Sekilas tentang Jalan Sawo
Jalan Sawo yang membelah antara Jalan Margonda Raya dengan Kampus Universitas Indonesia (UI) Depok bukanlah tempat yang asing. Selain disebut dengan Jalan Sawo, jalan ini biasa dikenal dengan sebutan Kober dan juga Stasiun UI. Istilah Kober sendiri sebenarnya mengacu pada suatu tempat yang berada di seberang Jalan ini, tetapi kebanyakan mahasiswa yang melintas jalan ini lebih familiar menyebutnya Kober daripada Jalan Sawo. Sedangkan istilah Stasiun UI juga kerap dipakai karena pada kenyataannya setiap mahasiswa atau siapapun yang ingin menuju kampus atau bepergian ke Jakarta dan Bogor dengan kereta api dipastikan akan melintasi atau menggunakan jasa angkutan kereta dari stasiun tersebut.
Secara administratif, keberadaan Jalan Sawo berada di wilayah RT 02 dan 03 kelurahan Pondok Cina, Depok. Helmi, ketua RT 02 yang juga membawahi jalan ini – selain RT 03 - menjelaskan bahwa nama Jalan Sawo itu sendiri dipakai karena dulu di depan jalan itu terdapat pohon sawo sehingga oleh orang-orang di sekitar sana disebut Jalan Sawo. Ia berfungsi sebagai jalan semenjak ada kampus UI dan orang-orang pribumi di sepanjang jalan itu juga sepakat jika ia menjadi jalan lintas menuju stasiun dan kampus UI. Jalan Sawo merupakan jalan yang diberikan oleh pemerintah berdasarkan tanaman endemik yang dulu ada di kawasan ini sebelum kawasan ini sebagian besar dibeli oleh UI sekitar tahun 1970. Nama-nama jalan disini kebanyakan mengacu pada nama pohon, seperti Sawo, Papaya, Cengkeh. Sebelumnya jalan ini sebagian besar adalah irigasi, kemudian tahun 1970an menjadi jalan setapak disisi irigasi, tahun 1980an mulai menjadi gang yang lebih lebar, namanya sudah menjadi Gang Sawo. Masyarakat sekitar menyebutnya memang sebagai gang bukan jalan.
Meskipun telah lama jalan ini menjadi penghubung menuju stasiun dan kampus UI, tetapi baru setelah tahun 2000-an jalan ini mulai sesak dengan banyak pedagang. Cak Tarno, salah satu pedagang buku yang mangkal di jalan ini mengatakan bahwa sejak tahun 1995-2002, Jalan Sawo ini masih terbilang sepi dalam arti tidak banyak orang yang berjualan. Karena waktu itu, orang masih banyak yang berdagang di kebun karet di dalam kawasan UI. Tapi setelah para pedagang di kebun karet itu tergusur, maka mereka mulai pindah ke Jalan Sawo ini. Cak Tarno merupakan salah satu pelobi ke RW dan RT agar para pedagang pindahan dari kebun karet itu diberi tempat untuk berdagang di Jalan Sawo.
Ruang di Jalan Sawo
Sejak tahun 2002 itu pula, lambat-laun Jalan Sawo semakin ramai. Banyak hal yang bisa ditemui di jalan ini, seperti toko buku, toko ATK, toko komputer, foto copy, toko pakaian, toko CD/DVD bajakan, pengemis, pengamen, wc umum, mushola, toko asesoris, warung makan, kedai minuman, roti medan, tempat parkir, dan sebagainya. Bukan hanya pejalan kaki yang berlalu-lalang, sepeda motor dan mobil juga sesekali masuk melintasi jalan yang lebarnya tidak lebih dari 2 meter ini. Kondisi seperti itulah yang membuat jalan ini tampak selalu hiruk, terutama pada hari-hari aktif dari Senin sampai Sabtu.
Keberadaan ragam barang dagangan itu menjadi titik perhatian para pejalan kaki yang lalu-lalang. Tidak perlu suatu pengamatan yang mendalam saja sudah cukup bisa dimengerti bahwa keberadaan pedagang di jalan ini telah menjadi titik perhatian bagi siapapun yang melintas di sana. Transaksi, sekedar melihat-lihat, atau cuek sama sekali merupakan pemandangan yang tiap hari menyeruak, di samping juga sapaan, tawaran, dan rayuan dari para pedagang yang menawarkan barang dagangannya kepada pejalan kaki.
Jalan Sawo ini memiliki pembagian penyebutan, yaitu depan dan dalam. Bagian depan menunjukkan suatu tempat di Jalan Sawo yang dimulai dari jalan masuk dari arah Margonda hingga ke toko buku Cak Tarno. Sedangkan bagian dalam dimulai setelah Cak Tarno hingga stasiun UI. Bagian dalam ini pula yang oleh kebanyakan pedagang di situ disebut dengan Jalan Stasiun. Pembagian ini turut pula membedakan kepemilikan status tanah yang ada di dalamnya. Status tanah yang ada di bagian depan hampir semuanya milik pribumi atau perorangan dimana para pedagang yang ingin menyewa tanah atau toko di situ bisa langsung berhubungan dengan pemiliknya. Sedangkan bagian dalam merupakan “milik” stasiun sehingga penyewaannya pun berhubungan dengan stasiun.
Tasdik, salah satu petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api(PPKA ) Stasiun UI mengatakan bahwa Perusahaan Jasa Kereta Api (PJKA) sendiri memiliki wewenang untuk memaksimalkan fungsi-fungsi tanah yang ada di sekitar stasiun untuk kepentingan stasiun sendiri. Hal ini disebabkan karena di PJKA sendiri terdapat dua divisi, yaitu: pertama, Usaha non Angkutan (unang) yang bisa mencari pemasukan melalui beberapa jenis usaha di luar angkutan, seperti pemanfataan tanah atau juga penyewaan tempat-tempat terdekat stasiun dan rel kereta. Kedua, usaha angkutan yang berasal dari jasa angkutan kereta api sendiri. Untuk masalah pemanfaatan tanah di stasiun UI itu, jika disewakan untuk jangka panjang, mulai bulanan hingga tahunan, maka pembicaraan kontraknya langsung ke kantor pusat yang terletak di Juanda, Jakarta dengan diwakili oleh kepala stasiun. Tetapi jika untuk penyewaan yang instan, misalnya untuk pasang spanduk atau sesuatu yang kurang dari satu bulan, maka bisa dibicarakan langsung dengan kepala stasiun dan uangnya pun bisa langsung dimiliki oleh stasiun yang bersangkutan.
Meskipun berhubungan dengan stasiun, tetapi mekanisme penyewaan tanah dan toko di bagian dalam ini tidak secara langsung berhubungan dengan kepala stasiun, melainkan dengan Hari Alfian, seorang pemborong atau pengembang yang telah menyewa tanah di Jalan stasiun itu untuk kemudian disewakan kembali ke orang lain. Sementara Hari Alfian sendiri meminta Teti untuk mengurus teknis penyewaannya seperti mengurus surat kontrak sampai penagihan uang sewanya.
Teti yang mengaku masih ada hubungan suadara jauh dengan Hari Alfian mengatakan bahwa dirinyalah yang berhubungan langsung dengan Hari Alfian dan juga para penyewa. Ia menegaskan bahwa harga sewa di tempat tersebut beragam. Untuk toko ukuran 1x1,5 m atau yang mereka sebut dengan auning harga sewanya mencapai 350 ribu rupiah per bulan. Sedangkan untuk toko yang berukuran 4 x 2 meter bisa mencapai 9 juta per tahun. Biasanya, untuk sewa tahunan itulah yang dibuatkan surat kontrak secara khusus, sedangkan untuk yang sewa perbulan cukup dibuatkan buku catatan tersendiri oleh Teti.
