Thursday, 31 December 2009
belum (mau) tragedi
Friday, 18 December 2009
Wednesday, 2 December 2009
Friday, 27 November 2009
Tuesday, 24 November 2009
Monday, 23 November 2009
sayang gak ada buaya dan cicak...end of story or story just begin... I want to be a lion Everybody wants to pass as cats We all want to be big big stars, but we got different reasons for that Believe in me because I don't believe in anything and I want to be someone to believe mr. jones, counting crows
Dewan Kesenian Jawa Timur
tempat dimana komunitas dan budaya bertemu
..:: Kelola ::..
Tentang Kelola
Yayasan Kelola, sebuah lembaga nirlaba berjangkauan nasional yang sejak bulan Mei 1999 menciptakan sebanyak mungkin peluang bagi masyarakat seni Indonesia untuk saling bertaut dan menjalin kerjasama secara nasional maupun internasional. Untuk memajukan seni budaya Indonesia dan menjalin hubungan antar budaya yang saling menghargai, Kelola menyediakan kesempatan belajar, pendanaan, serta akses informasi bagi masyarakat seni Indonesia.
Beberapa program yang telah ditawarkan yaitu Lokakarya Manajemen Organisasi Budaya, Lokakarya Manajemen Festival, Lokakarya Manajemen Panggung, Lokakarya Kemitraan Bisnis, Lokakarya Tata Cahaya, Program Magang Nusantara, dan Program Magang Internasional. Hibah Seni adalah program yang diciptakan untuk memberikan peluang pendanaan bagi masyarakat seni Indonesia. Akses informasi seni budaya ini dapat diperoleh melalui situs web www.kelola.or.id , bulletin Lintas Kelola, serta Direktori Organisasi Seni dan Budaya Indonesia. Program-program ini mendapat dukungan dari Ford Foundation, Asian Cultural Council, Asialink Centre, Unesco, dan Hivos.
Program-program Kelola dibuat sebagai tanggapan langsung terhadap kebutuhan nyata yang ada di tengah masyarakat seni. Melalui beragam programnya, Kelola berupaya mendukung kehidupan kesenian Indonesia untuk terus tumbuh.
Dewan Kesenian Jakarta - Home
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) adalah salah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat seniman dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada tanggal 17 Juni 1969. Tugas dan fungsi DKJ adalah sebagai mitra kerja Gubernur Kepala Daerah Propinsi DKI Jakarta untuk merumuskan kebijakan guna mendukung kegiatan dan pengembangan kehidupan kesenian di wilayah Propinsi DKI Jakarta. Pada awalnya anggota pengurus Dewan Kesenian Jakarta diangkat oleh Akademi Jakarta, yaitu para budayawan dan cendikiawan dari seluruh Indonesia. Kini dengan berjalannya waktu, pemilihan anggota DKJ dilakukan secara terbuka, melalui pembentukan tim pemilihan yang terdiri dari beberapa ahli dan pengamat seni selain anggauta Akademi Jakarta sendiri. Nama nama calon diajukan dari berbagai kalangan masyarakat maupun kelompok seni. Masa kepengurusan DKJ adalah 3 tahun.
Kebijakan pengembangan kesenian tercermin dalam bentuk program tahunan yang diajukan dengan menitikberatkan pada skala prioritas masing-masing komite. Anggota DKJ berjumlah 25 orang, terdiri dari para seniman, budayawan dan pemikir seni, yang terbagi dalam 6 komite: Komite Film, Komite Musik, Komite Sastra, Komite Seni Rupa, Komite Tari dan Komite Teater.
kineforum
nonton (film-film) seluruh dunia setiap hari!
Thursday, 19 November 2009
Festival Budaya Dayak
Start: | Nov 22, '09 08:00a |
End: | Nov 22, '09 5:00p |
Dayak Youth Community - Culture and Environment Survival (DYC) atau Komunitas Muda Dayak, merupakan sebuah jejaring sosial para profesional muda dan mahasiswa Dayak dan non Dayak di Jakarta. Didirikan pada tahun 2002 dengan para pendiri sebagian besar merupakan generasi muda Dayak dari berbagai sub suku lintas empat propinsi di Kalimantan yang berdomisili dan bekerja di Jakarta dan sekitarnya. Menjalani kehidupan di kota besar dan multi kultural seperti Jakarta, untuk tetap memiliki ikatan dengan akar budaya kami yang unik dan ingin berbagi kepada siapa saja yang memiliki kepedulian tentang hal ini, merupakan salah satu "compassion" terbesar kami sebagai generasi muda Dayak.
Oleh sebab itu salah satu misi kami adalah secara aktif mempromosikan keunikan dan keberagamaan alam dan budaya Dayak serta pelestarian dan pengembangannya, kepada publik di dalam maupun di luar pulau Kalimantan - secara khusus bagi orang muda di Jakarta dan sekitarnya.
Sejalan dengan misi tersebut, kami akan mengadakan sebuah acara budaya yang juga merupakan bagian dari program tahunan DYC.
Mewakili DYC, saya ingin mengundang kehadiran teman-teman sekalian dalam acara budaya:
"A Day with Dayak ; Preserve Our Culture and Nature"
Minggu, Nov 22 '09. Pukul 8.00 - 17.00 wib.
Taman Mini Indonesia Indah - Anjungan Prop. Kalimantan Barat
Bawalah teman-teman serta keluarga dan menikmati :
Festival Masakan Kalimantan (makanan Dayak, Melayu, Banjar dan Chinese)
Tarian dan Musik Tradisional-Kontemporer dari beragam sub suku Dayak
Lomba Olahraga Traditional Sports Competition (Sumpit, Gasing, dll)
Pameran dan bazaar aneka kerajinan (manik-manik, anyaman rotan, ukir-ukiran tenun ikat, dll)
Tattoo Corner - demonstrasi "hand tapping" tattoo atau proses pembuatan tato Dayak dengan cara tradisional dan tato permanen/temporer menggunakan motive tato Dayak
Sessi Diskusi tentang Photography (wild and nature) dan Budaya Dayak bersama para juri Lomba Fotografi
banyak lagi.....
Kami juga dengan senang hati mengundang anak muda se Jabodetabek (secara khusus para pelajar SMP-SMA dan Mahasiswa) untuk berpartisipasi dalam perlombaan:
A. Fotografi
Rally Foto dan Memotret Model & Fashion Dayak (khusus untuk pelajar SMA dan Mahasiswa) - lomba diadakan sepanjang acara berlangsung
Biaya pendaftaran: Rp. 50.000/orang. Kamu bakal ngedapetin T-Shirt special event DYC "A Day with Dayak...I'm the Photographer" (terbatas 50 edisi)
Hadiah: total 10 juta untuk 5 pemenang
Dewan Juri: Ajarani Djandam (DYC Program Manager, Antropolog Dayak, Freelance Photographer), Ananda Idris (Fotografer Amatir Senior) dan Tantyo Bangun (Professional Photographer dan Pemimpin Redaksi Majalah national Geographic Indonesia)
Registrasi on line dari tgl Oct - 18 Nov' 09 via email: gerry@dayakyouthcommunity.org
Registrasi ulang: Minggu, 22 Nov '09 (8.00 - 9.30 wib)
Terbuka untuk paling banyak 50 peserta
Sebagai salah satu tujuan kami adalah terjadinya transformasi pengetahuan mengenai budaya Dayak, untuk itu para peserta muda Rally Foto ini akan diajak untuk mengunjungi 3 anjungan propinsi Kalimantan yang ada di TMII. Di sana mereka akan didampingi oleh para sukarelawan DYC yang akan menjelaskan secara singkat keunikan kebudayaan Dayak yang bisa disaksikan dan terwakilkan di masing-masing anjungan tersebut.
B. Artikel
Menulis artikel (khusus untuk pelajar SMP dan SMA)
Tema: "Seberapa Kenal Kamu sama Budaya Dayak?"
Hadiah: Rp. 3.500.000,- untuk 6 orang pemenang
Dewan Juri: Korrie Layun Rampan (Penulis dan sastrawan Dayak) dan Marko Mahin (Antropolog Dayak
Registrasi on line dan batas pengumpulan artikel: 28 Oct - 30 Nov '09 via email: gerry@dayakyouthcommunity.org
Jumlah peserta tidak dibatasi
Bersama dengan e-mail ini kami kirimkan attachment Poster dan Flyer
Untuk informasi selengkapnya silahkan kunjungi website: www.dayakyouthcommunity.org
e-mail: dyc@dayakyouthcommunity.org dan gerry@dayakyouthcommunity.org
facebook group: dayak youth community
Terima kasih banyak untuk perhatiannya, kita akan ketemuan di sana...segera :-)
Salam hangat,
Rani Djandam
Program Manager DYC
Wednesday, 18 November 2009
Titik kulminasi: Jangan paksa saya!
Seandainya ada korban, maka tetap jangan paksa saya untuk bertindak. Fenomena alam ketika matahari tepat berada di garis khatulistiwa, disebut sebagai titik kulminasi. Dimana titik itu sekarang, saya melihatnya di istana, sembarang istana dimana ‘kekuasaan pseudo-demokrasi’ dilangsungkan.
Saya membayangkan harakiri. Setidaknya dalam pengertian politik. Korban dalam era reformasi ini selayaknya bukanlah rakyat (lagi) baik yang berstatus kaya maupun yang berstatus miskin. Saya tidak bisa membayangkan jika korban jatuh akibat keputusan politik yang salah. Maka yang dapat saya bayangkan adalah para petinggi yang membunuh diri mereka sendiri, atau hal ini tidak terjadi jika dengan gagah hukum membela rakyat seperti yang terjadi pada Bernard Madoff yang dihukum 150 tahun (di tahun 2009) karena kejahatan yang oleh Hakim Wilayah (tanpa makelar dan cukong kasus) disebut sebagai ‘extraordinary evil’ dan Madoff menyambutnya dengan permintaan maaf kepada rakyat Amerika, 'maafkan saya telah mewariskan malu yang sangat besar dalam sejarah Amerika’. Dan publik secara antusias memaklumi resesi yang menimpa mereka dan belajar dari kesalahan.
Yang tidak bisa saya bayangkan lebih lanjut adalah, terulangnya kisah raja telanjang yang berjalan-jalan di pasar, dengan bangga, jumawa, plus gengsi dan pecaya diri mengatakan: jangan paksa saya.
Bapak, tolong pakai baju dulu. Baru pelesiran ke luar.
Yang tidak sanggup saya bayangkan adalah bagaimana perasaan para tetangga yang melihat ketelanjangan itu dan menahan rasa penasaran yang amat sangat melebihi keinginan bercinta dengan wanita paling sexi di dunia untuk sekedar bertanya, muka bapak semakin lebar dan merah padam (bukan karena pln yang sibuk menggilir waktu penyalaan), apakah bapak baik-baik saja? Sedangkan kami harus haru-biru menahan penasaran seperti sedang senam keygel.
Yang ingin saya paksakan adalah keseriusan Bapak. By the way, Bapak itu presiden ya..perasaan saya tidak pernah memilih, ternyata kita juga punya makelar, eh Presiden juga (yang tidak mau dipaksa bekerja, semoga bukan karena kelelahan).
Semoga ketika dunia memprediksikan terjadinya krisis keuangan di Asia di akhir tahun 2009 atau awal tahun 2010, kita tidak lagi mengalami gejolak reformasi jilid dua. Andai kata 'iya' rakyat Indonesia sudah tangguh bencana apalagi ...dari Sabang sampai Merauke...dari Timor sampai ke Talaud...kita sudah terbuai dengan janji a la Indomie. Maka terimalah kenyataan 'kualitas Indomie dari pemimpin kita'. Dikremes lalu diseduh.
widhy | sinau
Sunday, 1 November 2009
Suatu Pagi, Sebuah Kerinduan

hanya untukmu
1.
Sebuah pagi yang pasti
Sebuah biduk
Siapa saja yang pulang bersahaja
: ia yang selalu tahu jalan kembali dan berada di depan
berkorban dan menelusuri jalan yang sunyi
Ia yang tidak pernah sendiri namun tahu kapan waktu berhenti
Pada kematian, ia menyeru:
Kau tak mampu menyiangku walau itu memisahkanku dengan kesayangan
Aku mengenalmu seumur hidupku
Kau tak lebih dari pergantian waktu
Sedang aku yang memekarkan cahaya
Pada hitam jubahmu, kuberikan tanda
: harapan
2.
Sebuah pagi yang pasti
Kopi dan rokok yang seharusnya ada
Sepat mata dan sisa obrolan yang dibawa angin
Kau kemana
Katamu, menjauh
Kau dimana
Jawabmu, disini
Kau tidak apa-apa
Tubuhmu seperti begitu terjal
Dan aku mendaki jawab di matamu
3.
‘aku yakin’
4.
ternyata kau tidak butuh kartu-kartu untuk menghadap tuhanmu,
lebih banyak rindu yang menjadi pembelamu
5.
aku membuat rumah yang tidak besar, tapi seluruh dunia sanggup mengisinya
rumahku tanpa taman dan air terjun, cuma hutan tropika
disana ada petani, nelayan, dan anak muda
aku membaca soekarno dan karl marx
aku mencuri dari nabi-nabi
aku menyusuri perasaan orang kebanyakan
dan keadilan yang bersemayam di setiap hati
ternyata tidak ada yang lebih berantakan dibanding tidak memenuhi janji
maka, aku berjanji diantar sebanyak orang
ketika aku tidak lagi mungkin berjanji
kudefinisikan sebagai investasi
6.
‘kamu bisa’
7.
kembali pagi,
tidak semua pagi adalah permulaan
seperti gerimis ini
yang dimulai sejak awal kita puasa
sebenarnya ini rahasia
dan menariknya hanya itu aturan permainan kita
kau ber ci luk ba
dari kamar ke kamar
dan seperti biasa,
aku kena!
8.
aku bicara pada anakku
‘dia cuma tidak lagi bisa bersedih’
hanya itu
apakah itu tanda bahagia
anakku tertawa
(dia baru berumur dua tahun dan bening matanya mengingatkanku padanya)
9.
‘aku tidak akan menangis’
10.
kau tidak berubah, katamu suatu pagi
setidaknya rambutmu yang kukenal dengan baik
bagaimana kabar istri dan anakmu
dan rumah yang kau idamkan
apakah sudah memenuhi segala keinginanmu
cuma disana sumber air mata
sebuah keluarga yang saling memaafkan ketika hendak berangkat tidur
dan bahagia
11.
aku bilang teruslah bermimpi
kau menandaskan teruslah bertindak
12.
tiba-tiba kamu ada dimana-mana
menyala-nyala
dan gaib
13.
kamu sebentuk mimpi
tidak sungguhan
tidak ada yang begitu sempurna
tapi kau tularkan juga bisa mu
di setiap penjuru
dan kau tepati janji kita
sumpah pemuda entah jilid berapa
dimulai dari kampungmu
14.
akhirnya aku menangis
hanya ketika kau tersenyum membaca stiker
buku, kopi, dan puisi bercangkir-cangkir
itu kamu yang selalu tahu
pindahkan saja ke kepala semua orang
dan kau tuangkan puisi itu dari pulau ke pulau
berdua kita menangis
15.
bukan pagi seperti ini yang aku maksudkan
tapi kesedihan ini tak terelakkan
kau juga yang padamkan
dengan nisan yang bertonjolan
kau darwis
aku mayit
kita menari dalam alunan yang sama
cuma namaku belum tertera
16.
kata maju tidak berdiam di ruang tunggu
17.
kawanmu masih juga bertanya
apa yang membuat kau berbeda
jawabku, ada pada keyakinan
termasuk keyakinan akan adanya perbedaan
kawanmu masih juga bertanya
tapi jawabnya terbawa padamu, kataku
‘yang bukan materi hadir bersamamu’
18.
pelajaran hari ini bukan pelajaran tentang diam
besok pelajaran tentang melawan
sejarah adalah masa depan
19.
ketika kita berdua terkunci
dalam ruang kosong
dan kau tiba-tiba menggambarinya dengan beraneka warna
aku kebingungan memilih yang kusuka
20.
