Jika kalimat (kata) pertama adalah maaf, kalimat kedua berisi
kutipan, maksudnya sebagai sampiran, karena terkadang ‘isinya’ bisa
tumpah dan menjelajah ke semua tempat. Kali ini tulisan ini
diawali dengan sebuah kutipan:
Jika Anda mendekati saya di sebuah halte bus dan berbisik,
“Engkau masih tetap pengantin suci keheningan”, maka saya serta
merta sadar bahwa yang sedang berhadapan dengan saya adalah seorang
sastrawan. Saya sadar karena kata-kata yang diucapkan sarat dengan
makna, nada, dan getaran irama (Eagleton, dikutip Calne dalam Batas
Nalar-2004)
Bagaimana kalau orang yang Anda tidak sadar bahwa Dia seorang
sastrawan? Bagaimana kalau kalau percakapan di sebuah halte bus itu
adalah percakapan antara laki-laki dan perempuan yang sama sekali buta
sastra? Jawaban dari buta, tidak sadar mungkin keisengan belaka. Adakah
hal yang demikian tanpa nalar? Sedangkan seluruh syaraf dan indera
bekerja keras berusaha menafsirkan kata-kata “Engkau masih tetap
pengantin suci keheningan”, boleh jadi yang mengucapkan dianggap gila,
atau cuma dianggap sebagai rayuan gombal. Jika gila diterima dengan
dengan penuh kehatian-hatian. Jika kebetulan yang mengucapkan memiliki sex appeal
lumayan besar percakapan bisa berlanjut. Lebih sering si pendengar jadi
tulalit mendadak dan balik bertanya, siape loe? Jadi maksud loe ape?
Plak!
Dan
Sajak-sajak Wildan dalam poet corner #3 mulai
dibedah, sulit memang, mendalami kata-kata yang menurut nalar ‘harus’
bisa ditafsirkan ulang, harus bisa menggugah kadar intelektualitas.
Bicara intelektualitas maka bicara pula universalitas sehingga kita
satu konteks. Semoga dari sebuah kultur kemiskinan berbahasa, poet
corner bisa menjadi counter kulturnya, dimana kita hadir di dalamnya.
Dan
Saya cuma bertanya diawal diskusi, untuk apa sebuah
keindahan? Pisaupun mulai ditoreh di kulit puisi Wildan. Pelan memang.
Karena kita takut merusak keindahan. Mencari jiwa dibalik kulit yang
begitu licin bak selebriti memang membuat kikuk. Semoga keterpesonaan
ini sebentar, kita harus kembali pada kesadaran bahwa pesan yang
diusung ibarat sebuah teka-teki, puisi jadi teka-teki.
Dan
Saya suka dengan semua sajak yang berusan dengan
kata tanya. Dimana kita cari kata tanya. Sementara ini saya coba cari
di wajah. Paul Elkman menyatakan mimik muka memiliki enam dasar emosi,
1. kebahagiaan (happiness) 2. kejutan (surprise) 3. ketakutan (fear) 4. kesedihan (sadness) 5. kemarahan (anger) 6. rasa jijik (disgust).
Keenam dasar emosi ini ibarat 3 warna dasar, jika dicampur hasilnya kasih (affection), kecemasan (anxiety), kebosanan (boredom), kekecewaan (disappointment), iri hati (envy), bersalah (guilt), benci (hate), amarah (indignation), kejengkelan (irritation), cinta (love), gempar (panic), malu (shame), duka (sorrow).
Dan
Ketika kita menarik semua kesadaran tentang emosi
tersebut, maka tidak ada lagi yang tersisa. Apakah wajahku sepi malam
itu?
Dan
Wajahku menjelma dalam bait-bait puisimu.
Dendang Hari
Dan
biarkan burung-burung terbang ke atas awan
sehingga terang hari ini dijadikan kisah
sebab hari ini adalah pembebasan.
bahagia

Dan
biarkan kelopak bunga mekar
ketika matahari masih jauh
ketika embun jatuh pada tangkai pagi
pada rumput dan angin yang menyisakan
lagu semalam.
bahagia

Dan
air telaga biarkan tetap tenang diselimuti kabut
tetapkan kesunyian pada batu-batu-lumut-dan ikan
yang berenang sampai hadirnya kehangatan.
kasih

Dan
bukan untuk menolak akan hadirnya pagi
kicau burung-lenguh lembuh-dan kecipak air di sumur
biarkan semuanya terjadi sampai menjadi lukisan
menjadi prosa menjadi drama atau syair para pecinta.
bahagia

Dan
jika berangkat tetap tatap puncak gunung sejenak
lalu biarkan sukmamu berdiri diatasnya
dan lambaikan tanganmu jika melihat dirimu memandang
karena puncak gunung adalah kebebasan yang merenung.
kasih

Dan
perjalanan ini adalah kisah,
bahagia, kecemasan


Dan
semua kisah dapat kau jadikan cerita
seperti telaga yang berair tenang di bawah bulan tengah malam
sembari menikmati datangnya perpisahan.
kejutan, kecemasan


Dan
Dendang hari memang dendang hati untuk ditarikan
secara riang. Kecemasan yang kau punya tidak sama dengan kecemasan
petani. Kecemasanmu adalah kecemasan setiap manusia. Kau siap terkejut
begitu kau paham hukum alam tentang adanya awal dan akhir. Keterkejutan
itu juga yang sudah kau siapkan dalam perenungan di puncak gunung.
Walau aku mahfum pengembaraanmu sampai pada puncak-puncak gunung yang
berbeda. Maka kucari kepuasan dari puisi lain.
Syukur
gerimis senja
diterima bunga-bunga rumput
sebagai irama untuk merekah
kasih, kebahagiaan
meski tak ada sorga
batang dan daunnya basah
oleh air mata
kecemasan, kesedihan, kejutan (saya menambahkan ‘kepasrahan’ sebagai unsur campuran)



Sihir Hujan
Ia adalah hujan
naik ke hutan
naik ke awan
naik ke awang-awang
geram
memaki-maki ikatan
naik kepala anak-anak
kepak kecubung gunung
guntur rebah
hujan nelangsa
awan naik ke bulan
naik ke puncak
karena angin naik
karena awan naik
kepala anjing guling-guling
geram
menekan
narik kematian
narik kehidupan
narik kekuatan
narik kemana awan
narik kemana angin
narik kemana alam
menginjak kemana arah
hujan naik
ke hutan naik
ke awan naik
ke bulan naik
ke awang-awang
geram
menerkam
memakan
nasib
kecemasan, kesedihan, kemarahan



Dan
Untuk apa ada keindahan? Keindahan itu hanya membuat
iri. Cerita David tentang film Kingkong ditutup dengan kata-kata,
karena keindahanlah aku mati. Malam itu kau bersikeras agar kawan-kawan
membunuh keindahan yang kau punya. Bunuhlah keindahan dengan keindahan
juga.
Bisakah keindahan (syarat cukup) dibunuh dengan keisengan? Ketika puisi
jadi teka-teki saya berani katakan perlu (syarat perlu). Seperti ketika
Al Hallaj bertamu ke rumah sahabatnya dan memperkenalkan dirinya di
depan pintu yang tertutup sebagai Ana al Haq (sayalah wujud sebenarnya)
dibaca sebagai (sayalah kebenaran sejati) ditafsirkan menjadi sayalah
Tuhan, and the story begin…
(widhy sinau)
No comments:
Post a Comment