Sudah tiga tahun belakangan ini, menurut Teti, jangka waktu penyewaan hanya bisa dilakukan selama 1 tahun untuk satu kali masa kontrak. Hal ini disebabkan oleh adanya kemungkinan dibangun dan diperbaikinya stasiun UI. Dan jika setelah satu tahun itu masih memungkinkan untuk diperpanjang, maka hal itu dilakukan kembali menurut kesepakatan. Tetapi dengan ada satu ketetapan tambahan bahwa setiap saat para pedagang di tempat tersebut harus bersedia digusur jika pembangunan itu dilakukan.
Para penyewa dan/atau pedagang di Jalan Sawo ini terdiri dari latarbelakang etnis beragam seperti Minangkabau, Batak, Jawa, Sunda, Betawi dan hampir semuanya pendatang, bukan dalam arti pribumi seperti para penduduk yang sudah puluhan tahun bertempat tinggal di daerah tersebut. Kategorisasi etnis tersebut memang tidak serta menentukan jenis barang dagangan yang ada. Masing-masing memiliki kejelian tersendiri untuk memilih jenis barang dagangan apa yang dijaja di tempat tersebut. Seperti halnya Teti, perempuan berlatar etnis Sunda tersebut malah kedapatan membuka warung makan masakan padang, suatu kenyataan yang tampak tidak lazim, meskipun Teti tentu saja memiliki alasan tersendiri mengapa ia melakukan itu .
Sejak tahun 2000-an ketika Jalan Sawo telah ramai oleh pedagang, sejak itu pula berbagai aturan dibuat. Helmi, ketua RT 02 misalnya mulai memberlakukan sistem keamanan dengan membayar Darma sebagai kepala keamanan di sana. Ia juga mulai memberlakukan adanya retribusi sebagai uang jaminan keamanan yang ditarik dari para pedagang dalam setiap bulannya. Uang retribusi sebanyak 10.000 – 20.000 tersebut, selain digunakan untuk membayar keamanan juga dijadikan sebagai pendukung kegiatan-kegiatan di tingkat RT. Tidak semua pedagang yang membayar uang retribusi dengan jumlah yang sama. Ada beberapa pedagang yang menawar ketika keamanan menagih uang retribusi dari duapuluh ribu menjadi sepuluhribu.
Negosiasi tersebut dilakukan dan relatif berhasil jika pedagang tersebut bisa memberikan alasan yang meyakinkan petugas keamanan, seperti rendahnya tingkat kelarisan barang dagangan atau juga sekedar memelas minta keringanan. Kenyataan tersebut hanya dimaklumi oleh Helmi mengingat tidak semua pedagang memiliki kepedulian yang sama. Baginya, yang penting adalah kemauan dan partisipasi dari para pedagang untuk membantu keterjaminan keamanan di Jalan Sawo.
Tetapi lain halnya dengan para pedagang CD/DVD bajakan yang semuanya berjumlah sekitar 10 orang, dengan lima di antaranya berjejer di bagian dalam jalan ini. Selain mereka harus membayat retribusi untuk keamanan dan diserahklan ke RT melalui petugas keamanan, mereka juga harus mengeluarkan uang yang lebih banyak untuk diserahkan kepada oknum aparat kepolisian setempat hingga berjumlah 50 ribu per orang untuk setiap minggunya. Babe, salah satu pedagang CD/DVD yang ada di sana mengatakan,
“Seminggu sekali 50 ribu per orang. Di sini kan ada 5 orang tuh, jadi ya sekitar 250 ribu per minggu. Polisi yang datang kesini juga bergantian, ada 4 orang yang gantian kesini. Babe juga gak tau gimana pembagiannya. Yang penting kita ngasih aja.”
Uang tersebut, menurut Babe sebagai penjamin agar mereka tetap diperbolehkan untuk menjual CD/DVD bajakan sekaligus agar tidak terkena razia dadakan. Tampaknya, uang tersebut memang harus direlakan oleh para pedagang CD/DVD bajakan daripada mereka mendapatkan persoalan di kemudian hari. Tokh banyaknya pejalan kaki yang suka membeli film-film incaran di tempat itu, bahkan tidak sedikit di antaranya yang menjadi pelanggan tetap, dalam arti setia membeli di situ dan memesan judul film-film tertentu yang sedang beredar di bioskop-bioskop atau bahkan yang baru saja rilis di luar negeri membuat para pedagang tersebut selalu memenuhi tuntutan setoran ilegal itu.
Meskipun demikian, bukan berarti kenyamanan mereka mutlak terjamin. Sesekali waktu para pedagang itu tetap harus menutup auningnya. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa meskipun aparat kepolisian tidak melakukan razia di tempat tersebut, tetapi razia tetap saja dilakukan di tempat lain di Depok. Menurut Babe, hampir seluruh pedagang CD/DVD bajakan yang ada di Depok memiliki hubungan pertemanan, sehingga jika salah satu lokasi ditutup karena sedang ada razia, maka hampir seluruh pedagang yang ada di Depok juga turut menutup dagangannya untuk sementara sebagai solidaritas antar sesama.
Satu hal yang menarik dari Jalan Sawo ini adalah tidak adanya preman yang menganggu aktifitas orang-orang yang ada di dalamnya. Hal ini berbeda dengan beberapa tempat lain yang tinggi tingkat transaksi ekonominya. Darma, selaku keamanan di jalan ini mengatakan bahwa antara dirinya dan juga ketua RT memiliki ketegasan terhadap preman. Pernah suatu ketika, terdapat beberapa preman pindahan dari Manggarai dan Citayam yang ingin menduduki Jalan Sawo. Tetapi keberadaan mereka segera ditangani oleh Darma dengan mengatakan agar lebih baik mereka tidak mengganggu ketertiban Jalan Sawo ini karena dirinya selaku keamanan bisa bertindak tegas dan bisa menyeret mereka secara paksa ke kepolisian setempat.
Cak Tarno selaku pedagang buku di Jalan ini juga mengatakan bahwa baik premanisme maupun peristiwa-peristiwa konfliktual dan meresahkan hampir tidak pernah terjadi di sana. Menurutnya, hal itu disebabkan oleh semangat para pedagang dan juga warga setempat yang ingin menjaga ketertiban jalan sawo bersama-sama. Hal ini bisa jadi pula menggambarkan adanya tafsir bahwa Jalan Sawo merupakan wilayah harapan yang menjanjikan bagi siapapun yang berkepentingan terhadapnya. Dalam konteks itu pula kontrol dalam bentuk penertiban merupakan mekanisme yang paling bisa dilihat untuk melihat ragam kepentingan yang dituangkan kedalam sebuah jalan.
Satu hal yang tidak bisa dibendung adalah intensitas pedagang dan pejalan kaki yang semakin hari semakin meningkat. Keberadaan kampus UI yang semakin lama semakin bertambah jumlah mahasiswanya menjadi salah satu penyebab meningkatnya intensitas itu. Maka tidak heran juga ketika Dedy, salah satu mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer UI mengatakan bahwa “kini jalan sawo menjadi tambah sesak.” Apalagi jika kemudian muncul sepeda motor atau mobil yang terlihat sangat “memaksa diri” masuk dan melintas di jalan ini. Orang-orang yang berlalu-lalang dipaksa menyingkir dan harus memiringkan tubuhnya menghindari kemungkinan terserempet motor atau mobil yang lewat. Apa yang dikeluhkan oleh Dedy tersebut diiyakan oleh Dewi, salah satu mahasiswi antropologi UI.
Sedangkan Rina Mahasiswi Psikologi, yang berkost di Jl. Kober, menyatakan bahwa “Jl. Sawo menarik karena sempit, dan terkesan padat. Kita berjalan, sambil bersenggolan. Saya lewat Jl. Sawo karena letak kost berhadap-hadapan dengan Jl. Sawo. Jalan ini enak karen banyak pedagang cemilan kalau mau ngerjain tugas kita belanja cemilan dulu disini, dibawa terus ke kos”.
“Iya, kita ini kan pengennya bisa jalan dengan nyantai, bisa tengak-tengok kiri-kanan sambil lihat-lihat pedagang. Tapi kalo suka ada mobil sama motor lewat situ dan agak nyrempet-nyrempet gitu ya pasti gak nyaman. Masak jalan segitu dilewatin mobil ya gimana. Tapi juga susah kali ya soalnya tempat parkir di bagian luar sana gak ada, mungkin itu juga kali yang bikin motor suka masuk situ.”