: kita baru memulai
lalu kau bergerak tanpa jeda
21.
kubacakan lagi sebaris sajak yang kuciptakan untukmu
‘kau miskin, maka aku ada’
ternyata semesta yang mesti kita jaga
pantas tak pantas
cukup ya cukup
bukan mata untuk mata
tapi hanya butuh satu pertemuan
kau sanggup mencairkan segala dendam
kita berdua mestinya fakir
namun semestamu tak cukup untuk memenuhi aku
22.
kota ini semakin berkeringat
ia ranggas ketika upah ini belum juga terbayar
mulutmu bisa menjaga bencana
namun kota ini semakin tidak kau kenali
dalam setiap keluh kau bertanya bagaimana peradaban ini bisa bernyali
jika setiap tafsir cuma dijelajahi lewat wikipedia
23.
setiap benang yang direntang cuma membutuhkan simpul
bukan merah atau basah
24.
seluruh lukamu
kukemas dalam kata
sampai waktunya kubuka
saat kau bilang
aku siap menghidangkan sebuah sop ayam dalam jiwa yang tenang
semoga kau tidak menaruh curiga ini barang jiplakan
25.
pasir yang penuh dengan remis ini tak jadi menu senin sore ketika pagi yang pasti datang bersama kematian yang biasa dengan orang-orang yang tak biasa mengirimkan doa yang tak putus-putusnya dan cerita yang tidak ada perawinya kecuali tema yang sama yang tidak pernah bosan dijadikan suasana yang seperti perundingan tentang sesuatu yang tinggal ketika kau pergi meninggalkan meja yang bergelinjang:
kau belum tua-tua amat, sialan
tapi lidahmu sudah demikian sempurna
26.
kau pernah bilang aku mesum
aku bilang telanjang seharusnya sebagian dari iman
dan kau sekarang benar-benar telanjang
dan aku gagal berpikir segala hal yang mesum
kecuali tentang kau yang pernah bilang
27.
aku bacakan sebaris sajak
istrimu mengatakan tenang dan kau seperti kesenangan
…pada pagi hari. jangan terjaga sayang.
jangan terjaga.[1]
jika ini adalah kemudahan yang diberikan. jangan pernah terjaga.
istrimu bangun dan mungkin berkata: terimakasih tuhan
28.
mimpi kita mungkin seragam. tidak
jika kau belum berani mengarung pertanyaan itu berdua tigaan empatan
sekampung. jika sudah
jangan lepaskan genggaman
29.
cerita perang dan kebenaran hanya membuat bosan
juga perjuangan dan kemenangan
tolong ceritakan hal-hal yang sederhana
seperti keyakinan orang-orang biasa
30.
sebelas dua belas
mantra yang kau ucapkan setiap kali melihat setan
31.
kau tentu memahami setiap ketidakakuran kita akan bermuara pada sejenis kesepakatan yang penuh tanda tanya. dan kesempatan yang kesekian mengajarkanku arti sebuah kata pembelajaran. senjataku ketidakpastian, cukup kau musnahkan dengan keyakinan.
32.
di pulau kau jaring cinta
pada gelap dan purnama
sampai kering air mata
pasir dan angin meminjam bahasamu
sekedar menulis kata: legenda
tapi kau curi juga mereka
untuk anak di gunung-gunung
dan kau jelmakan air mata
menjadi kehidupan
dengan wajahmu yang ada di mana-mana
kurasa
33.
berdua kita kikuk. bersalaman bersidekap
sambil menyebut nama-nama. asing rasanya
jika harus melepaskan keinginan. kita
belum pernah berpelukan rasanya. hambar
suasana keburu kau timpali dengan gurih air mata
34.
pernah datang suatu permintaan
maukah kau menyusun kembali logika
kupikir-pikir itu kerja macam apa
ternyata sangat sederhana:
satu tambah satu belum tentu dua
35.
transformasi itu telah sempurna
dari zahir menjadi ide-ide
yang terlacak jejaknya
bermuara pada yang satu
samudera pengertian yang kau kenalkan padaku
36.
warna hati itu seperti kemudaan
dan curiga mempercepat pelapukan
pertanyaan tentang kemudahan
dijawab dengan berbagai skenario masa depan
37.
mungkin, terasku yang akan menggantikan aroma kopi
yang ditingkahi diskusi. kemungkinan
hanya itu yang bisa kusembahkan. aroma kopi
juga yang menempel pada janji kita.
38.
Aku mencintaiMu
Aku juga menyukai Abu Nuwas
dari sekian banyak imam
tinggal satu saja yang tidak terdaftar
sebagai yang fakih untuk urusan masa depan
Aku menuliskan daftar baru
Jika salah setidaknya dapat satu
39.
rumah kami yang belum sempat kau singgahi
berinterior seperti dunia yang kau ingin reka
jika ada perubahan, tentu tentang semua hal yang kau katakan
tentang keluarga, komunitas, dan indonesia raya
yang lamat-lamat kau senandungkan hampir tanpa bersuara
40.
aku bertaruh tentang semua hal. kau berkali lempar dadu enam
terlalu pagi, mungkin
untuk menilai semua kerja
bagimu permainan baru dimulai
selepas azan, kau bersembahyang sendirian
menemui tuhan. aku bertaruh kau lempar lagi dadu enam
41.
cuma seperti ini rasanya
berlaksa kawan datang menjenguk pada suatu pagi
hanya untuk sebuah upacara
kau tersenyum dan bergeming
42.
anggap saja ini musik blues
yang kupakaikan sebagai pengganti tahlil
semoga kau bergoyang riang disana
43.
hanya angka
tidak lebih tidak kurang
jika itu ditambahkan tujuh belas atau sepuluh
angka itu membuka keheningan yang persis sama
[1] ‘kopi yang tidak diminum’, sajak dorothea rosa herliani, nikah ilalang, 2003. Penerbit Indonesia Tera.
[1] ‘kopi yang tidak diminum’, sajak dorothea rosa herliani, nikah ilalang, 2003. Penerbit Indonesia Tera.
Wednesday, 21 October 2009
Resep #14: Kopi Mentor
Rating: | ★★★★★ |
Category: | Other |
: buat A.B.
apa yang hilang, tergantikan
cuma dengan teladan
apa yang membuat sengsara
jika bukan penghindaran dari kenyataan
apa yang tercuri
: kesempatan
apa yang membuat iri
sesuatu hal tentang kesabaran
aku ingin mengunduh segala kesesatan
jika hanya dengan cara itu kita bertemu
w.m.a
Saturday, 17 October 2009
Monday, 12 October 2009
Acara: Klub Nonton Bulan Ini : Lari Dari Blora
Start: | Oct 18, '09 6:30p |
End: | Oct 18, '09 9:45p |
""Harmony Without The Law""
Jenis: Club/Group Meeting
Waktu Mulai: 18 Oktober jam 18:30
Waktu Selesai: 18 Oktober jam 21:30
Tempat: Aula P4W IPB Baranang Siang
JAKARTA INTERNATIONAL BLUES FESTIVAL 09
Start: | Nov 7, '09 11:45a |
End: | Nov 7, '09 11:30p |
Location: | Gelora Senayan Jakarta |
Sejauh mana kesadaran dan pengenalan Anda pada keberadaan musik blues di Indonesia? Benarkah perkembangan musik ini di tanah air tidak terbatas dan tidak “seheboh” aliran musik lain seperti pop, rock, dangdut atau yang “sedarah daging” dengannya seperti jazz, hip hop juga R&B?
Bisa jadi tidak semua orang bisa menikmati alunan musik blues. Nada-nada melodi blues yang terkadang seolah njelimet, lambat tak bergairah, namun juga bisa tiba-tiba cepat menghentak, boleh jadi tak mudah dicerna dan bukan selera semua orang. Tapi tahukah anda bahwa justru musik blues-lah, akar dari semua aliran musik yang ada saat ini, kecuali musik klasik? Dan juga bahwa blues bukan semata sebuah musik untuk hiburan, tapi juga bisa dipakai sebagai alat pembelajaran.
Musik yang lahir dari kaum Afro-Amerika pada masa perbudakan ini, memiliki makna sejarah yang dalam dan panjang, yang berisi semangat perlawanan terhadap penindasan. Dan semangat inilah yang dipandang sejumlah kalangan sebagai titik temu kecocokan musik blues dengan musisi atau pencipta lagu blues yang ada di Indonesia sejak zaman dulu. Misalnya pahlawan nasional sekaligus komposer besar Indonesia, Ismail Marzuki. Banyak pecinta blues memandang bahwa Ismail Marzuki telah nge-blues dengan lagu-lagu ciptaannya sejak tahun 30-an. Satu contohnya adalah lagu Juwita Malam, yang kemudian dinyanyikan ulang oleh Slank dengan alunan blues yang sangat kental. Juga seniman legendaris Benyamin Sueb, yang populer dengan gambang kromong serta pop jenaka, ternyata pernah nge-blues juga bahkan sampai satu album rekaman pada era 70-an. Dan diikuti oleh Koes Plus, D’lloyd, Guruh Gipsy, Chaseiro, God Bless bahkan juga Harry Rusli.
Salah satu tamu Kick Andy adalah Kiboud Maulana. Gitaris jazz dan blues senior era 70-an ini, awalnya tidak terlalu menggubris pendapat banyak orang bahwa dia adalah seorang musisi blues handal. Namun kemudian ia berubah dan menerima pujian itu, setelah bermain blues selama beberapa hari dengan bapak blues Amerika, BB King di House of Blues milik BB King. Selain itu, Kiboud juga pernah manggung bersama John Mayall, legenda blues dari Inggris. Oleh mereka, Kiboud dipuji sebagai seorang bluesman sejati. “Blues harus dimainkan dari jiwa, lalu turun ke jari dan jemari akan memainkannya dengan sendirinya. Itulah blues,” tegas Kiboud saat ditanya seperti apa ia memaknai blues.
Sementara generasi muda blues, diwakili oleh Adrian Adioetomo dan Rama Satria Claproth. Adrian adalah gitaris solo musik blues, yang juga kolektor segala hal yang berbau blues. Menurut Adrian, blues adalah musik yang langsung “kena” dengannya dan bisa mewakili jiwa mudanya, yang terkadang diwarnai semangat pemberontakan terhadap status quo yang berlangsung di sekitarnya. Ia merasa bisa mengekspresikan seluruh pemikiran dan perasaannya dengan musik blues. Dan Adrian telah menelurkan sebuah album solo blues, yang berisi lagu-lagu-lagu blues berbahasa Indonesia dan Inggris ciptaannya.
Sementara Rama Satria, adalah anak muda yang sejak usia 3 tahun sudah “tercekoki” harmoni blues oleh ayahnya yang fanatik blues, Richard Claproth. Obsesi Richard sebagai musisi blues yang tak kesampaian karena tak diijinkan orang tuanya, dilampiaskannya ke tiga anaknya. Bahkan demi meneruskan hasratnya yang sempat terkubur, Richard membuat sebuah kafe bernuansa blues di daerah Menteng Jakarta Pusat, di mana ia dan para penggemar blues bisa ber-jam session bersama di dalamnya. Bahkan Richard juga menggunakan blues sebagai alat pembelajaran bagi anak-anaknya. Mulai dari cara mengelola emosi, penajaman intelektualitas, hingga upaya menumbuhkan religiusitas mereka melalui nada-nada pentatonik dan vibrasi khas dari musik blues.
Rama dan adik-adiknya, yang akhirnya benar-benar nyambung dengan musik blues, mulai memainkan musik blues dengan sejak usia 10 tahun secara serius. Dan pada saat ia berusia 21 tahun, bersama ayah dan adik-adiknya, mereka berkelana manggung di sejumlah kandang blues di Amerika dan Eropa. Menurut Rama, bule-bule yang menyaksikan aksi nge-blues mereka, sangat apresiatif dan suportif dengan keberadaan bluesman muda Indonesia ini. Mereka juga sempat membentuk band keluarga bernama Jaque Mate dan menghasilkan sebuah album komersil blues.
Sedangkan sebagai wadah menyatukan musisi dan penggemar blues di Indonesia, dibentuklah InaBlues. Di sinilah blues diharapkan bisa berkembang, baik secara konten dan komersil di Indonesia. Sejumlah tokoh lintas profesi, bermain blues dengan intensif dan menggelar sejumlah event musik khusus blues rutin tahunan. Selain Kiboud Maulana, ada Frans Sunito, yang dirut Jasa Marga, dokter Tammy Daud (Blues News), juga musisi senior seperti Odink Nasution (gitaris Guruh Gipsy), Bambang Wuryanto (keyboardis Big Man Robinson), Edwin “Chaseiro” Hoediro dan masih banyak lagi.(kick andy)
Sunday, 4 October 2009
Saturday, 3 October 2009
Friday, 25 September 2009
Thursday, 24 September 2009
Jatuh Cinta (Lagi)
POL
Bukan kemenangan yang remang-remang
Bukan pula mencari kompensasi dan subtitusi
Jika luka ini akibat kerinduan
Puasa kita melengkapinya
Semoga setelah ini gerak kita menjadi terarah, intim, dan tertuju kepadaNya.
Pol. Dalam bahasa masa kecil saya menggambarkan keadaan yang penuh, final, sampai di titik akhir. Gambaran ini yang ingin saya hubungkan dengan suka-cita saya ketika selesai berpuasa, yang jika saya ingat-ingat sudah berlangsung sejak saya berusia delapan tahun, puasa saya sudah Pol. Tapi belum pol-polan untuk mempertahankan kualitasnya. Pol-polan artinya habis-habisan, semacam puputan, dimana segala daya dan upaya dikerahkan untuk mencapainya. Apakah rasa suka-cita itu terjadi?
Pertama-tama saya ingin menggambarkan keadaan suka cita itu ketika saya masih kecil. Yaitu ketika saya tidak mengerti apapun. Dan kemudian saya diajak untuk berpuasa setengah hari. Apa motif dan tujuannya, saya sama sekali lupa. Yang saya ingat adalah rasa suka cita ketika berbuka. Tujuan saya puasa waktu itu adalah berbuka-atau-membatalkan puasa. Sedikit aneh memang, tentu bagi logika saya sekarang. Tapi bukankah anak kecil cuma butuh sesuatu yang sederhana, tanpa penjelasan yang mendalam. Puasa waktu itu layaknya hapalan, yang kemudian saya panen maknanya ketika saya mulai berpikir. Yap, ketika saya mulai berpikir saya ada, dan sanggup berpikir apa, siapa, mengapa, dan bagaimana saya ada. Kecurangan di waktu kecil tentu ada, percaya atau tidak itu dilakukan karena pengaruh teman. Karena saya pada saat itu sangat percaya bahwa Tuhan itu ada dimana-mana dan tidak terlihat oleh saya, tapi dapat melihat saya. Dan tentu saja saya sukses mengelabui orang-tua, saudara, dan kawan-kawan saya. Walaupun saya percaya Tuhan itu ada dimana-mana tak urung juga saya berusaha mengelabuinya pula, kemudian saya merasa bersalah dan takut berdosa, apalagi mama (saya memanggil ibu saya) selalu mengatakan bahwa Tuhan saya mencintai saya lebih dari apapun yang saya kenal di dunia. Lebih dari cinta mama, tanya saya. Mama cuma tersenyum. Senyum mama saya tafsirkan seperti ‘iya’, karena sebelumnya seingat saya setiap persetujuan diawali dengan senyum, seperti ketika saya menoleh ke arah mama untuk meminta persetujuan: apakah saya boleh mandi hujan. Dan mamapun tersenyum. Senyum mama ibarat senyum Tuhan bagi saya waktu kecil, ia yang memberikan suka cita untuk kali pertama. Membolehkan, mengiyakan apa yang menjadi keinginan saya. Seperti do’a yang terkabul. Senyum itu membekas pada wajah saya ketika anak saya di kemudian hari ingin bermain hujan. Keadaan suka cita yang ingin saya gambarkan memang suka cita anak-anak yang cuma mengenal beberapa gesture dan sedikit kata-kata yang minim metafora. Mengapa, karena seingat saya ketika kecil, saya mulai diajarkan definisi, batasan, dan ujaran yang sifatnya penggambaran, bukan eksplanasi yang rumit dan membutuhkan banyak referensi untuk membuat berbagai macam tafsiran. Dimasa kecil inipula saya diajarkan untuk menceritakan segala sesuatunya tanpa tambahan, imbuhan. Dan membedakan ujaran ‘kata orang’ dengan ujaran ‘apa yang saya lihat dan dengar sendiri’. Seperti halnya puasa, senyum-gesture, dan sedikit kata-kata yang minim metafora inipun menjadi hapalan bagi saya. Hapalan ini kemudian yang menjadi cinta pertama bagi saya. Bahwa ternyata, ada yang tidak terkatakan, lewat kata, gesture, citra, suara. Yang tak terkatakan cuma bisa saya rasakan: mulai dari takut sampai menjadi rindu dan candu. Dia ternyata juga tidak bertempat, dan jika ingin dipaksakan kehadirannya dia ada di hati. Di tempat dimana pertama kali saya menafsir senyum mama.
