
Pledoi ke-1 dari dunia ‘Legenda Cinta’
Sosiologikasinya-Susah-Jadi-Manusia dari dunia ‘Legenda Cinta’
Sebagai orang
Tentunya, dalam artikel ini sangat tidak efesien dan tidak sederhana bila saya memaparkan bagaimana prosesnya Negara
Oiya, dalam pengertian saya yang ber-antro-sosio-kultur-jawa, manusia seutuhnya itu adalah manusia yang harmonis dan seimbang; manusia yang manusiawi; bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya (proporsional); manusia yang bersedia menyadari dan mampu berdamai dengan segala kekurangan dan kelebihan sebagai karunia yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa kepadanya tanpa perlu menjadi berlebihan. Dan, sekali lagi, hal ini tidak sederhana dan tidak efesien jika saya paparkan panjang lebar.
Jadi, sangatlah manusiawi sekali bila hal tersebut di atas mengilhami beberapa orang untuk mematronkan kalimat ‘Buanglah Sampah Pada Tempatnya’ atawa ‘Lebih Baik Terlambat daripada Tidak Samasekali’ sebagai salah satu kultur hidupnya. Dan, pendekatan untuk fenomena itu, agar lebih sederhana dan bukan untuk gagah-gagahan, karena prinsip dasar ilmu etis (etimologi, tanpa logika lho – pen.), saya sebut sebagai Sosiologikasinya-Susah-Jadi-Manusia.
Kepolosan Kanak
Penyebutan ini hanyalah ‘kepolosan kanak’ dari Imaginary Homeland satu individu yang suka meng-avatar-kan dirinya sebagai ferre_suga@yahoo.com, yakni saya sendiri, saat bermain-main secara serius dengan kata-kata. Ironisnya – e, maaf – maksudnya, paradoks-nya, SEDERHANA itu ternyata sangat KOMPLEKS sekali. Contohnya, saat Jong Java, Jong Ambon, Jong Andalas dan Jong-Jong lainnya saat di’sederhana’
Saya kira inilah landasan ‘sosiologikasinya-susah-jadi-manusia’nya: saat satu individu – yang biasa dipanggil Socrates – bertekad bulat mencari manusia di siang hari bolong di antara kerumunan sebuah tempat yang disebut pasar dengan membawa sebuah obor yang menyala-nyala; Ketika satu tokoh drama karya Shakespeare – Hamlet – berteriak, “To be or not to be!” dalam salah satu adegan kehidupannya; jika Nietzsche mencoba membunuh tuhan untuk menemukan hakekat kemanusiaannya; dan masih banyak contoh lainnya. Yang, sangat tidak efektif dan tidak sederhana kalau disebutkan satu persatu.
Faktanya, sebagian kerumunan, terutama di jaman selanjutnya, dengan kepolosan kanak-nya mampu memahami fenomena ‘mereka-mereka’ itu sebagai sebuah kepolosan kanak pula. Kiranya ini bukan kerterlambatan atau, kalau boleh meminjam istilah kawan David Tobing, sebuah ke-telmi-an (dalam terminologi apapun), karena masalah ini abadi sebagai sebuah esen atawa, dalam bahasa sederhananya, an sich. Hakekat manusia adalah sama – masih adam dan hawa yang sama – sebagai sebuah kesederhanaan yang utuh. Masa lalu, kini atau besok sama saja.
Entah di kerumunan atau dalam ruangnya sendiri, permasalahan yang ditemui seorang manusia tetaplah sama. Inilah salah satu argumen kenapa sebuah karya yang sangat personal sekalipun tetap punya peluang untuk mampu menjadi universal saat memasuki ruang publik. Jadi, tidaklah perlu menuntut kerumunan itu agar menjadi tidak serius atau serius (kata ‘seri(e)us’ dalam bahasa sunda, malah berarti ‘tertawa bersama-sama’, nah lho). Karena saya, kamu, dia, mereka, dan juga kita – termasuk juga para rocker – tetaplah seorang manusia, atau lebih tepatnya ‘merasa sebagai seorang manusia’.
Bahkan, dengan pendekatan Sosiologikasinya-Susah-Jadi-Manusia, saya tidak mesti menjelaskan apa-apa, apalagi sampai harus memaksa, seseorang ataupun suatu kerumunan untuk berubah menjadi siapa-siapa dan apa-apa demi bisa mengetahui, memahami plus menghayati (bahkan mungkin saja mengimani) sebuah pendekatan, karena semua secara otomatis (baca: hukum alam) akan berjalan untuk mencapai suatu keseimbangan, harmoni yang indah. Di samping itu, memang sudah ada dengan apa yang dinamakan dengan agama.
Dekontruksi-rekontruksi-kontruksi pun hanyalah perputaran-perputaran yang saling menyempurnakan keberadaannya masing-masing. Seperti halnya tesa-antitesa-hipotesanya failosof yang saya lupa namanya itu. Jadi, kepositif-negatif-netralan sebuah pemikiran harus dikembalikan kesubyeknya masing-masing, yakni, sang bumi asali yang biasa disebut manusia. Ini karena yang dipercaya oleh Yanh Maha Kuasa untuk memelihara dan mengelola KATA, hingga bisa beranak-pinak seperti sekarang ini, adalah makhluk manusia.