Kesan semrawut dan sesak seperti yang dimunculkan oleh Dedy dan Dewi tadi tidak sepenuhnya diamini oleh Cak Tarno. Ia mengatakan bahwa mobil yang suka melintas di Jalan itu adalah mobil milik penduduk setempat.
“Gini, dulu Jalan Sawo ini kan tidak ada. Yang ada cuma jalan setapak dari tanah yang suka becek kalo hujan. Lalu ketika UI mulai ramai dan banyak dilewati orang. Para warga di sini sepakat untuk sedikit memperlebar jalan dan dibangun ala kadarnya. Dan warga juga sepakat kalo jalan ini bisa dilalui kendaraan oleh warga di sini sendiri. Itulah sejarahnya. Mobil yang lewat itu ya milik warga sini. Jadi kalo ada orang yang kesal karena jalan sempit kayak gini kok dilewati mobil, berarti dia tidak tahu sejarahnya.”
Kesan semrawut dan sesak dari Jalan Sawo ini tetap tidak bisa mengurangi intensitas pedagang dan pejalan kaki. Para pedagang pun tentu saja lebih senang dengan kondisi seperti itu karena semakin sesak keadaannya maka potensi setiap orang untuk melirik dan mampir ke tokonya akan semakin besar. Tidak sedikit pula pejalan kaki yang sudah mengendapkan dalam pikirannya bahwa Jalan Sawo merupakan alternatif untuk mendapatkan sesuatu barang yang diinginkannya. Kiki dan Juna misalnya, tidak pernah merasa khawatir jika tiba-tiba ia tidak membawa peralatan tulis karena Jalan Sawo telah “menyediakannya.” Para pedagangpun mengerti bahwa kebutuhan setiap pejalan kaki harus bisa dipenuhi oleh mereka.
Siasat di Jalan Sawo
Menjadi semakin menarik karena harga yang tersemat di setiap jenis barang dagangan relatif lebih murah dibanding dengan harga-harga yang ada di tempat lain. Dalam hal pakaian dan buku-buku misalnya, bisa dipastikan lebih murah jika dibanding dengan membelinya di supermarket atau toko buku terkenal seperti Gramedia. Di situlah letak kepiawaian para pedagang untuk menyajikan barang dagangan dengan kualitas yang baik dan harga yang murah. Untung sedikit tidak menjadi soal asalkan peredaran uang tetap terjaga antara modal dan pengeluaran.
Studi empiris menyebutkan fungsi-fungsi dari ruang publik akan optimal jika memiliki karakteristik sebagai berikut (1) Memiliki tingkat kemudahan akses dari ruang publik ke jalan-jalan yang mengelilinginya. (2) Kepadatan dari pergerakan orang-orang di jalan-jalan sekitarnya. (3) Memiliki trotoar untuk pejalan (pedestrian) yang memungkinkan mereka berhenti sesaat. (4) Memperkirakan durasi berhenti sesaat dengan laju para pejalan. Ruang publik yang hidup lebih sering berhubungan dengan tingkat pergerakan yang tinggi di jalan-jalan yang mengelilinginya (5) Orientasi pada kenyamanan, selain itu orang akan betah berlama-lama di jalan jika mengalami pengalaman ruang yang indah. (6) Memperkirakan kehadiran ritel dan sarana istirahat. Adanya ritel, menyebabkan orang ‘ruang publik’ menjadi hidup. Kehadiran ‘para pengguna’ ruang publik merupakan ‘ciri kehidupan’ ruang publik. (7) Keteduhan sebuah kota yang sehat memberikan udara bersih untuk warganya. kanopi pohon, selain memberikan keteduhan bagi yang dibawahnya, juga sebuah produsen udara. Jalan Sawo setidaknya memiliki 5 karakter jalan sebagai ruang publik. Bahkan imaji jalan Sawo terbawa pula pada karakter sebuah jalan di kompleks pendidikan di Medan.
Jalan Sawo menarik karena sempit dan banyak orang jualan, pernah waktu di Medan ada jalan sejenis, namanya Pajak USU (Pajak sama dengan Pasar dalam bahasa Medan, USU adalah Universitas Sumatera Utara) jalan ini bersebelahan dengan kampus USU, ‘Anak-anak Mapala UI merasa seperti di rumah sewaktu melawati jalan ini, kalau di Depok namanya gg. Kober, kata anak-anak Mapala waktu mampir ke tempatku’, sehabis turun gunung Leuser”, menurut Dedi, mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer UI.
Ciri ritel kaki lima di jalan Sawo mendekati ciri-ciri kaki lima pada umumnya karena sifatnya yang informal, sehingga siasat-siasat yang dibangun oleh pedagang kaki lima menjadi sangat khas. Karakteristik khas tersebut diantaranya ialah sangat mudahnya untuk memasuki sektor informal dan khususnya PKL tersebut karena kemudahan memasuki sektor yang disebabkan karena tidak dibutuhkan kualitas keterampilan yang tinggi dan biaya-biaya transaksi (transaction costs) yang sangat rendah. Biaya-biaya transaksi yang dimaksud berupa biaya-biaya dan waktu negosiasi, informasi, mendapatkan izin, kontrak, monitoring dan peneguhan kontrak yang sangat rendah. Mudahnya keluar masuk pedagang kaki lima dapat dilihat dari pengalaman Babe dan Alfred berikut ini.
Babe memulai usahanya kira-kira 6 bulan lalu. Sebelumnya ia berjualan minuman di Terminal Kampung Melayu. Babe begitu ia merasa nyaman dipanggil, adalah perantau dari tanah Minang, sudah sejak awal 80’an berjualan di Jakarta. Pindahnya ia dari menjual minuman ke penjual pakaian di jalan Sawo disebabkan usianya yang menua dan kondisinya yang sakit-sakitan dalam setahun terakhir. Umur Babe sekitar 60 tahun. Ia mengetahui jalan Sawo sejak lama, anaknya telah lama berjualan ATK di Sawo Dalam (deretan stasiun).
Kios Babe nampak bersih, dengan warna dominan putih dengan diseling hijau, kios ini memiliki kesan luas, walau ukuran kios Babe hampir sama dengan kios disebelahnya, sekitar 1,5 x 1,5 m2.
Alfred bercerita bahwa sebelumnya ia berdagang voucher dan ketela dengan merek dagang “Telo.” Untuk usaha voucher ia menutupnya dengan alasan keamanan. Menurut dia, pegawainya sering diintimidasi oleh beberapa orang suruhan dari pedagang voucher lainnya, karena ia menjual harga paling murah di sepanjang jalan itu. Pedagang lainnya seolah tidak suka dengan caranya berdagang, walaupun menurutnya harga yang ditawarkannya sudah lazim di daerah Jakarta. Harga tersebut bukan untuk menjatuhkan atau merusak pasar, namun ia memang sebelumnya berdagang voucher dengan harga yang sama seperti yang ia bandrol di Jl. Sawo.
Dari sisi penyediaan ruang maka konsep aglomerasi berlaku di jalan Sawo. Aglomerasi dalam ekonomi merupakan proses pengelompokkan jenis usaha, yang memiliki kecenderungan yang sama (satu jenis). Sedangkan secara umum aglomerasi didefinisikan sebagai konsentrasi spasial dalam pemanfaatan ruang. Di jalan Sawo aglomerasi terlihat seperti ‘latah’, duplikasi atas kecenderungan kesuksesan usaha tertentu. Aglomerasi juga beroperasi dengan cara pengelompokkan dengan sengaja usaha-usaha, unit bisnis (toko, kios, pabrik, perkantoran, dll) yang membentuk rantai dagangan sejenis. Menurut teori lokasi, aglomerasi dapat menciptakan berbagai dampak eksternalitas (dampak negatif terhadap ekonomi kota/komunitas sendiri) khususnya yang menimbulkan besarnya biaya-biaya sosial sehingga menimbulkan inefisiensi. Seperti kasus-kasus pedagang kaki lima di jalan raya, yang kemudian menimbulkan ekonomi biaya tinggi, seperti pungli, kenaikan penggunaan bahan bakar karena kemacetan, sampah, dan lain sebagainya. Dalam ekonomi wilayah karakter dari aglomerasi mencirikan tingginya land rent lokasi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari tingginya persaingan untuk mendapatkan tempat di jalan Sawo, dan makin ‘kecilnya’ ruang fisik (representional space) yang dijadikan kios. Namun hal ini tidak menjadikan jalan Sawo sepi, hal ini disebabkan oleh permintaan akan ruang terus bertambah.
