Tuesday, 21 March 2006

poet corner#5 LEGENDA CINTA


Pledoi ke-1 dari dunia ‘Legenda Cinta’


Sosiologikasinya-Susah-Jadi-Manusia dari dunia ‘Legenda Cinta’


Sebagai orang Indonesiae, maaf  – orang Jawa, kita – eh, maaf lagi – saya, sebagaimana cita-cita bangsa saya, mencoba belajar untuk menjadi manusia seutuhnya. Dan, saya berasumsi bahwa saya tidak perlu menjelaskan secara detail mengapa saya harus meminta maaf dalam kalimat pertama saya tersebut.


 


Tentunya, dalam artikel ini sangat tidak efesien dan tidak sederhana bila saya memaparkan bagaimana prosesnya Negara Indonesia menurunkan bangsa-bangsa yang ada dalam Koloni Nuswantara ini menjadi sub-bangsa yang disebut SUKU. Lebih tidak efesien dan tidak sederhana lagi, kalau seandainya (maaf kalau pengandaian saya ini mengusik nurani anda) saya menjelaskan ‘alomorfisasi’ term SAYA menjadi term KITA dalam antro-sosio-kultur-Jawa.


 


Oiya, dalam pengertian saya yang ber-antro-sosio-kultur-jawa, manusia seutuhnya itu adalah manusia yang harmonis dan seimbang; manusia yang manusiawi; bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya (proporsional); manusia yang bersedia menyadari dan mampu berdamai dengan segala kekurangan dan kelebihan sebagai karunia yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa kepadanya tanpa perlu menjadi berlebihan. Dan, sekali lagi, hal ini tidak sederhana dan tidak efesien jika saya paparkan panjang lebar.


 


Jadi, sangatlah manusiawi sekali bila hal tersebut di atas mengilhami beberapa orang untuk mematronkan kalimat ‘Buanglah Sampah Pada Tempatnya’ atawa ‘Lebih Baik Terlambat daripada Tidak Samasekali’ sebagai salah satu kultur hidupnya. Dan, pendekatan untuk fenomena itu, agar lebih sederhana dan bukan untuk gagah-gagahan, karena prinsip dasar ilmu etis (etimologi, tanpa logika lho – pen.), saya sebut sebagai Sosiologikasinya-Susah-Jadi-Manusia.


 


Kepolosan Kanak


Penyebutan ini hanyalah ‘kepolosan kanak’ dari Imaginary Homeland satu individu yang suka meng-avatar-kan dirinya sebagai ferre_suga@yahoo.com, yakni saya sendiri, saat bermain-main secara serius dengan kata-kata. Ironisnya – e, maaf – maksudnya, paradoks-nya, SEDERHANA itu ternyata sangat KOMPLEKS sekali. Contohnya, saat Jong Java, Jong Ambon, Jong Andalas dan Jong-Jong lainnya saat di’sederhana’kan dalam satu nation: Indonesia, malah menimbulkan multitafsir yang sangat logis-subyektif dan inter-personal. Dan, jika term ‘Kepolosan Kanak’ itu masih dipaksakan untuk jadi sederhana boleh dimaknai sebagai upaya menyadari, menjujur, mengikhlas, meruang dan mewaktu suatu hal agar tidak terjebak dalam Intelektualitas yang naif. Dan, ini – seperti yang sudah-sudah – supaya efektif, tidak perlu saya uraikan secara lebih dalam.


 


Saya kira inilah landasan ‘sosiologikasinya-susah-jadi-manusia’nya: saat satu individu – yang biasa dipanggil Socrates – bertekad bulat mencari manusia di siang hari bolong di antara kerumunan sebuah tempat yang disebut pasar dengan membawa sebuah obor yang menyala-nyala; Ketika satu tokoh drama karya Shakespeare – Hamlet – berteriak, “To be or not to be!” dalam salah satu adegan kehidupannya; jika Nietzsche mencoba membunuh tuhan untuk menemukan hakekat kemanusiaannya; dan masih banyak contoh lainnya. Yang, sangat tidak efektif dan tidak sederhana kalau disebutkan satu persatu.   


 


Faktanya, sebagian kerumunan, terutama di jaman selanjutnya, dengan kepolosan kanak-nya mampu memahami fenomena ‘mereka-mereka’ itu sebagai sebuah kepolosan kanak pula. Kiranya ini bukan kerterlambatan atau, kalau boleh meminjam istilah kawan David Tobing, sebuah ke-telmi-an (dalam terminologi apapun), karena masalah ini abadi sebagai sebuah esen atawa, dalam bahasa sederhananya, an sich. Hakekat manusia adalah sama – masih adam dan hawa yang sama – sebagai sebuah kesederhanaan yang utuh. Masa lalu, kini atau besok sama saja.


 


Entah di kerumunan atau dalam ruangnya sendiri, permasalahan yang ditemui seorang manusia tetaplah sama. Inilah salah satu argumen kenapa sebuah karya yang sangat personal sekalipun tetap punya peluang untuk mampu menjadi universal saat memasuki ruang publik. Jadi, tidaklah perlu menuntut kerumunan itu agar menjadi tidak serius atau serius (kata ‘seri(e)us’ dalam bahasa sunda, malah berarti ‘tertawa bersama-sama’, nah lho). Karena saya, kamu, dia, mereka, dan juga kita – termasuk juga para rocker – tetaplah seorang manusia, atau lebih tepatnya ‘merasa sebagai seorang manusia’.


 


Bahkan, dengan pendekatan Sosiologikasinya-Susah-Jadi-Manusia, saya tidak mesti menjelaskan apa-apa, apalagi sampai harus memaksa, seseorang ataupun suatu kerumunan untuk berubah menjadi siapa-siapa dan apa-apa demi bisa mengetahui, memahami plus menghayati (bahkan mungkin saja mengimani) sebuah pendekatan, karena semua secara otomatis (baca: hukum alam) akan berjalan untuk mencapai suatu keseimbangan, harmoni yang indah. Di samping itu, memang sudah ada dengan apa yang dinamakan dengan agama.


 


Dekontruksi-rekontruksi-kontruksi pun hanyalah perputaran-perputaran yang saling menyempurnakan keberadaannya masing-masing. Seperti halnya tesa-antitesa-hipotesanya failosof yang saya lupa namanya itu. Jadi, kepositif-negatif-netralan sebuah pemikiran harus dikembalikan kesubyeknya masing-masing, yakni, sang bumi asali yang biasa disebut manusia. Ini karena yang dipercaya oleh Yanh Maha Kuasa untuk memelihara dan mengelola KATA, hingga bisa beranak-pinak seperti sekarang ini, adalah makhluk manusia.


 


Tidak dibelahan dunia manapun suatu KATA dilahirkan, kecuali di tempat seorang MANUSIA dilahirkan, tempat di mana Adam dan Hawa memakan buah Khuldi itu. Sebuah tempat yang saya sebut sebagai The Imaginary Homeland. Satu tempat tanpa batas, tanpa batasan, tanpa keterbatasan, tanpa Keraguan, tanpa Keterpisahan, tanpa Ketakutan, tanpa Kegelisahan, dan bahkan tanpa dengan apa yang biasa disebut Kematian.


 


Betapa paradok-nya saya saat dalam pendekatan Sosiologikasinya-Susah-Jadi-Manusia ini menemukan bahwa hakekat keutuhan adalah keterpecahbelahan; suatu yang segmented. Faktanya, ilmu pengetahuan menemukan bahwa keutuhan materi merupakan kumpulan dari atom-atom dan seterusnya.


 


Faktanya lagi, meski tubuh adalah satu kesatuan yang utuh, tetap saja saat satu makanan tertentu ber-hamonisasi dengannya, secara ETIS, ETIK, ataupun LOGIS harus masuk melalui mulut dan keluar dari dubur, kecuali untuk yang lagi sakit parah (dengan mengunakan infus) lho. Karena, faktanya, MULUT dan DUBUR adalah sebuah keterpisahan pula. Dan, yang penting untuk diingat lagi, saat seseorang makan nasi, maka bukan nasi pula yang dikeluarkannya. Inilah yang dinamakan dengan PROSES.


 


‘Legenda Cinta’ bukanlah sekedar sebuah kelegaan bercinta ataupun kelegaan sesudah bercinta, apalagi sebuah kemarahan maupun kesakitan. ‘Itu’ adalah tempat di mana Imajinasi tercipta dan dibesarkan sebagai karya yang sempurna. Adalah tempat dimana seorang manusia dilahirkan dan dikembalikan. Adalah ruang kosong yang sarat pemaknaan itu.


 


KUN


Dalam pendekatan Sosiologikasinya-Susah-Jadi-Manusia hidup itu a-definitive, bukan cuma karena satu atau dua kalimat yang definitive lantas semua PROSES harus terhenti, seperti saat seorang Tung Pay – tokoh manusia berwujud babi dalam sebuah legenda tentang pencarian sebuah kitab kebenaran di arah Barat – mencoba menjadi sepolosnya kanak dengan berkata, “Inilah cinta, penderitaannya tiada akhir.”


 


Dengan Sosiologikasinya-Susah-Jadi-Manusia ini pula, saat saya MERASA telah bertindak MERDEKA dengan segala pemikiran dan attitude saya dikehidupan nyata, tiba-tiba saya menyadari semua itu adalah By Setting dari Invisible Iand sang Puppet Master.  Termasuk saat saya berfikir bahwa tidak ada hal yang bernama ‘KEBETULAN’ itu. Jadi, bukan cuma karena kerumunan pembaca, seseorang menulis, dan bukan hanya karena nama besar sang penulis saat seorang pembaca pun tercerahkan saat membaca sebuah tulisan. Bisa jadi itu adalah Jalan Hidup yang memang harus dilalui dengan kesetiaan yang tulus.


 


Ah, jadi ingat iklan rokok yang memiliki slogan ‘Bukan Basa-Basi’ itu. Iklan yang bergambar orang-utan dengan tulisan di bawahnya : SUSAH YA JADI MANUSIA. Harus selalu berfikir dan berproses tanpa batas tapi dengan selalu menyadari kediriannya hanyalah satu makhluk primata kelas tertinggi semata.


 


Bintaro, 22 Maret 2006
Sign,


 


Ferre Suga


Wellcome to my Imaginary Homeland: Kampung Imaji


http://angonurip.multiply.com


Saturday, 18 March 2006

Mari Kita, Berenang Di Tepi Pantai Yuk....

