Sunday, 24 May 2009

Kemajuan Yang Dipilih



Upaya pembangunan masyarakat perdesaan di Irian Jaya merupakan  suatu upaya yang memerlukan pendekatan dan metode yang sesuai dengan keragaman biofisik dan sosial budaya masyarakat Irian Jaya. Hasil penelitian lapang menunjukkan bahwa pola dan tingkat perkembangan di Irian Jaya sebagian besar masih  berupa pola perladangan berpindah…Pengusahaan tanaman padi dan tanaman pangan introduksi lainnya masih terbatas pada lokasi-lokasi yang berdekatan dengan lokasi transmigrasi … kegiatan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat seringkali dibatasi oleh norma dan adat kesukuan… dalam kondisi spesifik Irian Jaya, selain faktor biofisisik, kelembagaan tradisonal masyarakat setempat masih sangat berperan dalam upaya pengembangan masyarakat pedesaan (Ringkasan Proyek, hlm xiii)

Konsep pembangunan yang disamakan dengan pertumbuhan ekonomi itu tidak akan membangkitkan kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk berperan serta secara aktif, jika konsep iti tidak dipahami, apalagi tidak sesuai dengan minat dan kebutuhan masyarakat (Budhisantoso, S. 2001).  

Jika dilihat dari kasus di atas maka akan terlihat  bahwa ada satu kata yang menjadi ‘mediasi’ di antara aktor pembangunan, yaitu ‘pengetahuan’, upaya yang dilakukan oleh pemerintah dari tahun ke tahun adalah peningkatan ‘pengetahuan’ lewat program pendidikan, formal, non formal, dan informal. Mediasi yang dimaksudkan adalah bagaimana menghubungkan apa yang diidealkan unrtuk dicapai dengan praktek sosial masyarakat. Pembangunan menurut Alisyahbana, adalah modernisasi, the ide of progress.

Kemajuan
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai kemajuan maka perlu di perjelas mengenai posisi modernitas sabagai sebuah keadaan, sedangkan modernisme sebagai hal-hal yang terkait dengan sosial, kultural, estetika, dan gerakan politik yang terkait dengan modernitas. Modernitas mengandung, terutama seringkali disebutkan sebagai runtuhnya feodalisme  dan berkembangnya kapitalisme industri, sehingga titik modernitas dibakukan saat Era Pencerahan, dimana terjadi sekularisasi, pemisahan yang sakral, privat, biblikal dan yang profan, publik, rasional. Hasilnya antara lain birokrasi, negara bangsa (pengganti Negara feudal), urbanisasi, borjuasi. Di Eropa proses ini menyerang otoritas agama (gereja) dan Negara (feodal). Modernitas sangat terkait dengan pemikiran ilmiah dan penemuan baru, meruntuhkan dan membangun. Tujuannya mencipta, maju, kebebasan, persamaan, persaudaraan.
 
Konsep diri: penemuan diri
Antropologi awal melukiskan Diri sebagai bagian dari sosial (something shares with others), namun sulit sekali untuk memberikan atribusi Diri jika itu berkenaan dengan orang-orang yang mereka teliti. Misalnya ‘western self’ dipertentangkan dengan ‘non western self’. Diri dalam konsep Barat, terisi oleh sesuatu yang boundedness, memiliki otonomi relatif, tak tergantung, merenung, dan mampu mencapai tujuan-tujuannya. Geerzt, melihatnya boundednes sebagai peculiar, unik, pembelajar, mampu melakukan penilaian dan tindakan untuk mengubah keadaannya dari determinasi alam. Konsep ini seperti mengacu pada cogito Descartes. Sedangkan ‘non Barat’ diidentifikasikan sebagai diri yang sebaliknya, tergantung, tidak utuh (dalam hal personal), kemajuan pribadi dikalahkan oleh kemajuan komunal atau kelompok, tidak dapat memenuhi tujuan-tujuan pribadinya. Artinya, antropologi awal ketika menyangkal ‘kesamaan’ yang ada pada sifat Liyan dengan konsep Diri (yang sama seperti Diri dalam konsep Barat) maka sesungguhnya antropologi telah menegasikan Liyan secara keseluruhan. Kembali kepada konsep psilkologi tentang identitas maka konsep Barat mengenai identitas, dimana individu berbeda satu dengan lainnya tidak diketemukan dalam ‘pengetahuan’ antropologi awal, sehingga timbul istilah ‘primitive soul’ (Lev-Bruhl’s) , instead of self, dimana determinasi kultural dan sosial bersembunyi dibalik konsep Diri bukan Barat.
 
