Wednesday, 8 March 2006

Diantara Teman-Temanku Aku Berada Diantaramu Dan Teman-Temanku Berada Diantara Aku


--Sebenarnya, Judul Tersebut Tidaklah
Terlalu Penting Untuk Dibaca; Sebab Pada Dasarnya, Saya Pun Sedang
Kesulitan Mencari Judul Apa Yang Tepat, Malah Yang Datang Judul Yang
Sebenarnya Kurang Tepat, Tapi Mengasyikkan
--





"Tolong sediakan aku segelas kopi; maka aku akan berbicara panjang
tentang apa itu kegilaan." Begitulah kata seorang teman. Di lain waktu
ia berkata, "Tolong sediakan aku pena; maka sebuah puisi akan
tercipta." Begitulah ia berkata, di lain waktu. Sampai suatu ketika,
entah kapan saatnya, aku lupa--ia pun bertanya "Mengapa tak ada yang
mendengarkan aku?" Dan, saat itu pula ia

meninggal dunia.



Beberapa hari setelah kematiannya yang mengenaskan itu--maksud aku,
cara dia meninggalkan dunia, maksud aku, cara dia meninggalkan dunia
itu terjadi hanya dikarenakan ia selesai bertanya, "Mengapa tak ada
yang mendengarkan aku?"; bukan karena bunuh diri atau dibunuh
diri-yang-lain--semua orang bertanya, bertanya bermacam-macam hal yang
menyangkut kehidupan seorang temanku ini, mereka bertanya-tanya, yang
sebenarnya hendak ditujukan kepada seorang temanku yang sudah meninggal
dunia ini. Saking banyaknya pertanyaan yang mereka ajukan, kebetulan
pada saat itu aku hanya mendengar, tanpa mengingat pun mencatat, sebab
yang aku pikirkan hanyalah: jika pertanyaan itu hendak mereka tujukan
kepada ia, maka ia-lah yang patut memberikan jawaban. Bila demikian,
maka yang aku duga pun terjadi. Mereka memang menemukan jawaban, tapi
jawaban itu mereka peroleh dari hasil menebak, hingga mereka pun
terkadang ragu, apakah jawaban mereka itu benar dan tepat, atau sama
sekali khayal. Entahlah, aku tidak mengerti bagaimana perasaan mereka
ketika mereka berhasil menebak. Hingga,



aku pun berpikir, apakah kita mampu bertanya kepada sesuatu yang sudah
mati; sudah meninggal dunia? Sederhananya, mampukah kita berdialog
dengan kematian? Demikianlah, aku dikenalkan pada kematian pertama,
melalui seorang teman yang meninggal dunia.



Seorang temanku yang lain, pernah berkata, "Manusia mahluk yang menuju
mati." Seorang temanku yang lainnya pun berkata, aku tidak ingat
tepatnya bagaimana, tapi intinya kurang lebih bercerita bahwa manusia
itu berjalan bersama dengan kematian. Bahkan, seorang temanku yang
lainnya pula lagi, menyuarakan pendapat bahwa manusia itu tidak pernah
mati. Dan, ada juga temanku yang lainnya yang memperbincangkan hal
serupa, tapi bukan dalam kata-kata, melainkan menggambar, entah
melukis, judulnya, "Potret Diri Berhadapan Dengan Kematian".



Karena perkataan dan perbuatan teman-temanku ini, aku pun menjadi
berpikiran seperti teman-temanku. Maksud aku, aku berpikiran lain dari
dari teman-temanku. Maksud aku, seperti yang engkau tahu, teman-temanku
inikan berpikiran lain, maksud aku, mereka berbicara satu hal yang
sama, yakni kematian, tapi menghasilkan perbedaan sudut pandang. Karena
itu, aku pun berpikiran lain dari mereka. Aku pun berpikiran untuk
menciptakan dialog dengan kematian, agar aku bebas bertanya kepada
kematian mengenai siapa dirinya dan buat apa dia ada.



Sebenarnya, niatan aku itu berasal dari pikiran, bahwa apa yang
dipikirkan oleh teman-temanku hanyalah berupa jawaban. Itu, menurutku
yang terjadi. Sebab, mereka tak pernah bisa menjelaskan bagaimana cara
mereka memperoleh jawaban itu. Sebab, ketika aku tanya, "Pernahkah kau
bertanya kepada kematian?" mereka hanya tertawa, terdiam, bahkan ada
yang langsung angkat kaki pergi, ambil gelas dan melemparkannya ke
mukaku, atau menggebrak meja. Padahal, aku pikir, aku cuma butuh
jawaban 'Ya' ata 'Tidak'. Itu saja. Jika mereka pernah bertanya kepada
kematian, maka aku akan menanyakan hal berikutnya, yakni, "Bagaimana
caramu bertanya kepada kematian?" Namun, jika mereka tak pernah
bertanya kepada kematian, maka aku tak perlu bersusah payah menanyakan
hal berikutnya. Tapi,



