Jika kali ini aku kuning, besok merah, lusa jingga tak mengapa. Kemarin
aku abu-abu. Yang kebetulan warna favoritku. Demikianlah, sampai kita
merasakan keindahan yang datang tiba-tiba setiap kali membaca atau
mendengar puisi, syair. Dan mulai mendiskusikannya ini tepat untukmu,
tidak, ini pas sekali untukmu. Dimana ada keindahan yang begitu
menggoda selain kata-kata yang kita mengerti atau lebih indah sehingga
tak terkatakan, atau ternyata segala keindahan itu bukan kata-kata sama
sekali. Namun sebuah suasana, pemandangan dua, tiga dimensi. Atau
sekadar ruang yang tak perlu dinamakan keindahan. Karena ruang sudah dipenuhi
makna.
Membaca puisi dalam Legenda Cinta di poet corner#5 layaknya seorang
arkeolog, berusaha menafsirkan satu persatu kata yang berhubungan
dengan masa silam. Konsepnya kata-kata tidak hadir secara kebetulan,
dari pengalaman lalu menjadi fiksi, begitulah yang kira-kira ditangkap
kawan Wildan. Sehingga segala kesengajaan kata-kata yang dipilih
seharusnya tidak terlalu dekoratif, lebih sederhana. Padahal masa silam
biasa digambarkan sendu, sephia, atau hitam putih, tidak terlalu full
colur, atau penuh dengan cita rasa kemewahan.
Sebagai arkeolog tentu yang dicari adalah akar kata, perumpamaan yang
dianggap penting. Apakah benar perumpaman tersebut mewakili isi dari
keseluruhan puisi sehingga bisa dimaknai sebagai sebuah kejadian masa
lalu. Bagaimanapun perlu sok tahu, kata David, sebab hidup terlalu
singkat untuk belajar mencari serba tahu. Waktu tak terhingga sedangkan
kita sementara. Dan kawan Jibal berkata, ada hal khusus yang ditawarkan
dalam melihat sejarah yang bukan milik umum-tapi milik penulis. Hal
khusus tersebut adalah bukan tamu yang siapa saja bertandang pada
setiap waktu senggang dan sibuk. Tapi umat (pembacaan yang dibalik-tidak konvensional), kolektifitas penulis,
afiliasinya, sehingga penelusuran masa lalu dapat dilihat sebagai
kekhususan. Dengan demikian dapat ditemukan interior asal rumah penulis
yang siap menerima umat/kelompoknya untuk diajak berdialog, yang
setelah sesuatu yang berhubungan dengan puisi telah dituntaskan
pembahasannya. Berkomunikasi tentu lebih nyaman jika dengan bahasa yang
dipahami kedua pihak.
Puisi-puisi dalam Legenda Cinta, sesuai dengan namanya, lebih banyak
bercerita tentang masa lalu/arkaik dilihat dari pilihan kata. Arkaisme
adalah sebuah gerakan dalam puisi yang banyak menggunakan idiom,
kata-kata dari khazanah masa lalu, kitab suci, cerita rakyat yang
jarang digunakan sehari-hari. Sehingga seperti dongeng, naratif. Namun
pembatasan ini dalam sisi artistik sebenarnya tidak kaku, apalagi dalam
sebuah karya puitik yang dapat saja melintasi ruang dan waktu. Dalam
dua puisi yang dibahas pada poet corner#5 ternyata diakui penulis
sebagai sebuah pencarian terhadap pemaknaan kembali akar sejarah yang
menjauh: manjadi orang Jawa. Walaupun dua puisi ini tidak terlalu
merepresentasikan ke-Jawaan penulis namun di puisi lainnya penulis
mencoba memasukkan unsur pewayangan dalam pilihan kata-kata dan latar
belakang narasinya. Arkaisme berkaitan dengan hal-hal yang seperti ini.
Dari sisi kontruksi artistik yang perlu dipertanyakan adalah apakah ada
tawaran dalam menggunakan bahasa, atau bentuk baru yang ditawarkan oleh
puisi dalam Legenda Cinta.
LEGENDA CINTA
1.
Lhaksmi, kaulah bidadari terakhir di muka bumi ini
Yang dilahirkan hanya untuk menjadi kekasihku
Seperti api yang mematang tanpa harus menghanguskan
Seperti air yang mengaliri tanpa harus membanjiri
Seperti bumi yang menumbuhkan tanpa harus menghancurkan
Seperti udara yang menghidupi tanpa harus membadai
Seperti aku dulu yang sangat mencintaimu
Kekasihku¸ masihkah engkau sahaja?
2.
Bukannya aku sedang ingin meromantis, saat aku bertanya:
Engkaukah perempuan itu
Yang telah mengambil satu tulang rusukku?
Jawab saja dengan anggukan yang dalam
atau katakan iya
Kan ku berikan sekujur tubuhku beserta jiwanya
Asal jangan
Kau tinggalkan aku
Di sorga ini
Sendirian
Lagi
3.
