
Wajahnya. Merah. Tidak. Beringas.
Hiasan bumi adalah manusia.
Kutanam dia, buahnya kau bagikan!
30 Maret 2006
widhy | sinau
Venez M’aider | PAT tak sempat mampir ke Malang
Pramoedya Ananta Toer | PAT-selalu berkata, ini jamannya kalian, orang
muda! Perubahan selalu datang dari orang muda! Orang tua sudah memiliki
karakter, susah untuk berubah, sayangnya bangsa ini telah kehilangan
karakter!
Jika saja bangsa ini penuh dengan orang muda, apakah bangsa ini kembali berkarakter?
1 Mei, sehari sebelumnya PAT menurut berita masih mengepalkan tinjunya,
ketika Romo Mudji dan Budiman Soejatmiko membisikkan kata-kata sakti,
jangan pergi bangsa ini membutuhkan Anda! Dalam koma PAT mengepalkan
tinjunya! Aku cuma bisa menafsir, perubahan selalu datang dari orang
muda!
[semoga dalam komanya PAT berjalan-jalan ke masa muda,
dimana-hitam-putihnya dibaca oleh semua orang, kawannya dalam
berpolemik Chairil Anwar-yang lebih dulu abadi dalam kumpulannya yang
terbuang/seorang eksentrik, bohemian borjuis (kah) ketika bertemu dulu?
Sikapnya yang berbeda, juga cinta dengan Indonesia! Dia mati muda,
dengan kau tak kutemukan bedanya]
Venez M’aider
Datang dan Selamatkan Aku
Seorang PAT yang aku kenal tidak akan bicara seperti itu. Juga terhadap
Tuhan yang ia yakin ada, tak perlu diminta datang karena Tuhan sudah
memberikan kebebasan, otonomi kepada manusia untuk mengatur dan
menentukan nasibnya sendiri. Dalam berbagai kesempatan ia mengungkapkan
bagaimana manusia harus menjadi manusia [atau cuma memiliki pilihan
menjadi manusia] sehingga ia bisa memahami kemanusiaan secara utuh,
tidak teror, tidak aniaya, tidak melupakan sejarah kemanusiaannya.
Bagaimana dengan masa lalu PAT, ia biasanya terkekeh sambil menghisap
dalam-dalam rokoknya [cuma lelaki sejati yang merokok-katanya ketika menawarkan sebatang rokok kepadaku yang tidak merokok]. Itu pilihan. Masa lalu adalah bagian dari pilihan, yang tidak layak untuk disesali. Saya
masih muda. Cuma orang muda yang bisa membuat perubahan. PAT orang tua
serius yang suka bercanda, matanya kadang menatap tajam orang di
depannya-mencari kesungguhan, terkadang mata itu juga menerawang
jauh-sangat jauh, jam terbangku belum sanggup mengimbangi ulang-alik
PAT dalam satu momen pertanyaan. Ia kembali mengembuskan asap rokok
yang dihisapnya dalam-dalam. Dulu tidak ada orang yang mengemis untuk
sebuah tujuan, sekarang bangsa ini jadi pengemis! Semuanya, tidak yang
muda tidak yang tua!
Perlahan aku menafsir perubahan yang terjadi seperti tokoh Bakir dalam
novelnya Korupsi (1957), perubahan seperti umur, perlahan namun pasti,
membuat lupa diri. Bakir adalah kebanyakan manusia yang hidup diluar
pagar tembok PAT.
PAT menegaskan ada yang tidak berubah.
Aku, galau dengan angka 1957-2006, Bakir dimana-mana, sekarang
berjalan-jalan di puing Leningrad, Berlin, Perancis dengan identitas
Indonesia. Adakah yang tidak berubah. PAT menegaskan eksistensi
individu yang tidak berubah. Kekalahan bukanlah akhir segalanya.
Internasionale? Kekalahan seperti yang diajarkan dalam setiap novelnya
adalah liturgi. Doa kolektif. Maka setiap novel PAT walau eksistensi
individu adalah segalanya, namun tujuan kolektif-semangat kepahlawanan
adalah standar utama karyanya, dimulai dari kualitas individu, kemudian
kelompok. Bukankah itu Adi Manusia. PAT menjawabnya tidak, itu manusia
biasa-seperti kau, aku. Lantas kualitas kepahlawanan itu? Tak
sempat dijawab. Aku lagi-lagi mencoba menafsir, kejujuran untuk
menghadapi kenyataan, sambil mencoba memahami hakikat kekalahan. Itu
kemenangan sejati. PAT yang masih sangat njawani
itu yang aku tangkap ketika bicara tentang laku batin sang maestro.