Lebaran demi lebaran terlewat. Dan semakin ingin rasanya saya memanen berjuta senyum yang hadir disetiap usia. Tentu inginnya seperti tafsir anak-anak yang tidak terlalu rumit. Ingin sekali yang sederhana. Seperti coretan kusut yang oleh anak sulung saya, diberikan nama: ayam (dia melafalkannya YAM disusul dengan teriakan uu u uuuuuu, seperti ayam tetangga yang sedang berkokok). Tapi dunia bagi saya tidak lagi sederhana. Kadang terlalu rumit jika dibandingkan soal matematika di setiap ujian kenaikan jenjang pendidikan. Jika matematika bisa membuat saya kepayahan, berkeringat, dan gemetaran. Maka dunia sekarang, apalagi yang diceritakan media massa, membuat saya putus asa. Dunia saya seperti kehilangan warna, takut salah, dan penuh bohong seperti penjual mawar tanpa duri. Penjual mawar tanpa duri terkesan ingin menyelamatkan banyak orang, tapi apa gunanya mawar jika tidak berduri (sementara penjual berpikir sebaliknya, apa gunanya duri dari sekuntum mawar, yang dijual toh keindahannya, bukan bahaya yang mengancam. tapi saya berpikir sebaliknya, bukankah mawar itu jika dibiarkan alami adalah sekumpulan semak yang berduri. dan keindahannya justru pada kekuatannya, duri yang bertingkat-tingkat menuju kuntum mawar, bukankah ini keindahan—keindahan mawar bagi anak-anak adalah ketika ia memetik mawar dan tertusuk durinya dan mama selalu berkata, jangan dipetik mawar itu, biarkan saja ia menghias taman kita, duri tidak pernah disebutkan dalam larangan, keadaan yang diinginkan sepertinya dipenuhi risiko yang harus diarung sendirian). Dunia saya sekarang membuat saya lemah. Dan kehilangan suka cita dan tafsir yang sederhana.
(Saya kemudian berani menggambar sapi, anjing, kucing, ikan, mawar dan sepeda motor. Sambil menirukan bunyi-bunyian yang keluar dari benda-benda yang saya gambar, akan saya tertawa lepas seperti mengiyakan, takjub dengan gambar yang kacau itu dan saya lebih takjub lagi dengan segala peran indera dan imaji).
Maka ketika semua yang berkait dengan hal-ihwal teror (semoga dengan isme-nya) berakhir di akhir bulan puasa ini (semoga), saya merasa sedikit lapang. Lebaran kali ini semakin lebar, lapang. Isme dalam terorisme ini pula yang kemudian saya ingin kaitkan dengan puasa. Dimana setiap isme tidak saja terkait dengan batasan yang sederhana, definitif, dan (seringkali) terkadang kabur. Isme ini ternyata terkait dengan yang tak terkatakan, katakanlah itu suatu keyakinan, yang bisa jadi didorong oleh pengetahuan, baru dan lama (baca: hapalan) atau suatu hal yang bisa jadi disebabkan oleh mimpi masa lalu, mimpi masa kecil, mimpi yang sesungguhnya ingin dihalau, karena ternyata itu kenyataan yang membayangi, kenyataan yang dilihat dan baru tersuarakan ketika dewasa. Atau ternyata mimpi tersebut bukan mimpi atau kenyataan, Tapi ujaran yang menjadi nyata ketika dinyatakan kemudian, di saat yang tepat (saat dimana ilusi bahaya menjadi potensi bahaya). Ujaran yang menjadi pengetahuan, atau lebih tepatnya informasi yang setengah. Informasi yang tidak lengkap. Tapi apakah ada informasi yang lengkap, bukankah itu seperti ilusi kesempurnaan. Maka teror dan isme-nya semakin menyiksa saya, bukan pada kenyataannya tentang teror itu sendiri. Namun pada kenyataan bahwa teror tersebut bukan suatu hal yang sifatnya tunggal, secara ekspresi ia juga multivokal, di rentang putih-hitam, di wilayah liminal, di wilayah ambang batas, wilayah transisi. Begitu mengganggunya karena ia bisa saja mendistorsi yang tidak terkatakan, katakanlahsesuatu yang letaknya di hati, bukan di pikiran.
Jika puasa kita POL, kata ustadz di kampung saya waktu saya kecil, maka yang terlihat adalah perubahan mental, bukan sekadar perubahan laku. Perubahan laku bisa saja karena sesuatu yang diinginkan, sesuatu yang selalu bisa disembunyikan, seperti keinginan yang selalu diembeli imbuhan. Sedangkan perubahan mental otomatis akan merubah cara pandang dan cara bekerja. Ia menyentuh daerah dimana kata-kata sepi dan tak ternamai, sebut saja hati (jika kita ingin mencari daerah lain silahkan). Bagaimana bisa demikian. Kata ustadz lagi, satu-satunya ibadah yang berurusan dengan Tuhan langsung adalah puasa, dimana Dia tidak bisa dilihat namun selalu bisa melihat, dimana Dia mendekat hanya jika kita berusaha mendekat. Maka jalan terbaik dalam berpuasa adalah mengarah, tertuju, dan intim kepadaNya. Ibadah lain membutuhkan yang lain (baca: jamaah) untuk menyempurnakannya, sedangkan puasa tidak, hanya kau dan Tuhan (baik dari penampilan puasa sampai pada tingkat-tingkat kualitas puasa). Demikian dekatnya saat bulan puasa, sampai para penghalangpun (baca: teror dan peneror) diikat. Sesuatu yang bersifat teror dan sang penerornya tidak diizinkan menggangu. Sehingga isme-nya adalah kita sendiri. Daerah yang remag-remang, multivokal, daerah yang liminal, daerah bergradasi tersebut adalah diri kita, ada bagian dari diri kita yang berpotensi untuk keluar menjadi sesuatu yang teror. Dan puasa cuma untuk mengajak kita mengetahui hal tersebut. Ah, begitu sederhananya hapalan masa kecil. Saya jadi teringat senyum mama. Lebih cepat, akurat, praktis, dari matematika untuk menjelaskan sedikit-demi sedikit kamus dunia.
Kali ke-tiga puluh, puasa saya POL. Isteri saya (anak saya memanggilnya Bunda), di malam takbiran ini, saya ajak menghitung uban di kepala, ada sekitar 16 helai, satu di depan, lainnya tersebar di sisi kiri dan kanan (jangan dicabut, larang isteri saya, uban itu hanya penanda). Hanya penanda itulah yang kemudian penting di kali ke-tiga puluh puasa saya yang sempurna bilangannya. Saya tersenyum kecut (bukan untuk afirmasi), sedikit takut-takut merasai diri, apakah saya selalu ketakutan, menakutkan, atau penakut. Bukankah sudah selama tiga puluh tahun itu saya mencoba intim, apakah itu karena sesuatu yang sifatnya teror, jadi saya takut, bukankah Tuhan mencintai saya sepenuhnya. Dan mengapa saya harus takut, ketakutan, apalagi menakutkan. Jika (semoga) puasa saya adalah puasa di luar hitungan matematika, puasa yang suka cita dan tidak ternamai maka seharusnya senyum saya lebih banyak di tahun berikutnya, dan terus menerus tersenyum, karena secara mental saya berubah-terus menerus, bahkan puasa yang tiga puluh hari lamanya, dilakoni selama tiga puluh tahun ini hanyalah latihan, bayangkan ‘cuma’ latihan untuk puasa selamanya. Puasa dalam pengertiannya yang sederhana, mengetahui yang teror dalam diri kita, puasa yang secara prinsip adalah pendekatan, yang memperpendek jarak antara saya dan Tuhan. Puasa yang menjadi obat rindu, yang mencandu. Maka besok saya ingin tersenyum, karena tingkatan yang saya lewati selama tiga puluh tahun, setiap tahunnya adalah hidayah, berkah, dan ampunan. Dan jika tulisan ini saya jelaskan ini kepada anak saya, semoga ini menjadi hapalan yang baik. Teror, siapa takut? Karena saya akan selalu memilih jatuh cinta (lagi) setiap kali menghitung helai demi helai uban saya.
(intinya, kepada kerabat, sahabat, kroni, dan (jika ada yang merasa hidup ini selalu berkompetisi) kompetitor saya, maaf lahir batin, berkah bagi semesta alam-tulisan ini cuma ingin menjelaskan beberapa baris sajak POL di atas, menurut tafsir saya, tulisan ini juga ingin menjelaskan sikap anti saya terhadap terorisme, terlebih teror yang dilakukan negara atas rakyatnya, enyahlah isme negara - etatisme, viva senyum mama, mari jatuh cinta setiap hari (ini tulisan yang paling gaya dan norak yach).
widhy | sinau
Friday, 11 September 2009
Tuesday, 8 September 2009
resep #13 | kopi ER
Rating: | ★★★★ |
Category: | Other |
perencanaan adalah 1/2 keberhasilan.
tanpa perencanaan adalah merencanakan kegagalan.
setelah itu jalankan apa yang telah direncanakan.
dan berilah sedikit ruang untuk kesalahan, tanpa yang sedikit itu kita akan mudah menyalahkan.
Resep #12 | Kopi petani
Rating: | ★★★ |
Category: | Other |
bagi dia, seseorang yang sedang membajak sawah di terik matahari, tanah adalah segalanya. bagi dia, seseorang yang terus menerus diterjang matahari, panas tidaklah memiliki arti. bagi dia, seseorang yang beragama, tentulah mengerti kapan harus berhenti.
tanah, panas, dan berhenti. bagi dia, tiga kata itu menggambarkan bagaimana hidup dilakoni. bagi dia, cukup adalah cukup. yang menurutnya sudah tidak banyak lagi bermanfaat untuk anak-cucunya. yang tidak lagi mengenal baik tanah, panas, dan berhenti.
bagi dia, pewarisan cita-cita adalah segala hal tentang kesejahteraan. jika petani seperti dirinya tidak lagi dihargai, maka perubahan memang dibutuhkan. tapi apakah cukup 'dengan perubahan', itu yang dia tanyakan ke generasi mendatang. perubahan datang dengan pasti, seperti cangkul dan tanah, namun bagi dia selalu ada risiko, seperti panen dan cuaca.
bagi dia, senandung itu do'a, mereka ada di saat tanam dan saat panen. bagi dia, doa yang ditanam seperti padi yang ditanam, dapat dipanen kapan saja. dan ketika harapan itu muncul, maka bencana suatu hal yang biasa saja, yang datang untuk menggenapkan bukan untuk mengurangi.
bagi dia, hidup adalah kerja. dan keyakinan terbesar adalah berserah pada karma. tidak ada yang tanpa sebab.
cukup ya cukup. jangan berharap lebih dari apa yang diusahakan, jangan memakan lebih dari yang dibutuhkan, jangan berkata lebih dari yang kita ketahui. resep sederhana untuk hidup sejahtera.
Friday, 14 August 2009
CARA MEMBACA BERITA KORAN TENTANG ISU TERORISME TANPA TAKUT TERTEROR
sekarang berita tentang aku tidak penting lagi [...] karena keberadaanku seharusnya sebulan sebelum pemilu presiden [...] dan sebulan sebelum antasari ditangkap. sekarang aku merasa menjadi tidak berarti justru karena tindakanku yang diberitakan di koran [...]
jika ingin membaca tentangku tanpa takut terteror lakukan beberapa langkah berikut:
1. lihat halaman headline, apakah masih tentang aku, jika ya lipat koran dan kibas-kibaskan tiga kali. jika tidak buka halaman opini, perhatikan, apakah masih ada yang menulis tentangku, jika ya. lipat koran dan kibas-kibaskan.
2. buka kembali halaman depan dan opini, apakah sudah berganti wajah. jika belum maka lipat koran dan kibas-kibaskan. jika sudah, maka anda beruntung, karena anda membaca belahan waktu lain.
3. kembali buka koran, lihat halaman depan dan kibas-kibaskan. apakah masih ada tagline tentang aku, di halaman depan, halaman opini, atau iklan baris. jika ya, jangan putus asa, lipat koran dan kibas-kibaskan.
4. ulangi terus, lipat koran dan kibas-kibaskan. sampai anda bosan atau sadar, bahwa aku sesungguhnya tidak ada. dan koran bukan mahluk yang dapat membuat anda takut dan cemas setiap saat. ia citraan yang bisa dialihkan dengan citraan pula.
demikian DEAR ALL,
dalam pelarian yang tidak sungguh-sungguh. dalam pengejaran yang hingar-bingar. dalam persembunyian di ruang publik. wajahku adalah wajah biasa, wajah yang dapat dikenali setiap pagi sehabis mandi. dan teror itu sungguh aku tak tahu untuk apa ada dan terus melahirkan kembali yang lebih teror, setiap pagi. rest in peace, DEAR ALL...
a.n.
keLak teLor
Saturday, 8 August 2009
Resep # 14 Kopi Willy
Rating: | ★★★★ |
Category: | Other |
Untuk apa belajar ‘dik’. Untuk pintar, untuk tahu, untuk bisa merasa.
Untuk petani, untuk buruh, untuk orang tua, nenek-nenek di jalan, orang-orang di desa yang bangun pagi hari dan mencari ranting jati, untuk bangsa, belajar untuk siapa ‘dik’. Belajar utama mengenal diri sendiri, memaksimalkan indera: melihat, mendengar, membaui, mengecap, menyentuh, memaksimalkan batin, suara hati. Belajar tentang itu ‘dik’. Kemudian menalar, menggunakan akal sehat. Belajar tentang belajar, tentang untuk apa belajar dan menjadi pintar, pelajari itu ‘dik’. Tanpa itu kamu monster, tak tahu tujuan. Menakutkan, pintar dan menakutkan. Kita banyak memiliki orang seperti itu, pintar dan menakutkan. Inderanya seperti kebal, otaknya seperti bebal, hatinya tidak bercahaya. Orang seperti itu yang berkuasa, tanpa pernah belajar mengenal kuasa, daulat, tak pernah mengenal keheningan, yang menuntunnya menuju dirinya, hakikat kuasa.
Mengapa petani selalu kalah, orang-orang semakin banyak di jalan, ada yang gila karena begitu banyak kehilangan, begitu banyak keinginan. Untuk apa keinginan itu ‘dik’, bukankah itu yang harus selalu ditahan, hakikatnya puasa. Nafsu, bagian yang harus dipelajari juga, biar bisa dikendalikan. Ada yang selalu kalah, ada yang selalu ingin menang, ada yang tidak siap dengan kehilangan. Tidak siap kehilangan selalu berhubungan dengan tidak pernah belajar mengenai indera. Setiap sentuhan, setiap cahaya, setiap rasa, setiap bau, setiap bunyi sesungguhnya tidak pernah hilang, itu harta untuk bisa hidup. Teater belajar tentang itu, tentang hidup dengan indera. Dengan gerak tubuh, yang memaksimalkan indera. Dan otakpun tidak akan lelah-lelahnya mengenali setiap benda yang diindera, jika berhenti bergerak kita kehilangan ragam, jika kehilangan ragam kita kehilangan bersama, semesta.
Jangan hinakan orang ‘dik’. Dengan kekuasaan atau dengan pengetahuan. Setiap orang memiliki keduanya, potensi itu yang harus diajarkan di sekolah, namun itu yang tidak pernah diajarkan. Melihat kenyataan, mengolah alam, mengolah tubuh, mengolah jiwa, sehingga kekuasaan menyatu dengan pengetahuan. Membela yang hina, membela yang layak dan pantas untuk kebaikan bersama.
Aku lepas ‘dik’, rebah, kembali ke tanah. Bukankah itu tujuan kita, tanah-dan tanah itu pula yang kita perjuangkan. Aku lepas ‘dik’, mengalir.