Eureka!!!



Demikianlah proses penciptaan bermula. Lalu, setelahnya apa?



Sebenarnya, aku sedang tidak ingin menulis. Tapi, aku bosan. Segudang
pekerjaan yang memang tak layak untuk aku selesaikan, mewajibkan
kebosanan datang. Dan, datanglah kebosanan bersama sekarung teman-teman
akrabnya; mengganggu aku. Hasilnya, entah mengapa aku menjadi menulis.



Tulislah, Berangkat Kau Ke Negeri Sana!!!



Kebosanan kerap datang. Padahal, aku sudah menyibukkan diri dengan
beragam kegiatan yang tidak membosankan. Bayangkan, dan memang
sebelumnya sudah aku sebutkan bahwa aku ada segudang pekerjaan yang
belum selesai. Nah, karena ada segudang pekerjaan yang belum selesai,
maka aku seharusnya tidak perlu merasa bosan. Mengapa? Tak perlu lagi
kau tanyakan itu. Sebab, alasannya sudah jelas. Sederhananya, seperti
ungkapan kawan seorang temanku yang berada di gurun jauh, menjawab:
"Macam mana pula kau ini...." Begini, pada bagian awal sudah saya
sebutkan bahwa saya ada segudang pekerjaan. Dan, kalau saya ada
segudang pekerjaan, mengapa pula harus datang sekarung kebosanan
bersama teman-temannya untuk mengganggu aku. Segudang pekerjaan itu
pada dasarnya merupakan pekerjaan yang tidak membosankan. Begitulah.
Jelas atau tidak jelas, tidak menjadi masalah besar atau kecil bagi
saya.



Ahh, Mampus Kau!!!



Nah, sekarang makin jelaskan. Kau pasti pusing. Itu jelas. Sebab, aku
memang tidak sedang ingin menulis. Aku cuma bosan. Jika sudah demikian,
kaulah yang menjadi korban. Pusing. Padahal, aku sudah bilang
berkali-kali, aku ini sedang dalam keadaan bosan. Karena bosanlah aku
menulis. Bayangkan, kalau aku sedang tidak bosan, berarti aku akan
mengerjakan segudang pekerjaan yang memang tak layak aku selesaikan
itu.



Oiiiii..., Pindahlah Kau!!!



Kepala. Bosan. Kepala. Bosan. Bosan sudah di kepala. Kepala sudah
bosan. Kalau begitu, bosan dipindahkan dari kepala. Kepala dipindahkan
dari bosan. Kepala dan Bosan berpindah. Berpindah. Pindah. Kepala.
Bosan. Pindah. Kepala bosan pindah. Pindah kepala bosan. Bosan kepala
pindah. Pindah kepala bosan.



Dah...., Tidurlah!!!



Ha-p! Lalu di-makan!



[Tulisan ini mengandung unsur menyesatkan. Berbahaya. Karena itu,
doa-kan saya agar tidak membuat tulisan yang mengandung unsur yang
menyesatkan. --David Tobing--]



irreversible


apakah masa depan:

di-rekonstruksi
 
 0

di-dekonstruksi
 
 1










Teguk
terakhir tandas. Kopi pahit. Setiap pagi. Saat seperti itulah yang
selalu membuat ia terpekur. Berpikir. Menerawang ke masa lalu. Dan
seringkali menutup mukanya ketika bayangan masa depan muncul. Entah
sampai berapa lama aku hidup. Pertanyaan itulah yang seringkali muncul.
Pertanyaan yang sama terus berulang ketika ia meneguk kopi pahitnya
yang terakhir. Rata-rata di kedai yang sama. Atau di kedai kopi manapun
di tempat-tempat yang pernah ia singgahi.







Orang
ini memiliki pandangan bahwa hidup selalu berubah. Waktu ke waktu.
Untuk itu ia memilih pekerjaan yang yang membuatnya merasa nyaman.
Berpindah dari suatu tempat ke tempat lainnya. Bahkan ia memilih
beragam pekerjaan dalam waktu yang cukup singkat. Keluar
masuk-pekerjaan. Sekadar untuk membuktikan bahwa dirinya, mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Namun setiap kedai kopi di kota-kota
yang ia singgahi selalu membuktikan hal yang berbeda dari pandangannya.
Setiap pagi kedai kopi memunculkan mimpi yang sama. Keengganan untuk
meneruskan hidup. Kebosanan untuk meneruskan perjalanan. Keinginan
untuk menghentikan pencarian. Ketakutan untuk menerima kenyataan.







Setiap
pagi di kedai kopi di kota-kota yang ia singgahi waktu menjelma menjadi
mahluk yang teramat mengerikan. Waktu itu seakan menudingnya dan terus
menerus bergumam. “Kapan kamu akan berubah? Kapan kamu akan bergerak?
Kapan kamu akan memulai sesuatu yang baru?” Gumam waktu berubah menjadi
dengung. Dengung sejuta knalpot dari seluruh kota yang pernah ia
kunjungi. Dengung itu berubah menjadi bayangan, seperti gumam ia selalu
menjadi teman setia untuk bersendiri. Dengan bahasa yang sama akhirnya
ia sering berdengung. Di otaknya dengung bertemu dengung.







Di
kota-kota yang pernah ia singgahi, kopi menjadi teman berdengung. Kopi
bicara dengan dengungan. Pahitnya tidak pernah terasa lagi.
Dengungannya yang selalu menyisakan getir di lidah, dan tumpah menjadi
noda hitam di kepala. Di bagian ingatan masa lalunya. Yang menyebabkan
ia terkungkung di hari kemarin. Setiap hari. Semakin jauh ia
meninggalkan kemarin, semakin nyata bahwa semuanya adalah kemarin.
Perempuan yang ditemuinya adalah perempuan kemarin. Kopi yang
diminumnya adalah kopi kemarin. Parfum yang digunakannya adalah parfum
kemarin. Baju yang dipakainya adalah baju yang kemarin. Wacana yang
dibicarakannya adalah wacana kemarin. Ingatannya adalah ingatan
kemarin. Arloji yang ditangannya adalah arloji kemarin. Lagu yang
dengarkan adalah lagu yang kemarin. Kacamata yang digunakannya adalah
kacamata kemarin. Kota yang disinggahinya adalah kota kemarin. Semua
benda yang mengelilinginya adalah benda-benda yang kemarin. Waktu
bertambah muda. Semuanya menuju kemarin. Setiap esok adalah kemarin.
Setiap lusa adalah lusa kemarin. Setiap kemarin adalah esok. Dengung
kopi bertanya kembali, “Kapan kamu berubah? Kapan kamu bergerak? Kapan
kamu memulai sesuatu yang baru?”







Ia
sudah berubah. Ia sudah bergerak. Ia sudah memulai sesuatu yang baru.
Namun semua miliknya, semua pikirannya, semua yang dikenalnya adalah
masa lalu. Orang yang baru dikenalnyapun berubah menjadi orang masa
lalu. Benda yang baru dibelinya adalah benda-benda masa lalu. Buku yang
dibelinya adalah buku masa lalu. Pekerjaan yang dilakoninya adalah
pekerjaan masa lalu. Semua hal yang dikerjakannya adalah pekerjaan masa
lalu. Semua hal yang baru ia mulai adalah kenangan. Setiap kenangan
menjadi baru baginya. Setiap yang baru menjadi kenangan. Setiap mulai
menjadi akhir. Setiap selesai adalah awal. Setiap orang melihatnya
berjalan maju. Namun dengung waktu berteriak keras bahwa ia berjalan
mundur.
Terus mundur. Dengung waktu lalu membalik semua arah menuju masa depan.
Ia terus maju. Bergerak. Berubah. Dan memulai sesuatu yang baru.







Ia
terus maju. Bergerak. Berubah. Dan memulai sesuatu yang baru. Disetiap
kedai kopi di setiap kota-kota yang pernah ia singgahi. Di setiap pagi
kemarin. Setiap teguk terakhir adalah awal untuk kembali ke kedai kopi
hari-hari sebelumnya. Setiap pahit bertumpuk menjadi catatan.
Setiap
uang yang ia hasilkan berubah menjadi benda-benda masa lalu. Setiap
benda menjadi lalu. Setiap catatan menjadi usang. Ia tidak memiliki
apa-apa untuk meneruskan perjalanan, bergerak, berubah dan memulai
sesuatu yang baru. Ia cuma akan berpindah ke kota-kota yang baru
mencari kedai kopi. Untuk menikmati setiap teguk terakhir. Menumpuk
catatan. Mengoleksi benda-benda.



See more...at

http://membayangkan_widhy.blogs.friendster.com/my_blog/bad_side/index.htmlhttp://membayangkan_widhy.blogs.friendster.com/my_blog/bad_side/index.html



Friday, 17 March 2006

Kopi Tahayul d’Menu

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Cooking, Food & Wine
Author:widhy| sinau
Kopi hitam kental pahit; naturalist, romantis, menyukai komposisi yang sederhana, teguh pendirian, keras kepala, misterius, narcist, creator.
Capppucino; suka perubahan, moody, kenes, ingin selalu, tampil, casual, mudah kelain hati.
Kopi jahe: bergairah, suka melamun, cenderung berhati-hati, old fashioned.
Kopi susu: manis, puritan, sensitif, pekerja keras, honest, perfeksionis.
Kopi turki: suka kemewahan, penggoda, sukar dipercaya, petarung sejati.
Kopi duren: suka berpetualang, naif.
Kopi hitam kental manis: pecinta sejati, sombong, jaim, mudah jatuh hati, dreamer, inovatif.
Kopi Coke: imajinatif, easy going, suka keramaian, banyak kawan, nomaden.
Kopi Cengkeh: perayu, feminim, suka nostalgia.
Kopi Decaf: percaya tahayul, hiperbolik, histeris, jumud, mudah patah hati, penyendiri, stylish.
Kopi Sachet: irit dan tidak sombong.

Tuesday, 14 March 2006

Baiknya, Lega-nya Bercinta

Suatu Gugatan 'Etimologikasikankepadasiapasajaapayangdiamausemampukau' Atas 'Legenda Cinta'



Seperti biasa, keterlambatan memang selalu melekat didalam kita (maaf,
minimal saya). Tapi, bagaimanapun juga, keterlambatan adalah karunia
yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa kepada kita. (Sebenarnya, ini
hanyalah pembelaan subjektif saya saja, agar saya tidak merasa bersalah
karena terlambat; sebab yang baik, indah, serta tepat itu memang
ke-tidak-terlambatan). Dan, dalam pembacaan yang paling sederhana, saya
pun menyebut 'terlambat' itu sebagai 'telmi'.

