Tuesday, 10 January 2006

Dari Tolstoy menjadi Letoy


(maaf dari aku yang mencoba mengomentari puisinya


Widhie yang berjudul 'Simphaty for the Devil')


Pada mulanya adalah maaf


Wildan – poet corner #2


 


Dengan segala maaf,


aku kira bukanlah cuma untuk lucu-lucuan semata, kalaulah dalam


sinetron ‘Bajaj Bajuri’ yang ditayangkan oleh salah satu televisi swasta


Indonesia ada satu karakter unik yang selalu terselipkan kata-kata ‘maaf’


setiap dia berucap, Mpok Minah.


“Maaf, bukannya saya lupa tapi….”


“Maaf, bukan maksud saya begitu cuma…”


“Maaf, bukan niat saya mencampuri hanya saja…” dst.


Demikianlah tokoh ‘Mpok Minah’ itu selalu berucap kepada lawan…


eh, maaf, maksudnya ke teman bicaranya.


Tak pernah ia tertinggal satu kali pun diksi ‘maaf’ dari seuntaian kata yang di-publish-kan itu.


Dengan karakter yang dimaksudkan mempresentasikan ‘wong jowo


yang selalu ‘ngasor’, Mpok Minah, dengan kalimat-kalimatnya yang


selalu menyertakan kata ‘maaf’, sudah berhasil membuat aku tersenyum


simpul karena mengenangkan aku pada sebuah tanah kelahiranku,


dan mungkin juga akar tradisiku: Pulau Jawa!


Sebagaimana Debu menjadi bintang, menjelma mahluk,


dan kembali ke asal ?’


Lantas pertanyaannya sekarang: Apakah sebegitu mudahnya ‘kah kata-


kata ‘maaf’ itu terlontarkan dari mulut seorang Jawa seperti tokoh


‘Mpok Minah’ itu? Maaf, aku tidak berani menjawab.


Meskipun aku asli jawa, aku suka seringkali harus kehilangan akar


budayaku sebagai orang jawa saat mencoba melebur menjadi sebuah society.


Sehingga bukanlah kesalahan fatal ataupun kegenitan semata kalau


kemudian aku merasa lebih akrab, bahkan, maaf, merasa lebih memiliki,


dengan sebuah lagu yang berjudul ‘Sympathy for Devil’ karya Rolling Stone


atau  ‘Message in The Bottle’-nya The Police dibandingkan dengan


tembang dolanan-nya Sunan Kalijogo yang berjudul ‘Lir-Ilir’ itu. Maaf!


Karena memang menurutku sudah terlalu Bising disini,


Industri kepedihan penghasil cinta?


Dijual di jalan-jalan, kaki lima, mall, kampung kumuh,


Pondok Indah, komplek pelacuran, kota satelit, pelabuhan,


kawasan berikat, sampai kurikulum wajib di sekolah.


Jadi, maaf, juga ya, kalau lantas dalam artikelku kali ini banyak


bertaburan kata-kata ‘asing’ dalam artikelku kali ini.


Oiya, maaf, mungkin kita perlu membahas makna kata ‘asing’ di sini,


apakah bahasa Jawa itu juga termasuk kata ‘asing’ bagi telinga teman


nongkrong dan ngopi-ku di daerah Jatinegara, David, yang kebetulan


lahir di Medan? maaf, ya, bung David kalau aku salah menyebutkan


tempat lahirmu, toh, kini Kita memulainya,


mencipta kepedihan dengan cinta,


dari fantasi kanak-kanak sampai sado masochist:  penasaran,


terasing lalu sunyi. Dilipatgandakan fungsinya dengan berbagai


kepentingan atas nama: Puing dan Arang, amis warna merahnya.


Jika kurang,  kita buat lagi subtitusinya: kecemburuan.


“Orang jawa yang tidak njawani,” mungkin demikian ungkapan yang pas


untuk mengklasifikasi diriku sebagaimana yang dikatakan oleh salah


seorang pengarang buku berjudul ‘Mangan Ora Mangan, Yang Penting


Kumpul’ yang, maaf, aku lupa siapa namanya. Jadi lebih baik sekarang


salahkan semua pada rasa frustasi. Geliat  libido yang


menggelora. Bagaimana caramu merasakannya?


Mengkhayalkannya sehingga lebih ajaib, lebih merangsang


dibanding dari rock n’ roll? Kepedihan, Cemburu, dan Frustasi.


Mesin  waktu yang eksotis, wajar sekaligus mencandu.


Dan, maaf, kalau aku tidak peduli dengan bermacam klasifikasi, pemilah-


milahan, karena, maaf, aku juga tetap seorang manusia juga yang tak


luput dari suatu kealpaan, kelupaan. Jadi, ya, maaf saja. selain itu, seem


I,m not alone in being alone …


Tapi, setidaknya aku tahu (atau, maaf, lebih tepatnya: sok tahu) kalau


term ‘maaf’ itu memiliki tiga makna. Pertama, kata ‘maaf’ sebagai


bentuk eufimisme jawa (maaf, memang ada eufimisme Indonesia?),


unggah-ungguh gitu, tata krama, atau malah cuma pemanis bibir saja;


kedua, kata maaf sebagai sekedar apologize semata, bentuk


penyelamatan diri semata atau ‘kapok sambel’ kalau dalam ungkapan


jawa; dan yang terakhir, kata ‘maaf’ sebagai permintaan ‘maaf’ yang


sesungguhnya, tobat nasuha itu, sebuah kejujuran dan kesadaran atas


suatu kesalahan yang benar-benar disesali, sehingga aku di dalamnya


juga setengah manusia disini. Mencari Damai. Absurd!