Friday, 3 July 2009
Wednesday, 24 June 2009
POLITIK, SESUATU YANG MELAMPAUI ILMU PENGETAHUAN
Prince Otto von Bismarck
(1815 - 1898)
Saya hendak berangkat dari pertanyaan, “Apakah ilmu pengetahuan mampu memecahkan masalah politik?” Contohnya, “Apakah penghematan uang satu putaran penyelenggaraan pemilihan presiden mampu menghasilkan pemimpin yang baik?” Jawabannya tentu saja bisa ya, bisa pula tidak. Jawaban apa pun yang diberikan tentu bergantung pada konsepsi dari istilah politik itu sendiri.
Dari sudut etimologi, kata ‘politik’ berasal dari bahasa Yunani ‘polis’ yang berarti negara-kota. Perbincangan ‘politik’ adalah perbincangan tentang negara-kota, tentang pengelolaan negara-kota, tentang pengelolaan hidup-bersama di dalam suatu territorial. Adanya pengelolaan meniscayakan kehadiran pengelola dan yang-dikelola. Pemerintah hadir sebagai pihak pengelola, sedangkan warga negara hadir sebagai pihak yang-dikelola. Atas nama kedaulatan, pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengelola kehidupan warga negara.
Tentu saja perbincangan dengan pengelolaan hidup-bersama bukanlah perbincangan yang tak memiliki tujuan. Pengelolaan hidup-bersama—entah dari sudut sosiologi, ekonomi, atau pun budaya—menjadi topik perbincangan penting justru karena memang ada tujuan yang hendak dicapai. Hidup-bersama hadir bukan semata-mata sebagai hidup-bersama yang bersifat nasib, melainkan hidup-bersama yang bersifat perjuangan, kerja keras, menuju hidup-bersama yang baik. Problemnya, apa yang dimaksud dengan ‘baik’?
Pemerintah bukanlah sesuatu yang datang dari kekosongan, bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Kelayakan orang atau sekelompok orang memegang kekuasaan pada suatu negara-kota berlandaskan keberhasilan mereka memenangkan persaingan di kalangan warga. Kemenangan sudah tentu mengandaikan adanya yang-kalah. Kemenangan atau kekalahan dari kontestan persaingan disebabkan oleh konsepsi para kontestan untuk menentukan apa yang ‘baik’ bagi hidup-bersama.
Persaingan Tanpa Yang ‘Baik’
Meski tidak terlalu memadai, penjelasan di atas membantu untuk melihat apa yang ada di dalam konsepsi politik. Setidaknya ada enam hal yang penting, 1) kedaulatan, 2) kekuasaan, 3) pemerintah yang juga berasal dari 4) warga, dan 5) persaingan/kompetisi 6) untuk menentukan apa yang ‘baik’.
Bila kembali mengacu pada pertanyaan awal, “Apakah ilmu pengetahuan mampu memecahkan masalah politik?” maka teranglah batas-batas jawaban ya atau tidak. Menurut saya hanya rasionalitas yang menyederhanakan politik sebagai persaingan/kompetisi sajalah yang memampukan ilmu pengetahuan menyelesaikan persoalan politik. Persaingan dimenangkan kontestan tertentu dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan yang berperan menemukan teknologi baru agar kontestan lain kalah. Penguasaan teknologi menjadi jaminan kemenangan. Menguasai ilmu pengetahuan, memanfaatkan ilmu pengetahuan beserta orang-orang yang berpengetahuan menjadi langkah pokok menuju kemenangan. Tetapi, sejatinya, politik tidak hanya persaingan belaka. Persaingan politik adalah persaingan yang berupaya meyakinkan warga tentang apa yang ‘baik’ bagi warga di masa depan.
Patut pula diperjelas, kualifikasi apa yang ‘baik’ yang menjadi substansi persaingan merupakan wilayah yang berada di luar obyektifitas. Apa yang ‘baik’ adalah sesuatu yang sulit untuk diukur, yang berada di luar jangkauan kuantifikasi numerik. Apa yang ‘baik’ lahir dari pertimbangan atas, minimal dua pilihan yang ada, yang mungkin diambil subyek tertentu. Maka, yang ‘baik’ hadir sebagai subyektifitas. Dalam konteks ini, subyektifitas yang saya maksud mengikuti pemahaman Kierkegaard (yang agak saya modifikasi. Kierkegaard menggunakan konsepsi subyektifitas dalam konteks nilai benar/salah, bukan baik/buruk) di mana keputusan memilih yang ‘baik’ bukan karena apa yang dipilih adalah ‘baik’, melainkan karena subyek memiliki keyakinan bahwa apa yang dipilihnya adalah ‘baik’. Dan klarifikasi atas subyektifitas berada pada wilayah masa depan. Pada masa kampanye sekarang, kata-kata ‘bukti’ dan ‘janji’ adalah wujud dari subyektifitas akan apa yang ‘baik’.
Karya, Produk, Dan Sampah
Penggunaan ilmu pengetahuan dalam konteks simplifikasi pemahaman politik menjadi sekadar persaingan/kompetisi, menurut saya, menyebabkan politik hadir sebagai komoditi. Politik tak ubahnya seperti produk sikat gigi, jam tangan, sabun cuci, atau teh celup. Komodifikasi politik menyebabkan terjadinya degradasi nilai politik. Komodifikasi politik merendahkan status politik yang awalnya adalah “karya” menjadi sekadar “produk,” bahkan bisa-bisa di kemudian hari politik dikenali sebagai “sampah.”
Politik sebagai persaingan menentukan apa yang ‘baik’ tentunya dengan sendiri mengandaikan adanya kerja. Analisa mahzab Frankfurt yang menggali inspirasi dari Karl Marx merumuskan kerja sebagai bagian keberadaan manusia di dunia. Antara apa yang dikerjakan orang dengan orang yang mengerjakan ada ikatan yang tak terpisahkan. Antara hasil pekerjaan dengan pekerja ada ikatan batiniah di mana melalui hasil pekerjaannya seseorang menunjukkan siapa dirinya. Adanya hubungan intrinsik antara hasil pekerjaan dengan pekerja itulah yang saya konsepsikan sebagai karya. Sebuah idiom yang masih berlaku di dunia kesenimanan Indonesia. Percakapan antara seniman, mulai dari yang amatir hingga profesional, adalah tentang: Karya. Apakah Anda pernah mendengar pameran karya elektronik? Saya pikir, yang jamak terjadi adalah pameran produk otomotif, furnitur, dan lainnya.
Proses industrialisasi, yang dikritik Karl Marx karena logika kapitalisme yang bekerja di dalamnya, mengubah nilai dari hasil kerja menjadi produk. Hasil kerja bukan lagi karya, yang hanya satu-satunya, tidak terganti, abadi. Sejak jaman industrialisasi, hasil kerja memiliki nilai baru, yakni produk. Produk berarti tidak satu-satunya, dapat diganti, dan tentu saja tidak abadi. Hasil kerja yang disebut produk pun mengingkari keterikatan intrinsik dengan pekerjanya. Suatu hal yang kemudian dikenal dengan istilah alienasi, pengasingan pekerja dari apa yang dikerjakan.
Dari produk, lahirlah sampah. Sampah adalah produk yang sudah tidak mampu lagi memberi utilitas kepada pemiliknya. Seseorang yang kehilangan produk dapat saja langsung melapor ke polisi perihal kehilangan tersebut. Namun, tentu saja janggal untuk memikirkan ada orang melapor karena kehilangan sampah dari bak sampah di belakang rumahnya.
Komodifikasi politik oleh ilmu pengetahuan menghilangkan aspek fundamental politik, yakni kerja keras untuk menentukan apa yang ‘baik’. Pencitraan diri para kontestan—saya menduga, pencitraan kontestan didukung riset ilmiah untuk mengetahui kira-kira iklan macam apa yang harus dikeluarkan agar dapat menguasai arus bawah sadar publik hingga memilih calon bersangkutan—menjadi jalan pintas untuk memikat suara publik, yang diidentifikasi sebagai pemilih yang lebih mengedepankan perasaan daripada pikiran. Kerja keras yang lebih bersifat ideologis untuk menentukan apa yang ‘baik’ dengan cara pengorganisasian publik dan melakukan transformasi kesadaran kritisnya malah tidak dilakukan. Kerja politik yang dilakukan Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tjokroaminoto, dokter Wahidin, Tan Malaka, menurut saya mengadopsi pola kerja keras untuk menentukan apa yang ‘baik’ bagi Bumiputra, yaitu: Kemerdekaan. Secara metaforis saya menyatakan: Perenungan akan permasalahan kebangsaan dan kenegaraan seakan mengisi setiap denyut nafas mereka. Dan bukankah pada masa pemilihan legislatif lalu, para caleg mendatangi, lalu menginventarisir segenap permasalahan dari daerah pemilihannya beberapa bulan menjelang pemilihan umum digelar?
Pada setiap proses periodik politik yang terjadi, pada akhirnya sejarah jugalah yang akan memberikan klarifikasi keselarasan antara ‘bukti’ dengan ‘janji’ (tidak cuma mengandalkan ‘bukti’ tanpa ‘janji’, atau sebaliknya ). Saya pikir, pada saat sejarah bicara itulah kita baru mengetahui siapa yang memang benar-benar melakukan kerja politik yang bernilai karya, bukan cuma produk apalagi sampah, sebagaimana sikap para anggota dewan yang membolos, juga tidur saat bersidang.
Akhir Kata
Saya pikir, tidak salah juga bila ilmu pengetahuan dipergunakan saat berkampanye. Sebabnya tentu saja karena ilmu pengetahuan memang berguna bagi kehidupan manusia. Namun, penggunaan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan berguna bagi para kontestan untuk mendapatkan raihan suara yang maksimal seyogyanya dibarengi dengan usaha transformasi kesadaran kritis publik bahwa ilmu pengetahuan bukanlah kebenaran tunggal yang bersifat mutlak dan pasti, bahkan melampaui ruang dan waktu. Menyitir pendapat filosof Jerman Jürgen Habermas, ilmu pengetahuan bukan lagi sarana manusia untuk membebaskan diri dari mitos atau takhayul, melainkan sarana untuk menaklukan, mendominasi!
dvd.tbg@gmail.com
Wednesday, 10 June 2009
Wednesday, 3 June 2009
Z!
Rating: | ★★★★★ |
Category: | Other |
Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia karangan Eko Endarmoko menyediakan padanan bagi frasa “rumah sakit,” yakni hospital. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga pun mengamini hal tersebut pada halaman 408.
Bagi saya, mendengar atau pun melihat kata ‘hospital’, seketika intuisi berbahasa saya membawa imajinasi saya pada kesimpulan tentatif: Pasti berasal dari bahasa Inggris atau setidaknya berhubungan dengan bahasa Inggris.
Encarta Dictionary Tools menyatakan ada tiga arti dari ‘hospital’, yakni 1) bangunan untuk perawatan medis, 2) tempat untuk memperbaiki sesuatu, 3) tempat penampungan bagi mereka yang membutuhkan. Merriam Webster’s Dictionary & Thesaurus pun menyatakan hal yang relatif sama, kecuali ada penegasan pada poin 2), yakni sebagai tempat reparasi bagi objek-objek spesifik yang kecil, semisal arloji atau pun jam.
Fakta yang saya peroleh dari perbandingan kata ‘hospital’ yang ada pada Tesaurus Bahasa Indonesia dan Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan apa yang ada pada Encarta Dictionary Tools dan Merriam Webster’s Dictionary & Thesaurus meyakinkan saya bahwa kata ‘hospital’ adalah kata serapan dari bahasa asing, atau setidaknya bernenek moyang pada bahasa Inggris.
Melihat kembali Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengartian ‘hospital’ telah mengalami pengurangan bila dibandingkan dengan arti yang terdapat pada Encarta Dictionary Tools dan Merriam Webster’s Dictionary & Thesaurus. Pada halaman 408 Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘hospital’ merupakan kata benda dari ragam cakapan atas kata ‘rumah sakit’. Tidak ada pengartian lebih lanjut, hanya berhenti pada pemadanan kata. Melihat pada halaman 967, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ‘rumah sakit’ sebagai 1) gedung tempat merawat orang sakit; 2) gedung tempat menyediakan dan memberikan pelayanan kesehatan yang meliputi berbagai masalah kesehatan.
Dari dua pengartian, kata ‘pelayanan’ memantik kegelisahan tersendiri bagi saya. Penasaran, saya melihat halaman 646 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata ‘pelayanan’ yang menempati posisi kata benda punya tiga arti, 1) perihal atau cara melayani, 2) usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh imbalan, 3) kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa.
Pengartian atomis kebahasaan yang saya lakukan cukup mengejutkan. Namun, apa yang mengejutkan itu akan saya bicarakan nanti, setelah saya melakukan pelacakan tentang sejarah kata ‘hospital’ dalam bahasa Inggris.
Cassell’s Dictionary of wordhistories karangan Adrian Room, pada halaman 288, saya kutipkan:
hospital n. an institution for the reception and treatment of the sick or injured. WH: 12-14 C. Old French (Modern French hôpital), from Medieval latin hospitale, use as n. of Latin hospitalis hospitable, from hospes, hospitis HOST1. See also –AL1. A hospital was originally a house for the reception of pilgrim, travelers or strangers, then a charitable institution for the infirm, aged and needy. The current sense evolved in the 16 C.
Dalam kosa kata bahasa Inggris, kata ‘hospital’ berakar pada kata “host” (lihat: HOST1) yang berarti 1) orang yang menghibur orang lain, 2) orang asing, musuh, juga tamu.
Dari penjelasan Cassell’s Dictionary of wordhistories terang bahwa pengertian ‘hospital’ bermula dari sebuah rumah yang difungsikan untuk menerima orang asing, entah petualang atau peziarah, yang dikenal sebagai ‘tamu’, orang yang menghibur orang lain. Di kemudian hari, konsep ‘hospital’ mengalami evolusi menjadi lembaga tempat berlindungnya orang tak mampu, tua, dan yang membutuhkan, hingga berakhir pada evolusi paling mutakhir, yakni sebagai lembaga yang menerima dan merawat orang yang sakit dan terluka.
Apa yang memukau saya dari penjelajahan atomik bahasa, konseptualisasi ‘hospital’—yang menurut Saussure dapat terjadi secara arbitrer ataupun melalui jalur kesepakatan—sangat kaya. Secara konseptual-implisit, kata ‘hospital’ mengandung makna keterbukaan, keramahan, kesediaan menerima orang asing sebagai orang yang menghibur orang lain—suatu konsep yang juga ada pada kebudayaan di Indonesia di mana kedatangan tamu berarti juga kedatangan rezeki (rezeki adalah istilah yang punya kaitan intrinsik dengan spiritualitas/religiusitas daripada materialitas ekonomis) dan karena itu pula menyambut tamu dilakukan tangan terbuka.
Dalam filsafat kontemporer, Jacques Derrida pun mencoba mengkonseptualisasikan ‘hospital’ sebagai suatu prinsip filosofis bagi filsafat politik. Prinsip tersebut berguna untuk mengkonstruksikan ulang tata kehidupan global yang sudah mengalami kekacauan, yang diidentifikasi sebagai akibat dari fundamentalisme agama, yang juga pernah terjadi pada abad 16 M. Dalam buku terjemahan Alfons Taryadi, Filsafat Dalam Masa Teror karangan Giovanna Borradori, Derrida menawarkan konsep hospitality sebagai tandingan bagi toleransi yang dianggap telah gagal menciptakan tatanan dunia yang lebih baik bagi semua manusia. Alfons Taryadi menerjemahkan hospitality sebagai kesanggarahan, yang menurut saya tepat meski belum jitu. Saya kutipkan tulisan Giovanna Borradori pada halaman 26, yang telah diterjemahkan Alfons Taryadi, untuk menjelaskan pengertian Derrida atas prinsip tersebut:
Tetapi kesanggrahan murni atau tanpa syarat tidak berupa suatu undangan seperti itu. (“Saya undang anda, selamat datang di rumah saya, dengan syarat bahwa anda menyesuaikan diri kepada hukum-hukum serta norma teritori saya, sesuai dengan bahasa, tradisi, kesenangan saya dan seterusnya.”) Kesanggrahan murni dan tanpa syarat, kesanggrahan itu sendiri, membuka atau lebih dahulu terbuka kepada seseorang yang tidak diperkirakan akan datang, tidak pula diundang, kepada siapa saja yang datang sebagai pengunjung yang sama sekali asing, sebagai seorang pendatang baru, yang tak teridentikasi dan tak ternyana, singkat kata, yang sepenuhnya lain.
Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia lema ‘sanggrah’—sebuah kata kerja yang mengalami pembendaan dengan penambahan ‘ke-~-an’—berarti singgah sebentar (beristirahat barang sehari atau dua hari). Menurut saya, pemahaman Kamus Besar Bahasa Indonesia lebih memusatkan pengartian lema ‘sanggrah’ pada subyek dari ‘sanggrah’, bukan bertitik tolak dari obyek ‘sanggrah’. Ilustrasinya, pengartian ‘sanggrah’ dalam bahasa Indonesia lebih bertitik tolak pada, katakanlah, orang yang menginap, daripada orang yang menyediakan pondokan.
Karena alasan pemaknaan subjektif itulah saya menilai terjemahan Alfons Taryadi tepat tetapi kurang jitu, karena konseptualisasi Derrida atas hospitality merujuk pada kesiapan emosional, intelektual, bahkan spiritual yang positif dari orang yang kedatangan tamu ke rumah orang bersangkutan secara tidak terduga, tak teridentikasi, tak disangka. Secara konseptual memang saya tidak bisa memberikan istilah apa yang jitu untuk menerjemahkan hospitality Derrida, tetapi setidaknya, menurut saya, hospitality Derrida mengandung ketulusan, kebahagiaan, serta kegirangan. Hospitality, menurut saya tak jauh beda dengan perasaan yang saya alami sewaktu kecil ketika saya kegirangan melihat ada kupu-kupu besar terbang di dalam rumah (tatkala kecil, saya menerima pikiran yang menyatakan ‘kedatangan kupu-kupu di rumah adalah pertanda akan datangnya tamu’).
Melalui studi banding kebahasaan kata ‘hospital’ untuk menilai secara kualitatif makna ‘rumah sakit’, saya mendapatkan kesimpulan yang memang mengejutkan. Secara historis, ‘hospital’ memiliki makna yang lebih luas daripada sekadar merawat orang sakit, sebab ada unsur manusiawi, juga ketelitian, ketelatenan sebagaimana ditunjukkan lewat pengertian reparasi jam/arloji. Unsur kemanusiawiaan dan ketelitian a la ilmu keteknikan menjadi nyawa bagi kata tersebut. Pada bahasa Indonesia, kata ‘rumah sakit’ mentok pada pengertian gedung tempat merawat orang sakit dan gedung yang menyediakan dan memberikan perawatan serta pelayanan. Konsep yang sedemikian dangkal—saya pikir, kesimpulan “dangkal” disebabkan keterbatasan wawasan saya yang tidak mengetahui potensialitas bahasa Indonesia untuk menghasilkan konseptualisasi lokasi perawatan orang sakit yang lebih tepat daripada ‘rumah sakit’—semakin menjadi banal setelah saya memperhatikan apa yang dimaksud dengan lema ‘pelayanan’. Lema ‘pelayanan’ cenderung mengadopsi suasana pemahaman yang bersifat teknis fisikal dan ekonomis. Maka, konstruksi ‘rumah sakit’ pada bahasa Indonesia, yang dideteksi melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia didominasi gagasan ekonomis, untung-rugi. Kategori ekonomis menjadi tolak ukur utama yang dilekatkan ‘rumah sakit’ kepada orang-orang yang mengunjungi ‘rumah sakit’.
Secara konseptual, saya pun bisa mengerti mengapa Ibu Prita dipenjara karena menuliskan dan menyampaikan keluhannya atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional di dunia maya. Ada persoalan ekonomi, untung-rugi, yang melatari hal tersebut dikarenakan konstruksi bahasa ‘rumah sakit’ di Indonesia. Secara spekulatif, saya dapat menyimpulkan, gugatan perdata pun laporan pidana dari Rumah Sakit Omni Internasional terhadap Ibu Prita adalah murni hilangnya keuntungan Rumah Sakit Omni Internasional. Dan masalah ‘pencemaran nama baik’, menurut saya, adalah topeng untuk menutupi niat yang sebenarnya, yakni mendapatkan kembali keuntungan yang hilang.
Note: DUKUNG IBU PRITA MULYASARI, PENULIS SURAT KELUHAN VIA INTERNET YANG DIPERDATAKAN, DIPIDANA, HINGGA DITAHAN
Tuesday, 2 June 2009
Lentera di Atas Bukit
pencarian, pergulatan dan penemuan makna diri dan kerja pembebasan.
Thursday, 28 May 2009
jalan sawo
Sekilas tentang Jalan Sawo
Jalan Sawo yang membelah antara Jalan Margonda Raya dengan Kampus Universitas Indonesia (UI) Depok bukanlah tempat yang asing. Selain disebut dengan Jalan Sawo, jalan ini biasa dikenal dengan sebutan Kober dan juga Stasiun UI. Istilah Kober sendiri sebenarnya mengacu pada suatu tempat yang berada di seberang Jalan ini, tetapi kebanyakan mahasiswa yang melintas jalan ini lebih familiar menyebutnya Kober daripada Jalan Sawo. Sedangkan istilah Stasiun UI juga kerap dipakai karena pada kenyataannya setiap mahasiswa atau siapapun yang ingin menuju kampus atau bepergian ke Jakarta dan Bogor dengan kereta api dipastikan akan melintasi atau menggunakan jasa angkutan kereta dari stasiun tersebut.
Secara administratif, keberadaan Jalan Sawo berada di wilayah RT 02 dan 03 kelurahan Pondok Cina, Depok. Helmi, ketua RT 02 yang juga membawahi jalan ini – selain RT 03 - menjelaskan bahwa nama Jalan Sawo itu sendiri dipakai karena dulu di depan jalan itu terdapat pohon sawo sehingga oleh orang-orang di sekitar sana disebut Jalan Sawo. Ia berfungsi sebagai jalan semenjak ada kampus UI dan orang-orang pribumi di sepanjang jalan itu juga sepakat jika ia menjadi jalan lintas menuju stasiun dan kampus UI. Jalan Sawo merupakan jalan yang diberikan oleh pemerintah berdasarkan tanaman endemik yang dulu ada di kawasan ini sebelum kawasan ini sebagian besar dibeli oleh UI sekitar tahun 1970. Nama-nama jalan disini kebanyakan mengacu pada nama pohon, seperti Sawo, Papaya, Cengkeh. Sebelumnya jalan ini sebagian besar adalah irigasi, kemudian tahun 1970an menjadi jalan setapak disisi irigasi, tahun 1980an mulai menjadi gang yang lebih lebar, namanya sudah menjadi Gang Sawo. Masyarakat sekitar menyebutnya memang sebagai gang bukan jalan.
Meskipun telah lama jalan ini menjadi penghubung menuju stasiun dan kampus UI, tetapi baru setelah tahun 2000-an jalan ini mulai sesak dengan banyak pedagang. Cak Tarno, salah satu pedagang buku yang mangkal di jalan ini mengatakan bahwa sejak tahun 1995-2002, Jalan Sawo ini masih terbilang sepi dalam arti tidak banyak orang yang berjualan. Karena waktu itu, orang masih banyak yang berdagang di kebun karet di dalam kawasan UI. Tapi setelah para pedagang di kebun karet itu tergusur, maka mereka mulai pindah ke Jalan Sawo ini. Cak Tarno merupakan salah satu pelobi ke RW dan RT agar para pedagang pindahan dari kebun karet itu diberi tempat untuk berdagang di Jalan Sawo.
Ruang di Jalan Sawo
Sejak tahun 2002 itu pula, lambat-laun Jalan Sawo semakin ramai. Banyak hal yang bisa ditemui di jalan ini, seperti toko buku, toko ATK, toko komputer, foto copy, toko pakaian, toko CD/DVD bajakan, pengemis, pengamen, wc umum, mushola, toko asesoris, warung makan, kedai minuman, roti medan, tempat parkir, dan sebagainya. Bukan hanya pejalan kaki yang berlalu-lalang, sepeda motor dan mobil juga sesekali masuk melintasi jalan yang lebarnya tidak lebih dari 2 meter ini. Kondisi seperti itulah yang membuat jalan ini tampak selalu hiruk, terutama pada hari-hari aktif dari Senin sampai Sabtu.
Keberadaan ragam barang dagangan itu menjadi titik perhatian para pejalan kaki yang lalu-lalang. Tidak perlu suatu pengamatan yang mendalam saja sudah cukup bisa dimengerti bahwa keberadaan pedagang di jalan ini telah menjadi titik perhatian bagi siapapun yang melintas di sana. Transaksi, sekedar melihat-lihat, atau cuek sama sekali merupakan pemandangan yang tiap hari menyeruak, di samping juga sapaan, tawaran, dan rayuan dari para pedagang yang menawarkan barang dagangannya kepada pejalan kaki.
Jalan Sawo ini memiliki pembagian penyebutan, yaitu depan dan dalam. Bagian depan menunjukkan suatu tempat di Jalan Sawo yang dimulai dari jalan masuk dari arah Margonda hingga ke toko buku Cak Tarno. Sedangkan bagian dalam dimulai setelah Cak Tarno hingga stasiun UI. Bagian dalam ini pula yang oleh kebanyakan pedagang di situ disebut dengan Jalan Stasiun. Pembagian ini turut pula membedakan kepemilikan status tanah yang ada di dalamnya. Status tanah yang ada di bagian depan hampir semuanya milik pribumi atau perorangan dimana para pedagang yang ingin menyewa tanah atau toko di situ bisa langsung berhubungan dengan pemiliknya. Sedangkan bagian dalam merupakan “milik” stasiun sehingga penyewaannya pun berhubungan dengan stasiun.
Tasdik, salah satu petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api(PPKA ) Stasiun UI mengatakan bahwa Perusahaan Jasa Kereta Api (PJKA) sendiri memiliki wewenang untuk memaksimalkan fungsi-fungsi tanah yang ada di sekitar stasiun untuk kepentingan stasiun sendiri. Hal ini disebabkan karena di PJKA sendiri terdapat dua divisi, yaitu: pertama, Usaha non Angkutan (unang) yang bisa mencari pemasukan melalui beberapa jenis usaha di luar angkutan, seperti pemanfataan tanah atau juga penyewaan tempat-tempat terdekat stasiun dan rel kereta. Kedua, usaha angkutan yang berasal dari jasa angkutan kereta api sendiri. Untuk masalah pemanfaatan tanah di stasiun UI itu, jika disewakan untuk jangka panjang, mulai bulanan hingga tahunan, maka pembicaraan kontraknya langsung ke kantor pusat yang terletak di Juanda, Jakarta dengan diwakili oleh kepala stasiun. Tetapi jika untuk penyewaan yang instan, misalnya untuk pasang spanduk atau sesuatu yang kurang dari satu bulan, maka bisa dibicarakan langsung dengan kepala stasiun dan uangnya pun bisa langsung dimiliki oleh stasiun yang bersangkutan.
Meskipun berhubungan dengan stasiun, tetapi mekanisme penyewaan tanah dan toko di bagian dalam ini tidak secara langsung berhubungan dengan kepala stasiun, melainkan dengan Hari Alfian, seorang pemborong atau pengembang yang telah menyewa tanah di Jalan stasiun itu untuk kemudian disewakan kembali ke orang lain. Sementara Hari Alfian sendiri meminta Teti untuk mengurus teknis penyewaannya seperti mengurus surat kontrak sampai penagihan uang sewanya.
Teti yang mengaku masih ada hubungan suadara jauh dengan Hari Alfian mengatakan bahwa dirinyalah yang berhubungan langsung dengan Hari Alfian dan juga para penyewa. Ia menegaskan bahwa harga sewa di tempat tersebut beragam. Untuk toko ukuran 1x1,5 m atau yang mereka sebut dengan auning harga sewanya mencapai 350 ribu rupiah per bulan. Sedangkan untuk toko yang berukuran 4 x 2 meter bisa mencapai 9 juta per tahun. Biasanya, untuk sewa tahunan itulah yang dibuatkan surat kontrak secara khusus, sedangkan untuk yang sewa perbulan cukup dibuatkan buku catatan tersendiri oleh Teti.
Sudah tiga tahun belakangan ini, menurut Teti, jangka waktu penyewaan hanya bisa dilakukan selama 1 tahun untuk satu kali masa kontrak. Hal ini disebabkan oleh adanya kemungkinan dibangun dan diperbaikinya stasiun UI. Dan jika setelah satu tahun itu masih memungkinkan untuk diperpanjang, maka hal itu dilakukan kembali menurut kesepakatan. Tetapi dengan ada satu ketetapan tambahan bahwa setiap saat para pedagang di tempat tersebut harus bersedia digusur jika pembangunan itu dilakukan.
Para penyewa dan/atau pedagang di Jalan Sawo ini terdiri dari latarbelakang etnis beragam seperti Minangkabau, Batak, Jawa, Sunda, Betawi dan hampir semuanya pendatang, bukan dalam arti pribumi seperti para penduduk yang sudah puluhan tahun bertempat tinggal di daerah tersebut. Kategorisasi etnis tersebut memang tidak serta menentukan jenis barang dagangan yang ada. Masing-masing memiliki kejelian tersendiri untuk memilih jenis barang dagangan apa yang dijaja di tempat tersebut. Seperti halnya Teti, perempuan berlatar etnis Sunda tersebut malah kedapatan membuka warung makan masakan padang, suatu kenyataan yang tampak tidak lazim, meskipun Teti tentu saja memiliki alasan tersendiri mengapa ia melakukan itu .
Sejak tahun 2000-an ketika Jalan Sawo telah ramai oleh pedagang, sejak itu pula berbagai aturan dibuat. Helmi, ketua RT 02 misalnya mulai memberlakukan sistem keamanan dengan membayar Darma sebagai kepala keamanan di sana. Ia juga mulai memberlakukan adanya retribusi sebagai uang jaminan keamanan yang ditarik dari para pedagang dalam setiap bulannya. Uang retribusi sebanyak 10.000 – 20.000 tersebut, selain digunakan untuk membayar keamanan juga dijadikan sebagai pendukung kegiatan-kegiatan di tingkat RT. Tidak semua pedagang yang membayar uang retribusi dengan jumlah yang sama. Ada beberapa pedagang yang menawar ketika keamanan menagih uang retribusi dari duapuluh ribu menjadi sepuluhribu.
Negosiasi tersebut dilakukan dan relatif berhasil jika pedagang tersebut bisa memberikan alasan yang meyakinkan petugas keamanan, seperti rendahnya tingkat kelarisan barang dagangan atau juga sekedar memelas minta keringanan. Kenyataan tersebut hanya dimaklumi oleh Helmi mengingat tidak semua pedagang memiliki kepedulian yang sama. Baginya, yang penting adalah kemauan dan partisipasi dari para pedagang untuk membantu keterjaminan keamanan di Jalan Sawo.
Tetapi lain halnya dengan para pedagang CD/DVD bajakan yang semuanya berjumlah sekitar 10 orang, dengan lima di antaranya berjejer di bagian dalam jalan ini. Selain mereka harus membayat retribusi untuk keamanan dan diserahklan ke RT melalui petugas keamanan, mereka juga harus mengeluarkan uang yang lebih banyak untuk diserahkan kepada oknum aparat kepolisian setempat hingga berjumlah 50 ribu per orang untuk setiap minggunya. Babe, salah satu pedagang CD/DVD yang ada di sana mengatakan,
“Seminggu sekali 50 ribu per orang. Di sini kan ada 5 orang tuh, jadi ya sekitar 250 ribu per minggu. Polisi yang datang kesini juga bergantian, ada 4 orang yang gantian kesini. Babe juga gak tau gimana pembagiannya. Yang penting kita ngasih aja.”
Uang tersebut, menurut Babe sebagai penjamin agar mereka tetap diperbolehkan untuk menjual CD/DVD bajakan sekaligus agar tidak terkena razia dadakan. Tampaknya, uang tersebut memang harus direlakan oleh para pedagang CD/DVD bajakan daripada mereka mendapatkan persoalan di kemudian hari. Tokh banyaknya pejalan kaki yang suka membeli film-film incaran di tempat itu, bahkan tidak sedikit di antaranya yang menjadi pelanggan tetap, dalam arti setia membeli di situ dan memesan judul film-film tertentu yang sedang beredar di bioskop-bioskop atau bahkan yang baru saja rilis di luar negeri membuat para pedagang tersebut selalu memenuhi tuntutan setoran ilegal itu.