Agar tampak gagah, saya pun menggunakan pendekatan, yang saya sebut
dengan nama: etimologikasikankepadasiapasajaapayangdiamausemampukau,
untuk menjelaskan apa itu 'telmi'. Sebaiknya, kerumunan-pembaca
tidaklah perlu untuk memperdebatkan pendekatan yang saya pergunakan,
sebab yang penting adalah: apakah pendekatan saya itu mampu menjelaskan
sesuatu? Karena itu,



untuk mengetahui, memahami plus menghayati (bahkan mungkin saja
mengimani) pendekatan saya ini, kerumunan pembaca haruslah berubah
menjadi seekor kodok. Sebenarnya, kalau pun kerumunan pembaca tidak mau
berubah menjadi seekor kodok, silahkan berubah menjadi seekor beruang.
Kalau pun itu tidak, silahkan berubah menjadi seekor burung phoenix.
Dan, bila itu pun tidak mau juga, maka lebih baik tiap-tiap kerumunan
pembaca berubah menjadi semaunya saja. (Bagiku, tak mengapalah.) Inilah
tahapan pertama pendekatan
'etimologikasikankepadasiapasajaapayangdiamausemampukau'. Dan, saya
tahu, tahapan pertama ini masihlah belum apa-apa. Karena itu,



saya mengejawantahkan tahapan kedua. Namun, dengan catatan, kerumunan
pembaca sudah mengetahui, memahami plus menghayati (tak perlu sampai
mengimani) tahapan pertama. Tapi, lepas dari
apakah-kerumunan-pembaca-sudah-mengetahui-,-memahami-plus-menghayati-(tak
perlu sampai mengimani), saya harus tetap melangkah ke tahapan dua.

Dalam tahapan dua, kerumunan pembaca, bahkan lebih dahsyatnya,
kerumunan penulis, harus mampu melihat, menerawang evolusi kata
tersebut. Maksud saya, evolusi kata 'telmi'. Karena jam terbang yang
saya miliki termasuk singkat, saya hanya menemukan fakta bahwa kata
tersebut lahir di belahan Bumi, belahan Bumi timur dan belahan Bumi
barat. (Kalau saja jam terbang saya tinggi, maka bukan hanya dua belah
saja saya dapat, tetapi mungkin, delapan, enambelas, tigapuluh dua,
bahkan beratus-ratus belah tak berhingga)

Di belahan Bumi Timur, kata tersebut berasal dari suatu negeri
rantak-berantakan, negeri peranakan, laut dan ragam kepulauan. Di
belahan Bumi Barat, kata tersebut berasal dari suatu negeri
bantah-berantah, negeri padang kaum bangsawan, tanah para satria pedang
bundar.



Penelusuran yang saya lakukan menemukan fakta bahwa di belahan Bumi
Timur, kata 'telmi' itu merupakan, semacam akronim. Sederhananya, kata
tersebut pada dasarnya berasal dari dua kata yang melebur menjadi satu.
Sederhananya lagi, dua kata itu melebur menjadi satu. Sederhananya
lagi, ada deformasi, dari dua menjadi satu atau sebaliknya, satu
menjadi dua.

'Telmi' itu berasal dari dua kata. 'Telat' dan 'Mikir'. 'Telat' itu
berarti terlambat, 'Mikir' itu berarti, jujur saya tidak tahu apa
artinya, namun, teman sepermainan saya di Menara Impreil menyatakan
bahwa itu adalah bagian dari keberadaan manusia. Berpikir, bagian dari
keberadaan manusia. Jadi, bilang digabung, kata tersebut menjadi
'Tel-Mi', lalu jadi 'telmi'. Nah, dalam sudut teropong demikian, maka
'telmi' bisa berarti keterlambatan berpikir (sebenarnya ini,
terminologi yang lebih bersikap negatif). Namun, dalam terminologi yang
beraroma positif, pengertian 'telmi' adalah kemampuan seseorang untuk
terlambat berpikir. Wauuuwwwww............

Tapi, kerumunan pembaca harus menyadari bahwa itu masih pendekatan
'etimologikasikankepadasiapasajaapayangdiamausemampukau' yang berangkat
dari belahan Bumi Timur. Karena itu,



'etimologikasikankepadasiapasajaapayangdiamausemampukau' berdasar
belahan Bumi Barat pun harus dijabarkan juga. Sebenarnya, fakta yang
saya temukan di belahan Bumi Barat pun tidak jauh berbeda dari fakta
yang saya temukan di belahan Bumi Timur. Maksud saya, yang tidak jauh
beda adalah pembuktian bahwa kata 'telmi', entah itu mau di belahan
Bumi Barat atau belahan Bumi Timur, ternyata sama-sama berasal dari dua
kata. Di belahan Bumi Barat, 'telmi' berasal dari kata 'tell' dan 'me'.
Nah, dalam bahasa Indonesia, 'tell' itu berarti: memberitahukan,
menceritakan, mengatakan; 'me' itu berarti, masih dalam bahasa
Indonesia, adalah objek dari kata kerja, jelasnya: bentuk 'i' yang
dipergunakan sebagai objek kata kerja. Jadi, 'telmi' itu dapat
dibahasakan menjadi: memberitahukan (sesuatu kepada) saya.



Nah, dari dua fakta tersebut, pendekatan
'etimologikasikankepadasiapasajaapayangdiamausemampukau' memerlukan
tahapan ketiga. Tahapan ketiga ini berfungsi untuk menyempurnakan,
dalam pengertian menjadikan 'telmi' lebih sempurna dikarenakan
peradukan antara belahan Bumi Timur dan belahan Bumi Barat. Di belahan
Bumi Timur, 'telmi' merupakan kemampuan seseorang untuk terlambat
berpikir (atau memahami sesuatu). Di belahan Bumi Barat, 'telmi'
merupakan (kemampuan seseorang untuk) memberitahukan (sesuatu kepada)
saya. Dari penjelasan yang terpisah itu, sebenarnya jelas dengan
sendirinya. 'telmi' merupakan suatu bentuk yang sepertinya berlawanan.
Bentuk yang sepertinya berlawanan itu, pada dasarnya disebabkan oleh
kesan 'segmental', keterpecahan. Oleh karena itu, untuk menghindari
ke-berlawanan yang disebabkan kesan 'segmental' itu kerumunan pembaca,
pun kerumunan penulis, harus membongkar pemaknaan melalui
ke-tak-berlawanan plus ke-tak-segmental-an. Maksudnya? (Nah, itu dia
yang susah.) Sebab, diperlukan penjelasan Ki Joko Bodo dalam hal ini.
Dan, saya tahu, kerumunan pembaca pastilah sulit untuk menanyakan hal
tersebut kepada Ki Joko Bodo, maka saya pun harus memberanikan diri
untuk menjelaskan hal tersebut.



Tahapan penjelasan tersebut merupakan tahapan akhir pendekatan
'etimologikasikankepadasiapasajaapayangdiamausemampukau'. Untuk itu,
tidak hanya sekadar mengetahui, memahami plus menghayati, namun juga
diperlukan instrumen tambahan mengimani. Perlu kerumunan pembaca
ketahui bahwa saya sedang tidak serius dalam hal ini. Saya sedang
bercanda. Hahahaa..., itulah suara tawa saya.

'Telmi' harus dilihat sebagai ke-tak-berlawanan plus
ke-tak-segmental-an. Artinya, 'telmi' menjadi suatu rangkaian yang
aktif sekaligus pasif; suatu rangkaian yang merupakan objek sekaligus
subjek, suatu rangkaian yang merupakan maju sekaligus mundur, suatu
rangkaian yang merupakan buntut sekaligus ekor, suatu rangkaian yang
merupakan awal sekaligus akhir, suatu rangkaian yang merupakan mulut
sekaligus dubur, suatu rangkaian yang merupakan tidur sekaligus bangun,
suatu rangkaian yang merupakan berjalan sekaligus berdiam, suatu
rangkaian yang merupakan bercanda sekaligus serius, suatu rangkaian
yang merupakan fakta sekaligus fiksi, suatu rangkaian yang merupakan
kanan sekaligus kiri, suatu rangkaian yang merupakan banci sekaligus
tak-banci, dan demikianlah seterusnya.



Berdasarkan pendekatan
'etimologikasikankepadasiapasajaapayangdiamausemampukau', 'Legenda
Cinta' harusnya menjadi 'Lega-nya Bercinta'. Woiii..., penyair, u
janganlah marah-marah saja; kenapa tak tersenyum sekali-kali, tertawa,
bahkan menari. Hidup itu Indah!!!! Life is Beautiful!!! But, how about
love..., (ah, untuk yang satu itu, aku harus pasrah. B)ye.......



[Tulisan ini saya perbuat semau saya, sesuka saya; dan saya
pertanggungjawabkan semau saya, sesuka saya. Kalau kerumunan pembaca
tidak suka, saya akan pertanggungjawabkan semampu saya. Kalau kerumunan
pembaca masih tidak suka, ya... salahkan saja diri Anda sendiri, kenapa
membaca tulisan saya. (Siapa suruh baca!?!) Masa' sih gara-gara
kerumunan pembaca tidak suka, saya harus menghentikan kehendak saya,
semau dan sesuka saya, untuk menulis. --David Tobing--]




a crazy little thing called love...





Jika kali ini aku kuning, besok merah, lusa jingga tak mengapa. Kemarin
aku abu-abu. Yang kebetulan warna favoritku. Demikianlah, sampai kita
merasakan keindahan yang datang tiba-tiba setiap kali membaca atau
mendengar puisi, syair. Dan mulai mendiskusikannya ini tepat untukmu,
tidak, ini pas sekali untukmu. Dimana ada keindahan yang begitu
menggoda selain kata-kata yang kita mengerti atau lebih indah sehingga
tak terkatakan, atau ternyata segala keindahan itu bukan kata-kata sama
sekali. Namun sebuah suasana, pemandangan dua, tiga dimensi. Atau
sekadar ruang yang tak perlu dinamakan keindahan. Karena ruang sudah dipenuhi
makna.