“Awalnya saya dengan istri sedang makan di Es Pocong. Tanpa sengaja bertemu dengan saudara saya. Dia punya satu tempat kecil di sini yang ia pakai untuk jualan ketela. Dia mengajak saya dan memperlihatkan bisnisnya. Ketika saya mulai masuk ke jalan ini, saya berpikir, wah gila juga nih jalan, rame banget. Waktu itu, saudara saya itu mau menjual hak sewa tempatnya berjualan itu ke saya karena dia mau pindah dengan tawaran harga 7 juta rupiah setahun. Wah mahal juga, pikir saya. Tempat yang sangat kecil itu, berukuran tidak lebih dari dua meter, tempatnya juga tepat di depan pagar pemilik rumah, jadi kalau pemilik rumah mau mengeluarkan motor, ya harus minggir dulu ternyata bernilai segitu. Lalu saya dipertemukan dengan pemilik tempat itu. Saya tidak langsung ambil, tapi ngobrol dulu dengan istri. Beberapa hari kemudian saudara saya SMS, ya udah saya iyakan tapi nego dulu. Akhirnya bisa dapet 5 juta pertahun. Tempat itu saya pake untuk jualan ketela juga sekalian jualan voucher".
Dari tahun ke tahun menurut Alfred harga kios disini naik. Selain peminatnya banyak, disini juga mudah ‘keluar-masuk’ (entry market), dan mengubah serta meragamkan jenis usaha. Banyak juga para pedagang yang gagal, berubah haluan, atau over kontrak. Jika pedagangnya kaya, seperti penjual pakaian di depan kiosnya, dengan biaya mahalpun masih memiliki kesanggupan membayar sekitar 6 jutaan (harga lama) atau 8-12 juta (harga baru) untuk ukuran kios 2-3m2. Sedangkan harga kios tenda/awning sekitar 400 ribu per bulan. Selain membayar kios, mereka juga diwajibkan membayar uang keamanan, sekitar Rp. 20.000,- per bulan. Pengemispun menurutnya dikenai ‘uang sewa’ walaupun ia tidak bisa mengatakan angkanya. Menurutnya informasi mengenai cara menyewa lapak (ruang) atau kios tersebut cukup jelas dan mudah diakses.
Dalam sistem pasar seperti ini keputusan memanfaatkan ruang memiliki kecenderungan dengan mempertimbangkan ricardian dan locational rent sebagai mana disebut economic land rent atau land rent. Karena land rent merupakan dinamisator dari perubahan penggunaan lahan, sehingga jika land rent tidak memperhitungkan environmental rent, maka perkembangan economic rent cenderung ke arah merusak lingkungan. Dalam kasus jalan Sawo terjadi kesepakatan-kesepakatan untuk menjaga agar eksternalitas negatif dari aglomerasi seperti di atas tidak terjadi, seperti premanisme, pencurian, sampah yang berceceran dan lain-lain. Kesepakatan ini selain tertulis (bisa juga tidak) juga membutuhkan peneguhan (enforcement) atasnya, dan biasanya enforcement itu membutuhkan biaya-biaya, yang oleh kalangan bisnis akan dimasukkan ke dalam biaya operasional/produksi) sebagai internalize external cost-seperti biaya sosial dan biaya lingkungan.
Premanisme menurut pak Helmi tidak ada di wilayah ini, terutama yang terkait dengan jalan Sawo karena warganya kompak, para pemilik kios/tempat dan rumah. Termasuk komitmen Stasiun untuk memelihara daerah sekitarnya. Stasiun memberikan kontribusi yang cukup untuk keamanan dan kebersihan sekitar stasiun, dibayarkan kepada RT/RW.
Kesepakatan semacam ini dalam ekonomi ruang disebut sebagai aglomeration force yaitu suatu kekuatan ekonomi yang mengakibatkan aktor-aktor ekonomi berkumpul/lebih terkonsentrasi pada satu titik. Hal ini disebabkan oleh adanya kerjasama untuk memanfaatkan skala ekonomi , skala ekonomi tersebut hadir ketika ada potensi untuk mengambil laba dari setiap orang yang lalu-lalang dengan kerjasama antara penjual barang yang sejenis. Biasanya dalam produk ritel skala ekonomis terjadi ketika ada saling bantu-membantu dalam hal penyediaan barang dengan asumsi barang yang dijual merupakan barang industri-massal, sedangkan pada barang yang sifatnya pesanan (custom made) skala ekonomi ini dicapai oleh kuantitas barang yang terjual. Dalam beberapa kasus di jalan Sawo skala ekonomis ini terjadi seperti dalam kerjasama antar pedagang DVD atau Cak Tarno dengan pedagang buku lainnya.
Jalan Sawo ini menurut ibu Erik semakin banyak peminatnya, semakin menjanjikan keuntungan sekaligus memberikan pesaing. Ia menunjuk beberapa penjual buku yang baru membuka toko sekitar 3-4 tahun belakangan. Salah satunya yang ada di dalam stasiun dan berseberangan tokonya. Namun menurutnya rezeki itu tidak lari kemana-mana. Di kalangan penjual buku saling memberikan bantuan jika memiliki pelanggan yang mencari suatu buku. Cak Tarno lari kesini kalau butuh barang.
Sedangkan buku yang dijual di toko buku Erik kebanyakan buku teks kuliah. Jika permintaan buku banyak maka ia akan menyediakannya, tapi TB. Erik ini tidak mencoba melayani permintaan perorangan. Karena sudah lama berkecimpung dalam perbukuan, lebih dari 15 tahun, ia sudah mengetahui buku apa yang dibutuhkan mahasiswa. Ia juga mencarinya lewat mata kuliah atau kurikulum di fakultas, informasi juga di dapatkan dari dosen dan mahasiswa, mengenai buku-buku yang digunakan dalam mata kuliah semester berjalan. Menurutnya judul-judul buku untuk S1 relatif sama dari tahun ke tahun.
Aglomeration force berhenti bila tercapainya normal profit sehingga kompetisi antar pedagang berubah menjadi kompetisi kualitas dan biaya-biaya produksi, yang bisa menyebabkan efisiensi dan keuntungan secara ekonomi. Di jalan Sawo hal ini dapat dilihat dari bubarnya beberapa usaha franchise kelas kaki lima seperti Cireng Bandung, Cimol, dan beberapa produk keripik singkong/kentang. Untuk memenangkan persaingan bagi penjual makanan yang harus memiliki resep yang khas maka usaha yang dilakukan adalah menjaga rasa, kualitas bahan baku, yang ternyata secara ekonomis menghasilkan penghematan.
Mengenai produk yang dijualnya Alfred mengatakan, “ Saya selalu ingin memberikan yang terbaik pada konsumen, seperti memakai susu segar dibandingkan dengan susu kaleng kental manis. Dengan sedikit tambahan modal. (susu segar lebih mahal dari susu kental manis), rasa ‘boleh diadu’. Padahal menurutnya susu segar ‘lebih hemat’ dibandingkan susu kental manis, lebih hemat jika sudah dicampur dengan pemakaian gula, karena menurutnya dengan memisahkan gula dan susu, konsumennya memiliki alternatif sesuai selera, ingin susu sedikit atau ingin lebih manis, atau ingin yang tidak terlampau manis. Dan setiap kali meracik menu kopi, ia akan menawarkan pilihan tersebut. Selain penghematan secara dilihat dari sisi pasar (permintaan) hal ini akan menyenangkan konsumennya.