Tidaklah penting meniru Barat habis-habisan kebudayaan sejak lahirnya kemerdekaan selalu dikait-kaitkan dengan apa yang disebut weltanstung revoluisoners, hasrat mengubah sesuatu, meruntuhkan, membalikkan, kondisi keterpurukan akibat kolonialisme. Dengan mencapai apa yang dicapai Barat bertahun-tahun dalam waktu yang paling singkat. Alisyahbana percaya dengan rekayasa kebudayaan yang teramat canggih. Maka ia serta merta juga mulai melihat Barat sebagai kiblat, feodalisme harus dihapus-individu menggantikan komunalisme (sempit). Tribalisme harus tergantikan dengan semangat membangun nasionalisme, hal yang sama diucapkan oleh Gajah Mada dengan Sumpah Palapa, nasionalisme Majapahit. Gajah Mada menyimbolkan dirinya sebagai Diri-Majapahit Raya-yang memiliki wilayah sampai ke Campa, Sula, Mindanau Selatan. Sesuai dengan apa yang dikatakan Poespowardoyo: Momen pembangunan nasional adalah momen fenomen budaya yaitu; antropos, oikos, tekne, dan ethnos.
1.    antropos: manusia sebagai individual adalah faktor sentral dalam pembangunan nasional, bukan saja sebagai subjek pendukung namun juga sebagai pencipta dan tujuan pembangunan nasional. Manusia mengolah alam menjadi manusiawi.
2.    oikos: menunjukkan universum kosmis dimana manusia hidup menjalankan proses pembudayaannya. lingkungan bukanlah satu-satunya sarana bagi kelangsungan hidupnya, melainka sebagai runag hidup melalui objektivikasi manusia-lewat karya.
3.    tekne: adalah peralatan yang digunakan sebagai perpanjangan tangannya. untuk membuat karyanya itu-megolah dunia-memanusiakan alam.
4.    ethnos: yang berarti komunitas, menunjukkan pembangunan nasional sebagai unsure kebudayaan merupakan hasil interaksi antara pribdai-pribadi yang bergabung dalam masyarakat.

Inilah yang menjadi inspirasi pembangunan kebudayaan nasional, yang merupakan puncak-puncak dari kebudayaan ethnos-daerah. Sehingga Poespowardoyo memberikan tiga strategi kebudayaan.
1.    Strategi kebudayaan dilakukan lewat perpspektif budaya yang komprehensif, yang memiliki cakupan luas atas peri kehidupan masyarakat.
2.    Strategi kebudayaan dimaksudkan untuk menghadapi masa depan dengan segala masalah dan tantanganya, sambil menafsirkan kembali sejarah masa lalu secara kreatif demi kemajuan.
3.    Strategi kebudayaan diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, jasmani dan rohani, memperluas dan memperbanyak akses terhadap kebutuhan dasar.

Inilah yang menjadi konsideran kebudyaan nasional, yang dimuati dengan nilai-nilai [1] solidaritas bangsa, [2] partisipasi masyarakat, [3] pemerataan, [4] otonomi, nilai ini dianggap sebagai perekat untuk mempersatukan bangsa. Namun semua ini harus dipandang sebagai kesempatan. Dari kacamata modern, kesempatan tersebut adalah untuk meningkatkan kepercayaan dan mengurangi risiko, keduanya menurut Giddens berkelindan, kepercayaan bertugas melayani bahaya yang merupakan keadaan/situasi tertentu yang melingkupi aktivitas manusia, keterampilan manusia dan tekne hadir bersamaan dengan kesadaran akan keadaan ini-kesadaran ini dimulai dengan adanya keyakinan akan reliabilitas sistem atau personal, dalam konteks situasi yang dihadapi.

Kemacetan dalam perspektif Alisyahbana dan Poespowardoyo, menurut Dewanto (1996) merupakan kemandulan dan kpercayaan pada daya cipta yang berhadapan dengan kekuatan-kekautan baru. Disini yang dipersalahkan adalah individu sebagai pencipta budaya. Sehingga tarik-menarik pelbagai determinan kebudayaan diabaikan.