Membaca puisi dalam Legenda Cinta di poet corner#5 layaknya seorang
arkeolog, berusaha menafsirkan satu persatu kata yang berhubungan
dengan masa silam. Konsepnya kata-kata tidak hadir secara kebetulan,
dari pengalaman lalu menjadi fiksi, begitulah yang kira-kira ditangkap
kawan Wildan. Sehingga segala kesengajaan kata-kata yang dipilih
seharusnya tidak terlalu dekoratif, lebih sederhana. Padahal masa silam
biasa digambarkan sendu, sephia, atau hitam putih, tidak terlalu full
colur
, atau penuh dengan cita rasa kemewahan.



Sebagai arkeolog tentu yang dicari adalah akar kata, perumpamaan yang
dianggap penting. Apakah benar perumpaman tersebut mewakili isi dari
keseluruhan puisi sehingga bisa dimaknai sebagai sebuah kejadian masa
lalu. Bagaimanapun perlu sok tahu, kata David, sebab hidup terlalu
singkat untuk belajar mencari serba tahu. Waktu tak terhingga sedangkan
kita sementara. Dan kawan Jibal berkata, ada hal khusus yang ditawarkan
dalam melihat sejarah yang bukan milik umum-tapi milik penulis. Hal
khusus tersebut adalah bukan tamu yang siapa saja bertandang pada
setiap waktu senggang dan sibuk. Tapi umat (pembacaan yang dibalik-tidak konvensional), kolektifitas penulis,
afiliasinya, sehingga penelusuran masa lalu dapat dilihat sebagai
kekhususan. Dengan demikian dapat ditemukan interior asal rumah penulis
yang siap menerima umat/kelompoknya untuk diajak berdialog, yang
setelah sesuatu yang berhubungan dengan puisi telah dituntaskan
pembahasannya. Berkomunikasi tentu lebih nyaman jika dengan bahasa yang
dipahami kedua pihak.



Puisi-puisi dalam Legenda Cinta, sesuai dengan namanya, lebih banyak
bercerita tentang masa lalu/arkaik dilihat dari pilihan kata. Arkaisme
adalah sebuah gerakan dalam puisi yang banyak menggunakan idiom,
kata-kata dari khazanah masa lalu, kitab suci, cerita rakyat yang
jarang digunakan sehari-hari. Sehingga seperti dongeng, naratif. Namun
pembatasan ini dalam sisi artistik sebenarnya tidak kaku, apalagi dalam
sebuah karya puitik yang dapat saja melintasi ruang dan waktu. Dalam
dua puisi yang dibahas pada poet corner#5 ternyata diakui penulis
sebagai sebuah pencarian terhadap pemaknaan kembali akar sejarah yang
menjauh: manjadi orang Jawa. Walaupun dua puisi ini tidak terlalu
merepresentasikan ke-Jawaan penulis namun di puisi lainnya penulis
mencoba memasukkan unsur pewayangan dalam pilihan kata-kata dan latar
belakang narasinya. Arkaisme berkaitan dengan hal-hal yang seperti ini.
Dari sisi kontruksi artistik yang perlu dipertanyakan adalah apakah ada
tawaran dalam menggunakan bahasa, atau bentuk baru yang ditawarkan oleh
puisi dalam Legenda Cinta.









LEGENDA CINTA



1.



Lhaksmi, kaulah bidadari terakhir di muka bumi ini

Yang dilahirkan hanya untuk menjadi kekasihku

Seperti api yang mematang tanpa harus menghanguskan

Seperti air yang mengaliri tanpa harus membanjiri

Seperti bumi yang menumbuhkan tanpa harus menghancurkan

Seperti udara yang menghidupi tanpa harus membadai

Seperti aku dulu yang sangat mencintaimu

Kekasihku¸ masihkah engkau sahaja?



2.



Bukannya aku sedang ingin meromantis, saat aku bertanya:

Engkaukah perempuan itu

Yang telah mengambil satu tulang rusukku?

Jawab saja dengan anggukan yang dalam

atau katakan iya

Kan ku berikan sekujur tubuhku beserta jiwanya

Asal jangan

Kau tinggalkan aku

Di sorga ini

Sendirian

Lagi



3.



Wahai, jiwa yang tertidur dalam arca

Datang dan tepatilah janji seribu tahun kita

Bagai Whisnu yang bentangkan gendewa asmara Sri Rama

Cepat

Lesat

Tepat tancapkan anak panah di tengah hatimu

Biarkan saja para Batara tersipu

Tatkala melihat kita menarikan khamasutra dari bab yang paling rahasia



Arkaisme terletak pada kata-kata gendewa, Batara, dan keseluruhan
cerita tentang percintaan yang diambil dari kisah pewayangan. Frasa
‘tepatilah janji seribu tahun kita’ mungkin juga diambil dari
kisah yang sama, jika demikian bait ketiga adalah kata-kata yang sangat
diinspirasikan oleh literatur pewayangan. Karena pada bait yang
ditulis, kisah-kisah yang ada tidak disubversi oleh penulis sehingga
menjadi sebuah versi ‘sejarah’ lain.







Pada sajak KUN terdapat alegori (kata-kata yang dilihat dari balik
permukaannya, penggunaan yang berhubungan dengan tanda-tanda tertentu,
biasanya untuk menggantikan simbol-simbol agama/religius). Dari
judulnya sudah terlihat maksud dari alegori ini, yaitu seperti sebuah
kisah kejadian.



Lalu pada bait kedua ‘tentang kisah-kisah nabi dan rassul yang lantas
mati terbunuh oleh bangsanya sendiri’. Hal ini merupakan suatu
pemberitaan yang tidak baru karena cerita ini memang sebuah cerita yang
didengar kebanyakan anak-anak yang pernah ikut ‘ngaji’, sehingga
terlihat pula kerinduan akan masa lalu, yang ingin diungkapkan disini.




Pada bait pertama, terdapat perumpaman cinta bagaikan langit dan bumi,
sebuah perbandingan yang tidak menemukan pasangannya-seperti hidup dan
mati, bagaikan sekeping mata uang. Disini cinta memiliki dua sisi,
langit dan bumi. Pandangan ini seakan memposisikan dua buah kutub. Yang
kemudian dijelaskan pada bait berikutnya juga dengan perumpamaan
‘seperti’ – yang memiliki 4 anak kalimat (1) lilin yang tidak mau
percaya, (2) menodai kemurnian gelap, (3) sehingga rela, (4) membakar
dirinya sendiri.

Konsekuensinya adalah:

(1) cinta adalah membutakan, sehingga akan membakar dirinya sendiri,

(2) cinta membutakan sehingga dapat menodai sebuah kemurnian,

(3) cinta menodai kemurnian dirinya sendiri dengan rela

(4) cinta rela membakar dirinya sendiri setelah berusaha percaya bahwa
ia tidak membakar dirinya sendiri karena rela adalah sebuah pengorbanan.

Nyala lilin memang menodai kemurnian gelap, jika itu cinta cahaya maka
diasumsikan cinta sebagai sebuah unsur yang dapat menodai sebuah
kegelapan/ketiadaan cinta. Hubungan dengan ‘cinta bagaikan langit dan
bumi’ disini menjadi sedikit kacau kecuali maksud dari perumpamaan ini
adalah cinta yang memang dapat menyembuhkan atau membuat sakit, namun
konsekuensi melukai diri sendiri ini adalah resiko dari sebuah cinta
atau menjadi lilin.



Jika dihubungkan dengan pandangan kaum dekonstruksi langit dan
bumi tidaklah biner (beroposisi) namun sebuah komposisi, yang
menggambarkan sebuah ragam perbedaan, dibandingkan sebuah ragam sesuatu
yang harus dihadap-hadapkan. Dalam dekontruksi ini maka gelap dan
terang, bukanlah sesuatu yang harus selalu diperlawankan, karena
keberadaan salah satunya merupakan syarat ‘adanya’ keberadaan yang
lain. Cinta tidak pernah menodai siapapun/apapun juga, begitu juga
cahaya lilin.



Pada bait selanjutnya kembali terdapat arkaik dimana semesta raya
adalah kun fa yakun, jadi maka jadilah-dimana semesta raya dipercaya
tidak terjadi dengan sendirinya. Seperti anak-anak yang mulai memberi
tanda pada setiap sesuatu yang membuatnya penasaran-apa ini, apa itu.



Kemudian ditutup oleh bait berkatalah, membacalah semesta yang telah
kau tandai, jika tidak maka semuanya akan hilang hanya jadi
kata-kata-tanpa ada makna. Atau Tuhanpun tiada, bukan hanya ‘ajakan’
kepada kita yang meniada, namun juga ajakan untuk memikirkan ‘tuhan’
yang cuma kata-kata. Apakah kita juga akan ‘menjadikannya’ tiada. Ini
sebuah aforia dimana ada kemungkinan yang ditawarkan apakah pernyataan
tersebut

Berkatalah/Selalu/Atau kita akan tiada/Karena Tuhan pun di sini hanya
kata-kata! Benar adanya. Kesimpulan yang diambil pembaca diinginkan
penulis membenarkan pernyataan ‘kita akan tiada’.







KUN



Berkatalah,

Cinta adalah langit dan bumi

Seperti lilin yang
tak mau percaya bahwa sinarannya telah menodai kemurnian gelap, hingga
ia selalu rela saat mulai harus membakar dirinya sendiri.




Berkatalah,

Kesadaran pasti akan
datangi kita laksana kerinduanmu akan masa kanak yang pernah singgah
kala kau rebah dipelukan bunda untuk dengarkan kisah-kisah nabi dan
rassul yang lantas mati terbunuh oleh bangsanya sendiri.




Berkatalah,

Maka, jadilah semesta raya!

(yang kau rangkumkan
di kedalaman hati kecilmu seperti saat kau ciptakan dirimu sendiri di
dalam segala benda dengan segala istilah dan kata)




Berkatalah,

Selalu,

Atau kita akan tiada,

Karena Tuhan pun di sini hanya kata-kata!





Dalam puisi DAN kembali masa lalu hadir, arkaik yang kental ini,
merupakan keinginan penulis untuk membagi kisah-kisah religius, namun
pada kalimat ‘dua kalimat seluruh hikmat yang mutlak tanpa besaran
absolut’, dimana dua kalimat seluruh hikmat yang dimaksud adalah sebuah
kalimat syahadat, ‘mutlak tanpa besaran mutlak/absolut’ menjadi
paradoks sendiri dalam kalimat ini, putih yang bukan putih adalah
contoh yang kurang tepat namun memiliki kebingungan yang sama. Atau ini
merupakan aporia yang lain, pernyataan yang memang dibuat untuk menjadi
sebuah pertanyaan yang sukar untuk dijawab/disimpulkan.