Meskipun demikian, bukan berarti kenyamanan mereka mutlak terjamin. Sesekali waktu para pedagang itu tetap harus menutup auningnya. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa meskipun aparat kepolisian tidak melakukan razia di tempat tersebut, tetapi razia tetap saja dilakukan di tempat lain di Depok. Menurut Babe, hampir seluruh pedagang CD/DVD bajakan yang ada di Depok memiliki hubungan pertemanan, sehingga jika salah satu lokasi ditutup karena sedang ada razia, maka hampir seluruh pedagang yang ada di Depok juga turut menutup dagangannya untuk sementara sebagai solidaritas antar sesama.
Satu hal yang menarik dari Jalan Sawo ini adalah tidak adanya preman yang menganggu aktifitas orang-orang yang ada di dalamnya. Hal ini berbeda dengan beberapa tempat lain yang tinggi tingkat transaksi ekonominya. Darma, selaku keamanan di jalan ini mengatakan bahwa antara dirinya dan juga ketua RT memiliki ketegasan terhadap preman. Pernah suatu ketika, terdapat beberapa preman pindahan dari Manggarai dan Citayam yang ingin menduduki Jalan Sawo. Tetapi keberadaan mereka segera ditangani oleh Darma dengan mengatakan agar lebih baik mereka tidak mengganggu ketertiban Jalan Sawo ini karena dirinya selaku keamanan bisa bertindak tegas dan bisa menyeret mereka secara paksa ke kepolisian setempat.
Cak Tarno selaku pedagang buku di Jalan ini juga mengatakan bahwa baik premanisme maupun peristiwa-peristiwa konfliktual dan meresahkan hampir tidak pernah terjadi di sana. Menurutnya, hal itu disebabkan oleh semangat para pedagang dan juga warga setempat yang ingin menjaga ketertiban jalan sawo bersama-sama. Hal ini bisa jadi pula menggambarkan adanya tafsir bahwa Jalan Sawo merupakan wilayah harapan yang menjanjikan bagi siapapun yang berkepentingan terhadapnya. Dalam konteks itu pula kontrol dalam bentuk penertiban merupakan mekanisme yang paling bisa dilihat untuk melihat ragam kepentingan yang dituangkan kedalam sebuah jalan.
Satu hal yang tidak bisa dibendung adalah intensitas pedagang dan pejalan kaki yang semakin hari semakin meningkat. Keberadaan kampus UI yang semakin lama semakin bertambah jumlah mahasiswanya menjadi salah satu penyebab meningkatnya intensitas itu. Maka tidak heran juga ketika Dedy, salah satu mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer UI mengatakan bahwa “kini jalan sawo menjadi tambah sesak.” Apalagi jika kemudian muncul sepeda motor atau mobil yang terlihat sangat “memaksa diri” masuk dan melintas di jalan ini. Orang-orang yang berlalu-lalang dipaksa menyingkir dan harus memiringkan tubuhnya menghindari kemungkinan terserempet motor atau mobil yang lewat. Apa yang dikeluhkan oleh Dedy tersebut diiyakan oleh Dewi, salah satu mahasiswi antropologi UI.
Sedangkan Rina Mahasiswi Psikologi, yang berkost di Jl. Kober, menyatakan bahwa “Jl. Sawo menarik karena sempit, dan terkesan padat. Kita berjalan, sambil bersenggolan. Saya lewat Jl. Sawo karena letak kost berhadap-hadapan dengan Jl. Sawo. Jalan ini enak karen banyak pedagang cemilan kalau mau ngerjain tugas kita belanja cemilan dulu disini, dibawa terus ke kos”.
“Iya, kita ini kan pengennya bisa jalan dengan nyantai, bisa tengak-tengok kiri-kanan sambil lihat-lihat pedagang. Tapi kalo suka ada mobil sama motor lewat situ dan agak nyrempet-nyrempet gitu ya pasti gak nyaman. Masak jalan segitu dilewatin mobil ya gimana. Tapi juga susah kali ya soalnya tempat parkir di bagian luar sana gak ada, mungkin itu juga kali yang bikin motor suka masuk situ.”
Kesan semrawut dan sesak seperti yang dimunculkan oleh Dedy dan Dewi tadi tidak sepenuhnya diamini oleh Cak Tarno. Ia mengatakan bahwa mobil yang suka melintas di Jalan itu adalah mobil milik penduduk setempat.
“Gini, dulu Jalan Sawo ini kan tidak ada. Yang ada cuma jalan setapak dari tanah yang suka becek kalo hujan. Lalu ketika UI mulai ramai dan banyak dilewati orang. Para warga di sini sepakat untuk sedikit memperlebar jalan dan dibangun ala kadarnya. Dan warga juga sepakat kalo jalan ini bisa dilalui kendaraan oleh warga di sini sendiri. Itulah sejarahnya. Mobil yang lewat itu ya milik warga sini. Jadi kalo ada orang yang kesal karena jalan sempit kayak gini kok dilewati mobil, berarti dia tidak tahu sejarahnya.”
Kesan semrawut dan sesak dari Jalan Sawo ini tetap tidak bisa mengurangi intensitas pedagang dan pejalan kaki. Para pedagang pun tentu saja lebih senang dengan kondisi seperti itu karena semakin sesak keadaannya maka potensi setiap orang untuk melirik dan mampir ke tokonya akan semakin besar. Tidak sedikit pula pejalan kaki yang sudah mengendapkan dalam pikirannya bahwa Jalan Sawo merupakan alternatif untuk mendapatkan sesuatu barang yang diinginkannya. Kiki dan Juna misalnya, tidak pernah merasa khawatir jika tiba-tiba ia tidak membawa peralatan tulis karena Jalan Sawo telah “menyediakannya.” Para pedagangpun mengerti bahwa kebutuhan setiap pejalan kaki harus bisa dipenuhi oleh mereka.
Siasat di Jalan Sawo
Menjadi semakin menarik karena harga yang tersemat di setiap jenis barang dagangan relatif lebih murah dibanding dengan harga-harga yang ada di tempat lain. Dalam hal pakaian dan buku-buku misalnya, bisa dipastikan lebih murah jika dibanding dengan membelinya di supermarket atau toko buku terkenal seperti Gramedia. Di situlah letak kepiawaian para pedagang untuk menyajikan barang dagangan dengan kualitas yang baik dan harga yang murah. Untung sedikit tidak menjadi soal asalkan peredaran uang tetap terjaga antara modal dan pengeluaran.
Studi empiris menyebutkan fungsi-fungsi dari ruang publik akan optimal jika memiliki karakteristik sebagai berikut (1) Memiliki tingkat kemudahan akses dari ruang publik ke jalan-jalan yang mengelilinginya. (2) Kepadatan dari pergerakan orang-orang di jalan-jalan sekitarnya. (3) Memiliki trotoar untuk pejalan (pedestrian) yang memungkinkan mereka berhenti sesaat. (4) Memperkirakan durasi berhenti sesaat dengan laju para pejalan. Ruang publik yang hidup lebih sering berhubungan dengan tingkat pergerakan yang tinggi di jalan-jalan yang mengelilinginya (5) Orientasi pada kenyamanan, selain itu orang akan betah berlama-lama di jalan jika mengalami pengalaman ruang yang indah. (6) Memperkirakan kehadiran ritel dan sarana istirahat. Adanya ritel, menyebabkan orang ‘ruang publik’ menjadi hidup. Kehadiran ‘para pengguna’ ruang publik merupakan ‘ciri kehidupan’ ruang publik. (7) Keteduhan sebuah kota yang sehat memberikan udara bersih untuk warganya. kanopi pohon, selain memberikan keteduhan bagi yang dibawahnya, juga sebuah produsen udara. Jalan Sawo setidaknya memiliki 5 karakter jalan sebagai ruang publik. Bahkan imaji jalan Sawo terbawa pula pada karakter sebuah jalan di kompleks pendidikan di Medan.
Jalan Sawo menarik karena sempit dan banyak orang jualan, pernah waktu di Medan ada jalan sejenis, namanya Pajak USU (Pajak sama dengan Pasar dalam bahasa Medan, USU adalah Universitas Sumatera Utara) jalan ini bersebelahan dengan kampus USU, ‘Anak-anak Mapala UI merasa seperti di rumah sewaktu melawati jalan ini, kalau di Depok namanya gg. Kober, kata anak-anak Mapala waktu mampir ke tempatku’, sehabis turun gunung Leuser”, menurut Dedi, mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer UI.
Ciri ritel kaki lima di jalan Sawo mendekati ciri-ciri kaki lima pada umumnya karena sifatnya yang informal, sehingga siasat-siasat yang dibangun oleh pedagang kaki lima menjadi sangat khas. Karakteristik khas tersebut diantaranya ialah sangat mudahnya untuk memasuki sektor informal dan khususnya PKL tersebut karena kemudahan memasuki sektor yang disebabkan karena tidak dibutuhkan kualitas keterampilan yang tinggi dan biaya-biaya transaksi (transaction costs) yang sangat rendah. Biaya-biaya transaksi yang dimaksud berupa biaya-biaya dan waktu negosiasi, informasi, mendapatkan izin, kontrak, monitoring dan peneguhan kontrak yang sangat rendah. Mudahnya keluar masuk pedagang kaki lima dapat dilihat dari pengalaman Babe dan Alfred berikut ini.
Babe memulai usahanya kira-kira 6 bulan lalu. Sebelumnya ia berjualan minuman di Terminal Kampung Melayu. Babe begitu ia merasa nyaman dipanggil, adalah perantau dari tanah Minang, sudah sejak awal 80’an berjualan di Jakarta. Pindahnya ia dari menjual minuman ke penjual pakaian di jalan Sawo disebabkan usianya yang menua dan kondisinya yang sakit-sakitan dalam setahun terakhir. Umur Babe sekitar 60 tahun. Ia mengetahui jalan Sawo sejak lama, anaknya telah lama berjualan ATK di Sawo Dalam (deretan stasiun).
Kios Babe nampak bersih, dengan warna dominan putih dengan diseling hijau, kios ini memiliki kesan luas, walau ukuran kios Babe hampir sama dengan kios disebelahnya, sekitar 1,5 x 1,5 m2.
Alfred bercerita bahwa sebelumnya ia berdagang voucher dan ketela dengan merek dagang “Telo.” Untuk usaha voucher ia menutupnya dengan alasan keamanan. Menurut dia, pegawainya sering diintimidasi oleh beberapa orang suruhan dari pedagang voucher lainnya, karena ia menjual harga paling murah di sepanjang jalan itu. Pedagang lainnya seolah tidak suka dengan caranya berdagang, walaupun menurutnya harga yang ditawarkannya sudah lazim di daerah Jakarta. Harga tersebut bukan untuk menjatuhkan atau merusak pasar, namun ia memang sebelumnya berdagang voucher dengan harga yang sama seperti yang ia bandrol di Jl. Sawo.
Dari sisi penyediaan ruang maka konsep aglomerasi berlaku di jalan Sawo. Aglomerasi dalam ekonomi merupakan proses pengelompokkan jenis usaha, yang memiliki kecenderungan yang sama (satu jenis). Sedangkan secara umum aglomerasi didefinisikan sebagai konsentrasi spasial dalam pemanfaatan ruang. Di jalan Sawo aglomerasi terlihat seperti ‘latah’, duplikasi atas kecenderungan kesuksesan usaha tertentu. Aglomerasi juga beroperasi dengan cara pengelompokkan dengan sengaja usaha-usaha, unit bisnis (toko, kios, pabrik, perkantoran, dll) yang membentuk rantai dagangan sejenis. Menurut teori lokasi, aglomerasi dapat menciptakan berbagai dampak eksternalitas (dampak negatif terhadap ekonomi kota/komunitas sendiri) khususnya yang menimbulkan besarnya biaya-biaya sosial sehingga menimbulkan inefisiensi. Seperti kasus-kasus pedagang kaki lima di jalan raya, yang kemudian menimbulkan ekonomi biaya tinggi, seperti pungli, kenaikan penggunaan bahan bakar karena kemacetan, sampah, dan lain sebagainya. Dalam ekonomi wilayah karakter dari aglomerasi mencirikan tingginya land rent lokasi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari tingginya persaingan untuk mendapatkan tempat di jalan Sawo, dan makin ‘kecilnya’ ruang fisik (representional space) yang dijadikan kios. Namun hal ini tidak menjadikan jalan Sawo sepi, hal ini disebabkan oleh permintaan akan ruang terus bertambah.
“Awalnya saya dengan istri sedang makan di Es Pocong. Tanpa sengaja bertemu dengan saudara saya. Dia punya satu tempat kecil di sini yang ia pakai untuk jualan ketela. Dia mengajak saya dan memperlihatkan bisnisnya. Ketika saya mulai masuk ke jalan ini, saya berpikir, wah gila juga nih jalan, rame banget. Waktu itu, saudara saya itu mau menjual hak sewa tempatnya berjualan itu ke saya karena dia mau pindah dengan tawaran harga 7 juta rupiah setahun. Wah mahal juga, pikir saya. Tempat yang sangat kecil itu, berukuran tidak lebih dari dua meter, tempatnya juga tepat di depan pagar pemilik rumah, jadi kalau pemilik rumah mau mengeluarkan motor, ya harus minggir dulu ternyata bernilai segitu. Lalu saya dipertemukan dengan pemilik tempat itu. Saya tidak langsung ambil, tapi ngobrol dulu dengan istri. Beberapa hari kemudian saudara saya SMS, ya udah saya iyakan tapi nego dulu. Akhirnya bisa dapet 5 juta pertahun. Tempat itu saya pake untuk jualan ketela juga sekalian jualan voucher".
Dari tahun ke tahun menurut Alfred harga kios disini naik. Selain peminatnya banyak, disini juga mudah ‘keluar-masuk’ (entry market), dan mengubah serta meragamkan jenis usaha. Banyak juga para pedagang yang gagal, berubah haluan, atau over kontrak. Jika pedagangnya kaya, seperti penjual pakaian di depan kiosnya, dengan biaya mahalpun masih memiliki kesanggupan membayar sekitar 6 jutaan (harga lama) atau 8-12 juta (harga baru) untuk ukuran kios 2-3m2. Sedangkan harga kios tenda/awning sekitar 400 ribu per bulan. Selain membayar kios, mereka juga diwajibkan membayar uang keamanan, sekitar Rp. 20.000,- per bulan. Pengemispun menurutnya dikenai ‘uang sewa’ walaupun ia tidak bisa mengatakan angkanya. Menurutnya informasi mengenai cara menyewa lapak (ruang) atau kios tersebut cukup jelas dan mudah diakses.
Dalam sistem pasar seperti ini keputusan memanfaatkan ruang memiliki kecenderungan dengan mempertimbangkan ricardian dan locational rent sebagai mana disebut economic land rent atau land rent. Karena land rent merupakan dinamisator dari perubahan penggunaan lahan, sehingga jika land rent tidak memperhitungkan environmental rent, maka perkembangan economic rent cenderung ke arah merusak lingkungan. Dalam kasus jalan Sawo terjadi kesepakatan-kesepakatan untuk menjaga agar eksternalitas negatif dari aglomerasi seperti di atas tidak terjadi, seperti premanisme, pencurian, sampah yang berceceran dan lain-lain. Kesepakatan ini selain tertulis (bisa juga tidak) juga membutuhkan peneguhan (enforcement) atasnya, dan biasanya enforcement itu membutuhkan biaya-biaya, yang oleh kalangan bisnis akan dimasukkan ke dalam biaya operasional/produksi) sebagai internalize external cost-seperti biaya sosial dan biaya lingkungan.
Premanisme menurut pak Helmi tidak ada di wilayah ini, terutama yang terkait dengan jalan Sawo karena warganya kompak, para pemilik kios/tempat dan rumah. Termasuk komitmen Stasiun untuk memelihara daerah sekitarnya. Stasiun memberikan kontribusi yang cukup untuk keamanan dan kebersihan sekitar stasiun, dibayarkan kepada RT/RW.
