POL
Bukan kemenangan yang remang-remang
Bukan pula mencari kompensasi dan subtitusi
Jika luka ini akibat kerinduan
Puasa kita melengkapinya
Semoga setelah ini gerak kita menjadi terarah, intim, dan tertuju kepadaNya.
Pol. Dalam bahasa masa kecil saya menggambarkan keadaan yang penuh, final, sampai di titik akhir. Gambaran ini yang ingin saya hubungkan dengan suka-cita saya ketika selesai berpuasa, yang jika saya ingat-ingat sudah berlangsung sejak saya berusia delapan tahun, puasa saya sudah Pol. Tapi belum pol-polan untuk mempertahankan kualitasnya. Pol-polan artinya habis-habisan, semacam puputan, dimana segala daya dan upaya dikerahkan untuk mencapainya. Apakah rasa suka-cita itu terjadi?
Pertama-tama saya ingin menggambarkan keadaan suka cita itu ketika saya masih kecil. Yaitu ketika saya tidak mengerti apapun. Dan kemudian saya diajak untuk berpuasa setengah hari. Apa motif dan tujuannya, saya sama sekali lupa. Yang saya ingat adalah rasa suka cita ketika berbuka. Tujuan saya puasa waktu itu adalah berbuka-atau-membatalkan puasa. Sedikit aneh memang, tentu bagi logika saya sekarang. Tapi bukankah anak kecil cuma butuh sesuatu yang sederhana, tanpa penjelasan yang mendalam. Puasa waktu itu layaknya hapalan, yang kemudian saya panen maknanya ketika saya mulai berpikir. Yap, ketika saya mulai berpikir saya ada, dan sanggup berpikir apa, siapa, mengapa, dan bagaimana saya ada. Kecurangan di waktu kecil tentu ada, percaya atau tidak itu dilakukan karena pengaruh teman. Karena saya pada saat itu sangat percaya bahwa Tuhan itu ada dimana-mana dan tidak terlihat oleh saya, tapi dapat melihat saya. Dan tentu saja saya sukses mengelabui orang-tua, saudara, dan kawan-kawan saya. Walaupun saya percaya Tuhan itu ada dimana-mana tak urung juga saya berusaha mengelabuinya pula, kemudian saya merasa bersalah dan takut berdosa, apalagi mama (saya memanggil ibu saya) selalu mengatakan bahwa Tuhan saya mencintai saya lebih dari apapun yang saya kenal di dunia. Lebih dari cinta mama, tanya saya. Mama cuma tersenyum. Senyum mama saya tafsirkan seperti ‘iya’, karena sebelumnya seingat saya setiap persetujuan diawali dengan senyum, seperti ketika saya menoleh ke arah mama untuk meminta persetujuan: apakah saya boleh mandi hujan. Dan mamapun tersenyum. Senyum mama ibarat senyum Tuhan bagi saya waktu kecil, ia yang memberikan suka cita untuk kali pertama. Membolehkan, mengiyakan apa yang menjadi keinginan saya. Seperti do’a yang terkabul. Senyum itu membekas pada wajah saya ketika anak saya di kemudian hari ingin bermain hujan. Keadaan suka cita yang ingin saya gambarkan memang suka cita anak-anak yang cuma mengenal beberapa gesture dan sedikit kata-kata yang minim metafora. Mengapa, karena seingat saya ketika kecil, saya mulai diajarkan definisi, batasan, dan ujaran yang sifatnya penggambaran, bukan eksplanasi yang rumit dan membutuhkan banyak referensi untuk membuat berbagai macam tafsiran. Dimasa kecil inipula saya diajarkan untuk menceritakan segala sesuatunya tanpa tambahan, imbuhan. Dan membedakan ujaran ‘kata orang’ dengan ujaran ‘apa yang saya lihat dan dengar sendiri’. Seperti halnya puasa, senyum-gesture, dan sedikit kata-kata yang minim metafora inipun menjadi hapalan bagi saya. Hapalan ini kemudian yang menjadi cinta pertama bagi saya. Bahwa ternyata, ada yang tidak terkatakan, lewat kata, gesture, citra, suara. Yang tak terkatakan cuma bisa saya rasakan: mulai dari takut sampai menjadi rindu dan candu. Dia ternyata juga tidak bertempat, dan jika ingin dipaksakan kehadirannya dia ada di hati. Di tempat dimana pertama kali saya menafsir senyum mama.