Pada alegori yang lain ‘bumi di mana sorga dan neraka bersebadan
menjadi satu tubuh’ dapat dilihat perumpamaan yang menyatakan ‘justru’
pada keyakinan penulis bahwa bumu bukanlah tempat yang ideal, dimana
penulis yang senang menggunakan oposisi berkeyakinan manusialah tempat
dimana surga dan neraka bersatu. Hal ini mengingatkan juga pada
cerita-cerita agama, tentang kesempurnaan manusia, adalah kemampuannya
untuk bernalar dalam menentukan salah dan benar.



DAN



Doa kali ini hanyalah untuk malam hari saja,

Bagai dua kalimat seluruh hikmat yang mutlak tanpa besaran absolut,

Saat merampaikan selintas garis merah keduabelasribu syair satu tahun

Ke pangkal leher setiap makhluk yang mengaku dirinya sebagai manusia

Karena tuhan tidak ada di sana

Ia hidup di bumi bersama kita

Bumi di mana sorga dan neraka bersebadan menjadi satu tubuh

: MANUSIA!





Secara keseluruhan Legenda Cinta berhasil memprovokasi pembaca unuk
mencari tahu, literatur apa yang sedang diusung penulis sebagai sebuah
wacana yang disorongkan untuk didialogkan. Hal ini merupakan kebiasaan
para penulis yang sedang bernostalgia untuk menemukan kembali kearifan
masa silam, dengan membuat pembenaran secara konvensional atau
melakukan dekonstruksi atau menafsirkan ulang, sehingga mitos tersebut
tetap aktual.. penyair Eropa abad pertengahan mengajukan puisi sejenis
dengan mengutip dan menggunakan mitologi Yunani yang mewakili
‘kebesaran’ Eropa.


Dalam sisi pencarian bentuk, kawan Wildan menyatakan cinta yang
begitu
agung pada zaman sekarang terlihat usang dan jauh dari semangat zaman
yang coba menyederhanakannya. Ia juga menyatakan menyederhanakan
kata-kata penting ketika menulis puisi, sehingga puisi tersebut tidak
jauh dari keseharian. Dari sisi bentuk seperti yang dikemukakan diatas,
puisi ini masih memiliki bentuk yang konvensional dengan tawaran wacana
tentang cinta yang konvensional pula, tidak liar, membuat penasaran,
dan jahil mencoba mendobrak ketabuan. Sehingga puisi seperti ini bertendensi mengajari pembaca (didaktik).



Saya jadi teringat sebuah kalimat dari seorang sufi, “…waktu yang
paling jauh dari sisi kita adalah masa lalu, yang dijadikan resiko
peruntungan adalah masa kini, dan jarak terdekat adalah masa depan…”
Mungkin inilah yang menjadikan sebuah puisi menjadi sangat
‘menggiurkan’ ketika berhasil membuat ‘peruntungan’untuk menyelesaikan
problem kekinian, sehingga hidup lebih indah dengan resiko yang
ditanggung kini dan disini. Karena kemegahan masa lalu seringkali
menjebak menjadi dekorasi semata.



Ah…ini album keluarga, tentang cinta
yang bicara tentang dirinya, padahal cinta bisa jadi mengenai semua
kata. Freddie Mercuri penah berkata dalam titel lagunya, a crazy little thing called love...





[widhy |sinau]





Thursday, 9 March 2006

Buku Baru Insist Press

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Other
Author:Ragam
Judul Buku: Biografi Kehilangan
Jenis: Sastera, Kumpulan Puisi
Penulis: Dina Oktaviani
Harga: Rp. 12.000,-

Kumpulan puisi atau sajak ini banyak mengupas tentang perjalanan hidup, naratif namun penuh metafora. Aku laku. Pelaku. Disarankan membaca kutipan sampul terakhir, karena menggangu keasyikan berimajinasi, menjadi kawan dan mengenal penulis.

Penulis kelahiran Lampung, sekarang menetap di Jogjakarta. Saat ini menjadi editor blocknote poetry untuk blocknoteinstitute.

Judul Buku: Sang Kecoak
Jenis: Sastera, Antologi Cerpen Pemenang Sayembara Cerpen AKY 2005
Penulis: Irene Sarwindaningrum, Wendoko, Dudi Iswahyudi, Artika Maya, Bode Riswandi, St. Fatimah, Agus Hernawan, Sandra Lilyana, Zulfaisal Putera,Cut Desi Gitary Sandy
Harga: Rp. 24.000

Sebagai sebuah antologi yang diambil dari hasil sayembara, kumpulan cerpen ini cukup memberikan warna yang beragam. Baik dari sisi cara bertutur maupun tema yang diangkat.

Judul Buku: Pak Moel Guru Nggambar
Jenis: Non Fiksi, Pendidikan Populer
Penulis: Moelyono
Harga: Rp. 30.000

Buku ini merupakan perjalanan penulis dalam melakukan pembelajaran kritis dan advokasi kepada masyarakat lewat berbagai teknik, terutama menggambar.

On/Off: Keluarga: Hoa Kiau Dan Aidit Bersinar Seksi dengan Tora Sudiro
Jenis: Jurnal Sastra
Penulis: I Made Aswino Aji, Cicilia Maharani, Dewey Setiawan, Gentur Surya Sukeni, Fazil Abdulah, l. Onny Wiranda, Randurini, Zen Rahmad Sugito
Harga: Rp. 23.000

Yang paling menarik dari setiap terbitan on/off adalah judulnya yang seksi, sebagai sebuah jurnal sastra, on/off memberikan perhatian pada hal-hal remeh-temeh yang sering terlewat karena begitu sibuknya kita memikirkan hal-hal besar. On/off kali ini bercerita tentang keluarga.

Wacana Edisi 20: Kebijakan Kehutanan Gagal
Jenis: Jurnal, Kajian Sosial Budaya
Penulis: Hariadi Kartodihardjo, San Afri Awang, Bambang Setiono, Willem Pattinasarany, Erwin Fahmi dan R. Yando Zakaria, Erna, S. A., Hariadi K., dan D. Murdiyarso, Ridzki Rinanto Sigit, Darmanto, Hery Santoso, Ester Eirene Lintong, Suraya Affif.
Harga: Rp. 22.500

Wacana kali ini berisikan tata kelola hutan di Indonesia, dikaitkan dengan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan isu produksi hutan, kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, dan devisa yang dihasilkan dalam perekonomian makro, serta impikasi kebijakan dan praktek kelola hutan dalam hubungannya dengan kerusakan/deforestasi yang menerus yang menjadi isu global, dan peran lembaga dunia seperti IMF Dan Bank Dunia yang makin memperburuk kondisi perhutanan di Indonesia. Hutan Indonesia milik siapa?

Wacana Edisi 21: Pilkadal
Jenis: Jurnal, Kajian Sosial Budaya
Penulis: Wilson, Coen Husain Pontoh, Dita Indah Sari, Simon, Hendra Budiman, Siti Aminah.
Harga: Rp. 22.500

Wacana edisi 21 merupakan refleksi dari exercise desentralisasi kekuasaaan sejak diundangkannya dan penerapan otonomi daerah. Apakah konsep partisipatoris dalam sebuah pemilihan sudah berjalan seperti yang diharapkan, atau malah menimbulkan oligarki kekuasaan seperti yang dicemaskan banyak pihak. Modus apa yang telah berhasil mengebiri proses partisipatoris di tingkat lokal.


Wacana Edisi 22: Menuju Transportasi yang Manusiawi
Jenis: Jurnal, Kajian Sosial Budaya
Penulis: Darmaningtyas, Purwo Santoso, Llyod Wright, Djoko Setijowarno, Tulus Abadi
Harga: Rp. 22.500

Wacana edisi 22 membedah permasalahan transportasi. Dimensi sosial dan politis yang diabaikan atau malah diperhitungkan untuk tidak dimasukkan ke dalam biaya sosial? Bagaimana pula dengan populasi yang memadat dan persoalan kultur. Cukupkah membarui transportasi massal, dan pilihan seperti apa yang paling memungkinkan untuk investasi dalam sektor yang banyak mempengaruhi publik ini, tanpa harus mengabaikan dimensi sosial politik.

Dapatkan di kedai buku sinau, Jakarta dan Malang.
Diskon 20%



Diantara Teman-Temanku Aku Berada Diantaramu Dan Teman-Temanku Berada Diantara Aku; TAPI, BERADA DIANTARA MANAKAH AKU DAN TEMAN-TEMANKU HINGGA KAMU TIDAK TAHU DIMANA KEBERADAANKU DAN TEMAN-TEMANKU YANG BERADA DIANTARA AKU DAN TEMAN-TEMANKU BERADA DIANTARANYA


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--Sebenarnya, Judul Tersebut Tidaklah
Terlalu Penting Untuk Dibaca; Sebab Pada Dasarnya, Saya Pun Sedang
Kesulitan Mencari Judul Apa Yang Tepat, Malah Yang Datang Judul Yang
Sebenarnya Kurang Tepat, Tapi Mengasyikkan
--

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------



"Apakah engkau mendengarkan aku?"



Perlahan, aku merasa ada seseorang yang memasuki aku. Dari gelagatnya,
sekarang ini, aku seakan membaca bahwa seseorang itu sedang mencari
sesuatu. Tapi, aku pikir itu tidak mungkin. Sebab, seringkali aku
melihat seseorang itu memasuki aku. Dan, biasanya, seseorang itu hanya
memasuki aku untuk melempar buku atau rebahan di atas kasur sembari
mendengarkan 'The Doors' atau album 'An American Prayer'-nya James
Douglas Morrison. Setelahnya, seseorang itu lalu mematikan lampu.
Demikianlah, seseorang itu seperti melakukan rutinitas memasuki aku.
Hingga,



aku merasa seseorang itu bukan mencari sesuatu. Seseorang itu, rasanya
hendak menanyakan sesuatu. Kadang, aku mencoba memasang telinga tajam
mendengar. Namun, mengapa tak satu patah kata pun yang dapat aku
dengar; padahal kalau aku melihat bibir seseorang itu bergerak-gerak
kencang. Pastilah seseorang itu, bukan sedang sekarat
meregang--setidaknya itu dugaan aku yang positif. Sebab, bila aku
menduga negasinya, maka aku hanya menyimpulkan bahwa seseorang itu
sedang mencoba menarik perhatian aku. Dan, memang, aku pun pernah
berpikiran seperti itu. Tapi, pikiran itu runtuh dengan sendirinya,
sebab seseorang itu memang tidak sedang menarik perhatian aku. Jika
seseorang itu memang ingin menarik perhatian aku, seseorang itu tidak
perlu melakukan hal itu berulang kali; idealnya, cuma beberapa kali;
tidak menjadikan rutinitas. Nah, karena rutinitas itulah maka aku
menggugurkan pikiran negasi itu. Aku merasa seseorang tidak sedang
memikat perhatian aku. Aku merasa seseorang itu sedang mencari sesuatu
atau, hendak menanyakan sesuatu. Entahlah, aku tidak tahu apa bedanya
mencari sesuatu dengan menanyakan sesuatu. Pfuh, memang seseorang itu
tampaknya sedang 'bersesuatu' kepada aku.



