Wednesday, 1 March 2006

Modigliani

Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Drama
DEDO or MODI

Amedeo Clemente Modigliani (12 Juli 1884 - 24 Januari 1920), pelukis-cum-pematung berdarah Yahudi-Italia, kelahiran Livorno, Italia. Dedo atau Modi, panggilannya.
Pablo Diego Jose Santiago de Paula Juan Nepomuceno Crispin Crispiniano de los Remedios Cipriano de la Santisima Trinidad Ruiz Picasso (25 Oktober 1881 - 8 April 1973), pelukis-cum-pematung Spanyol, kelahiran Malaga, Negeri Matador. Dialah, Pablo Picasso; disapa Pablo.

--Ah, pengetahuan ini sebenarnya biasa saja. Anda tinggal masuk ke situs wikipedia, lalu mengetik 'Modigliani' atau 'Pablo Picasso' pada blok 'search'. (Tidak ada yang luar biasa 'kan?)--

Sebagai manusia, unsur kepastian atau keniscayaan selalu melekat. Keniscyaan. Demikianlah sebuah cerita hadir--serupa dengan manusia--memiliki keniscayaan. Entah membuat orang percaya atau tidak; entah membuat orang berpikir atau tidak; yang pasti: ada 'sesuatu' yang bisa diambil dari sebuah cerita. Sebagai tambahan, sekalipun 'sesuatu' itu tidak berguna. Masalahnya, tinggal menanti tingkat kejelian penyimak cerita; atau kejelian penyampaian cerita (dalam hal ini: penyaji cerita). Maka, demikianlah Modigliani hadir.
Sabtu, 26 Februari 2006, saya menikmati sajian film Modigliani. Entah besutan siapa, saya tidak tahu. Yang pasti, film itu dibintangi oleh Andy Garcia, seorang aktor Hollywood yang pada dasarnya tidak saya sukai. Ya, saya tidak menyukai Andy Garcia, karena nama lelaki itu tidak menarik, memikat bagi saya. Dan, tidak ada satupun kenangan yang menempel tentang dia dalam memori saya; seperti Sean Connery. Aktor gaek bernama enak itu lebih melekat dalam kepala saya. Pasalnya, 'The Rock' memberikan kenangan tersendiri untuk mengenang dia sebagai aktor yang hebat, setidaknya bagi saya.
Bagi saya, Modigliani merupakan film yang menarik. Film yang memikat. Alurnya, semi-akhir 'menuju' akhir. Sederhananya, alur mundur.
Sebenarnya, kalau menurut saya, film Modigliani bertemakan pencarian jati diri. Memang, tema besar itu memiliki banyak lapisan. Ibarat bawang, ada lapisan yang berisi persaingan, percintaan, ras, persahabatan, pun pemberontakan; juga penghormatan. Tentunya, menghasilkan sebuah drama ironik; meski belum mencapai tataran magnum-opus.
Selama cerita berlangsung, alur konflik terbangun dengan bagus. Indah. Namun, disatu sisi, saya merasakan kekurangan mendasar dalam film tersebut. Paradoks yang sangat tidak masuk nalar. Mengapa Jeanne harus bunuh diri? Beragam tayangan yang muncul, tidak memberikan petunjuk yang kuat, mengapa Jeanne yang ketika itu mengandung harus terjun dari lantai dua. Akhirnya, jelas saja dia mati.
Bagi saya, alasan perilaku Jeanne tidak ada yang kuat. Memang, ada alasan yang, menurut saya, terpaksa dikategorikan 'kuat'. Kematian Modigliani. Kecintaan Jeanne kepada Modigliani yang harus mati dipukuli oleh penjaga bar (dan memang, Modi layak mati sebab dia tidak membayar apa yang telah dia minum di dalam bar, beberapa waktu sebelum pameran kompetisi dibuka. Artiinya, dia telah merugikan orang lain.) tampaknya bukanlah alasan bagi Jeanne untuk mati. Bagi saya, tampak seperti kekonyolan, bila tidak mau disebut ketololan!
Mungkin, bisa saja dikatakan, Jeanne memiliki takdir untuk selamanya bersama dengan Modigliani. Dan, argumen tersebut didukung oleh pernyataan ibunya kepada ayahnya, kalau tidak salah, "You cannot change her destiny." Atau dalam bahasa Indonesia, "Engkau tidak bisa merubah takdir dia." Engkau dalam hal ini merujuk pada ayah Jeanne; dan dia merujuk pada Jeanne. Sebagai tambahan, dalam film tersebut memang digambarkan betapa ayah Jeanne membenci Modigliani. Entah karena dia berdarah Yahudi atau dia pelukis atau dia tak bertanggung jawab. Apapun itu, tampaknya saya tidak menemukan kelemahan mendasar dalam sikap ayah Jeanne. Beda halnya dengan, kembali ke awal, sikap Jeanne yang memutuskan bunuh diri.
Terkait argumen yang dilontarkan ibu Jeanne, tampaknya film Modigliani tidak hendak berbicara takdir. Untuk menguji argumen itu, buktinya sederhana. Kematian Modigliani disebabkan oleh dirinya sendiri yang tidak membayar minuman yang ia minum. Tingkah laku demikian adalah wajar dan lumrah. Ia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Kalau kita berandai-andai, bila Modigliani membayar minumannya, maka dia tidak mungkin mati. Tidak akan ada pencuri atau perampok yang akan membunuhnya, sebab dia itu miskin. Nah, dengan demikian alasan kematian Modigliani cukup jelas dan terang. Itu bukan masalah takdir.
Beda dengan kematian Jeanne. Dari awal film Jeanne selalu berjuang, berusaha agar dia bisa bersatu dengan Modigliani. Dan, dia memang akhirnya bersatu dengan Modigliani. Untuk itu semua, ia harus merelakan anak pertamanya--dari hasil persilangan dirinya dengan Modigliani--diambil ayahnya. Jika dia memang sudah bersatu dengan Modigliani, keinginannya sudah tercapai, lantas mengapa dia bunuh diri setelah Modigliani meninggal dunia. Alangkah absurdnya alasan dia bunuh diri karena dia cinta kepada Modigliani. Bukankah Jeanne menjadi tokoh yang absurd dalam film ini. Apa tujuan dia hadir? Hanya sebagai penceritakah? Atau sebagai pelengkap saja? Tapi, aku melihat Jeanne hadir hanya sebagai pemanis konflik saja. Pada dasarnya, tanpa atau ada Jeanne, Modigliani tetap berhasil membuat lukisan yang menjadikan dirinya pemenang dalam kompetisi berhadiah lima ribu franc itu. Alasannya, jelas. Dia sudah menemukan dirinya. Ketika dia sudah menemukan dirinya, saat itulah ia mati. Pewaktuan yang tepat, hingga membuat saya terangguk-angguk.