Blora, Budi Utomo, kolonial, transisi, amis revolusi, P. Buru. PAT
mengatakan antara 1947-1965 saat dimana Indonesia penuh dengan rasa
percaya diri, membangun karakter, bebas dan mencari jati diri sebagai
bangsa - lepas dari paham politiknya-aku mengatakan dalam hati – dulu
standar kepahlawanan masih sangat jelas, tokoh politik keluar masuk bui
oleh penguasa – baik penguasa inlander atau asing tak pernah gamang
dengan sikap politiknya- tak mudah dibeli sampai mati-maka bui adalah
bagian dari keindahan bersikap- dan dahulu konon benturan sikap
bukanlah pengenyahan dan penistaan terhadap yang lain.
Sekarang…
Venez M’aider
May Day
Internasionale kabarnya berkumandang bagai azan sebelum dunia serempak
merayakannya…di Utan Kayu, digumamkan di Karet Bivak…30 April 2006.
Banyak pahlawan tentunya yang datang, dengan standar Indonesia (bisa
dilihat di nisan Taman Makam Pahlawan di seluruh tanah air Indonesia).
Sebelumnya, menurut kabar, PAT mengepalkan tinju untuk terakhir kali…
Anda masih dibutuhkan di Indonesia…
Sejak 2002, PAT diundang untuk bertamu di kota Malang…venez m’aider
(lalu aku malu karenanya). Logika ketuhanan digunakan ketika orang
terus menerus menjadi (merasa) kalah. Kekalahan adalah liturgi, tafsir
aku terhadap karya PAT.
Semoga PAT tidak jadi tuhan atau hantu di Indonesia.
Cukup kematian menjadi pembebasan, toh, kita sama-sama belum tahu,
sedang apa dia disana? Walau kematian cuma memisahkan jiwa dari
tubuhnya…
Tubuh PAT adalah lembar demi lembar sikapnya dalam setiap tulisannya…jiwanya adalah apa yang bisa dijadikan inspirasi…
Bagi aku, jangan merengek apalagi mengemis!
Venez M’aider (1890 Partai Sosialis Perancis mendukung hari libur bagi kaum buruh, jatuh pada tanggal 1 May)
Relevankah dengan tinjumu yang terkahir kali?
Aku masih mencari dalam beberapa tafsir.
Salam kepada Bung Chairil yang menjadi tetanggamu, juga nisan tanpa nama yang mungkin mengilhamimu dalam setiap tulisan.
widhy | sinau
muda! Perubahan selalu datang dari orang muda! Orang tua sudah memiliki
karakter, susah untuk berubah, sayangnya bangsa ini telah kehilangan
karakter!
Jika saja bangsa ini penuh dengan orang muda, apakah bangsa ini kembali berkarakter?
1 Mei, sehari sebelumnya PAT menurut berita masih mengepalkan tinjunya,
ketika Romo Mudji dan Budiman Soejatmiko membisikkan kata-kata sakti,
jangan pergi bangsa ini membutuhkan Anda! Dalam koma PAT mengepalkan
tinjunya! Aku cuma bisa menafsir, perubahan selalu datang dari orang
muda!
[semoga dalam komanya PAT berjalan-jalan ke masa muda,
dimana-hitam-putihnya dibaca oleh semua orang, kawannya dalam
berpolemik Chairil Anwar-yang lebih dulu abadi dalam kumpulannya yang
terbuang/seorang eksentrik, bohemian borjuis (kah) ketika bertemu dulu?
Sikapnya yang berbeda, juga cinta dengan Indonesia! Dia mati muda,
dengan kau tak kutemukan bedanya]
Venez M’aider
Datang dan Selamatkan Aku
Seorang PAT yang aku kenal tidak akan bicara seperti itu. Juga terhadap
Tuhan yang ia yakin ada, tak perlu diminta datang karena Tuhan sudah
memberikan kebebasan, otonomi kepada manusia untuk mengatur dan
menentukan nasibnya sendiri. Dalam berbagai kesempatan ia mengungkapkan
bagaimana manusia harus menjadi manusia [atau cuma memiliki pilihan
menjadi manusia] sehingga ia bisa memahami kemanusiaan secara utuh,
tidak teror, tidak aniaya, tidak melupakan sejarah kemanusiaannya.