"Hei, ada apaan sih?" Sekali waktu, aku mencoba menanggapi seseorang
yang sedang 'bersesuatu' itu. Dan, karena percobaan pertama itulah, aku
pun menjadi berulang kali mengucapkannya. Kadang menggunakan huruf
kapital semua, kadang huruf tak-kapital semua, kadang berhuruf campuran
antara kapital dan tak-kapital, bahkan kadang juga aku mengucapkannya
tanpa menggunakan huruf. Tapi, setelah beragam macam cara rupa telah
aku upayakan, seseorang itu tampaknya tak memberi tanggapan seperti
yang aku inginkan. Entahlah..., apa yang salah; aku tidak tahu. Apakah
itu karena aku berkeinginan, atau karena apa. Mengapa aku begitu sulit
untuk, ya mungkin semacam mendengar seseorang itu; atau memang
seseorang itu juga seakan begitu sulit untuk, ya mungkin semacam
mendengar juga, mendengar aku; padahal,



ketika 'An American Prayer'-nya James Douglas Morrison atau album
lainnya 'The Doors', kami, maksud aku, aku dan seseorang itu bisa
tertidur bareng, bahkan terbengong, terdiam. Kehilangan beban.



[Tulisan ini saya buat dan saya pertanggung-jawabkan semampu saya. Maaf, kalau tidak memuaskan. --David Tobing--]














kopi tubruk

Rating:★★★
Category:Other
Setiap hari pak Karni, pegawai bagian dapur-dikantor saya, menyediakan segelas kopi-biasa disebut-kopi tubruk. kopi langsung diseduh, digelas bening. biasanya, kopi tubruk terlalu banyak airnya, disuguhkan sampai tumpah ke tatakan gelas. tatakanpun jadi basah, oleh ampas kopi juga dinding gelas. kopi tubruk di warung kopi di daerah jawa tengah, khas juga dengan rasa manisnya yang berlebihan. setelah tumpah ditubruk air, kopi ditubruk gula hingga kelewat manis. saking manisnya, mencoba kopi tubruk pada sebuah menu yang ada disebuah restoran yang melestarikan budaya bangsa, kopi tubruk cukup favorit, tubrukan kopi dengan gula bisa membuat lidah yang terbiasa dengan kopi espresso di kedai kopi franchise yang gulanya tidak ditubrukkan ke kopi merasa tidak nyaman, terlalu manis. alhasil, kopi tubruk ala restoran pelestari budaya bangsa tersebut kurang cocok untuk dinikmati semua kalangan: saran, jangan tubrukkan gula terlalu banyak ke dalam gelas kopi, pisahkan saja gula dari kopi, sehingga dapat disesuaikan dengan selera pembeli.

Kopi tubruk paling unik yang pernah saya coba ada di sekitar Malang, kalau tidak salah di belakang DPRD kota Malang. Disana aroma kopi tubruk terasa dari jarak sekitar 10 m dari lokasi, ciri lainnya asap puith yang banyak. Kopi digodog terus menerus dengan kayu bakar, kopi tanpa gula dijarang api. Walaupun kopinya termasuk kopi kelas tiga alias kopi jagung, namun kesan lain yang didapatkan adalah sebuah tempat berjualan kopi. Mengapa? Secara tidak sengaja yang punya warung mengambil bahan baku untuk kayu bakar adalah kayu yang baru tebang-masih basah, sehingga asap yang ditimbulkan putih melimpah. Sambil ngopi di 5 menit pertama mata terasa perih terkena asap. 10 menit berikutnya kita mencari teman ngobrol, dan mulai menikmati suasana ngeri ini. Kira-kira setiap pengunjung menghabiskan waktu 30 menit. Entah karena pegawai negeri yang belum ngopi di rumah, atau memang pegawai negeri hobinya bolos kerja. Lumayan 2 sks di warung kopi. Kopi asap demikian saya menamakan lumayan untuk didatangi ketika di Malang.

Di Jakarta, di daerah Glodog ada kopi O, yang biasanya menjadi kopi tubruk yang dijual di daerah Bangka-Belitung. Di daerah ini kopi racikan rahasia ini sangat kental, dan kopi susunya mirip dengan kopi susu Aceh. Kenikmatannya mungkin pada suguhan di gelas keramik Cina dan rasa kopi yang unik-paduan antara pahit dan rasa lembut kopi ketika ditelan. Lembut karena tidak membuat kerongkongan terasa kering seperti panas dalam, sehingga bercangkirpun kita minum tidak terasa. Kopi seperti ini seperti kopi Mandheling, yang juga lembut ketika ditelan.

Ditubruk kopi tubruk enak, jika lembut. Tubrukan kopi dengan gula dan air panas 90 derajat, biasanya memang tidak dicampur. Kopi dulu diseduh, baru tambahkan gula. Minum kopi kok pakai aturan, bukan kabarnya rasanya yang berbeda. Coba saja dulu..Tidak melukai siapapun... Jika luka taburkan kopi, karena kopi bisa menutup luka, lain lagi itu ceritanya.


[widhy |sinau]

Wednesday, 8 March 2006

Diantara Teman-Temanku Aku Berada Diantaramu Dan Teman-Temanku Berada Diantara Aku


--Sebenarnya, Judul Tersebut Tidaklah
Terlalu Penting Untuk Dibaca; Sebab Pada Dasarnya, Saya Pun Sedang
Kesulitan Mencari Judul Apa Yang Tepat, Malah Yang Datang Judul Yang
Sebenarnya Kurang Tepat, Tapi Mengasyikkan
--





"Tolong sediakan aku segelas kopi; maka aku akan berbicara panjang
tentang apa itu kegilaan." Begitulah kata seorang teman. Di lain waktu
ia berkata, "Tolong sediakan aku pena; maka sebuah puisi akan
tercipta." Begitulah ia berkata, di lain waktu. Sampai suatu ketika,
entah kapan saatnya, aku lupa--ia pun bertanya "Mengapa tak ada yang
mendengarkan aku?" Dan, saat itu pula ia

meninggal dunia.



Beberapa hari setelah kematiannya yang mengenaskan itu--maksud aku,
cara dia meninggalkan dunia, maksud aku, cara dia meninggalkan dunia
itu terjadi hanya dikarenakan ia selesai bertanya, "Mengapa tak ada
yang mendengarkan aku?"; bukan karena bunuh diri atau dibunuh
diri-yang-lain--semua orang bertanya, bertanya bermacam-macam hal yang
menyangkut kehidupan seorang temanku ini, mereka bertanya-tanya, yang
sebenarnya hendak ditujukan kepada seorang temanku yang sudah meninggal
dunia ini. Saking banyaknya pertanyaan yang mereka ajukan, kebetulan
pada saat itu aku hanya mendengar, tanpa mengingat pun mencatat, sebab
yang aku pikirkan hanyalah: jika pertanyaan itu hendak mereka tujukan
kepada ia, maka ia-lah yang patut memberikan jawaban. Bila demikian,
maka yang aku duga pun terjadi. Mereka memang menemukan jawaban, tapi
jawaban itu mereka peroleh dari hasil menebak, hingga mereka pun
terkadang ragu, apakah jawaban mereka itu benar dan tepat, atau sama
sekali khayal. Entahlah, aku tidak mengerti bagaimana perasaan mereka
ketika mereka berhasil menebak. Hingga,



aku pun berpikir, apakah kita mampu bertanya kepada sesuatu yang sudah
mati; sudah meninggal dunia? Sederhananya, mampukah kita berdialog
dengan kematian? Demikianlah, aku dikenalkan pada kematian pertama,
melalui seorang teman yang meninggal dunia.



Seorang temanku yang lain, pernah berkata, "Manusia mahluk yang menuju
mati." Seorang temanku yang lainnya pun berkata, aku tidak ingat
tepatnya bagaimana, tapi intinya kurang lebih bercerita bahwa manusia
itu berjalan bersama dengan kematian. Bahkan, seorang temanku yang
lainnya pula lagi, menyuarakan pendapat bahwa manusia itu tidak pernah
mati. Dan, ada juga temanku yang lainnya yang memperbincangkan hal
serupa, tapi bukan dalam kata-kata, melainkan menggambar, entah
melukis, judulnya, "Potret Diri Berhadapan Dengan Kematian".



Karena perkataan dan perbuatan teman-temanku ini, aku pun menjadi
berpikiran seperti teman-temanku. Maksud aku, aku berpikiran lain dari
dari teman-temanku. Maksud aku, seperti yang engkau tahu, teman-temanku
inikan berpikiran lain, maksud aku, mereka berbicara satu hal yang
sama, yakni kematian, tapi menghasilkan perbedaan sudut pandang. Karena
itu, aku pun berpikiran lain dari mereka. Aku pun berpikiran untuk
menciptakan dialog dengan kematian, agar aku bebas bertanya kepada
kematian mengenai siapa dirinya dan buat apa dia ada.