Menjelajah berbagai media-das sein. das sollen. Bagai arloji,


mengulang tanda yang sama. Sejarah!


Tapi, maaf, kalau aku bertanya, apakah sebuah kejujuran bisa dinilai


secara material? Bukankankah ada idiom yang mengatakan ‘dalamnya


lautan bisa diukur, tapi hati orang siapa yang tahu?’ Seolah-olah sesuatu


selalu datang dan pergi. Tak ada ruang kosong. Sia-sia aku


menunggu atau mengejarnya. Tapi, aku tidak akan menjadi apatis


koq, karena memang sudah menjadi takdir manusia untuk selalu gelisah


dan selalu berjuang demi menemukan banyak jawaban, dari sekian


banyak pertanyaan dalam waktu yang begitu sempit dan daya yang


begitu terbatas: hanya satu malam! Maaf.


Maaf, kalau Tolstoy-ku terlalu letoy untuk bisa mendedah berbaris-baris


kata, berlarik-larik kalimat dan berpuluh-puluh baik yang diserahkan


secara tulus seorang pencinta buku cum pedagang buku bernama Widhie


kepadaku malam itu. Maaf.


Man proposed, God disposed. Aku sudah berusaha. Terlalu banyak


quantum yang meloncat malam itu, menjadikan pojok kosong pada


kondisi simulacrum yang menyesatkanku. Maaf. Padahal, bagaikan film


‘mission imposible’ aku, kamu, kau, dan dia sudah mencoba


membentuk tim yang sempurna dengan konsep rencana yang sempurna


pula. Yang mencoba menciptakan langkah-langkah taktis, menghindari


ranjau-ranjau yang sudah disebar. Memang  biasa saja itu


kesimpulannya, bangun pagi, seduh kopi campurkan susu bila


perlu, beri gula sedikit saja atau tambahkan sesuai selera.


Maaf, sungguh, simulasi itu telah menjadi kondisi yang sungguh-sungguh


serius yang membutuhkan penanganan yang serius pula. Maaf, kalo aku


menjadi orang yang terlalu serius malam itu, karena saat itu, maaf, aku


tengah menyakinkan diriku sendiri bahwa apa yang tengah kulakukan itu


bukanlah kesia-siaan. Maaf, aku kira lebih baik aku  duduk di teras,


baca koran-jangan banyak komentar, tegur tetangga-senyum,


tepuk pantat atau remas dada isterinya bila sang suami telah pergi


kerja. Lalu pikirkan hal lain: spontanitas. Dari pada hadir di pojok


kosong itu dengan ketidakbermaknaannya. Setidaknya Aku tidak mau,


maaf, spermaku terbuang percuma. Maaf, percayalah, sudah terlalu


mahal ongkos yang kita keluarkan kalau malam itu aku cuma kongkow-


kongkow, ngopi dan sekedar waste time saja. Tapi apa mau dikata: Yap,


dunia hanya gejala ketika Tuhan ingin mengatur semuanya. Jadi,


ya, maaf saja.


Finnaly, selanjutnya sampaikan simpatiku pada para pendosa,


para pemain gagah-penantang para tuannya, dan selalu bertanya


untuk apa ini semua. Apakah aku menggenapkan atau


mengganjilkan, atau disini aku cuma untuk berkeringat, lain


tidak.


Sehingga, maaf, aku tidak perlu lagi berkata pada siapapun: Setan, you


aturlah!


Dan, sekali lagi maaf, maaf, dan maaf, kalau aku juga terlambat meng-up


load tulisan ini. Maafkan aku kalau hanya satu puisi yang mampu aku


bedah, yang, maaf, kalau boleh, aku maknai dan aku isi seluruh


kekosongannya dengan ke-narsis-an kata-kataku sendiri. Maafkan pula,


kalau tulisanku ini terlalu panjang dan menjemukanmu. Maaf…


Maafkan aku, kalau seandainya aku berharap dengan kejadian ini, aku


akan belajar menjadi lebih komit dan disiplin daripada yang sudah-sudah.


Dari debu kembali ke debu, berawal dari maaf maka kembali ke maaf…


mampukah kita memaafkan semudah kita mengucapkannya?


 


Bintaro, menjelang pagi 11 Januari 2006


With my apologize


 


 


Ferre,


Disorientedman


(mohon maaf lahir dan bathin)

1 comment:

  1. maaf ..cuma mengingatkan saja ..kalau yang nulis mangan ora mangan kumpul jilid satu sampai ke dua dan seterusnya (kalau ada ..maaf lupa) adalah Umar Kayam himself, the one and the only ...

    ReplyDelete