Bagaimana dengan masa lalu PAT, ia biasanya terkekeh sambil menghisap
dalam-dalam rokoknya [cuma lelaki sejati yang merokok-katanya ketika menawarkan sebatang rokok kepadaku yang tidak merokok]. Itu pilihan. Masa lalu adalah bagian dari pilihan, yang tidak layak untuk disesali. Saya
masih muda. Cuma orang muda yang bisa membuat perubahan. PAT orang tua
serius yang suka bercanda, matanya kadang menatap tajam orang di
depannya-mencari kesungguhan, terkadang mata itu juga menerawang
jauh-sangat jauh, jam terbangku belum sanggup mengimbangi ulang-alik
PAT dalam satu momen pertanyaan. Ia kembali mengembuskan asap rokok
yang dihisapnya dalam-dalam. Dulu tidak ada orang yang mengemis untuk
sebuah tujuan, sekarang bangsa ini jadi pengemis! Semuanya, tidak yang
muda tidak yang tua!
Perlahan aku menafsir perubahan yang terjadi seperti tokoh Bakir dalam
novelnya Korupsi (1957), perubahan seperti umur, perlahan namun pasti,
membuat lupa diri. Bakir adalah kebanyakan manusia yang hidup diluar
pagar tembok PAT.
PAT menegaskan ada yang tidak berubah.
Aku, galau dengan angka 1957-2006, Bakir dimana-mana, sekarang
berjalan-jalan di puing Leningrad, Berlin, Perancis dengan identitas
Indonesia. Adakah yang tidak berubah. PAT menegaskan eksistensi
individu yang tidak berubah. Kekalahan bukanlah akhir segalanya.
Internasionale? Kekalahan seperti yang diajarkan dalam setiap novelnya
adalah liturgi. Doa kolektif. Maka setiap novel PAT walau eksistensi
individu adalah segalanya, namun tujuan kolektif-semangat kepahlawanan
adalah standar utama karyanya, dimulai dari kualitas individu, kemudian
kelompok. Bukankah itu Adi Manusia. PAT menjawabnya tidak, itu manusia
biasa-seperti kau, aku. Lantas kualitas kepahlawanan itu? Tak
sempat dijawab. Aku lagi-lagi mencoba menafsir, kejujuran untuk
menghadapi kenyataan, sambil mencoba memahami hakikat kekalahan. Itu
kemenangan sejati. PAT yang masih sangat njawani
itu yang aku tangkap ketika bicara tentang laku batin sang maestro.
Blora, Budi Utomo, kolonial, transisi, amis revolusi, P. Buru. PAT
mengatakan antara 1947-1965 saat dimana Indonesia penuh dengan rasa
percaya diri, membangun karakter, bebas dan mencari jati diri sebagai
bangsa - lepas dari paham politiknya-aku mengatakan dalam hati – dulu
standar kepahlawanan masih sangat jelas, tokoh politik keluar masuk bui
oleh penguasa – baik penguasa inlander atau asing tak pernah gamang
dengan sikap politiknya- tak mudah dibeli sampai mati-maka bui adalah
bagian dari keindahan bersikap- dan dahulu konon benturan sikap
bukanlah pengenyahan dan penistaan terhadap yang lain.
Sekarang…
Venez M’aider
May Day
Internasionale kabarnya berkumandang bagai azan sebelum dunia serempak
merayakannya…di Utan Kayu, digumamkan di Karet Bivak…30 April 2006.
Banyak pahlawan tentunya yang datang, dengan standar Indonesia (bisa
dilihat di nisan Taman Makam Pahlawan di seluruh tanah air Indonesia).
Sebelumnya, menurut kabar, PAT mengepalkan tinju untuk terakhir kali…
Anda masih dibutuhkan di Indonesia…
Sejak 2002, PAT diundang untuk bertamu di kota Malang…venez m’aider
(lalu aku malu karenanya). Logika ketuhanan digunakan ketika orang
terus menerus menjadi (merasa) kalah. Kekalahan adalah liturgi, tafsir
aku terhadap karya PAT.
Semoga PAT tidak jadi tuhan atau hantu di Indonesia.
Cukup kematian menjadi pembebasan, toh, kita sama-sama belum tahu,
sedang apa dia disana? Walau kematian cuma memisahkan jiwa dari
tubuhnya…
Tubuh PAT adalah lembar demi lembar sikapnya dalam setiap tulisannya…jiwanya adalah apa yang bisa dijadikan inspirasi…
Bagi aku, jangan merengek apalagi mengemis!
Venez M’aider (1890 Partai Sosialis Perancis mendukung hari libur bagi kaum buruh, jatuh pada tanggal 1 May)
Relevankah dengan tinjumu yang terkahir kali?
Aku masih mencari dalam beberapa tafsir.
Salam kepada Bung Chairil yang menjadi tetanggamu, juga nisan tanpa nama yang mungkin mengilhamimu dalam setiap tulisan.
widhy | sinau
Subscribe to:
Posts (Atom)