Sebenarnya, niatan aku itu berasal dari pikiran, bahwa apa yang
dipikirkan oleh teman-temanku hanyalah berupa jawaban. Itu, menurutku
yang terjadi. Sebab, mereka tak pernah bisa menjelaskan bagaimana cara
mereka memperoleh jawaban itu. Sebab, ketika aku tanya, "Pernahkah kau
bertanya kepada kematian?" mereka hanya tertawa, terdiam, bahkan ada
yang langsung angkat kaki pergi, ambil gelas dan melemparkannya ke
mukaku, atau menggebrak meja. Padahal, aku pikir, aku cuma butuh
jawaban 'Ya' ata 'Tidak'. Itu saja. Jika mereka pernah bertanya kepada
kematian, maka aku akan menanyakan hal berikutnya, yakni, "Bagaimana
caramu bertanya kepada kematian?" Namun, jika mereka tak pernah
bertanya kepada kematian, maka aku tak perlu bersusah payah menanyakan
hal berikutnya. Tapi,



ada seorang temanku yang lain pula yang bertanya balik kepada aku,
"Mengapa kau bertanya demikian?" Ah, jawaban yang diberikan seorang
temanku yang lain pula ini memang tidak memuaskan aku, karena aku cuma
membutuhkan jawaban 'Ya' atau 'Tidak', sebelum melangkah pada
pertanyaan aku yang berikutnya. Karena itu, terpaksa aku menjawab, "Aku
cuma ingin tahu saja." Tampaknya, seorang temanku yang lain pula ini
tak puas. Itu aku ketahui dari bola matanya yang memerah, dahinya yang
mengkerut, nafasnya yang tertahan, alisnya yang mengetat, juga bibirnya
yang seperti membeku. Aku pikir seorang temanku yang lain pula ini
bakalan marah. Karena itu, aku lekas menambahkan jawaban, maksud aku,
menjelaskan kenapa aku menjawab seperti itu. Aku bilang kepada seorang
temanku yang lain pula ini:



"Kalau aku sebenarnya, biasanya, bertanya kepada yang bisa menjawab.
Nah, karena ini pertanyaan, yang menurut aku hanya bisa dijawab
kematian, maka aku pun menanyakan hal itu kepadamu. Maksudku, aku
menanyakan apakah kau pernah bertanya kepada kematian? Sebab, aku
pikir, kau hanyalah menebak saja. Tidak lebih. Sebab, bila jawaban itu
akurat, maka kematian-lah yang seharusnya menjawab. Maksudku, ini kan
tak ubahnya, saat aku belajar matematika, dan aku tidak mengerti, maka
aku bertanya kepada guru yang lebih mengerti hal itu. Aku cuma, pengen
tahu aja. Sebab, sudah banyak orang yang berbicara tentang kematian,
tapi tak satu pun yang memberitahukan aku bagaimana caranya agar aku,
maksud aku, kita, ehmm..., maksud aku--ya, kita semua ini--bisa
berdialog dengan kematian. Itu saja sebenarnya alasan aku bertanya."



Seorang temanku yang lain ini pun tidak bisa berkata-kata. Padahal,
kalau menurut aku, sebenarnya seorang temanku yang lain ini ingin
mengatakan sesuatu. Tapi, aku tidak ingin bertanya lebih jauh, apa
tanggapan, apa jawaban, apa pendapat, dan segudang apa lagi yang ingin
kuketahui dari diamnya seorang temanku yang lain ini. "Maafin, ya. Aku
pergi dulu," kata aku kepada seorang temanku yang lain. Aku tidak ingin
mengganggu seorang temanku yang lain ini, sebab menurut aku, dalam
keadaan itu diam tersebut, seorang temanku yang lain ini sedang
berpikir. Dan, aku pun pergi.



Malamnya, aku berniat bertanya kepada kematian. Sebelumnya, aku
mengadakan persiapan. Dialog dengan kematian tentulah hal yang sangat
memakan waktu banyak. Karena itu, aku pun menyiapkan bergelas-gelas
kopi siap seduh, juga makanan kecil, juga kertas dan alat tulis.
Entahlah, aku hanya bertaruh, tepatnya menebak, bahwa kematian pun
menyukai kopi, seperti aku. Sebab, bila sudah demikian, maka
perbincangan pun lancar, dan aku tak perlu bersusah-susah mencari
whisky atau jus jambu misalnya--bila itu merupakan kesukaan kematian.
Dan, perbincangan aku mulai dengan pertanyaan:



"Apakah engkau mendengarkan aku?"



[Tulisan ini saya buat dan saya pertanggung-jawabkan semampu saya. Maaf, kalau tidak memuaskan. --David Tobing--]





Saturday, 4 March 2006

PoetCorner#4




Slot

bunga matahari




Putar Film#3: Silahkan Pilih

Start:     Mar 25, '06 8:00p
End:     Mar 26, '06 2:00a
Song From 2nd Floor-Swedish Film
The Idiot-Adapted Film from Doestovsky Novel

Poet Corner#5 Legenda Cinta

Start:     Mar 11, '06 8:00p
End:     Mar 12, '06 2:00a
Location:     kedai buku sinau, jl. bekasi timur 1 #32 (depan stasiun jatinegara)
Arif masih dengan legenda cintanya.

World Book Day




World Book Day #2: Bisa diKopi


Bisa DiKopi? Roger



Buku bisa dikopi, namun copyright harus tetap dijaga? Ada juga yang
percaya, jika masih miskin, maka buat saja copyleftnya. Tangan kanan
untuk hal baik, tangan kiri untuk hal yang sedikit jorok namun penting.
Ya seperti copyleft tadi, atau membasuh kotoran alias cebok. World Book
Day 2006, sebuah usaha untuk mengcopy ide besar tentang pentingnya
merayakan buku, ternyata, bukan hanya buku yang bicara, buku yang lebih
besar, semesta, ternyata lebih banyak bicara. Mengapa? Karena begitu
banyak pihak yang menyepelekan buku semesta ini. Komunitas yang hadir
dalam WBD ini ternyata berkata lain. Mereka belajar dari semestanya
sendiri. Yang terdekat, itulah yang paling mungkin dirawat. Begitu
banyak pengalaman yang bisa diberikan, dari kefasihan seorang anak
dalam menceritakan pengalaman menulisnya sejak umur 8 tahun, kelompok
tunanetra yang memberi pengalaman membaca, kebanyakan anak-anak muda
yang setia dengan kemudaannya, tidak berlagak tua dalam berkarya, ada
optimisme yang diusung dalam centang perenang sibuk yang masih lucu dan
masih tergesa; indonesia membaca! kata panitia sekarang atau tidak sama
sekali.



Saya teringat dengan salah satu pidato dari kumpulan tulisan Hatta,
seorang proklamator kita, yang menyatakan: apakah sebuah kerjasama
(sosialisme kerakyatan) dapat dilakukan oleh orang-orang yang 
yang tidak percaya dengannya?  Jawabannya tidak.  Mustahil.
Bagaimana ada  jiwa yang yang bisa menafikan eksistensinya. 
Anda bisa bayangkan seluruh dunia-semesta lainnya runtuh, tapi
beranikah Anda, atau lebih tepatnya sanggupkah Anda menghilangkan diri
Anda walaupun cuma dalam bayang? Siapa yang hilang sesungguhnya? Sampai
tanggal 4 Maret 2006, jam 02.00 pagi, ternyata Hatta masih benar. Salah
jika memberikan kesempatan pada orang-orang yang pura-pura dan penuh
kepalsuan, salah juga jika kita tidak dapat merebut topeng palsu dari
mereka. Dalam prasangka ada harapan untuk membuat orang percaya pada
kita, dan kita percaya pada mereka. Harapan itu doa. Yang menjadi
pertanyaan adalah; apakah bisa dikopi, ganti? jika tidak tawaran dialog
ini tidak dapat diteruskan, kata kawan saya Jibal, nyasar ke mobil box.




Komunitas yang dibayangkan kemudian adalah komunitas tuna yang kaya
akan kepercayaan diri, bahwa kita bisa! sekurangnya jam 2 pagi lewat
sedikit, angin dari WBD mengisyaratkan hal itu. pertanda memang tidak
selalu tepat, namun dibaliknya ada senyum yeng terkembang, apa iya ya.
Iya, kalau kita bisa memiliki world view yang sama, begitu kata Jimmy
penjual buku dan kopi espresso. Pandangan dunia dari seorang yang tuna
tapi terus berprasangka baik tentunya lebih berharga dari orang-orang
kaya yang tidak pernah nyenyak tidurnya. komunitas yang dibayangkan
menjadi sebuah komunitas yang membesar bukan karena terlalu banyak
makan, namun karena berbiak. Sekali lagi, apakah bisa diKopi? Ternyata
setiap orang adalah sesuatu, dan tidak bisa dihilangkan begitu saja!
Oleh apapun, oleh siapapun, jangan takut, sejarah selalu adil dalam
mencatat, waktu juga bersetia menuliskan kalamnya, di air, tanah,
udara, keringat yang menetes--ibarat pohon, WBD sudah menambah satu
lingkaran umur dalam batangnya.



Maka, pintaku padamu, berbiaklah! Bukan karena harus ternak-karena sejenak adalah selamanya, sementara waktu kita tak banyak.



[widhy |sinau]