Renoir: "Are you mad?"
Modigliani tersenyum, melalui bahasa tubuh ia menyampaikan: "Kegilaan saya sedikit."

Maaf, rasanya, tulisan saya kali ini agak tidak jelas. Njilmet; bahkan saya sendiri pun agak sakit kepala membacanya. (Maksud gua nulis ini apa sih sebenarnya? Inilah pertanyaan saya kepada saya yang sedang mengalami kekusutan kala menulis resensi film 'Modigliani'.) Maaf, bila tidak jelas bagi pembaca. Kalau mau jelas, kita harusnya berjumpa saja; dan tanyakan apa yang ingin anda tanyakan kepada saya tentang resensi film.

Apologia:
Beginilah seharusnya resensi film dibuat. Agak ribet, memusingkan, hingga saya sendiri sulit untuk memaparkan, bahkan sulit memahami apa yang sebenarnya saya sampaikan. Sebab, resensi film yang paling bagus itu adalah menonton film itu sendiri!

[Tulisan ini saya buat sesuka hati saya, bila tidak suka, ya... tidak ada masalah. Bila suka, itu baru jadi masalah. Kalau begitu, saya akan berusaha membuat tulisan sesuka hati yang bakalan tidak disukai sama sekali; biar tidak ada masalah antara kita. --David Tobing--]

No comments:

Post a Comment