Wahai, jiwa yang tertidur dalam arca
Datang dan tepatilah janji seribu tahun kita
Bagai Whisnu yang bentangkan gendewa asmara Sri Rama
Cepat
Lesat
Tepat tancapkan anak panah di tengah hatimu
Biarkan saja para Batara tersipu
Tatkala melihat kita menarikan khamasutra dari bab yang paling rahasia
Arkaisme terletak pada kata-kata gendewa, Batara, dan keseluruhan
cerita tentang percintaan yang diambil dari kisah pewayangan. Frasa
‘tepatilah janji seribu tahun kita’ mungkin juga diambil dari
kisah yang sama, jika demikian bait ketiga adalah kata-kata yang sangat
diinspirasikan oleh literatur pewayangan. Karena pada bait yang
ditulis, kisah-kisah yang ada tidak disubversi oleh penulis sehingga
menjadi sebuah versi ‘sejarah’ lain.
Pada sajak KUN terdapat alegori (kata-kata yang dilihat dari balik
permukaannya, penggunaan yang berhubungan dengan tanda-tanda tertentu,
biasanya untuk menggantikan simbol-simbol agama/religius). Dari
judulnya sudah terlihat maksud dari alegori ini, yaitu seperti sebuah
kisah kejadian.
Lalu pada bait kedua ‘tentang kisah-kisah nabi dan rassul yang lantas
mati terbunuh oleh bangsanya sendiri’. Hal ini merupakan suatu
pemberitaan yang tidak baru karena cerita ini memang sebuah cerita yang
didengar kebanyakan anak-anak yang pernah ikut ‘ngaji’, sehingga
terlihat pula kerinduan akan masa lalu, yang ingin diungkapkan disini.
Pada bait pertama, terdapat perumpaman cinta bagaikan langit dan bumi,
sebuah perbandingan yang tidak menemukan pasangannya-seperti hidup dan
mati, bagaikan sekeping mata uang. Disini cinta memiliki dua sisi,
langit dan bumi. Pandangan ini seakan memposisikan dua buah kutub. Yang
kemudian dijelaskan pada bait berikutnya juga dengan perumpamaan
‘seperti’ – yang memiliki 4 anak kalimat (1) lilin yang tidak mau
percaya, (2) menodai kemurnian gelap, (3) sehingga rela, (4) membakar
dirinya sendiri.
Konsekuensinya adalah:
(1) cinta adalah membutakan, sehingga akan membakar dirinya sendiri,
(2) cinta membutakan sehingga dapat menodai sebuah kemurnian,
(3) cinta menodai kemurnian dirinya sendiri dengan rela
(4) cinta rela membakar dirinya sendiri setelah berusaha percaya bahwa
ia tidak membakar dirinya sendiri karena rela adalah sebuah pengorbanan.
Nyala lilin memang menodai kemurnian gelap, jika itu cinta cahaya maka
diasumsikan cinta sebagai sebuah unsur yang dapat menodai sebuah
kegelapan/ketiadaan cinta. Hubungan dengan ‘cinta bagaikan langit dan
bumi’ disini menjadi sedikit kacau kecuali maksud dari perumpamaan ini
adalah cinta yang memang dapat menyembuhkan atau membuat sakit, namun
konsekuensi melukai diri sendiri ini adalah resiko dari sebuah cinta
atau menjadi lilin.
Jika dihubungkan dengan pandangan kaum dekonstruksi langit dan
bumi tidaklah biner (beroposisi) namun sebuah komposisi, yang
menggambarkan sebuah ragam perbedaan, dibandingkan sebuah ragam sesuatu
yang harus dihadap-hadapkan. Dalam dekontruksi ini maka gelap dan
terang, bukanlah sesuatu yang harus selalu diperlawankan, karena
keberadaan salah satunya merupakan syarat ‘adanya’ keberadaan yang
lain. Cinta tidak pernah menodai siapapun/apapun juga, begitu juga
cahaya lilin.
Pada bait selanjutnya kembali terdapat arkaik dimana semesta raya
adalah kun fa yakun, jadi maka jadilah-dimana semesta raya dipercaya
tidak terjadi dengan sendirinya. Seperti anak-anak yang mulai memberi
tanda pada setiap sesuatu yang membuatnya penasaran-apa ini, apa itu.
Kemudian ditutup oleh bait berkatalah, membacalah semesta yang telah
kau tandai, jika tidak maka semuanya akan hilang hanya jadi
kata-kata-tanpa ada makna. Atau Tuhanpun tiada, bukan hanya ‘ajakan’
kepada kita yang meniada, namun juga ajakan untuk memikirkan ‘tuhan’
yang cuma kata-kata. Apakah kita juga akan ‘menjadikannya’ tiada. Ini
sebuah aforia dimana ada kemungkinan yang ditawarkan apakah pernyataan
tersebut
Berkatalah/Selalu/Atau kita akan tiada/Karena Tuhan pun di sini hanya
kata-kata! Benar adanya. Kesimpulan yang diambil pembaca diinginkan
penulis membenarkan pernyataan ‘kita akan tiada’.
