Tuesday, 24 January 2006

apakah wajahku sepi pada malam itu


Jika kalimat (kata) pertama adalah maaf, kalimat kedua berisi
kutipan, maksudnya sebagai sampiran, karena terkadang ‘isinya’ bisa
tumpah dan menjelajah ke semua tempat. Kali ini tulisan ini
diawali dengan sebuah kutipan:



Jika Anda mendekati saya di sebuah halte bus dan berbisik,
“Engkau masih tetap pengantin suci keheningan”, maka saya serta
merta sadar bahwa yang sedang berhadapan dengan saya adalah seorang
sastrawan. Saya sadar karena kata-kata yang diucapkan sarat dengan
makna, nada, dan getaran irama (Eagleton, dikutip Calne dalam Batas
Nalar-2004)



Bagaimana kalau orang yang Anda tidak sadar bahwa Dia seorang
sastrawan? Bagaimana kalau kalau percakapan di sebuah halte bus itu
adalah percakapan antara laki-laki dan perempuan yang sama sekali buta
sastra? Jawaban dari buta, tidak sadar mungkin keisengan belaka. Adakah
hal yang demikian tanpa nalar? Sedangkan seluruh syaraf dan indera
bekerja keras berusaha menafsirkan kata-kata “Engkau masih tetap
pengantin suci keheningan”, boleh jadi yang mengucapkan dianggap gila,
atau cuma dianggap sebagai rayuan gombal. Jika gila diterima dengan
dengan penuh kehatian-hatian. Jika kebetulan yang mengucapkan memiliki sex appeal
lumayan besar percakapan bisa berlanjut. Lebih sering si pendengar jadi
tulalit mendadak dan balik bertanya, siape loe? Jadi maksud loe ape?
Plak!



Dan

Sajak-sajak Wildan dalam poet corner #3 mulai
dibedah, sulit memang, mendalami kata-kata yang menurut nalar ‘harus’
bisa ditafsirkan ulang, harus bisa menggugah kadar intelektualitas.
Bicara intelektualitas maka bicara pula universalitas sehingga kita
satu konteks. Semoga dari sebuah kultur kemiskinan berbahasa, poet
corner bisa menjadi counter kulturnya, dimana kita hadir di dalamnya.



Dan

Saya cuma bertanya diawal diskusi, untuk apa sebuah
keindahan? Pisaupun mulai ditoreh di kulit puisi Wildan. Pelan memang.
Karena kita takut merusak keindahan. Mencari jiwa dibalik kulit yang
begitu licin bak selebriti memang membuat kikuk. Semoga keterpesonaan
ini sebentar, kita harus kembali pada kesadaran bahwa pesan yang
diusung ibarat sebuah teka-teki, puisi jadi teka-teki.



Dan

Saya suka dengan semua sajak yang berusan dengan
kata tanya. Dimana kita cari kata tanya. Sementara ini saya coba cari
di wajah. Paul Elkman menyatakan mimik muka memiliki enam dasar emosi,
1. kebahagiaan (happiness) 2. kejutan (surprise) 3. ketakutan (fear) 4. kesedihan (sadness) 5. kemarahan (anger) 6. rasa jijik (disgust).

Keenam dasar emosi ini ibarat 3 warna dasar, jika dicampur hasilnya kasih (affection), kecemasan (anxiety), kebosanan (boredom), kekecewaan (disappointment), iri hati (envy), bersalah (guilt), benci (hate), amarah (indignation), kejengkelan (irritation), cinta (love), gempar (panic), malu (shame), duka (sorrow).





Dan

Ketika kita menarik semua kesadaran tentang emosi
tersebut, maka tidak ada lagi yang tersisa. Apakah wajahku sepi malam
itu?



Dan

Wajahku menjelma dalam bait-bait puisimu.



Dendang Hari



Dan

biarkan burung-burung terbang ke atas awan

sehingga terang hari ini dijadikan kisah

sebab hari ini adalah pembebasan.

bahagia



Dan

biarkan kelopak bunga mekar

ketika matahari masih jauh

ketika embun jatuh pada tangkai pagi

pada rumput dan angin yang menyisakan

lagu semalam.

bahagia



Dan

air telaga biarkan tetap tenang diselimuti kabut

tetapkan kesunyian pada batu-batu-lumut-dan ikan

yang berenang sampai hadirnya kehangatan.

kasih



Dan

bukan untuk menolak akan hadirnya pagi

kicau burung-lenguh lembuh-dan kecipak air di sumur

biarkan semuanya terjadi sampai menjadi lukisan

menjadi prosa menjadi drama atau syair para pecinta.

bahagia



Dan

jika berangkat tetap tatap puncak gunung sejenak

lalu biarkan sukmamu berdiri diatasnya

dan lambaikan tanganmu jika melihat dirimu memandang

karena puncak gunung adalah kebebasan yang merenung.

kasih



Dan

perjalanan ini adalah kisah,

bahagia, kecemasan





Dan

semua kisah dapat kau jadikan cerita

seperti telaga yang berair tenang di bawah bulan tengah malam

sembari menikmati datangnya perpisahan.

kejutan, kecemasan



Dan

Dendang hari memang dendang hati untuk ditarikan
secara riang. Kecemasan yang kau punya tidak sama dengan kecemasan
petani. Kecemasanmu adalah kecemasan setiap manusia. Kau siap terkejut
begitu kau paham hukum alam tentang adanya awal dan akhir. Keterkejutan
itu juga yang sudah kau siapkan dalam perenungan di puncak gunung.
Walau aku mahfum pengembaraanmu sampai pada puncak-puncak gunung yang
berbeda. Maka kucari kepuasan dari puisi lain.



Syukur



gerimis senja

diterima bunga-bunga rumput

sebagai irama untuk merekah

kasih, kebahagiaan



meski tak ada sorga

batang dan daunnya basah

oleh air mata

kecemasan, kesedihan, kejutan (saya menambahkan ‘kepasrahan’ sebagai unsur campuran)





Sihir Hujan



Ia adalah hujan

naik ke hutan

naik ke awan

naik ke awang-awang

geram

memaki-maki ikatan

naik kepala anak-anak

kepak kecubung gunung

guntur rebah

hujan nelangsa

awan naik ke bulan

naik ke puncak

karena angin naik

karena awan naik

kepala anjing guling-guling

geram

menekan

narik kematian

narik kehidupan

narik kekuatan

narik kemana awan

narik kemana angin

narik kemana alam

menginjak kemana arah

hujan naik

ke hutan naik

ke awan naik

ke bulan naik

ke awang-awang

geram

menerkam

memakan

nasib



kecemasan, kesedihan, kemarahan





Dan

Untuk apa ada keindahan? Keindahan itu hanya membuat
iri. Cerita David tentang film Kingkong ditutup dengan kata-kata,
karena keindahanlah aku mati. Malam itu kau bersikeras agar kawan-kawan
membunuh keindahan yang kau punya. Bunuhlah keindahan dengan keindahan
juga.



Bisakah keindahan (syarat cukup) dibunuh dengan keisengan? Ketika puisi
jadi teka-teki saya berani katakan perlu (syarat perlu). Seperti ketika
Al Hallaj bertamu ke rumah sahabatnya dan memperkenalkan dirinya di
depan pintu yang tertutup sebagai Ana al Haq (sayalah wujud sebenarnya)
dibaca sebagai (sayalah kebenaran sejati) ditafsirkan menjadi sayalah
Tuhan, and the story begin…



(widhy sinau)


No comments:

Post a Comment