Kesepakatan semacam ini dalam ekonomi ruang disebut sebagai aglomeration force yaitu suatu kekuatan ekonomi yang mengakibatkan aktor-aktor ekonomi berkumpul/lebih terkonsentrasi pada satu titik. Hal ini disebabkan oleh adanya kerjasama untuk memanfaatkan skala ekonomi , skala ekonomi tersebut hadir ketika ada potensi untuk mengambil laba dari setiap orang yang lalu-lalang dengan kerjasama antara penjual barang yang sejenis. Biasanya dalam produk ritel skala ekonomis terjadi ketika ada saling bantu-membantu dalam hal penyediaan barang dengan asumsi barang yang dijual merupakan barang industri-massal, sedangkan pada barang yang sifatnya pesanan (custom made) skala ekonomi ini dicapai oleh kuantitas barang yang terjual. Dalam beberapa kasus di jalan Sawo skala ekonomis ini terjadi seperti dalam kerjasama antar pedagang DVD atau Cak Tarno dengan pedagang buku lainnya.
Jalan Sawo ini menurut ibu Erik semakin banyak peminatnya, semakin menjanjikan keuntungan sekaligus memberikan pesaing. Ia menunjuk beberapa penjual buku yang baru membuka toko sekitar 3-4 tahun belakangan. Salah satunya yang ada di dalam stasiun dan berseberangan tokonya. Namun menurutnya rezeki itu tidak lari kemana-mana. Di kalangan penjual buku saling memberikan bantuan jika memiliki pelanggan yang mencari suatu buku. Cak Tarno lari kesini kalau butuh barang.
Sedangkan buku yang dijual di toko buku Erik kebanyakan buku teks kuliah. Jika permintaan buku banyak maka ia akan menyediakannya, tapi TB. Erik ini tidak mencoba melayani permintaan perorangan. Karena sudah lama berkecimpung dalam perbukuan, lebih dari 15 tahun, ia sudah mengetahui buku apa yang dibutuhkan mahasiswa. Ia juga mencarinya lewat mata kuliah atau kurikulum di fakultas, informasi juga di dapatkan dari dosen dan mahasiswa, mengenai buku-buku yang digunakan dalam mata kuliah semester berjalan. Menurutnya judul-judul buku untuk S1 relatif sama dari tahun ke tahun.
Aglomeration force berhenti bila tercapainya normal profit sehingga kompetisi antar pedagang berubah menjadi kompetisi kualitas dan biaya-biaya produksi, yang bisa menyebabkan efisiensi dan keuntungan secara ekonomi. Di jalan Sawo hal ini dapat dilihat dari bubarnya beberapa usaha franchise kelas kaki lima seperti Cireng Bandung, Cimol, dan beberapa produk keripik singkong/kentang. Untuk memenangkan persaingan bagi penjual makanan yang harus memiliki resep yang khas maka usaha yang dilakukan adalah menjaga rasa, kualitas bahan baku, yang ternyata secara ekonomis menghasilkan penghematan.
Mengenai produk yang dijualnya Alfred mengatakan, “ Saya selalu ingin memberikan yang terbaik pada konsumen, seperti memakai susu segar dibandingkan dengan susu kaleng kental manis. Dengan sedikit tambahan modal. (susu segar lebih mahal dari susu kental manis), rasa ‘boleh diadu’. Padahal menurutnya susu segar ‘lebih hemat’ dibandingkan susu kental manis, lebih hemat jika sudah dicampur dengan pemakaian gula, karena menurutnya dengan memisahkan gula dan susu, konsumennya memiliki alternatif sesuai selera, ingin susu sedikit atau ingin lebih manis, atau ingin yang tidak terlampau manis. Dan setiap kali meracik menu kopi, ia akan menawarkan pilihan tersebut. Selain penghematan secara dilihat dari sisi pasar (permintaan) hal ini akan menyenangkan konsumennya.
Berbeda dengan yang dilakukan oleh Gondrong dan Babe, penjual DVD, ia semakin memperhatikan pesanan konsumennya, tanpa lupa meningkatkan kapasitasnya untuk mempelajari produk yang dijualnya (product knowlegde).
Pelanggan saya lumayan bos. Kalo udah mesen, saya juga suka kewalahan soalnya mereka lebih jago masalah film. Saya suka ke internet bos. Brosing sebentar film-film yang sedang tren, trus saya cari di Glodok. Gile bos, anak-anak sini cepet banget taunya. Kalo kita gak ngerti, bisa-bisa ketinggalan ma mereka. Biasanya si yang dicari kayak film-film kartun ma film-film drama romantis Korea gitu.
Kapasitas berperilaku seperti ini menurut Levebre (2001) adalah spatial practice (praktek spasial) yang mencakup kegiatan produksi dan reproduksi, dan lokasi tertentu serta karakter wilayah dari pembentukkan sosial. Praktek spasial ini menjamin keberlanjutan dan tingkat kohesi sosial. Dalam konteks ruang sosial dan anggota di dalamnya maka kohesi sosial ini berimplikasi pada tingkat kemampuan dan tingkat keragaan (kemampuan mencapai hasil). Dalam praktek spasial ini individu berperilaku partikular, intensional.
Kehendak dan Kekuasaan di Jalan Sawo
Jalan Sawo merupakan ruang penuangan fantasi dan kreatifitas para penggunanya. Lebih tampak lagi adalah berbagai kreatifitas yang dilakukan oleh para pedagang yang ada di dalamnya. Kreatifitas itu tentu saja tidak semata-mata karena muncul dari dorongon pribadi mereka, melainkan juga karena interaksinya dengan orang lain. Tindakan, dikonsepsikan oleh Marx sebagai suatu praxis, penyaluran kemampuan subjektif dalam suatu ruang dan waktu tertentu sebagai proses dialektis dan historis antara subjek dengan dunia material mereka (Turner, 2008: 51-52).
Beberapa pedagang yang ada di Jalan Sawo tampaknya mulai menyadari bahwa salah satu persoalan dalam dunia dagang sangat terkait dengan permodalan dan pemutaran uang. Semata-mata mengandalkan keuntungan untuk dialokasikan dalam memenuhi kebutuhan yang lain sepertinya tidak cukup menyiasati permodalan mereka. Dalam rangka menjaga stabilitas keuangan itulah, selain menggantungkan diri pada penjualan, beberapa pedagang melakukan arisan sebanyak seratus ribu rupiah setiap minggu. Baik di bagian depan maupun bagian dalam Jalan Sawo ini memiliki kelompok arisan sendiri-sendiri. Dengan jumlah anggota minimal 10 orang di setiap kelompok, maka setiap minggu mereka bisa mendapatkan 1 juta rupiah yang bisa digunakan untuk menyiasati permodalan dan kebutuhan yang lain.
Arisan itu pula yang membuat hubungan antar pedagang menjadi lebih erat. Kompetisi berdasarkan ekonomi tidak kemudian menyebabkan hubungan sosial di antara mereka menjadi luntur. Pengakuan Teti bahwa semua pedagang di situ sudah seperti saudara seolah-olah ingin menunjukkan adanya hubungan sosial yang dilandasi semangat kebersamaan ketimbang berdasarkan kebutuhan ekonomi semata-mata. Lebih ringkasnya, dibalik yang ekonomi juga diperlukan sesuatu yang lebih sosial, yaitu keterjalinan hubungan kekeluargaan yang dirajut melalui jalur ekonomi.
Bahkan, dalam konteks hubungan sosial itu pula, Babe yang selalu memberikan setoran ke aparat kepolisian juga telah menganggap bahwa antara dirinya dengan beberapa aparat itu juga layaknya saudara. Ia yang di suatu waktu tampak mengeluh dengan kewajiban menyetor uang mingguan ke aparat kepolisian, tetapi juga tampak senang dengan kedekatan hubungannya dengan beberapa aparat tersebut. Tampaknya, Babe cukup mengerti mana “kewajibannya” untuk menyetor sebagai tebusan terhadap tindakan yang dinilai “melanggar hukum” dan mana hubungan pribadinya dengan aparat yang menurutnya cukup dekat itu.
Lain halnya kreatifitas yang dibangun oleh Gondrong. Salah satu penjual CD/DVD bajakan di Jalan Sawo itu mengaku bahwa dirinya kini sangat piawai untuk menjelaskan setiap genre film, termasuk cerita setiap film yang ia jual. Keinginan setiap pembeli yang kebanyakan adalah mahasiswa juga menuntutnya untuk selalu mencari tentang film-film terbaru melalui internet. Jika hanya sekedar menceritakan film, hal itu merupakan sesuatu yang mudah karena ia cukup menonton terlebih dahulu lalu esoknya ia bisa ceritakan ke setiap pembeli. Tetapi mengetahui film yang sedang jadi kegemaran calon pembeli harus diimbangi oleh pengetahuan tentang genre film itu sendiri, seperti film Korea romantis, film drama Hollywood, termasuk kualitas gambar, alur cerita, dan sebagainya yang sedang menjadi incaran para pembeli.
Untuk menambah kepercayaan bagi para pembeli dan pelanggannya, Gondrong hanya mau menjual film-film yang menurut mereka sudah ori, yaitu film dimana gambar, suara, dan juga terjemahannya sudah cukup bagus. Meskipun film tersebut merupakan bajakan, tetapi ia memiliki kualitas seperti yang asli (original). Kepiawaian ini tidak banyak dilakukan oleh rekannya, Henri. Pedagang yang satu ini tidak begitu gencar untuk pergi ke internet mencari informasi tentang film-film baru yang sedang trend di luar negeri. Karena itu pula ia kerap ketinggalan informasi dibanding oleh para pembeli sendiri.
Untuk menghindari pencidukan dari aparat kepolisian, seluruh pedagang CD/DVD bajakan di jalan Sawo ini sepakat untuk tidak menjual film-film porno. Menurut Henri, sewaktu razia dilakukan, maka film-film porno merupakan target utama. “Kami di sini semua sudah gak mau jualan S3 (film porno) mas. Malahan, kalau ada yang nanya ada S3, malah dicengin (dipermalukan) gitu. Caranya, sewaktu dia nanya sambil bisik-bisik, kita malah kencengin aja; apa? S3? seolah-olah kita gak denger. Dia jadi malu sendiri,” ujar Henri.
Proses kegiatan ekonomi ternyata selalu beriring dengan proses sosial. Pilihan beberapa pedagang yang tidak selalu ajeg dan stabil dalam menjual sesuatu juga diakibatkan oleh hubungan mereka dengan lingkungan sosialnya, terlebih khusus dengan para pejalan kaki yang ada di situ. Pengamatan di awning kaos milik Agus sangat menunjukkan hal itu. Di etalase awningnya, menempel beberapa stiker ‘kolektif punk’ ada beberapa koleksi CD musik dan kaset lawas, poster Mr. Smith, vokalis dari kelompok The Cure, serta poster kelompok musik Wezeer. Ada sekitar 25 kaset dan CD dalam etalase tersebut, dan sekitar 60 kaos yang dipajang di gantungan baju. Rata-rata untuk jenis kaos unisex bertemakan kelompok musik, terutama kelompok musik dari Barat, Eropa dan Amerika Utara, ada juga yang dari Eslandia seperti Bjork, yang tahun kemarin sukses manggung di Indonesia. Dari dalam negeri diwakili oleh BurgerKill, group musik dari Bandung, Marjinal dari Jakarta. Agus sendiri mengaku mengenal pemiliknya yang merupakan anggota kelompok punk dari Bojong Gede, menurut Agus cukup terkenal di kalangan punk di Jakarta dan Depok. Untuk jenis kaos perempuan, kebanyakan bergambar kartun, seperti Doraemon, Emily, tokoh kartun Manga, dan beberapa tokoh lainnya.
“Disini kami lebih banyak menerima pesanan kaos. Keuntungannya lebih banyak dari sana. Termasuk kaos-kaos kartun ini, awalnya kami buat berdasarkan pesanan. Karena seringnya ada yang bertanya tentang desain kartun akhirnya kami mencoba mengikuti pasar. Tadinya kami hanya menjual kaos dengan gambar atau nama kelompok musik saja, tidak menjual kaos bergambar kartun. Kebanyakan yang membeli kaos kartun ini adalah perempuan. Dan pembeli kami sekarang seimbang, tapi dari pengalaman kami ada kenaikan pembeli perempuan,” ujar Agus.
Sedangkan Cak Tarno, selain bermotif ekonomi ia juga memiliki kepentingan lain dalam menjual buku-buku di jalan itu, yaitu sebagai ruang transformasi diri. Sejak tahun 1995, ia berdagang di bagian dalam menjual buku-buku manajemen. Lalu tahun 1998, ia pindah ke bagian depan karena ia tidak mampu membayar sewa. Tetapi, pada tahun 2002 ia pindah lagi di tempat yang sekarang ini ia jadikan sebagai berdagang sekaligus tempat berdiskusinya beberapa orang yang konsen di bidang ilmu-ilmu sosial. Kepindahannya ke tempat yang sekarang ini pun berkat kebaikan pemilik rumah yang memberikan tempat untuk dijadikan sebagai toko buku, hingga Cak Tarno pun membayar sewa tempat itu dengan sangat murah.
Cak Tarno sendiri mengatakan bahwa buku-buku yang dijual di jalan itu pun kebanyakan buku-buku manajemen dan hukum. Ia lalu mencoba menjual buku-buku ilmu sosial dan sastra yang ternyata sangat menarik minat pembeli. Cak Tarno yang hanya lulusan SD ini mengatakan bahwa strateginya berdagang buku sangat berbeda dengan pedagang buku yang lain. Ia mengaku bahwa dirinya telah “menyatu” dengan pembeli, dalam arti ia tidak mau mengambil jarak dengan mereka. Jika pembeli ingin melihat dan membaca terlebih dahulu buku yang diminati, maka Cak Tarno tidak pernah keberatan. Di sisi lain, Cak Tarno memang suka membaca buku-buku tersebut, sehingga ia sangat fasih menjelaskan isi buku tersebut. Pergaulannya dengan beberapa mahasiswa – yang kemudian mendirikan Cak Tarno Institute – semakin menambah pengetahuannya. Beberapa teori dalam bidang ilmu sosial, khususnya filsafat pun ia lahap.
Kemampuannya mentransfer pengetahuan kepada pembeli itulah yang membuat para pembeli merasa dipermudah untuk mencari buku-buku yang sesuai dengan minat mereka. Pilihan strategi seperti ini memang memiliki dampak tersendiri baginya. Selain ia sendiri merasa bertambah wawasannya, ia juga menjadi sangat dikenal sebagai penjual buku dengan cara yang cerdas. Dan jika dibandingkan dengan pedagang buku yang lain di Jalan Sawo, tampaknya Cak Tarno masih satu-satunya yang memiliki kemampuan seperti itu. Sayang, menurut Cak Tarno, ruang diskusi dan berbagi pengetahuan yang kerap ia gelar tidak banyak diikuti oleh mahasiswa UI seolah-olah diskusi menjadi sesuatu yang tidak penting lagi.
Apa yang menarik dengan mengamati Jalan Sawo adalah keberadaannya sebagai tempat (place) dan ruang (space) bagi tindakan sosial yang bermakna. Konsep ruang sendiri pada awalnya banyak terinspirasi dari kajian tentang geografi, tetapi kemudian mengalami perkembangan ketika ia dimasuki oleh kajian ilmu sosial. Penyebutan ruang sebagai pilihan memiliki implikasi konseptual ketimbang menyebutnya sebagai tempat.
Harvey mengemukakan bahwa suatu tempat tidak semata-mata objek fisik semata, melainkan juga suatu ranah pengalaman, imajinasi, harapan, emosi, dan fantasi (Harvey, 2004: 102). Dalam konteks itu pula, Werlen (2006) menambahkan sentuhan kritis tentang tindakan agen dalam suatu ruang. Menurutnya, ruang menjadi bermakna ketika setiap subjek atau agen bertindak untuk mengekspresikan subjektifitasnya terhadap kondisi material yang ada di sekitarnya. Teori ini kemudian dikenal sebagai geografi sosial berorientasi tindakan (theory of action oriented social geography) (Werlen, 2006: 7). Teori ini merupakan kritik terhadap pemikiran Lefebvre (2001) mengenai praktik spasial (spatial practice) yang dinilai bernuansa materialisme vulgar karena menganggap bahwa ruang merupakan komponen utama dari terbentuknya perilaku sosial, sedangkan perilaku merupakan akibat dari respon yang dirangsang oleh ruang material. Pemikiran ini, menurut Werlen telah jatuh pada reifikasi terhadap ruang dan reifikasi terhadap relasi produksi karena menganggap bahwa yang sosial hanya mewujud di dalam yang material. Sementara tindakan justru memiliki sisi sosio-kulutual seperti nilai-nilai dan norma-norma yang tidak bisa direduksi pada telaah fisik dan biologis semata.