Konsep diri: penemuan yang lain
Konsep diri Self, jika dihubungkan dengan studi pos-kolonial maka konsep ini bisa dibedah lewat konsep differance-nya Derrida. Jika perbedaan (difference) adalah membuat makna, persepsi dan kognisi dimungkinkan, maka differance adalah membuat perbedaan itu menjadi mungkin. Differance adalah sesuatu yang jauh-sebelum, sehingga tidak dapat dialami dan hadir, karena pengalaman dan kehadiran hadir dalam perbedaan. Jika perbedaan sudah hadir maka differance-pun hadir, differance menjadi penundaan makna. Yang Lain terkait dengan ‘penundaan’ to defer’, untuk ditunda, sementara, tidak termasuk dalam ‘ruang’ yang sama. Jika perbedaan itu nyata hadir maka yang Lain (Others) hadir, dan terus berubah, jika yang Diri (Self) juga berubah. Sehingga identitas Diri dan Liyan mutually exclusive. Ini yang membedakannya dari antropologi masa lalu.

Determinan yang terpenting adalah yang Lain. Kasus pembangunan di Papua seperti juga kasus pembangunan masyarakat lain di Indonesia dalam tataran visi dan strateginya lebih banyak mengalami distorsi filosofis, yang sudah diwacanakan banyak orang, merayakan perbedaan, Bhineka Tunggal Ika. Unsur ketunggalan merupakan unsur yang dijadikan terpenting. Padahal ketunggalan tersebut ‘mematikan’ perbedaan. Persatuan yang dimaknai penyeragaman-tunggal inilah yang akhirnya, menjerumuskan bangsa ini seperti yang disinyalir Giddens, sebagai ketidaksiapan dalam menghadai risiko-risiko, ketidaksiapan tersebut terutama pada persoalan trust dimana masing-masing suku bangsa, yang komunal, ethno, seharusnya dipercaya untuk membangun kedaulatannya sendiri-dalam pengertian-harga diri sebagai identitas yang berbeda. Walau bagaimanapun berbangsa merujuk Anderson adalah ‘mengimajinasikan’ kebersamaan, dan jika meminjam istilah Derrida di atas sebagai ‘menunda’ proses ‘kebersamaan berbangsa’ jika perbedaan telah hadir menurut proses differance ini maka kebersamaan niscaya hadir. Sehingga Ika ada karena bhinneka, mutually exclusive, jika bhinneka dibunuh maka artinya bunuh diri. Kasus pembangunan di Indonesia, membunuh kebangsaanya sendiri, dengan meletakkan ketidakpercayaan sebagai refleksi dari menjauhi bahaya perpecahan sesungguhnya  adalah menolak yang Lain. Sehingga ketika pembangunan dilakukan ia menjadi suatu hal yang dianggap universal dalam konteks kebangsaan, dan menolak yang partikular-kepentingan suku bangsa-suku bangsa, masyarakat yang memiliki bio-region, kebutuhan politik, material, dan institusi yang berbeda, ini yang kemudian disebut sebagai scriptural development, dimana  pembangunan dengan tetek-bengek metafora yang canggih tidak dimengerti oleh masyarakat, kebutuhan dan keutuhan masyarakat sebagai suatu identitas tidak diakomodir, lepas dari teks, karena desain pembangunan tersebut bukan diciptakan untuk merayakan perbedaan.

Lembaga-lembaga desa tidak berfungsi akibat pengaruh lembaga adat… kesenjangan pengetahuan antara peneliti, penyuluh dan masyarakat menjadi kendala dalam introdusir perkebunan kakao… fasilitas yang dibuat untuk pertnian dan sanitasi terbengkalai… masyarakat kembali ke hutan-hutan untuk mencari pendapatan (kebutuhan rumah tangganya…tidak adanya perangsang pasar  sehingga masyarakat tidak memiliki motivasi ekonomi…(beberapa kendala dalam Analisis Agro Ekosistem untuk Pembangunan Masyarakat Pedesaan di Irian Jaya)