Lebaran demi lebaran terlewat. Dan semakin ingin rasanya saya memanen berjuta senyum yang hadir disetiap usia. Tentu inginnya seperti tafsir anak-anak yang tidak terlalu rumit. Ingin sekali yang sederhana. Seperti coretan kusut yang oleh anak sulung saya, diberikan nama: ayam (dia melafalkannya YAM disusul dengan teriakan uu u uuuuuu, seperti ayam tetangga yang sedang berkokok). Tapi dunia bagi saya tidak lagi sederhana. Kadang terlalu rumit jika dibandingkan soal matematika di setiap ujian kenaikan jenjang pendidikan. Jika matematika bisa membuat saya kepayahan, berkeringat, dan gemetaran. Maka dunia sekarang, apalagi yang diceritakan media massa, membuat saya putus asa. Dunia saya seperti kehilangan warna, takut salah, dan penuh bohong seperti penjual mawar tanpa duri. Penjual mawar tanpa duri terkesan ingin menyelamatkan banyak orang, tapi apa gunanya mawar jika tidak berduri (sementara penjual berpikir sebaliknya, apa gunanya duri dari sekuntum mawar, yang dijual toh keindahannya, bukan bahaya yang mengancam. tapi saya berpikir sebaliknya, bukankah mawar itu jika dibiarkan alami adalah sekumpulan semak yang berduri. dan keindahannya justru pada kekuatannya, duri yang bertingkat-tingkat menuju kuntum mawar, bukankah ini keindahan—keindahan mawar bagi anak-anak adalah ketika ia memetik mawar dan tertusuk durinya dan mama selalu berkata, jangan dipetik mawar itu, biarkan saja ia menghias taman kita, duri tidak pernah disebutkan dalam larangan, keadaan yang diinginkan sepertinya dipenuhi risiko yang harus diarung sendirian). Dunia saya sekarang membuat saya lemah. Dan kehilangan suka cita dan tafsir yang sederhana.
(Saya kemudian berani menggambar sapi, anjing, kucing, ikan, mawar dan sepeda motor. Sambil menirukan bunyi-bunyian yang keluar dari benda-benda yang saya gambar, akan saya tertawa lepas seperti mengiyakan, takjub dengan gambar yang kacau itu dan saya lebih takjub lagi dengan segala peran indera dan imaji).
Maka ketika semua yang berkait dengan hal-ihwal teror (semoga dengan isme-nya) berakhir di akhir bulan puasa ini (semoga), saya merasa sedikit lapang. Lebaran kali ini semakin lebar, lapang. Isme dalam terorisme ini pula yang kemudian saya ingin kaitkan dengan puasa. Dimana setiap isme tidak saja terkait dengan batasan yang sederhana, definitif, dan (seringkali) terkadang kabur. Isme ini ternyata terkait dengan yang tak terkatakan, katakanlah itu suatu keyakinan, yang bisa jadi didorong oleh pengetahuan, baru dan lama (baca: hapalan) atau suatu hal yang bisa jadi disebabkan oleh mimpi masa lalu, mimpi masa kecil, mimpi yang sesungguhnya ingin dihalau, karena ternyata itu kenyataan yang membayangi, kenyataan yang dilihat dan baru tersuarakan ketika dewasa. Atau ternyata mimpi tersebut bukan mimpi atau kenyataan, Tapi ujaran yang menjadi nyata ketika dinyatakan kemudian, di saat yang tepat (saat dimana ilusi bahaya menjadi potensi bahaya). Ujaran yang menjadi pengetahuan, atau lebih tepatnya informasi yang setengah. Informasi yang tidak lengkap. Tapi apakah ada informasi yang lengkap, bukankah itu seperti ilusi kesempurnaan. Maka teror dan isme-nya semakin menyiksa saya, bukan pada kenyataannya tentang teror itu sendiri. Namun pada kenyataan bahwa teror tersebut bukan suatu hal yang sifatnya tunggal, secara ekspresi ia juga multivokal, di rentang putih-hitam, di wilayah liminal, di wilayah ambang batas, wilayah transisi. Begitu mengganggunya karena ia bisa saja mendistorsi yang tidak terkatakan, katakanlahsesuatu yang letaknya di hati, bukan di pikiran.
Jika puasa kita POL, kata ustadz di kampung saya waktu saya kecil, maka yang terlihat adalah perubahan mental, bukan sekadar perubahan laku. Perubahan laku bisa saja karena sesuatu yang diinginkan, sesuatu yang selalu bisa disembunyikan, seperti keinginan yang selalu diembeli imbuhan. Sedangkan perubahan mental otomatis akan merubah cara pandang dan cara bekerja. Ia menyentuh daerah dimana kata-kata sepi dan tak ternamai, sebut saja hati (jika kita ingin mencari daerah lain silahkan). Bagaimana bisa demikian. Kata ustadz lagi, satu-satunya ibadah yang berurusan dengan Tuhan langsung adalah puasa, dimana Dia tidak bisa dilihat namun selalu bisa melihat, dimana Dia mendekat hanya jika kita berusaha mendekat. Maka jalan terbaik dalam berpuasa adalah mengarah, tertuju, dan intim kepadaNya. Ibadah lain membutuhkan yang lain (baca: jamaah) untuk menyempurnakannya, sedangkan puasa tidak, hanya kau dan Tuhan (baik dari penampilan puasa sampai pada tingkat-tingkat kualitas puasa). Demikian dekatnya saat bulan puasa, sampai para penghalangpun (baca: teror dan peneror) diikat. Sesuatu yang bersifat teror dan sang penerornya tidak diizinkan menggangu. Sehingga isme-nya adalah kita sendiri. Daerah yang remag-remang, multivokal, daerah yang liminal, daerah bergradasi tersebut adalah diri kita, ada bagian dari diri kita yang berpotensi untuk keluar menjadi sesuatu yang teror. Dan puasa cuma untuk mengajak kita mengetahui hal tersebut. Ah, begitu sederhananya hapalan masa kecil. Saya jadi teringat senyum mama. Lebih cepat, akurat, praktis, dari matematika untuk menjelaskan sedikit-demi sedikit kamus dunia.
