Saturday, 8 August 2009

Resep # 14 Kopi Willy

Rating:★★★★
Category:Other
Kopi Willy


Untuk apa belajar ‘dik’. Untuk pintar, untuk tahu, untuk bisa merasa.
Untuk petani, untuk buruh, untuk orang tua, nenek-nenek di jalan, orang-orang di desa yang bangun pagi hari dan mencari ranting jati, untuk bangsa, belajar untuk siapa ‘dik’. Belajar utama mengenal diri sendiri, memaksimalkan indera: melihat, mendengar, membaui, mengecap, menyentuh, memaksimalkan batin, suara hati. Belajar tentang itu ‘dik’. Kemudian menalar, menggunakan akal sehat. Belajar tentang belajar, tentang untuk apa belajar dan menjadi pintar, pelajari itu ‘dik’. Tanpa itu kamu monster, tak tahu tujuan. Menakutkan, pintar dan menakutkan. Kita banyak memiliki orang seperti itu, pintar dan menakutkan. Inderanya seperti kebal, otaknya seperti bebal, hatinya tidak bercahaya. Orang seperti itu yang berkuasa, tanpa pernah belajar mengenal kuasa, daulat, tak pernah mengenal keheningan, yang menuntunnya menuju dirinya, hakikat kuasa.

Mengapa petani selalu kalah, orang-orang semakin banyak di jalan, ada yang gila karena begitu banyak kehilangan, begitu banyak keinginan. Untuk apa keinginan itu ‘dik’, bukankah itu yang harus selalu ditahan, hakikatnya puasa. Nafsu, bagian yang harus dipelajari juga, biar bisa dikendalikan. Ada yang selalu kalah, ada yang selalu ingin menang, ada yang tidak siap dengan kehilangan. Tidak siap kehilangan selalu berhubungan dengan tidak pernah belajar mengenai indera. Setiap sentuhan, setiap cahaya, setiap rasa, setiap bau, setiap bunyi sesungguhnya tidak pernah hilang, itu harta untuk bisa hidup. Teater belajar tentang itu, tentang hidup dengan indera. Dengan gerak tubuh, yang memaksimalkan indera. Dan otakpun tidak akan lelah-lelahnya mengenali setiap benda yang diindera, jika berhenti bergerak kita kehilangan ragam, jika kehilangan ragam kita kehilangan bersama, semesta.

Jangan hinakan orang ‘dik’. Dengan kekuasaan atau dengan pengetahuan. Setiap orang memiliki keduanya, potensi itu yang harus diajarkan di sekolah, namun itu yang tidak pernah diajarkan. Melihat kenyataan, mengolah alam, mengolah tubuh, mengolah jiwa, sehingga kekuasaan menyatu dengan pengetahuan. Membela yang hina, membela yang layak dan pantas untuk kebaikan bersama.

Aku lepas ‘dik’, rebah, kembali ke tanah. Bukankah itu tujuan kita, tanah-dan tanah itu pula yang kita perjuangkan. Aku lepas ‘dik’, mengalir.



No comments:

Post a Comment