Batas
Bashkow memberikan contoh kasus di Papua New Guinea, tentang orang-orang Orokaiva, yang melakukan konstruksi sosial terhadap ‘kulit putih’ yang diturunkan dari generasi ke generasi, dari individu ke individu, untuk memantapkan otentisitas budaya mereka. Orang-orang Orokaiva ini sekarang, diperkenalkan pada makanan kulit putih, gereja (ritual baru), pemerintah daerah (otoritas baru), dan asosiasi pengembangan komunitas a la kulit putih, dan tentunya mereka Orokaiva dan kulit putih berinteraksi di desa-desa dan kota. Beberapa Orokaiva bahkan tinggal di asal tempat kulit putih (Australia). Namun perlintasan kebudayaan ini tetap ditandai dengan ‘makanan kulit putih’, ‘pakaian kulit putih’, dan ‘agama kulit putih’ walau semuanya telah menjadi bagian dari Orokaiva. Perbedaan ini menempatkan ‘kulit putih’ di ‘daerah asing’ dan bagi Orokaiva sesuatu yang baru tersebut harus menjadi bagian dari kategori, nilai-nilai, asumsi dan kepentingan Orokaiva. Asimilasi terjadi, namun dalam batasan dimana Orokaiva membolehkan menterjemahkan pengalaman baru mereka dengan menggunakan konsepsi mereka sendiri, berdialektika dengan apa yang dimiliki oleh Orokaiva. Bashkow menjelaskan bahwa tidak ada kontradiksi antara ketakterbatasan budaya dan sifat dari pengalaman budaya yang buka-tutup (open-ended), karena kebudayaan itu sendiri memberikan pola untuk menjembatani elemen di luarnya dengan kemungkinan membangun sebuah elemen sebagai sesuatu yang asing (tidak dikenal).

Batas-batas kebudayaan tidak juga dapat dikategorikan sebagai mudah ditembus, lemah, atau keras dan kuat, namun bagaimana batas tersebut bekerja dalam konteks tertentu.  Misalnya, orang mati-matian berusaha menembus tembok perbatasan, pada sisi lain makmur dan sisi lainnya miskin, tak berdaya. Pada kasus imigran maka situasi ini adalah lingkungan eksternal, pelolosan diri di perbatasan tersebut sebagai situasi internal, dan batas tersebut adalah kenyataan. Batas menjadi sebuah kenyataan kebudayaan, yang harus dilewati dengan demikian jika terlewati maka terjadi self fulfilling.

Jika kebudayaan berdiam dalam bagian mental kita, maka kebudayaan-kebudayan sebaiknya tidak. Argumen ini muncul dalam kebudayaan-kebudayaan dianggap sebagai fenomena alam. Antropologi mewariskan subyek yang seragam secara budaya yang diturunkan dari kebenaran yang masih dipertanyakan, seperti negara modern dan nasionalime. Akar antropologi juga akar dari nasionalime, seperti yang dikatakann oleh Ben Anderson (1991)--there is not there there.  Pola dari perkembangan kebudayaan, suku atau orang-orang yang terikat oleh keasliannya, kesamaan asal-usul, kesamaan sejarah. Ini tentu saja memiliki konsekuensi (1) bahwa orang-orang yang terikat oleh kesamaan tersebut terjebak dalam kesamaan nilai-nilai dan kebiasaan, menempatkan mereka terpisah dari yang lainnya (2) kebudayaan tersebut merupakan abstraksi dari evolusi mengenai ide tentang kebudayaan itu sendiri, deskripsi tentang kebudayaan-kebudayaan, bangsa-bangsa, dan etnik-etnik-jebakan esensialis.  

Negara modern telat dalam mengenali kelembaman penggandaan nasionalisme, sehingga muncul tuntutan dari masyarakat asli. Kejadian ini disebabkan oleh reproduksi kekuasaan bangsa-bangsa di atas keraguan ilmuwan tentang kebangsaan dalam wacana ilmuwan modern. Keraguan ini mengantarkan kita pada kondisi kebudayaan, sejak (negara) bangsa  dicurigai sebagai anak dari ‘kebudayaan’ seperti yang dinyatakan oleh Anderson di atas. Kebangsaan seharusnya tidak cuma diikat oleh kategori kolonial namun juga oleh kategori pra kolonial, sehinggga studi pos kolonial menolak keseragaman sejarah bagi ‘indigenous people’. Selalu ada ambiguitas waktu, melekatkan yang lampau dan memproyeksikan masa depan.