ada seorang temanku yang lain pula yang bertanya balik kepada aku,
"Mengapa kau bertanya demikian?" Ah, jawaban yang diberikan seorang
temanku yang lain pula ini memang tidak memuaskan aku, karena aku cuma
membutuhkan jawaban 'Ya' atau 'Tidak', sebelum melangkah pada
pertanyaan aku yang berikutnya. Karena itu, terpaksa aku menjawab, "Aku
cuma ingin tahu saja." Tampaknya, seorang temanku yang lain pula ini
tak puas. Itu aku ketahui dari bola matanya yang memerah, dahinya yang
mengkerut, nafasnya yang tertahan, alisnya yang mengetat, juga bibirnya
yang seperti membeku. Aku pikir seorang temanku yang lain pula ini
bakalan marah. Karena itu, aku lekas menambahkan jawaban, maksud aku,
menjelaskan kenapa aku menjawab seperti itu. Aku bilang kepada seorang
temanku yang lain pula ini:



"Kalau aku sebenarnya, biasanya, bertanya kepada yang bisa menjawab.
Nah, karena ini pertanyaan, yang menurut aku hanya bisa dijawab
kematian, maka aku pun menanyakan hal itu kepadamu. Maksudku, aku
menanyakan apakah kau pernah bertanya kepada kematian? Sebab, aku
pikir, kau hanyalah menebak saja. Tidak lebih. Sebab, bila jawaban itu
akurat, maka kematian-lah yang seharusnya menjawab. Maksudku, ini kan
tak ubahnya, saat aku belajar matematika, dan aku tidak mengerti, maka
aku bertanya kepada guru yang lebih mengerti hal itu. Aku cuma, pengen
tahu aja. Sebab, sudah banyak orang yang berbicara tentang kematian,
tapi tak satu pun yang memberitahukan aku bagaimana caranya agar aku,
maksud aku, kita, ehmm..., maksud aku--ya, kita semua ini--bisa
berdialog dengan kematian. Itu saja sebenarnya alasan aku bertanya."



Seorang temanku yang lain ini pun tidak bisa berkata-kata. Padahal,
kalau menurut aku, sebenarnya seorang temanku yang lain ini ingin
mengatakan sesuatu. Tapi, aku tidak ingin bertanya lebih jauh, apa
tanggapan, apa jawaban, apa pendapat, dan segudang apa lagi yang ingin
kuketahui dari diamnya seorang temanku yang lain ini. "Maafin, ya. Aku
pergi dulu," kata aku kepada seorang temanku yang lain. Aku tidak ingin
mengganggu seorang temanku yang lain ini, sebab menurut aku, dalam
keadaan itu diam tersebut, seorang temanku yang lain ini sedang
berpikir. Dan, aku pun pergi.



Malamnya, aku berniat bertanya kepada kematian. Sebelumnya, aku
mengadakan persiapan. Dialog dengan kematian tentulah hal yang sangat
memakan waktu banyak. Karena itu, aku pun menyiapkan bergelas-gelas
kopi siap seduh, juga makanan kecil, juga kertas dan alat tulis.
Entahlah, aku hanya bertaruh, tepatnya menebak, bahwa kematian pun
menyukai kopi, seperti aku. Sebab, bila sudah demikian, maka
perbincangan pun lancar, dan aku tak perlu bersusah-susah mencari
whisky atau jus jambu misalnya--bila itu merupakan kesukaan kematian.
Dan, perbincangan aku mulai dengan pertanyaan:



"Apakah engkau mendengarkan aku?"



[Tulisan ini saya buat dan saya pertanggung-jawabkan semampu saya. Maaf, kalau tidak memuaskan. --David Tobing--]





2 comments:

  1. ada yang kusuka dari sebuah cerita tentang kita, berkali-kali untuk sekali-itu kepercayaan. disaat kita asyik membicarakan 'liyan' selalu ada dominasi 'liyan' yang lain. ah, jika terus berputar-maka-seperti telur dengan ayam, saya cuma bisa menjawab-bisa jadi. karena saya tidak tahu persis lebih dulu mana. secara biologi hampir dipastikan lebih dulu ayam. who's know? radhar panca dahana beberapa minggu lalu bertutur tentang integritas dalam kesasteraan, menarik. keseriusan, totalitas dalam berusaha, dan belajar adalah integritas. itu lebih dari cukup. permasalahannya kita sering terjebak dalam sebuah perdebatan tidak perlu, yang justru mengendurkan semangat atau meruntuhkan integritas kita. berdialog dengan kematian, sangat mungkin. tegasnya: bisa!!!-syaratnya seluruh peserta dialog adalah orang yang pernah mengalaminya. atau pertanyaannya yang kurang pas. sehingga jawaban tidak bikin puas??? ubah pertanyaannya, apakah ada kematian??? atau cuma ada metamorfosa dan reinkarnasi??? lantas itu pula hidup. mungkinkah aku menjadi kau, tidak. mungkinkah kau menjadi aku, tidak, mungkinkah temanmu menjadi aku dan kau, tidak, mungkinkah, kau, aku, temanku, dan temanmu menjadi kita, bisa jadi. aku tak tahu pasti. yang lain tetap yang lain, eksistensi tidak dapat dimusnahkan...ko-eksistensi cuma jawaban...prakteknya bung... dalam ruang publik yang meluas, azas reflektifitas yang artinya apakah kalau kita membuat aturan dapat disepakati bersama, dan mungkin dilaksanakan. karena jika tidak sama dengan tidak ada aturan. siapa yang mau hidup dengan tidak ada aturan? integritas butuh aturan dan nilai-nilai yang dikembangkan...lain halnya dengan INTEGRASI yang cenderung menyeragamkan, saya mengatakan TIDAK untuk itu. Dialog dengan argumen dan suasana cair seperti ini lebih menarik... ada keseriusan dan kejenakaan, selamat berduka cita atas kawanmu yang mengalami kematian, semoga arwahnya diterima, dan berreinkarnasi menjadi manusia yang lebih baik, jika tidak tonton saja film Dewa Monyet Sun Go Kong, tentang nasib orang-orang yang belum mau belajar...apakah ada kematian? jika ada, kita pasti bisa berdialog dengannya. Singkatnya, YA, BISA (kita berdialog dengan kematian).

    Aku dengar, dan ini jawabku:
    Mungkin kelitannya sudah mantap, tapi lolos juga, karena kita masih berkata-kata. Dan sorry, prinsipku diam tidak berarti emas, terlalu banyak berkata bukan berarti perak, fasih berkata bukan berarti perunggu, dan juga tidak ada piagam penghargaan atau lulus dalam perkawanan.

    [widhy |sinau]

    ReplyDelete
  2. ada lagi, ya...btw, aku punya saran. jangan takut dengan kematian, karena aku sudah bereinkarnasi alias mati dan hidup berkali-kali, aku ceritakan rasanya, kau tak perlu menanggapi kecuali kau sudah mati, dan jika kau pernah mati, maka tak usah kau bertanya, apakah kita mampu bertanya dengan/berdialog dengan kematian.

    demikianlah, kematian itu seperti cubitan kecil pada daerah yang paling merangsang (G-Spot) kira-kira. mengejutkan, tapi yang pasti kita jadi tahu bahwa kita memiliki 'tempat' itu, sebuah G-Spot yang membuat kita berhasrat untuk mencari tempat sejenis.

    di kematian yang lain aku merasakan kematian itu seperti menyetel video, dengan pola flash back, dimana terlihat perilaku diri sendiri yang serba curang, permisif, sok bijak, kadang-kadang sesekali berbuat baik. itu terlihat jelas dan tegas. di kematian seperti ini aku banyak belajar dengan perjumpaan. orang-orang yang berbeda denganku. film yang disetel tidak pernah berbohong, namun lebih banyak aku sebagai pemain utama berperan, karena itu tentang aku. pemeran pembantu lainnya, sebagai jaksa penuntut. di film ini kebohongan adalah keseluruhan dari kebenaran.

    di kematian yang lain lagi, seperti kentut. pret. nyawa lepas dari raga. rasanya lega. namun nyawa harus mengantri untuk memasuki raga baru. kematian ini paling tidak enak, karena masih ada sisa dendam masa lalu, dan Jung melabelkan dengan arkaik, penganut Freudian dan dosa asal menganggapnya karma. di kematian ini aku tidak bisa lepas dari masa lalu.

    ada kematian lain yang rumit, dan aku tidak bisa menjelaskannya padamu. karena, aku belum memahaminya.

    sekarang sampai pada kematian ide. ide kabarnya tak pernah mati. selama ada tangan dan kaki. otak sebagai sentrum ide juga tidak pernah mati, secara medis tidak berfungsinya otak sering diartikan dengan kematian. jika, kau masih hidup-maka ide tak pernah mati. bagaimana dengan tangan dan kaki, itu juga tergantung otak, bagaimana kau bisa menyuruhnya bergerak, kecuali jika kau punya kelainan otak. bagaimana jika otak jeda, otak tak pernah jeda, bahkan mimpipun adalah kerja keras otak. pesanku, jangan istirahatkan otakmu. kurangi saja aktivitas, hidup santai, berteman dengan manusia yang punya otak juga, sehingga bisa menyuruh indera untuk mendengar dan menyahut...

    heii aku, dengar...dengar...deng..deng...arr..arrr....arrrrrr
    suaraku memantul dalam gema, batu yang berpikir sepanjang hayatnya...jadi cadas, gagah, namun batu.

    [widhy |sinau]

    ReplyDelete