Berbeda dengan yang dilakukan oleh Gondrong dan Babe, penjual DVD, ia semakin memperhatikan pesanan konsumennya, tanpa lupa meningkatkan kapasitasnya untuk mempelajari produk yang dijualnya (product knowlegde).
Pelanggan saya lumayan bos. Kalo udah mesen, saya juga suka kewalahan soalnya mereka lebih jago masalah film. Saya suka ke internet bos. Brosing sebentar film-film yang sedang tren, trus saya cari di Glodok. Gile bos, anak-anak sini cepet banget taunya. Kalo kita gak ngerti, bisa-bisa ketinggalan ma mereka. Biasanya si yang dicari kayak film-film kartun ma film-film drama romantis Korea gitu.
Kapasitas berperilaku seperti ini menurut Levebre (2001) adalah spatial practice (praktek spasial) yang mencakup kegiatan produksi dan reproduksi, dan lokasi tertentu serta karakter wilayah dari pembentukkan sosial. Praktek spasial ini menjamin keberlanjutan dan tingkat kohesi sosial. Dalam konteks ruang sosial dan anggota di dalamnya maka kohesi sosial ini berimplikasi pada tingkat kemampuan dan tingkat keragaan (kemampuan mencapai hasil). Dalam praktek spasial ini individu berperilaku partikular, intensional.
Kehendak dan Kekuasaan di Jalan Sawo
Jalan Sawo merupakan ruang penuangan fantasi dan kreatifitas para penggunanya. Lebih tampak lagi adalah berbagai kreatifitas yang dilakukan oleh para pedagang yang ada di dalamnya. Kreatifitas itu tentu saja tidak semata-mata karena muncul dari dorongon pribadi mereka, melainkan juga karena interaksinya dengan orang lain. Tindakan, dikonsepsikan oleh Marx sebagai suatu praxis, penyaluran kemampuan subjektif dalam suatu ruang dan waktu tertentu sebagai proses dialektis dan historis antara subjek dengan dunia material mereka (Turner, 2008: 51-52).
Beberapa pedagang yang ada di Jalan Sawo tampaknya mulai menyadari bahwa salah satu persoalan dalam dunia dagang sangat terkait dengan permodalan dan pemutaran uang. Semata-mata mengandalkan keuntungan untuk dialokasikan dalam memenuhi kebutuhan yang lain sepertinya tidak cukup menyiasati permodalan mereka. Dalam rangka menjaga stabilitas keuangan itulah, selain menggantungkan diri pada penjualan, beberapa pedagang melakukan arisan sebanyak seratus ribu rupiah setiap minggu. Baik di bagian depan maupun bagian dalam Jalan Sawo ini memiliki kelompok arisan sendiri-sendiri. Dengan jumlah anggota minimal 10 orang di setiap kelompok, maka setiap minggu mereka bisa mendapatkan 1 juta rupiah yang bisa digunakan untuk menyiasati permodalan dan kebutuhan yang lain.
Arisan itu pula yang membuat hubungan antar pedagang menjadi lebih erat. Kompetisi berdasarkan ekonomi tidak kemudian menyebabkan hubungan sosial di antara mereka menjadi luntur. Pengakuan Teti bahwa semua pedagang di situ sudah seperti saudara seolah-olah ingin menunjukkan adanya hubungan sosial yang dilandasi semangat kebersamaan ketimbang berdasarkan kebutuhan ekonomi semata-mata. Lebih ringkasnya, dibalik yang ekonomi juga diperlukan sesuatu yang lebih sosial, yaitu keterjalinan hubungan kekeluargaan yang dirajut melalui jalur ekonomi.
Bahkan, dalam konteks hubungan sosial itu pula, Babe yang selalu memberikan setoran ke aparat kepolisian juga telah menganggap bahwa antara dirinya dengan beberapa aparat itu juga layaknya saudara. Ia yang di suatu waktu tampak mengeluh dengan kewajiban menyetor uang mingguan ke aparat kepolisian, tetapi juga tampak senang dengan kedekatan hubungannya dengan beberapa aparat tersebut. Tampaknya, Babe cukup mengerti mana “kewajibannya” untuk menyetor sebagai tebusan terhadap tindakan yang dinilai “melanggar hukum” dan mana hubungan pribadinya dengan aparat yang menurutnya cukup dekat itu.
Lain halnya kreatifitas yang dibangun oleh Gondrong. Salah satu penjual CD/DVD bajakan di Jalan Sawo itu mengaku bahwa dirinya kini sangat piawai untuk menjelaskan setiap genre film, termasuk cerita setiap film yang ia jual. Keinginan setiap pembeli yang kebanyakan adalah mahasiswa juga menuntutnya untuk selalu mencari tentang film-film terbaru melalui internet. Jika hanya sekedar menceritakan film, hal itu merupakan sesuatu yang mudah karena ia cukup menonton terlebih dahulu lalu esoknya ia bisa ceritakan ke setiap pembeli. Tetapi mengetahui film yang sedang jadi kegemaran calon pembeli harus diimbangi oleh pengetahuan tentang genre film itu sendiri, seperti film Korea romantis, film drama Hollywood, termasuk kualitas gambar, alur cerita, dan sebagainya yang sedang menjadi incaran para pembeli.
Untuk menambah kepercayaan bagi para pembeli dan pelanggannya, Gondrong hanya mau menjual film-film yang menurut mereka sudah ori, yaitu film dimana gambar, suara, dan juga terjemahannya sudah cukup bagus. Meskipun film tersebut merupakan bajakan, tetapi ia memiliki kualitas seperti yang asli (original). Kepiawaian ini tidak banyak dilakukan oleh rekannya, Henri. Pedagang yang satu ini tidak begitu gencar untuk pergi ke internet mencari informasi tentang film-film baru yang sedang trend di luar negeri. Karena itu pula ia kerap ketinggalan informasi dibanding oleh para pembeli sendiri.
Untuk menghindari pencidukan dari aparat kepolisian, seluruh pedagang CD/DVD bajakan di jalan Sawo ini sepakat untuk tidak menjual film-film porno. Menurut Henri, sewaktu razia dilakukan, maka film-film porno merupakan target utama. “Kami di sini semua sudah gak mau jualan S3 (film porno) mas. Malahan, kalau ada yang nanya ada S3, malah dicengin (dipermalukan) gitu. Caranya, sewaktu dia nanya sambil bisik-bisik, kita malah kencengin aja; apa? S3? seolah-olah kita gak denger. Dia jadi malu sendiri,” ujar Henri.
Proses kegiatan ekonomi ternyata selalu beriring dengan proses sosial. Pilihan beberapa pedagang yang tidak selalu ajeg dan stabil dalam menjual sesuatu juga diakibatkan oleh hubungan mereka dengan lingkungan sosialnya, terlebih khusus dengan para pejalan kaki yang ada di situ. Pengamatan di awning kaos milik Agus sangat menunjukkan hal itu. Di etalase awningnya, menempel beberapa stiker ‘kolektif punk’ ada beberapa koleksi CD musik dan kaset lawas, poster Mr. Smith, vokalis dari kelompok The Cure, serta poster kelompok musik Wezeer. Ada sekitar 25 kaset dan CD dalam etalase tersebut, dan sekitar 60 kaos yang dipajang di gantungan baju. Rata-rata untuk jenis kaos unisex bertemakan kelompok musik, terutama kelompok musik dari Barat, Eropa dan Amerika Utara, ada juga yang dari Eslandia seperti Bjork, yang tahun kemarin sukses manggung di Indonesia. Dari dalam negeri diwakili oleh BurgerKill, group musik dari Bandung, Marjinal dari Jakarta. Agus sendiri mengaku mengenal pemiliknya yang merupakan anggota kelompok punk dari Bojong Gede, menurut Agus cukup terkenal di kalangan punk di Jakarta dan Depok. Untuk jenis kaos perempuan, kebanyakan bergambar kartun, seperti Doraemon, Emily, tokoh kartun Manga, dan beberapa tokoh lainnya.