KUN
Berkatalah,
Cinta adalah langit dan bumi
Seperti lilin yang
tak mau percaya bahwa sinarannya telah menodai kemurnian gelap, hingga
ia selalu rela saat mulai harus membakar dirinya sendiri.
Berkatalah,
Kesadaran pasti akan
datangi kita laksana kerinduanmu akan masa kanak yang pernah singgah
kala kau rebah dipelukan bunda untuk dengarkan kisah-kisah nabi dan
rassul yang lantas mati terbunuh oleh bangsanya sendiri.
Berkatalah,
Maka, jadilah semesta raya!
(yang kau rangkumkan
di kedalaman hati kecilmu seperti saat kau ciptakan dirimu sendiri di
dalam segala benda dengan segala istilah dan kata)
Berkatalah,
Selalu,
Atau kita akan tiada,
Karena Tuhan pun di sini hanya kata-kata!
Dalam puisi DAN kembali masa lalu hadir, arkaik yang kental ini,
merupakan keinginan penulis untuk membagi kisah-kisah religius, namun
pada kalimat ‘dua kalimat seluruh hikmat yang mutlak tanpa besaran
absolut’, dimana dua kalimat seluruh hikmat yang dimaksud adalah sebuah
kalimat syahadat, ‘mutlak tanpa besaran mutlak/absolut’ menjadi
paradoks sendiri dalam kalimat ini, putih yang bukan putih adalah
contoh yang kurang tepat namun memiliki kebingungan yang sama. Atau ini
merupakan aporia yang lain, pernyataan yang memang dibuat untuk menjadi
sebuah pertanyaan yang sukar untuk dijawab/disimpulkan.
Pada alegori yang lain ‘bumi di mana sorga dan neraka bersebadan
menjadi satu tubuh’ dapat dilihat perumpamaan yang menyatakan ‘justru’
pada keyakinan penulis bahwa bumu bukanlah tempat yang ideal, dimana
penulis yang senang menggunakan oposisi berkeyakinan manusialah tempat
dimana surga dan neraka bersatu. Hal ini mengingatkan juga pada
cerita-cerita agama, tentang kesempurnaan manusia, adalah kemampuannya
untuk bernalar dalam menentukan salah dan benar.
DAN
Doa kali ini hanyalah untuk malam hari saja,
Bagai dua kalimat seluruh hikmat yang mutlak tanpa besaran absolut,
Saat merampaikan selintas garis merah keduabelasribu syair satu tahun
Ke pangkal leher setiap makhluk yang mengaku dirinya sebagai manusia
Karena tuhan tidak ada di sana
Ia hidup di bumi bersama kita
Bumi di mana sorga dan neraka bersebadan menjadi satu tubuh
: MANUSIA!
Secara keseluruhan Legenda Cinta berhasil memprovokasi pembaca unuk
mencari tahu, literatur apa yang sedang diusung penulis sebagai sebuah
wacana yang disorongkan untuk didialogkan. Hal ini merupakan kebiasaan
para penulis yang sedang bernostalgia untuk menemukan kembali kearifan
masa silam, dengan membuat pembenaran secara konvensional atau
melakukan dekonstruksi atau menafsirkan ulang, sehingga mitos tersebut
tetap aktual.. penyair Eropa abad pertengahan mengajukan puisi sejenis
dengan mengutip dan menggunakan mitologi Yunani yang mewakili
‘kebesaran’ Eropa.
Dalam sisi pencarian bentuk, kawan Wildan menyatakan cinta yang
begitu
agung pada zaman sekarang terlihat usang dan jauh dari semangat zaman
yang coba menyederhanakannya. Ia juga menyatakan menyederhanakan
kata-kata penting ketika menulis puisi, sehingga puisi tersebut tidak
jauh dari keseharian. Dari sisi bentuk seperti yang dikemukakan diatas,
puisi ini masih memiliki bentuk yang konvensional dengan tawaran wacana
tentang cinta yang konvensional pula, tidak liar, membuat penasaran,
dan jahil mencoba mendobrak ketabuan. Sehingga puisi seperti ini bertendensi mengajari pembaca (didaktik).
Saya jadi teringat sebuah kalimat dari seorang sufi, “…waktu yang
paling jauh dari sisi kita adalah masa lalu, yang dijadikan resiko
peruntungan adalah masa kini, dan jarak terdekat adalah masa depan…”
Mungkin inilah yang menjadikan sebuah puisi menjadi sangat
‘menggiurkan’ ketika berhasil membuat ‘peruntungan’untuk menyelesaikan
problem kekinian, sehingga hidup lebih indah dengan resiko yang
ditanggung kini dan disini. Karena kemegahan masa lalu seringkali
menjebak menjadi dekorasi semata.
Ah…ini album keluarga, tentang cinta
yang bicara tentang dirinya, padahal cinta bisa jadi mengenai semua
kata. Freddie Mercuri penah berkata dalam titel lagunya, a crazy little thing called love...
[widhy |sinau]
No comments:
Post a Comment