Pendidikan yang membebaskan
Marx mencatat bahwa kalangan borjuis (dalam kasus Eropa pasca Revolusi Perancis) gagal untuk memberikan pendidikan yang layak, pendidikan digunakan untuk menyebarkan prinsip moral borjuasi. Dalam konteks pembangunan di Indonesia maka pendidikan dilakukan untuk melakukan institusionalisasi  ketunggalan, bukan kesadaran kebhinekaan. Hal ini merupakan pesan moral yang salah tafsir atas konsekuensi dari memilih konsep Bhinneka Tunggal Ika sebagai mediasi dari kepercayaan yang aktulaisasinya adalah harga diri, otonomi untuk menetukan nasib dan memilih kemajauan mereka sendiri.  Ideolgi yang oleh Althusser disebut sebagai ISA-ideological states apparatus, merupakan cara untuk menyebarkan paham kenegaraan versi penguasa, yang di atas disebut sebagai scriptural development. Sedangkan paranoia akan perpecahan jika terjadi penolakan dilakukan lewat RSA-repressive state apparatus, dulu zaman ORBA-dilakukan ABRI yang ditugaskan untuk mendisplinkan tubuh mulai dari tingkat desa, sedangkan ISA juga dioperasionalisasikan lewat lembaga desa yang diseragamkan-lewat birokrasi untuk menggantikan lembaga adat yang dianggap menghambat proses pembangunan. Dua mesin ini dijalankan tanpa memperhatikan unsur Bhinneka, di titik ini ketika, Bhinneka tidak mampu lagi dielaborasi sehingga mampu mengubah cara pandang kita terhadap yang Liyan maka mitos tercipta. Mitos menurut Malinowsky adalah ketika kita tak mampu menjelaskan secara rasional, pada batas, pinggir, penjelajahan rasionalitas kita mitos tercipta. Mitos dalam pembangunan dilakukan pada masyarakat yang terasing yang tidak memiliki kebudayaan, masyarakat tidak bisa maju jika memegang tradisi, dan lain-lain. Hal ini merupakan kegagalan pendidikan, yang menjelaskan bahwa siapa yang sebenarnya bodoh, siapa yang sebenarnya dungu, siapa yang sebenarnya menciptakan kuburan sendiri-bagi semangat ‘kebersamaan’, siapa sesungguhnya yang percaya mitos dan menciptakan takhayul, sehingga puncak-puncak kebudayaan daerah itu tidaklah valid lagi sebagai unsur kebudayaan nasional, karena kata nasional itu harus ditunda pemaknaannya sampai kata daerah yang berdaulat, otonom.

Untuk mengurangi ketidakadilan dalam memandang kebudayaan dari etnis tertentu yang dikungkung olen ‘negara bangsa’ maka sekarang perjuangan indigenous people dilakukan dengan isu cultural rights—hak-hak budaya, sebagai cara-cara pengakuan terhadap kerberadaan mereka, dengan demikian, perlakuan yang sama (tidak diskriminatif) terhadap sumberdaya budaya mereka. Maka istilah pemisahan (separateness) diganti dengan terkandung (embedded), inter-relasi, dan saling membangun. Jejaring (non hirarki) menggantikan struktur (hirarki). Tampilan, kepercayaan, kebiasaan, dan kebutuhan merupakan indikator yang lebih penting dari pengelolaan/pengaturan dibandingkan identifikasi mana yang esensial dan menjadi bagian dari kebudayaan (yang sebenarnya beragam).

Maka Papua menentukan pilihannya, kemajuan yang mereka pilih sendiri. Titik asalnya.







 
Daftar Pustaka

Anderson, Bennedict. 2001.  Imagined Community. Pustaka Pelajar.

Bashkow, Ira (2004) “A Neo Boasian Conception of Cultural Boundaries” ”American Anthropologist, September 2004; 106, 3; Academic Research Library p.443-458.

Budhisantoso, S. 2001. Pembangunan Untuk Siapa?: Suatu Pengantar dalam Antroplogi Indonsia, th. XXV, No. 64. Januari-April 2001.

Cole, Mike. 2008. Marxism and Educational Theory Origins and issues. Routledge.

Derrida, Jaques. 1982. Margin of Philosophy. Chicago University Press.

Dewanto, Nirwan. 1996. Senjakala Kebudayaan. Penerbit Bentang Yogyakarta.

Giddens, Anthony. 1990. The Consequences of Modernity. Stanford University Press.

Kelompok Penelitian Agro-Ekosistem (KEPAS). 1990. Analisis Agro Ekosistem untuk Pembangunan Masyarakat Pedesaan di Irian Jaya: Kasus Enam Desa. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pusat Studi LIngkungan Hidup Universitas Cendrawasih bekerjasama dengan Ford Foundation.

Poespowardojo, Soerjanto. 1989. Strategi Kebudayaan: Suatu Pendektan Filosofis. Penerbit Gramedia.

Sokefeld, Martin (1999) “Debating Self, Identity, and Culture in Anthropology, ”Current Anthropology, 40(4): 417-447.

Sullivan, Patrick (2006) “Introduction: Culture Without Cultures—The Cultural Effect”, ”The Australian Journal  of  Anthropology, 2006, Academic Research Library p.253-264.


 

No comments:

Post a Comment