Tidak dibelahan dunia manapun suatu KATA dilahirkan, kecuali di tempat seorang MANUSIA dilahirkan, tempat di mana Adam dan Hawa memakan buah Khuldi itu. Sebuah tempat yang saya sebut sebagai The Imaginary Homeland. Satu tempat tanpa batas, tanpa batasan, tanpa keterbatasan, tanpa Keraguan, tanpa Keterpisahan, tanpa Ketakutan, tanpa Kegelisahan, dan bahkan tanpa dengan apa yang biasa disebut Kematian.
Betapa paradok-nya saya saat dalam pendekatan Sosiologikasinya-Susah-Jadi-Manusia ini menemukan bahwa hakekat keutuhan adalah keterpecahbelahan; suatu yang segmented. Faktanya, ilmu pengetahuan menemukan bahwa keutuhan materi merupakan kumpulan dari atom-atom dan seterusnya.
Faktanya lagi, meski tubuh adalah satu kesatuan yang utuh, tetap saja saat satu makanan tertentu ber-hamonisasi dengannya, secara ETIS, ETIK, ataupun LOGIS harus masuk melalui mulut dan keluar dari dubur, kecuali untuk yang lagi sakit parah (dengan mengunakan infus) lho. Karena, faktanya, MULUT dan DUBUR adalah sebuah keterpisahan pula. Dan, yang penting untuk diingat lagi, saat seseorang makan nasi, maka bukan nasi pula yang dikeluarkannya. Inilah yang dinamakan dengan PROSES.
‘Legenda Cinta’ bukanlah sekedar sebuah kelegaan bercinta ataupun kelegaan sesudah bercinta, apalagi sebuah kemarahan maupun kesakitan. ‘Itu’ adalah tempat di mana Imajinasi tercipta dan dibesarkan sebagai karya yang sempurna. Adalah tempat dimana seorang manusia dilahirkan dan dikembalikan. Adalah ruang kosong yang sarat pemaknaan itu.
KUN
Dalam pendekatan Sosiologikasinya-Susah-Jadi-Manusia hidup itu a-definitive, bukan cuma karena satu atau dua kalimat yang definitive lantas semua PROSES harus terhenti, seperti saat seorang Tung Pay – tokoh manusia berwujud babi dalam sebuah legenda tentang pencarian sebuah kitab kebenaran di arah Barat – mencoba menjadi sepolosnya kanak dengan berkata, “Inilah cinta, penderitaannya tiada akhir.”
Dengan Sosiologikasinya-Susah-Jadi-Manusia ini pula, saat saya MERASA telah bertindak MERDEKA dengan segala pemikiran dan attitude saya dikehidupan nyata, tiba-tiba saya menyadari semua itu adalah By Setting dari Invisible Iand sang Puppet Master. Termasuk saat saya berfikir bahwa tidak ada hal yang bernama ‘KEBETULAN’ itu. Jadi, bukan cuma karena kerumunan pembaca, seseorang menulis, dan bukan hanya karena nama besar sang penulis saat seorang pembaca pun tercerahkan saat membaca sebuah tulisan. Bisa jadi itu adalah Jalan Hidup yang memang harus dilalui dengan kesetiaan yang tulus.
Ah, jadi ingat iklan rokok yang memiliki slogan ‘Bukan Basa-Basi’ itu. Iklan yang bergambar orang-utan dengan tulisan di bawahnya : SUSAH YA JADI MANUSIA. Harus selalu berfikir dan berproses tanpa batas tapi dengan selalu menyadari kediriannya hanyalah satu makhluk primata kelas tertinggi semata.
Bintaro, 22 Maret 2006
Sign,
Ferre Suga
Wellcome to my Imaginary Homeland: Kampung Imaji
oi...., ini pledoi cuma satu atau ada yang laennya. Kalo cuma satu, lemah euy..... Masa' sih susah jadi manusia? Emangnya jadi binatang apa lebih gampang? Kurang cihuy nih pledoi.... Terus, cuma atu lagi. Yang lebih kejam ada engga'?
ReplyDeleteHi
ncie ot mtee uyo :)
pada dasarnya cinta adalah kamuflase, cinta merupakan relasi kuasa dimana hubungan2 yang dijalin dlm mekanisme cinta adalah mekanisme untuk saling menguasai antara satu pihak kepada pihak lain yang didasari motif2 kepentingan dibaliknya. Motif yang paling sederhana adalah karena menginginkan harta dan kenikmatan seksual (atau bisa agama, kecantikan, kedudukan, dll). Motif-motif inilah yang sesungguhnya eksis.
ReplyDeleteContoh lain bahwa di balik “panggung depan” cinta ada sebuah backstage yang dipenuhi motif-motif kepentingan adalah evolusi dari cinta itu sendiri, yang mana pada titik tertentu mengalami perubahan (bagi beberapa orang perubahan ini dikatakan sebagai peningkatan, bagi yang lain adalah degradasi), yaitu evolusi cinta menjadi tugas, tugas untuk memenuhi hak dan menjalankan kewajiban, dan perubahan ini bukan hanya pada “kostum”-nya saja tapi juga diiringi dinamika perubahan pada pola kepentingan-kepentingan menuju lebih kompleks; seperti nafkah dan perlindungan.
Tapi kenapa salah satu bentuk relasi kuasa yang dinamakan cinta ini tidak pernah berhenti digemari? karena kuasa cinta telah menguasai dan mendisiplinkan jiwa dan raga seorang pencinta, sehingga mereka terjangkit dan sakit namun tak ingin diobati dan disembuhkan.