Sepilihan sajak sudah terhidang. Inilah yang akan menghantarkan kita,
sekelompok manusia, untuk memasuki kecemasan baru; saat malam tak
berbintang, lampu-lampu kota semakin berpijar, lalu lalang kendaraan
makin berkurang. Kecemasan yang selalu memampukan kita, atau mendesak
batin agar bersegera membuat keputusan. Keputusan yang erat bertemali
dengan kehidupan, entah pribadi atau kolektif. Mengajak kita untuk
kembali merumuskan sikap di masa mendatang. Mengacuhkan kehidupan atau
semakin mencermati ritme pengalaman. Mungkin, dengan sepilihan sajak
ini, kecemasan itu dapat menjelma menjadi hidangan baru bagi gelegar
lapar yang berkumandang dalam usus pencernaan batiniah kita.
Atas dasar kecemasan. Itulah pilihan yang ditawarkan koki
penyaji—yaitu, ya kita-kita ini—berkaitan dengan ‘bagaimana kita
Menikmati Sajian Menjelang Malam Lima Belas Jan'. Pilihan metode
ini memang terasa sangat riskan. Ada kemungkinan kita menjadi terjatuh
dalam aroma debat melankolis, tanpa memperhitungkan kegunaan akal-budi.
(lagi-lagi, sebab: kecemasan yang hendak saya tawarkan hendaknya
bermuara pada sikap. Sikap yang dipenuhi kemampuan menalar, pun
menangis, berujung pada lahirnya sebuah putusan. Wuih…, gagahnya!)
Tapi, setidaknya kecemasan itu mengingatkan kita untuk berhati-hati
mengunyah ‘kalimat pertama' tulisan ini. Pun harus pula dicamkan bahwa
berhati-hati tidaklah membuat kita menjadi terlalu melebih-lebihkan
‘kalimat pertama' tulisan ini.
Bila sudah demikian, layaklah kita melangkah lebih jauh. Kunyahan
pertama memang belumlah berasa apa-apa. Namun, kunyahan kedua pastilah
memberi sengatan tersendiri. Entah masih berefek sama, atau malah
membuat kita terkapar, kehilangan ujaran. Bila sudah begitu, jangan
lupalah kita bertanya: Mengapa?
Kali ini, ‘Sepilihan sajak sudah terhidang'. Sajak dari Wildan.
Tepatnya: Sajak yang dibuat oleh Wildan. Kalimat itu, memberikan
pengertian baru, setidaknya bagi saya. Sajak, yang dibuat, (oleh)
Wildan. Dalam pemahaman yang sangat primitif, saya menawarkan bahwa
lema ‘sajak' itu berada dalam kelas kata: kata benda. Berikut, frase
‘yang-dibuat', berada dalam (lagi-lagi, menyederhanakan) kelas kata:
kata kerja. Terakhir, Wildan, berada dalam kelas kata: kata benda.
Timbullah, wujud baru. Sajak, Ber-Sajak dan Pe-Sajak. Seingat saya,
dalam www.wikipedia.com edisi bahasa Inggris, kata-kata tersebut
bermimikri menjadi poem, poesy, dan poet. (Bermimikri, dalam pengertian
memiliki kesetaraan bentuk dan arti. Bukan merujuk pada asal kata,
dalam bahasa akademis keseringan disebut menjadi etimologi.) Tiga
konsep besar itulah yang hendaknya menjadi cakrawala kita
menyelenggarakan Poet Corner #3. (NB: Perlu juga ditambahkan dua
konsep lainnya, yakni Pembaca dan Kenyataan.)
“Sudahlah, lebih baik kau teruskan kepada inti masalah,“ ujar seorang
teman yang bermata tanpa berbola mata. Dan, aku memberi jawaban,
“Silahkan makan!“ Sebab, memang mulut-lah yang bertugas mengunyah. Bila
nikmat telan, bila tidak muntahkan! Kalau perlu, maki sekalian! Kalau
pun Cuma pengen sekadar mencicip, tak apalah. Silahkan pergunakan
kuping Anda. Bila sedap terdengar, silahkan ikut makan. Bila tidak
sedap terdengar, {(maaf) mungkin ada kesalahan dengan kuping Anda}
silahkan Anda praktekkan pameo: Masuk Kuping Kiri, Keluar Kuping Kanan.
Apa yang terjadi atau bakal terjadi di Poet Corner menggambarkan: Tidak
ada yang sempurna di dunia ini. (Meski begitu, saya tidak menutup
kemungkinan terhadap: Ada yang sempurna di dunia ini. Tentunya dengan
catatan, hal itu dikarenakan ketidak sempurnaan saya sebagai manusia.
Oleh karena itu, izinkanlah kebodohan saya tertawa-cemas…. H-a.,h a.hah
a--aa…..!!!!)
Memang, demikianlah adanya Poet Corner. Ajang kita saling menyantap.
Saling melahap! Hingga, suatu saat bakal menjadi: Poet's Corner.
Sekadar mengutil dari The Rough Guide To The Da Vinci Code-nya Michael
Haag dan Veronica Haag dan James McConnachie terbitan Rough Guides Ltd
pada 2004, pada halaman 180 dituliskan bahwa: Poet's Corner adalah
sebuah makam/nisan para sastrawan, seperti William Shakespeare, Samuel
Johnson, William Blake, Byron, Tennyson, Charles Dickens dan Thomas
Hardy, di Inggris. Mencemaskan!
Hmmm...,
No comments:
Post a Comment