“Disini kami lebih banyak menerima pesanan kaos. Keuntungannya lebih banyak dari sana. Termasuk kaos-kaos kartun ini, awalnya kami buat berdasarkan pesanan. Karena seringnya ada yang bertanya tentang desain kartun akhirnya kami mencoba mengikuti pasar. Tadinya kami hanya menjual kaos dengan gambar atau nama kelompok musik saja, tidak menjual kaos bergambar kartun. Kebanyakan yang membeli kaos kartun ini adalah perempuan. Dan pembeli kami sekarang seimbang, tapi dari pengalaman kami ada kenaikan pembeli perempuan,” ujar Agus.
Sedangkan Cak Tarno, selain bermotif ekonomi ia juga memiliki kepentingan lain dalam menjual buku-buku di jalan itu, yaitu sebagai ruang transformasi diri. Sejak tahun 1995, ia berdagang di bagian dalam menjual buku-buku manajemen. Lalu tahun 1998, ia pindah ke bagian depan karena ia tidak mampu membayar sewa. Tetapi, pada tahun 2002 ia pindah lagi di tempat yang sekarang ini ia jadikan sebagai berdagang sekaligus tempat berdiskusinya beberapa orang yang konsen di bidang ilmu-ilmu sosial. Kepindahannya ke tempat yang sekarang ini pun berkat kebaikan pemilik rumah yang memberikan tempat untuk dijadikan sebagai toko buku, hingga Cak Tarno pun membayar sewa tempat itu dengan sangat murah.
Cak Tarno sendiri mengatakan bahwa buku-buku yang dijual di jalan itu pun kebanyakan buku-buku manajemen dan hukum. Ia lalu mencoba menjual buku-buku ilmu sosial dan sastra yang ternyata sangat menarik minat pembeli. Cak Tarno yang hanya lulusan SD ini mengatakan bahwa strateginya berdagang buku sangat berbeda dengan pedagang buku yang lain. Ia mengaku bahwa dirinya telah “menyatu” dengan pembeli, dalam arti ia tidak mau mengambil jarak dengan mereka. Jika pembeli ingin melihat dan membaca terlebih dahulu buku yang diminati, maka Cak Tarno tidak pernah keberatan. Di sisi lain, Cak Tarno memang suka membaca buku-buku tersebut, sehingga ia sangat fasih menjelaskan isi buku tersebut. Pergaulannya dengan beberapa mahasiswa – yang kemudian mendirikan Cak Tarno Institute – semakin menambah pengetahuannya. Beberapa teori dalam bidang ilmu sosial, khususnya filsafat pun ia lahap.
Kemampuannya mentransfer pengetahuan kepada pembeli itulah yang membuat para pembeli merasa dipermudah untuk mencari buku-buku yang sesuai dengan minat mereka. Pilihan strategi seperti ini memang memiliki dampak tersendiri baginya. Selain ia sendiri merasa bertambah wawasannya, ia juga menjadi sangat dikenal sebagai penjual buku dengan cara yang cerdas. Dan jika dibandingkan dengan pedagang buku yang lain di Jalan Sawo, tampaknya Cak Tarno masih satu-satunya yang memiliki kemampuan seperti itu. Sayang, menurut Cak Tarno, ruang diskusi dan berbagi pengetahuan yang kerap ia gelar tidak banyak diikuti oleh mahasiswa UI seolah-olah diskusi menjadi sesuatu yang tidak penting lagi.
Apa yang menarik dengan mengamati Jalan Sawo adalah keberadaannya sebagai tempat (place) dan ruang (space) bagi tindakan sosial yang bermakna. Konsep ruang sendiri pada awalnya banyak terinspirasi dari kajian tentang geografi, tetapi kemudian mengalami perkembangan ketika ia dimasuki oleh kajian ilmu sosial. Penyebutan ruang sebagai pilihan memiliki implikasi konseptual ketimbang menyebutnya sebagai tempat.
Harvey mengemukakan bahwa suatu tempat tidak semata-mata objek fisik semata, melainkan juga suatu ranah pengalaman, imajinasi, harapan, emosi, dan fantasi (Harvey, 2004: 102). Dalam konteks itu pula, Werlen (2006) menambahkan sentuhan kritis tentang tindakan agen dalam suatu ruang. Menurutnya, ruang menjadi bermakna ketika setiap subjek atau agen bertindak untuk mengekspresikan subjektifitasnya terhadap kondisi material yang ada di sekitarnya. Teori ini kemudian dikenal sebagai geografi sosial berorientasi tindakan (theory of action oriented social geography) (Werlen, 2006: 7). Teori ini merupakan kritik terhadap pemikiran Lefebvre (2001) mengenai praktik spasial (spatial practice) yang dinilai bernuansa materialisme vulgar karena menganggap bahwa ruang merupakan komponen utama dari terbentuknya perilaku sosial, sedangkan perilaku merupakan akibat dari respon yang dirangsang oleh ruang material. Pemikiran ini, menurut Werlen telah jatuh pada reifikasi terhadap ruang dan reifikasi terhadap relasi produksi karena menganggap bahwa yang sosial hanya mewujud di dalam yang material. Sementara tindakan justru memiliki sisi sosio-kulutual seperti nilai-nilai dan norma-norma yang tidak bisa direduksi pada telaah fisik dan biologis semata.
Sebagai kritik terhadap praktik spasial Lefebvre, Werlen memberikan rumusan tentang proses tindakan subjek yang muncul dalam ruang tertentu. Menurutnya, setiap tindakan selalu mengandung empat urutan (sequence) proses, yaitu: proyeksi tindakan, pendefinisian subjek terhadap situasi, realisasi tindakan, dan konsekuensi tindakan. Keseluruhan urutan proses tindakan tersebut bukan suatu ranah yang bisa diamati (observable) karena terletak pada intensionalitas subjek, bukan pada respon yang muncul sebagaimana dikonsepsikan oleh para teoretisi perilaku (behaviorist).
Dalam setiap tindakan yang dilakukan para subjek dalam ruang itu pula Bourdieu menambahkan sentuhan mengenai perlunya melihat kekuasaan dalam setiap interaksi yang terjadi (1991). Konsep kekuasaan sendiri banyak terinspirasi oleh Foucault (1980) yang memaknai kekuasaan (power) sebagai suatu situasi strategis yang dimiliki dan dioperasikan oleh setiap individu dalam setiap relasi dengan yang lain. Dalam konteks ini, maka kekuasaan bukanlah suatu kekuatan yang dominan dan hanya dimiliki oleh kelompok tertentu, melainkan menyebar dan terdapat pada setiap individu.
Ruang sosial (social space), menurut Bourdieu selalu terkait dengan berbagai modal – ekonomi, sosial, dan budaya - yang melecut beroperasinya kuasa. Keberadaan RT, keamanan, aparat kepolisian dengan kontrol yang dimanifestasikan melalui regulasi, retribusi, dan permintaan setoran menunjukkan bagaimana kekuasaan itu bekerja dengan masing-masing modal yang dimilikinya. Di sisi lain, para pengemis, pengamen, atau waria yang suka bertindak di jalan tersebut juga menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan.
Beberapa pengemis yang tidak penah absen menjelepok di Jalan Sawo ini menurut Cak Tarno dan juga Alfred bisa mendapatkan penghasilan harian hingga mencapai 300 ribu rupiah, suatu jumlah penghasilan yang cukup lumayan. Cak Tarno yang berdagang buku di dekat tempat mangkalnya pengemis itu tampaknya mengerti betul bagaimana kehidupan pengemis tersebut.
“Itu (pengemis) yang suka mainin suling itu ya di situ terus. Pengemis itu sebenarnya bukanlah tergolong orang miskin karena mereka itu rata-rata memiliki rumah di kampungnya. Dulu, penghasilan pengemis itu bisa 300 ribu perhari. Tapi sekarang menurun karena orang-orang di sini sudah tau kalo dia itu bukan pengemis miskin yang sebenarnya. Gimana mau dibilang miskin kalo tiap datang dan pulang dia diantar oleh seseorang bersepeda motor. Dia sih ngakunya itu tukang ojek. Tapi sebenarnya bukan. Itu ya dari kelompoknya sendiri,” ujar Alfred.