Wednesday, 1 March 2006

World Book Day


Bukubuku. Hapal. Lalu. Lupa. Beli. Bagi. Pinjam. Pulang. Bukubuku.
Baca. Lihat. Dengar. Tulis. Dialog. Diam. Hening. Riuh. Ganti. Diganti.
Marah. Dendam. Bakar. Bukubuku. Sensor. Adab. Tak adab. Sara. Bukubuku.
Bukan. Ilmu. Bukan. Pengetahuan. Bukan. Keyakinan. Bukan. Hening.
Bukan. Suci. Bukan. Hasut. Bukan. Dengki. Bukan. Pamer. Bukan.
Bukubuku. Hampir. Jadi. Sosok. Fiksi. Nyaris. Keluar. Garis. Tepi.
Kanan. Kiri. Bukubuku. Kini. Jendela. Retak. Lepas. Engsel. Dari.
Babbab. Bukubuku. Disapih. Kanakkanak. Dewasa. Tanpanya. Bukubuku.
Hilang. Terganti. TV. Bola. Palsu. Dalam. Layar. Monitor. Ganti.
Menjaga. Kanakkanak. Ibunya. Kerja. Jadi. Bintang. Telenovela.
Bukubuku. Pingsan. Membaca. Diri. Lewat. Tafsir. Literasi. 110 dari
170. Negara. Mendekati. Satu. Orangorang. Membaca. Bukubuku. Marah.
Ditolak. Budaya. Bangsa. Besar. Mengecil. Pameran. Dengkul. Dan.
Kelamin. Bukubuku. Digambar. Dada. Dan. Paha. Asli. Wajah. Pribumi.
Dengan. Rambut. Bercat. Pirang. Kulit. Diputihkan. Bukubuku. Pameran.
Wajahnya. Pasar. Penuh. Bandrol. Dan. Licin. Kemasan. Bukubuku. Hilang.
Daging. Hilang. Tulang. Hilang. Ruh. Hilang. Keseriusan. Hilang.
Jenaka. Cuma. Becek. Atau. Harum. Wangi. Uang. Bukubuku. Gagal.
Mendulang. Harta. Terpendam. Emas. Tak Jadi. Perak. Tak jadi. Perunggu.
Tak Jadi. Piagam. Tak Jadi. Nobel. Takut. Bukubuku. Bikin. Ngeri. Luka.
Jadi. Nganga. Kuasa. Jadi. Tawa. Jadi. Bukan. Ini. Bukan. Itu.
Bukubuku. Buat. Rancu. Bukan. Racun. Bukan. Serum. Bukan. Bukubuku.
Tersapu. Linglung. Garis. Tiga. Tipis. Tebal. Dua senti dari kiri.
Percuma. Guru. Tak Pandai. Membaca. Dulu. Sewaktu Ujian. Kini.
Bukubuku. Debu. Teman. Gudang. Kawan. Bungkusan. Sayur. Jauhi. Otak.
Cuci gudang. Bukan. Isi. Dibeli. Pas. Kencan. Bukubuku. Senang. Abang.
Sayang. Tak. Pernah. Baca. Mata. Jelalatan. Dagang. Capai. Itu saja.
Pembeli. Lebih. Baik. Tukar. Pakai. Biar. Penerbit. Pikir. Kepantasan.
Biar. Pedagang. Pikir. Laba. Biar. Orangtua. Pikir. Makanan. Biar.
Kanakkanak. Pikir. Imajinasi. Biar. Konsumen. Pikir. Kegunaan. Biar.
Kuasa. Pikir. Masadepan. Biar. Penulis. Pikir. Damai. Biar. Pembaca.
Pikir. Menulis. Bukubuku. Percuma. Jadi. Buku. Gagal. Jadi. Penentu.
Gagal. Jadi. Arah. Gagal. Jadi. Bunyi. Gagal. Saat Sunyi. Tanpa.
Bukubuku. Otak. Tidak. Pusat. Tertinggal. Di kloset. Bersamanya.
Pikiran. Diguyur. Bersih. Menghuni. Selokan. Resleting. Dan. Kancing.
Diperiksa. Isinya. Masih. Ada. Puji. Tuhan.



Selamat Merayakan Buku, Selamat Merayakan Semesta.



(widhy |sinau)





Modigliani

Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Drama
DEDO or MODI

Amedeo Clemente Modigliani (12 Juli 1884 - 24 Januari 1920), pelukis-cum-pematung berdarah Yahudi-Italia, kelahiran Livorno, Italia. Dedo atau Modi, panggilannya.
Pablo Diego Jose Santiago de Paula Juan Nepomuceno Crispin Crispiniano de los Remedios Cipriano de la Santisima Trinidad Ruiz Picasso (25 Oktober 1881 - 8 April 1973), pelukis-cum-pematung Spanyol, kelahiran Malaga, Negeri Matador. Dialah, Pablo Picasso; disapa Pablo.

--Ah, pengetahuan ini sebenarnya biasa saja. Anda tinggal masuk ke situs wikipedia, lalu mengetik 'Modigliani' atau 'Pablo Picasso' pada blok 'search'. (Tidak ada yang luar biasa 'kan?)--

Sebagai manusia, unsur kepastian atau keniscayaan selalu melekat. Keniscyaan. Demikianlah sebuah cerita hadir--serupa dengan manusia--memiliki keniscayaan. Entah membuat orang percaya atau tidak; entah membuat orang berpikir atau tidak; yang pasti: ada 'sesuatu' yang bisa diambil dari sebuah cerita. Sebagai tambahan, sekalipun 'sesuatu' itu tidak berguna. Masalahnya, tinggal menanti tingkat kejelian penyimak cerita; atau kejelian penyampaian cerita (dalam hal ini: penyaji cerita). Maka, demikianlah Modigliani hadir.
Sabtu, 26 Februari 2006, saya menikmati sajian film Modigliani. Entah besutan siapa, saya tidak tahu. Yang pasti, film itu dibintangi oleh Andy Garcia, seorang aktor Hollywood yang pada dasarnya tidak saya sukai. Ya, saya tidak menyukai Andy Garcia, karena nama lelaki itu tidak menarik, memikat bagi saya. Dan, tidak ada satupun kenangan yang menempel tentang dia dalam memori saya; seperti Sean Connery. Aktor gaek bernama enak itu lebih melekat dalam kepala saya. Pasalnya, 'The Rock' memberikan kenangan tersendiri untuk mengenang dia sebagai aktor yang hebat, setidaknya bagi saya.
Bagi saya, Modigliani merupakan film yang menarik. Film yang memikat. Alurnya, semi-akhir 'menuju' akhir. Sederhananya, alur mundur.
Sebenarnya, kalau menurut saya, film Modigliani bertemakan pencarian jati diri. Memang, tema besar itu memiliki banyak lapisan. Ibarat bawang, ada lapisan yang berisi persaingan, percintaan, ras, persahabatan, pun pemberontakan; juga penghormatan. Tentunya, menghasilkan sebuah drama ironik; meski belum mencapai tataran magnum-opus.
Selama cerita berlangsung, alur konflik terbangun dengan bagus. Indah. Namun, disatu sisi, saya merasakan kekurangan mendasar dalam film tersebut. Paradoks yang sangat tidak masuk nalar. Mengapa Jeanne harus bunuh diri? Beragam tayangan yang muncul, tidak memberikan petunjuk yang kuat, mengapa Jeanne yang ketika itu mengandung harus terjun dari lantai dua. Akhirnya, jelas saja dia mati.
Bagi saya, alasan perilaku Jeanne tidak ada yang kuat. Memang, ada alasan yang, menurut saya, terpaksa dikategorikan 'kuat'. Kematian Modigliani. Kecintaan Jeanne kepada Modigliani yang harus mati dipukuli oleh penjaga bar (dan memang, Modi layak mati sebab dia tidak membayar apa yang telah dia minum di dalam bar, beberapa waktu sebelum pameran kompetisi dibuka. Artiinya, dia telah merugikan orang lain.) tampaknya bukanlah alasan bagi Jeanne untuk mati. Bagi saya, tampak seperti kekonyolan, bila tidak mau disebut ketololan!
Mungkin, bisa saja dikatakan, Jeanne memiliki takdir untuk selamanya bersama dengan Modigliani. Dan, argumen tersebut didukung oleh pernyataan ibunya kepada ayahnya, kalau tidak salah, "You cannot change her destiny." Atau dalam bahasa Indonesia, "Engkau tidak bisa merubah takdir dia." Engkau dalam hal ini merujuk pada ayah Jeanne; dan dia merujuk pada Jeanne. Sebagai tambahan, dalam film tersebut memang digambarkan betapa ayah Jeanne membenci Modigliani. Entah karena dia berdarah Yahudi atau dia pelukis atau dia tak bertanggung jawab. Apapun itu, tampaknya saya tidak menemukan kelemahan mendasar dalam sikap ayah Jeanne. Beda halnya dengan, kembali ke awal, sikap Jeanne yang memutuskan bunuh diri.
Terkait argumen yang dilontarkan ibu Jeanne, tampaknya film Modigliani tidak hendak berbicara takdir. Untuk menguji argumen itu, buktinya sederhana. Kematian Modigliani disebabkan oleh dirinya sendiri yang tidak membayar minuman yang ia minum. Tingkah laku demikian adalah wajar dan lumrah. Ia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Kalau kita berandai-andai, bila Modigliani membayar minumannya, maka dia tidak mungkin mati. Tidak akan ada pencuri atau perampok yang akan membunuhnya, sebab dia itu miskin. Nah, dengan demikian alasan kematian Modigliani cukup jelas dan terang. Itu bukan masalah takdir.
Beda dengan kematian Jeanne. Dari awal film Jeanne selalu berjuang, berusaha agar dia bisa bersatu dengan Modigliani. Dan, dia memang akhirnya bersatu dengan Modigliani. Untuk itu semua, ia harus merelakan anak pertamanya--dari hasil persilangan dirinya dengan Modigliani--diambil ayahnya. Jika dia memang sudah bersatu dengan Modigliani, keinginannya sudah tercapai, lantas mengapa dia bunuh diri setelah Modigliani meninggal dunia. Alangkah absurdnya alasan dia bunuh diri karena dia cinta kepada Modigliani. Bukankah Jeanne menjadi tokoh yang absurd dalam film ini. Apa tujuan dia hadir? Hanya sebagai penceritakah? Atau sebagai pelengkap saja? Tapi, aku melihat Jeanne hadir hanya sebagai pemanis konflik saja. Pada dasarnya, tanpa atau ada Jeanne, Modigliani tetap berhasil membuat lukisan yang menjadikan dirinya pemenang dalam kompetisi berhadiah lima ribu franc itu. Alasannya, jelas. Dia sudah menemukan dirinya. Ketika dia sudah menemukan dirinya, saat itulah ia mati. Pewaktuan yang tepat, hingga membuat saya terangguk-angguk.

Renoir: "Are you mad?"
Modigliani tersenyum, melalui bahasa tubuh ia menyampaikan: "Kegilaan saya sedikit."

Maaf, rasanya, tulisan saya kali ini agak tidak jelas. Njilmet; bahkan saya sendiri pun agak sakit kepala membacanya. (Maksud gua nulis ini apa sih sebenarnya? Inilah pertanyaan saya kepada saya yang sedang mengalami kekusutan kala menulis resensi film 'Modigliani'.) Maaf, bila tidak jelas bagi pembaca. Kalau mau jelas, kita harusnya berjumpa saja; dan tanyakan apa yang ingin anda tanyakan kepada saya tentang resensi film.

Apologia:
Beginilah seharusnya resensi film dibuat. Agak ribet, memusingkan, hingga saya sendiri sulit untuk memaparkan, bahkan sulit memahami apa yang sebenarnya saya sampaikan. Sebab, resensi film yang paling bagus itu adalah menonton film itu sendiri!

[Tulisan ini saya buat sesuka hati saya, bila tidak suka, ya... tidak ada masalah. Bila suka, itu baru jadi masalah. Kalau begitu, saya akan berusaha membuat tulisan sesuka hati yang bakalan tidak disukai sama sekali; biar tidak ada masalah antara kita. --David Tobing--]