Kali ke-tiga puluh, puasa saya POL. Isteri saya (anak saya memanggilnya Bunda), di malam takbiran ini, saya ajak menghitung uban di kepala, ada sekitar 16 helai, satu di depan, lainnya tersebar di sisi kiri dan kanan (jangan dicabut, larang isteri saya, uban itu hanya penanda). Hanya penanda itulah yang kemudian penting di kali ke-tiga puluh puasa saya yang sempurna bilangannya. Saya tersenyum kecut (bukan untuk afirmasi), sedikit takut-takut merasai diri, apakah saya selalu ketakutan, menakutkan, atau penakut. Bukankah sudah selama tiga puluh tahun itu saya mencoba intim, apakah itu karena sesuatu yang sifatnya teror, jadi saya takut, bukankah Tuhan mencintai saya sepenuhnya. Dan mengapa saya harus takut, ketakutan, apalagi menakutkan. Jika (semoga) puasa saya adalah puasa di luar hitungan matematika, puasa yang suka cita dan tidak ternamai maka seharusnya senyum saya lebih banyak di tahun berikutnya, dan terus menerus tersenyum, karena secara mental saya berubah-terus menerus, bahkan puasa yang tiga puluh hari lamanya, dilakoni selama tiga puluh tahun ini hanyalah latihan, bayangkan ‘cuma’ latihan untuk puasa selamanya. Puasa dalam pengertiannya yang sederhana, mengetahui yang teror dalam diri kita, puasa yang secara prinsip adalah pendekatan, yang memperpendek jarak antara saya dan Tuhan. Puasa yang menjadi obat rindu, yang mencandu. Maka besok saya ingin tersenyum, karena tingkatan yang saya lewati selama tiga puluh tahun, setiap tahunnya adalah hidayah, berkah, dan ampunan. Dan jika tulisan ini saya jelaskan ini kepada anak saya, semoga ini menjadi hapalan yang baik. Teror, siapa takut? Karena saya akan selalu memilih jatuh cinta (lagi) setiap kali menghitung helai demi helai uban saya.
(intinya, kepada kerabat, sahabat, kroni, dan (jika ada yang merasa hidup ini selalu berkompetisi) kompetitor saya, maaf lahir batin, berkah bagi semesta alam-tulisan ini cuma ingin menjelaskan beberapa baris sajak POL di atas, menurut tafsir saya, tulisan ini juga ingin menjelaskan sikap anti saya terhadap terorisme, terlebih teror yang dilakukan negara atas rakyatnya, enyahlah isme negara - etatisme, viva senyum mama, mari jatuh cinta setiap hari (ini tulisan yang paling gaya dan norak yach).
widhy | sinau
Kembali Fitri. Kembali Suci.
ReplyDeleteSuci mengingatkan saya kepada warna, Putih. Ya, saya--bahkan malah kita--mengenal mengerti dan memahami Suci dengan bahasa yang sederhana (atau malah penyederhanaan yang cenderung meringkus, melimitasi, memenjara makna dalam wahana). Suci pun menjadi identik dengan yang polos, yang bersih, yang tak ternoda. Lantas, apa yang dimaksud dengan yang polos? Maka, kembalilah kepada Putih.
Putih sebagai warna adalah kompleksitas, kerumitan, kelihaian, kreatifitas. Alam fisika menamai putih sebagai identitas dari suatu kolektifitas warna. Putih adalah sekumpulan merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Tujuh warna. Indeks yang membawa benak ke kosa kata: Pelangi. Kembali, indeks yang membawa pada kosa nyanyi: Pelangi pelangi alangkah indah...
Putih adalah Pelangi. Polos adalah Pelangi. Suci adalah Pelangi. Keindahan. Pelangi. Menjadi Suci, menjadi Putih, menjadi Pelangi. Ya, menjadi Pelangi bagi Liyan.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1430 H
Mohon Maaf Lahir Batin.
David Tobing