Beragam tindakan yang dilakukan oleh para aktor yang ada di Jalan Sawo, dari mulai cukup menggambarkan adanya suatu keterjalinan hubungan antara jalan sebagai wilayah material dengan manusia sebagai subjek yang kreatif. Berbagai gambaran secara etnografis di atas cukup menggambarkan bagaiamana kreatifitas tersebut dibentuk dalam rangka mengembangkan suatu kehidupan dan relasi sosial yang konstruktif. Melalui Jalan Sawo itu pula menjadi tampak jelas untuk merelevansikan antara basis produksi material dengan superstruktur yang dijembatani melalui tindakan.
Tidak seperti asumsi beberapa kelompok materialis vulgar yang menganggap bahwa wilayah material berada sebagai fakta eksternal yang membentuk relasi dan kesadaran sosial, Avineri (1968) dengan menafsirkan postulat Marx mengenai kerja mengatakan bahwa kekuatan produksi yang termanifestasikan pada kondisi material bukanlah realitas objektif yang berada di luar (external) dari kesadaran manusia, sebaliknya, ia justru merepresentasikan organisasi kesadaran dan tindakan manusia yang terbentuk dalam relasi-relasi sosial yang konkret. Melalui relasi sosial, tindakan berdasarkan kesadaran itulah yang akan membentuk dan mengubah kehidupan dunia secara terus-menerus (Avineri, 1968: 76-77).
Simak saja apa yang pernah diungkapkan oleh Teti, pedagang masakan padang dan juga pedagang aksesoris itu sangat mengerti betul pada saat kapan para mahasiswa sedang ujian sehingga ia juga harus menyiapkan barang dagangan seperti ATK dengan jumlah yang lebih banyak dari hari biasanya karena sangat potensial akan dibeli oleh para mahasiswa yang lewat. Demikain halnya yang dilakukan oleh Cak Tarno yang selalu memperkaya diri dengan penambahan pengetahuan melalui pembacaannya terhadap buku-buku dan juga diskusi (relasi sosial dan intelektual) dengan beberapa mahasiswa telah membentuk tindakan dan pengetahuan yang selalu berubah.
Tindakan kreatif yang dilakukan oleh para subjek di Jalan Sawo itulah yang pada akhirnya akan membentuk suatu dialektika transformasi – Marx menyebutnya sebagai Aufhebung (transformasi)- yang mendorong kemampuan progresif dan memperluas kapasitas manusia untuk menjalani dan menjelaskan dunia, bukan karena wilayah material seperti Jalan Sawo itu sebagai sesuatu yang apa adanya, sebaliknya, para subjek itulah yang membentuk keberadaan (eksistensi) dunia material Jalan Sawo melalui relasi sosial mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui tindakan berdasarkan kesadaran dalam kehidupan sosial itulah maka kebudayaan juga terbentuk. Berbeda dengan pemahaman tentang kebudayaan sebagaimana yang selama ini mengemuka dimana kebudayaan kerap digambarkan sebagai sesuatu yang statis, diwariskan dan lestari, maka kebudayaan dalam konteks kehidupan di Jalan Sawo adalah berbagai relasi yang terjalin antara subjek yang bertindak secara kreatif. Kebudayaan bukanlah definisi, melainkan praktik atau tindakan-tindakan manusia itu sendiri dalam suatu ranah historis tertentu (Roseberry, 1997: 31). Dengan pengertian lain, kebudayaan selalu dikonstruksi oleh para subjek melalui praksis secara terus-menerus.
Meminjam istilah Giddens dalam Muttaqien (2008) bahwa aturan (rule) merupakan bagian dari kemampuan untuk mengetahui dan dasar dari tindakan. Jika setiap tindakan mereka merupakan bagian dari sosial maka diperlukan sumberdaya sosial untuk mencapai hasil. Giddens, melihat bahwa kekuasaan bukanlah sebuah sumberdaya. Pemakaian sumberdaya seketika menghasilkan kekuasaaan. PKL menggunakan sumberdayanya untuk memenuhi kepentingannya, berinteraksi, dan akhirnya melalui pembiasaaan (routinization) dan pemosisian (regionalization) para PKL mampu mempertahankan eksistensinya. Pemosisian ini memungkinkan PKL mereproduksi hubungan-hubungan yang lintas waktu dan tempat. Namun pemosisian membutuhkan tempat tetap (representational space) untuk menghadirkan interaksi tersebut, kebutuhan akan tempat yang tetap ini bagi para PKL bukan cuma mempertahankan rezeki, namun juga mempertahankan relasi (kepercayaan) yang merupakan motif tak sadar dari setiap tindakan. Sedangkan rutinisasi (pembiasaan) membutuhkan interaksi yang menerus, memainkan peran dan memahami situasi. Baik rutinisasi dan pemosisian keduanya memproduksi dan mereproduksi kepercayaan (trust) sebagai basis interaksi, yang bermuara pada kata konsensus. Pengalaman pedagang kaki-lima dengan pelanggannya merupakan sejenis sumberdaya, yang dalam kasus pedagang kaki lima di jalan Sawo ini mampu direproduksi. Pertama, para pedagang mengakumulasikan pengalamannya, lewat transaksi yang berulang dan membangun kepercayaan. Kedua, interaksi yang dilakukan antara pedagang dan pelanggan merupakan transfer pengetahuan, cuma dalam tahap ini pelanggan/pembelilah yang lebih banyak menuntut agar pedagang memiliki pengetahuan tentang produk, di tahap ini terjadi transfer pengetahuan. Ketiga, tuntutan untuk mengetahui produk yang di jual dijawab oleh para pedagang dengan mempelajari fitur produk, sejarah, dan isi dari produk itu sendiri. Kasus Cak Tarno dalam menjual buku atau Si Gondrong dalam menjual DVD atau Babe dalam menjual baju/kaos merupakan contoh tahap ketiga yaitu ketika pedagang melakukan suplai pengetahuan kepada pelanggannya.
Babe belajar untuk mengenal apa yang dia jual dari pembelinya, dan ia sudah mulai melihat trend, dari apa yang dipakai mahasiswi yang lalu-lalang, atau dari langganan yang menanyakan motif kaos tertentu. Babe mencari tahu juga apa yang tidak dijual sesama penjual kaos di jalan itu, walaupun menurutnya pemasok kaos atau tempat membeli kaos tersebut sama, di Pasar Pagi Mangga Dua atau di Tanah Abang. Ia walaupun baru tujuh bulan berdagang sudah bisa menjelaskan bagaimana kebiasaan mahasiswi/mahasiswa yang lewat, apa maunya-sekedar melihat-lihat atau memang ingin membeli, dan mengamati langsung trend yang sedang digandrungi.
Pengetahuan Babe dan pedagang lainnya dalam menilai apa yang dibutuhkan oleh pembeli hanya bisa dilakukan lewat interaksi yang cukup intens dengan ‘barang dagangan’ sebagai titik singgungnya. Intensitas hubungan ini dalam bahasa ekonomi menimbulkan ‘kepercayaan’ yang oleh merupakan unsur utama dalam transaksi atau relasi jangka panjang. Unsur kepercayaan inilah yang dijaga sebagai sebuah modal untuk bertahan hidup, karena di dalamnya terkandung (embedded) unsur pengurangan risiko. Turner (2008) menyebut hubungan ini sebagai relasi nilai yang menghubungkan antara ruang sosial dan ruang privat, nilai guna dan nilai tukar, relasi nilai inilah yang menjadi penghubung (mediate) kepentingan-kepentingan dari yang partikular ke universal. Di jalan Sawo yang universal ini merupakan kepentingan-kepentingan umum (publik) untuk mempertahankan fungsi asali jalan.