Sebagai kritik terhadap praktik spasial Lefebvre, Werlen memberikan rumusan tentang proses tindakan subjek yang muncul dalam ruang tertentu. Menurutnya, setiap tindakan selalu mengandung empat urutan (sequence) proses, yaitu: proyeksi tindakan, pendefinisian subjek terhadap situasi, realisasi tindakan, dan konsekuensi tindakan. Keseluruhan urutan proses tindakan tersebut bukan suatu ranah yang bisa diamati (observable) karena terletak pada intensionalitas subjek, bukan pada respon yang muncul sebagaimana dikonsepsikan oleh para teoretisi perilaku (behaviorist).
Dalam setiap tindakan yang dilakukan para subjek dalam ruang itu pula Bourdieu menambahkan sentuhan mengenai perlunya melihat kekuasaan dalam setiap interaksi yang terjadi (1991). Konsep kekuasaan sendiri banyak terinspirasi oleh Foucault (1980) yang memaknai kekuasaan (power) sebagai suatu situasi strategis yang dimiliki dan dioperasikan oleh setiap individu dalam setiap relasi dengan yang lain. Dalam konteks ini, maka kekuasaan bukanlah suatu kekuatan yang dominan dan hanya dimiliki oleh kelompok tertentu, melainkan menyebar dan terdapat pada setiap individu.
Ruang sosial (social space), menurut Bourdieu selalu terkait dengan berbagai modal – ekonomi, sosial, dan budaya - yang melecut beroperasinya kuasa. Keberadaan RT, keamanan, aparat kepolisian dengan kontrol yang dimanifestasikan melalui regulasi, retribusi, dan permintaan setoran menunjukkan bagaimana kekuasaan itu bekerja dengan masing-masing modal yang dimilikinya. Di sisi lain, para pengemis, pengamen, atau waria yang suka bertindak di jalan tersebut juga menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan.
Beberapa pengemis yang tidak penah absen menjelepok di Jalan Sawo ini menurut Cak Tarno dan juga Alfred bisa mendapatkan penghasilan harian hingga mencapai 300 ribu rupiah, suatu jumlah penghasilan yang cukup lumayan. Cak Tarno yang berdagang buku di dekat tempat mangkalnya pengemis itu tampaknya mengerti betul bagaimana kehidupan pengemis tersebut.
“Itu (pengemis) yang suka mainin suling itu ya di situ terus. Pengemis itu sebenarnya bukanlah tergolong orang miskin karena mereka itu rata-rata memiliki rumah di kampungnya. Dulu, penghasilan pengemis itu bisa 300 ribu perhari. Tapi sekarang menurun karena orang-orang di sini sudah tau kalo dia itu bukan pengemis miskin yang sebenarnya. Gimana mau dibilang miskin kalo tiap datang dan pulang dia diantar oleh seseorang bersepeda motor. Dia sih ngakunya itu tukang ojek. Tapi sebenarnya bukan. Itu ya dari kelompoknya sendiri,” ujar Alfred.
Beragam tindakan yang dilakukan oleh para aktor yang ada di Jalan Sawo, dari mulai cukup menggambarkan adanya suatu keterjalinan hubungan antara jalan sebagai wilayah material dengan manusia sebagai subjek yang kreatif. Berbagai gambaran secara etnografis di atas cukup menggambarkan bagaiamana kreatifitas tersebut dibentuk dalam rangka mengembangkan suatu kehidupan dan relasi sosial yang konstruktif. Melalui Jalan Sawo itu pula menjadi tampak jelas untuk merelevansikan antara basis produksi material dengan superstruktur yang dijembatani melalui tindakan.
Tidak seperti asumsi beberapa kelompok materialis vulgar yang menganggap bahwa wilayah material berada sebagai fakta eksternal yang membentuk relasi dan kesadaran sosial, Avineri (1968) dengan menafsirkan postulat Marx mengenai kerja mengatakan bahwa kekuatan produksi yang termanifestasikan pada kondisi material bukanlah realitas objektif yang berada di luar (external) dari kesadaran manusia, sebaliknya, ia justru merepresentasikan organisasi kesadaran dan tindakan manusia yang terbentuk dalam relasi-relasi sosial yang konkret. Melalui relasi sosial, tindakan berdasarkan kesadaran itulah yang akan membentuk dan mengubah kehidupan dunia secara terus-menerus (Avineri, 1968: 76-77).
Simak saja apa yang pernah diungkapkan oleh Teti, pedagang masakan padang dan juga pedagang aksesoris itu sangat mengerti betul pada saat kapan para mahasiswa sedang ujian sehingga ia juga harus menyiapkan barang dagangan seperti ATK dengan jumlah yang lebih banyak dari hari biasanya karena sangat potensial akan dibeli oleh para mahasiswa yang lewat. Demikain halnya yang dilakukan oleh Cak Tarno yang selalu memperkaya diri dengan penambahan pengetahuan melalui pembacaannya terhadap buku-buku dan juga diskusi (relasi sosial dan intelektual) dengan beberapa mahasiswa telah membentuk tindakan dan pengetahuan yang selalu berubah.
Tindakan kreatif yang dilakukan oleh para subjek di Jalan Sawo itulah yang pada akhirnya akan membentuk suatu dialektika transformasi – Marx menyebutnya sebagai Aufhebung (transformasi)- yang mendorong kemampuan progresif dan memperluas kapasitas manusia untuk menjalani dan menjelaskan dunia, bukan karena wilayah material seperti Jalan Sawo itu sebagai sesuatu yang apa adanya, sebaliknya, para subjek itulah yang membentuk keberadaan (eksistensi) dunia material Jalan Sawo melalui relasi sosial mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui tindakan berdasarkan kesadaran dalam kehidupan sosial itulah maka kebudayaan juga terbentuk. Berbeda dengan pemahaman tentang kebudayaan sebagaimana yang selama ini mengemuka dimana kebudayaan kerap digambarkan sebagai sesuatu yang statis, diwariskan dan lestari, maka kebudayaan dalam konteks kehidupan di Jalan Sawo adalah berbagai relasi yang terjalin antara subjek yang bertindak secara kreatif. Kebudayaan bukanlah definisi, melainkan praktik atau tindakan-tindakan manusia itu sendiri dalam suatu ranah historis tertentu (Roseberry, 1997: 31). Dengan pengertian lain, kebudayaan selalu dikonstruksi oleh para subjek melalui praksis secara terus-menerus.
Meminjam istilah Giddens dalam Muttaqien (2008) bahwa aturan (rule) merupakan bagian dari kemampuan untuk mengetahui dan dasar dari tindakan. Jika setiap tindakan mereka merupakan bagian dari sosial maka diperlukan sumberdaya sosial untuk mencapai hasil. Giddens, melihat bahwa kekuasaan bukanlah sebuah sumberdaya. Pemakaian sumberdaya seketika menghasilkan kekuasaaan. PKL menggunakan sumberdayanya untuk memenuhi kepentingannya, berinteraksi, dan akhirnya melalui pembiasaaan (routinization) dan pemosisian (regionalization) para PKL mampu mempertahankan eksistensinya. Pemosisian ini memungkinkan PKL mereproduksi hubungan-hubungan yang lintas waktu dan tempat. Namun pemosisian membutuhkan tempat tetap (representational space) untuk menghadirkan interaksi tersebut, kebutuhan akan tempat yang tetap ini bagi para PKL bukan cuma mempertahankan rezeki, namun juga mempertahankan relasi (kepercayaan) yang merupakan motif tak sadar dari setiap tindakan. Sedangkan rutinisasi (pembiasaan) membutuhkan interaksi yang menerus, memainkan peran dan memahami situasi. Baik rutinisasi dan pemosisian keduanya memproduksi dan mereproduksi kepercayaan (trust) sebagai basis interaksi, yang bermuara pada kata konsensus. Pengalaman pedagang kaki-lima dengan pelanggannya merupakan sejenis sumberdaya, yang dalam kasus pedagang kaki lima di jalan Sawo ini mampu direproduksi. Pertama, para pedagang mengakumulasikan pengalamannya, lewat transaksi yang berulang dan membangun kepercayaan. Kedua, interaksi yang dilakukan antara pedagang dan pelanggan merupakan transfer pengetahuan, cuma dalam tahap ini pelanggan/pembelilah yang lebih banyak menuntut agar pedagang memiliki pengetahuan tentang produk, di tahap ini terjadi transfer pengetahuan. Ketiga, tuntutan untuk mengetahui produk yang di jual dijawab oleh para pedagang dengan mempelajari fitur produk, sejarah, dan isi dari produk itu sendiri. Kasus Cak Tarno dalam menjual buku atau Si Gondrong dalam menjual DVD atau Babe dalam menjual baju/kaos merupakan contoh tahap ketiga yaitu ketika pedagang melakukan suplai pengetahuan kepada pelanggannya.
Babe belajar untuk mengenal apa yang dia jual dari pembelinya, dan ia sudah mulai melihat trend, dari apa yang dipakai mahasiswi yang lalu-lalang, atau dari langganan yang menanyakan motif kaos tertentu. Babe mencari tahu juga apa yang tidak dijual sesama penjual kaos di jalan itu, walaupun menurutnya pemasok kaos atau tempat membeli kaos tersebut sama, di Pasar Pagi Mangga Dua atau di Tanah Abang. Ia walaupun baru tujuh bulan berdagang sudah bisa menjelaskan bagaimana kebiasaan mahasiswi/mahasiswa yang lewat, apa maunya-sekedar melihat-lihat atau memang ingin membeli, dan mengamati langsung trend yang sedang digandrungi.
Pengetahuan Babe dan pedagang lainnya dalam menilai apa yang dibutuhkan oleh pembeli hanya bisa dilakukan lewat interaksi yang cukup intens dengan ‘barang dagangan’ sebagai titik singgungnya. Intensitas hubungan ini dalam bahasa ekonomi menimbulkan ‘kepercayaan’ yang oleh merupakan unsur utama dalam transaksi atau relasi jangka panjang. Unsur kepercayaan inilah yang dijaga sebagai sebuah modal untuk bertahan hidup, karena di dalamnya terkandung (embedded) unsur pengurangan risiko. Turner (2008) menyebut hubungan ini sebagai relasi nilai yang menghubungkan antara ruang sosial dan ruang privat, nilai guna dan nilai tukar, relasi nilai inilah yang menjadi penghubung (mediate) kepentingan-kepentingan dari yang partikular ke universal. Di jalan Sawo yang universal ini merupakan kepentingan-kepentingan umum (publik) untuk mempertahankan fungsi asali jalan.
Post Script
Sebuah jalan yang bergerak, berubah dari waktu ke waktu. Jalan selalu dihuni oleh banyak kepentingan. Jalan Sawo menjadi etalase berbagai franchise kelas kaki lima dan ekspresi para pejalannya, yang ingin selalu tampil atau mengenyahkan diri secepatnya. Lynch (1960) dalam Pile (1995) menyebutkan bahwa ada lima elemen dari manusia yang mengarahkan orientasinya, arah (path), landmark, batas (edge), titik singgung (node) dan wilayah (district). Sebuah jalan hampir memerlukan lima elemen tersebut untuk menjalankan fungsinya sebagai jalan. Langan (1995) dalam Mrazek (2006) menyatakan bahwa jalan merupakan penuangan imajinasi kebebasan melalui bahasa untuk mengekspresikan hak-hak individu, mereka bisa datang dan pergi tanpa izin dan tanpa harus menjelaskan motif-motif atau urusan mereka.
Perkembangan jalan Sawo ke arah semakin komersil (ditandai dengan dengan nilai land rent) merupakan konsekuensi dari akumulasi kapital yang merupakan kebutuhan baru, bahkan kebutuhan utama (dalam sistem kapitalis) untuk memenuhi skala ekonomi dan bertahan dalam persaingan. Dalam hubungan ekonomi (relasi produksi) kebutuhan ini akan menekan ongkos produksi (termasuk di dalamnya upah buruh, biaya sosial dan biaya lingkungan), bahkan melampauinya, seperti dalam ekonomi tanda. Dalam mode ekonomi tanda sebuah ruang akan dieksploitasi bagai sebuah sebuah panggung, dimana tidak terjadi keterlibatan dalam sebuah percakapan, namun lebih pada penampilan yang akan memberikan persepsi auralic dan visual.
Jalan Sawo sebagai sebuah jalan berorientasi mewujudkan arahnya sebagai mode ekonomi tanda dimana hal tersebut merupakan kebutuhan untuk melempangkan proses akumulasi modal. Hal ini terlihat dengan adanya perubahan-perubahan dalam tampilan visual kios-kios yang berjajar di jalan itu. Sehingga jalan Sawo sebagai jalan merupakan landmark bagi dirinya sendiri, yang bisa juga dijual untuk bertahan hidup, pengalaman yang sama dialami oleh jalan-jalan di Kemang, jalan Melawai, jalan Sabang, atau Wall Street, bahkan Abbey Road.
Fenomena Jalan Sawo menunjukkan bahwa ia bukan hanya suatu wilayah geografis yang didiami banyak orang, melainkan juga telah menjadi ruang sosial dimana di dalamnya terdapat beragam relasi dan kepentingan, termasuk penuangan fantasi, gagasan, dan impian banyak orang. Tafsir dan penjelasan yang dikemukakan dalam laporan penelitian ini bisa jadi dibaca sebagai suatu reduksi pembacaan dan pemaknaan terhadap realitas Jalan Sawo yang mungkin saja lebih luas dari sekedar apa yang dikemukakan di atas.
Etnografi Jalan Sawo ini hanyalah contoh dari sekian banyak kasus etnografi di wilayah perkotaan (urban ethnography) yang menunjukkan adanya beberapa kesimpulan sementara. Pertama, Jalan Sawo sebagai ruang yang berada di sudut Kota Depok banyak dijejali oleh beragam subjek dengan latarbelakang kepentingan dan pemikirannya masing-masing. Kedua, dalam ruang itu pula, subjek perlu dipandang sebagai pelaku yang kreatif dalam mengakumulasi seluruh potensialitasnya melalui tindakan dan relasi sosial konkret, bukan semata-mata untuk sekedar bertahan hidup, melainkan juga mengembangkannya menurut fantasi dan impian yang mereka tumbuhkan. Ketiga, etnografi Jalan Sawo ini juga memiliki implikasi teoretik berupa pengayaan terhadap relevansi antara kasus dengan teori yang dipakai, juga memiliki implikasi metodologis berupa pencermatan terhadap relasi-relasi dan tindakan para subjek di jalan tersebut.
widhy | sinau
miftahus surur
Avineri, Shlomo. 1968. The Social & Political Thought of Karl Marx. New York: Cambridge University Press
Bourdieu, Pierre. 1991. Language & Symbolic Power. Cambridge, Massachussets: Harvard University Press.
Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society: Outline of The Theory of Structuration. Oxford.
Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge. New York: Pantheon Books
Harvey, David. 2004. Spaces of Neoliberalization: Toward a Theory of Uneven Geographical Development. Germany: Franz Steiner Verlag
Laksono, PM, et.al. 2000. Permainan Tafsir. Politik Makna di Jalan pada Penghujung Orde Baru. Yogyakarta: Insist Press
Levebre, Henry. 2001 (reprinted). The Production of Space. Blackwell
Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers Of Happy Land. Perkembangan Teknologi Dan Nasionalisme Di Sebuah Koloni. Yayasan Obor Indonesia.
Muttaqien, W. 2008. http://kedaisinau.multiply.com/journal/item/157/Bunga_Trotoar
Roseberry, William. 1997. “Marx and Anthropology,” dalam Annual Review of Anthropology. Vol. 26.
Rustiadi, E. et.al. 2008. Perencanaan Wilayah. Crestpent Press. Bogor.
Turner, Terence. 2008. Marxian Value Theory. An Anthropological Perspective. Los Angeles, London, New Delhi: SAGE Publication
Werlen, Benno. 1993. Society, Action and Space. London and New York: Routledge