Post Script
Sebuah jalan yang bergerak, berubah dari waktu ke waktu. Jalan selalu dihuni oleh banyak kepentingan. Jalan Sawo menjadi etalase berbagai franchise kelas kaki lima dan ekspresi para pejalannya, yang ingin selalu tampil atau mengenyahkan diri secepatnya. Lynch (1960) dalam Pile (1995) menyebutkan bahwa ada lima elemen dari manusia yang mengarahkan orientasinya, arah (path), landmark, batas (edge), titik singgung (node) dan wilayah (district). Sebuah jalan hampir memerlukan lima elemen tersebut untuk menjalankan fungsinya sebagai jalan. Langan (1995) dalam Mrazek (2006) menyatakan bahwa jalan merupakan penuangan imajinasi kebebasan melalui bahasa untuk mengekspresikan hak-hak individu, mereka bisa datang dan pergi tanpa izin dan tanpa harus menjelaskan motif-motif atau urusan mereka.
Perkembangan jalan Sawo ke arah semakin komersil (ditandai dengan dengan nilai land rent) merupakan konsekuensi dari akumulasi kapital yang merupakan kebutuhan baru, bahkan kebutuhan utama (dalam sistem kapitalis) untuk memenuhi skala ekonomi dan bertahan dalam persaingan. Dalam hubungan ekonomi (relasi produksi) kebutuhan ini akan menekan ongkos produksi (termasuk di dalamnya upah buruh, biaya sosial dan biaya lingkungan), bahkan melampauinya, seperti dalam ekonomi tanda. Dalam mode ekonomi tanda sebuah ruang akan dieksploitasi bagai sebuah sebuah panggung, dimana tidak terjadi keterlibatan dalam sebuah percakapan, namun lebih pada penampilan yang akan memberikan persepsi auralic dan visual.
Jalan Sawo sebagai sebuah jalan berorientasi mewujudkan arahnya sebagai mode ekonomi tanda dimana hal tersebut merupakan kebutuhan untuk melempangkan proses akumulasi modal. Hal ini terlihat dengan adanya perubahan-perubahan dalam tampilan visual kios-kios yang berjajar di jalan itu. Sehingga jalan Sawo sebagai jalan merupakan landmark bagi dirinya sendiri, yang bisa juga dijual untuk bertahan hidup, pengalaman yang sama dialami oleh jalan-jalan di Kemang, jalan Melawai, jalan Sabang, atau Wall Street, bahkan Abbey Road.
Fenomena Jalan Sawo menunjukkan bahwa ia bukan hanya suatu wilayah geografis yang didiami banyak orang, melainkan juga telah menjadi ruang sosial dimana di dalamnya terdapat beragam relasi dan kepentingan, termasuk penuangan fantasi, gagasan, dan impian banyak orang. Tafsir dan penjelasan yang dikemukakan dalam laporan penelitian ini bisa jadi dibaca sebagai suatu reduksi pembacaan dan pemaknaan terhadap realitas Jalan Sawo yang mungkin saja lebih luas dari sekedar apa yang dikemukakan di atas.
Etnografi Jalan Sawo ini hanyalah contoh dari sekian banyak kasus etnografi di wilayah perkotaan (urban ethnography) yang menunjukkan adanya beberapa kesimpulan sementara. Pertama, Jalan Sawo sebagai ruang yang berada di sudut Kota Depok banyak dijejali oleh beragam subjek dengan latarbelakang kepentingan dan pemikirannya masing-masing. Kedua, dalam ruang itu pula, subjek perlu dipandang sebagai pelaku yang kreatif dalam mengakumulasi seluruh potensialitasnya melalui tindakan dan relasi sosial konkret, bukan semata-mata untuk sekedar bertahan hidup, melainkan juga mengembangkannya menurut fantasi dan impian yang mereka tumbuhkan. Ketiga, etnografi Jalan Sawo ini juga memiliki implikasi teoretik berupa pengayaan terhadap relevansi antara kasus dengan teori yang dipakai, juga memiliki implikasi metodologis berupa pencermatan terhadap relasi-relasi dan tindakan para subjek di jalan tersebut.
widhy | sinau
miftahus surur
Avineri, Shlomo. 1968. The Social & Political Thought of Karl Marx. New York: Cambridge University Press
Bourdieu, Pierre. 1991. Language & Symbolic Power. Cambridge, Massachussets: Harvard University Press.
Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society: Outline of The Theory of Structuration. Oxford.
Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge. New York: Pantheon Books
Harvey, David. 2004. Spaces of Neoliberalization: Toward a Theory of Uneven Geographical Development. Germany: Franz Steiner Verlag
Laksono, PM, et.al. 2000. Permainan Tafsir. Politik Makna di Jalan pada Penghujung Orde Baru. Yogyakarta: Insist Press
Levebre, Henry. 2001 (reprinted). The Production of Space. Blackwell
Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers Of Happy Land. Perkembangan Teknologi Dan Nasionalisme Di Sebuah Koloni. Yayasan Obor Indonesia.
Muttaqien, W. 2008. http://kedaisinau.multiply.com/journal/item/157/Bunga_Trotoar
Roseberry, William. 1997. “Marx and Anthropology,” dalam Annual Review of Anthropology. Vol. 26.
Rustiadi, E. et.al. 2008. Perencanaan Wilayah. Crestpent Press. Bogor.
Turner, Terence. 2008. Marxian Value Theory. An Anthropological Perspective. Los Angeles, London, New Delhi: SAGE Publication
Werlen, Benno. 1993. Society, Action and Space. London and New York: Routledge
Keren, Mas.
ReplyDeleteSekadar berbagi, ada titik tolak yang menarik untuk diperbandingkan.
Aku sempat ikut Stadium Generale Mudji Sutrisno di Goethe tentang Ruang dan Kebudayaan. Fakta historis yang diangkat sebagai dasar adalah 'alun-alun di Surakarta atau Yogyakarta' sebagai ruang publik, pertemuan antara kawula dengan raja. Ekspresi.
Mudji menitik beratkan pada 'ruang publik sebagai sarana ekspresi kawula dengan raja yang dikemudian hari, karena adanya proses industrialisasi, mengalami pergeseran nilai, katakanlah dari yang bernilai sosial menjadi murni ekonomi, interaksi sosial mengalami degradasi menjadi interaksi ekonomi, yang kemudian diperparah dengan konsumerisme sebagai konsekuensi dari interaksi ekonomi yang berpijak pada akumulasi modal.'
Kalau Mas, menitik beratkan pada pandangan 'ruang Jalan Sawo merupakan ruang yang pada awalnya tidak memiliki fungsi publik yang murni selain sekadar-jalan, perlintasan tanpa interaksi, mengalami perubahan menjadi penuh interaksi dengan karena adanya arus modernisasi, yakni pendidikan (keberadaan UI), juga arus industrialisasi (lebih mengacu pada pemanfaatan ruang secara ekonomis untuk mendapatkan keuntungan), dan masih adanya modal sosial yang menyebabkan ruang terbebas dari konflik dalam artian yang relatif.'
Dan apa yang aku baca, yang bisa aku simpulkan, ada kesamaan gagasan, barangkali secara implisit, untuk menyatakan bahwa manusia bukan hanya sekadar mahluk ekonomis, pun juga bukan mahluk sosial.
Dari sudut pandang Mudji, penguasaan ruang publik oleh modal/industrialisasi/kapitalisme menjadikan manusia jatuh kepada pemuasan hasrat belaka, materialisme, konsumerisme, pengobjekan, dan sebagai implikasi tentu saja menafikan/mengeliminasi/memenggal dimensi sosial manusia (fenomena: pembangunan mall tentu bukanlah didorong untuk meningkatkan ikatan sosial antara sesama, melainkan cukup bisa dipastikan ditujukan untuk memenuhi kepentingan ekonomi semata).
Dari sudut pandang Mas, yang menempati ruang adalah subjek, pelaku yang kreatif di mana transaksi yang terjadi adalah subjek dengan subjek; atau dengan kata lain: tidak ada objek di dalam ruang publik (sebagaimana yang berlaku dalam ruang yang murni pasar.)
Mantap!!!