
(maaf dari aku yang mencoba mengomentari puisinya
Widhie yang berjudul 'Simphaty for the Devil')
“Pada mulanya adalah maaf”
Wildan – poet corner #2
Dengan segala maaf,
aku kira bukanlah cuma untuk lucu-lucuan semata, kalaulah dalam
sinetron ‘Bajaj Bajuri’ yang ditayangkan oleh salah satu televisi swasta
Indonesia ada satu karakter unik yang selalu terselipkan kata-kata ‘maaf’
setiap dia berucap, Mpok Minah.
“Maaf, bukannya saya lupa tapi….”
“Maaf, bukan maksud saya begitu cuma…”
“Maaf, bukan niat saya mencampuri hanya saja…” dst.
Demikianlah tokoh ‘Mpok Minah’ itu selalu berucap kepada lawan…
eh, maaf, maksudnya ke teman bicaranya.
Tak pernah ia tertinggal satu kali pun diksi ‘maaf’ dari seuntaian kata yang di-publish-kan itu.
Dengan karakter yang dimaksudkan mempresentasikan ‘wong jowo’
yang selalu ‘ngasor’, Mpok Minah, dengan kalimat-kalimatnya yang
selalu menyertakan kata ‘maaf’, sudah berhasil membuat aku tersenyum
simpul karena mengenangkan aku pada sebuah tanah kelahiranku,
dan mungkin juga akar tradisiku: Pulau Jawa!
Sebagaimana ‘Debu menjadi bintang, menjelma mahluk,
dan kembali ke asal ?’
Lantas pertanyaannya sekarang: Apakah sebegitu mudahnya ‘kah kata-
kata ‘maaf’ itu terlontarkan dari mulut seorang Jawa seperti tokoh
‘Mpok Minah’ itu? Maaf, aku tidak berani menjawab.
Meskipun aku asli jawa, aku suka seringkali harus kehilangan akar
budayaku sebagai orang jawa saat mencoba melebur menjadi sebuah society.
Sehingga bukanlah kesalahan fatal ataupun kegenitan semata kalau
kemudian aku merasa lebih akrab, bahkan, maaf, merasa lebih memiliki,
dengan sebuah lagu yang berjudul ‘Sympathy for Devil’ karya Rolling Stone
atau ‘Message in The Bottle’-nya The Police dibandingkan dengan
tembang dolanan-nya Sunan Kalijogo yang berjudul ‘Lir-Ilir’ itu. Maaf!
Karena memang menurutku sudah terlalu Bising disini,
Industri kepedihan penghasil cinta?
Dijual di jalan-jalan, kaki lima, mall, kampung kumuh,
Pondok Indah, komplek pelacuran, kota satelit, pelabuhan,
kawasan berikat, sampai kurikulum wajib di sekolah.
Jadi, maaf, juga ya, kalau lantas dalam artikelku kali ini banyak
bertaburan kata-kata ‘asing’ dalam artikelku kali ini.
Oiya, maaf, mungkin kita perlu membahas makna kata ‘asing’ di sini,
apakah bahasa Jawa itu juga termasuk kata ‘asing’ bagi telinga teman
nongkrong dan ngopi-ku di daerah Jatinegara, David, yang kebetulan
lahir di Medan? maaf, ya, bung David kalau aku salah menyebutkan
tempat lahirmu, toh, kini Kita memulainya,
mencipta kepedihan dengan cinta,
dari fantasi kanak-kanak sampai sado masochist: penasaran,
terasing lalu sunyi. Dilipatgandakan fungsinya dengan berbagai
kepentingan atas nama: Puing dan Arang, amis warna merahnya.
Jika kurang, kita buat lagi subtitusinya: kecemburuan.
“Orang jawa yang tidak njawani,” mungkin demikian ungkapan yang pas
untuk mengklasifikasi diriku sebagaimana yang dikatakan oleh salah
seorang pengarang buku berjudul ‘Mangan Ora Mangan, Yang Penting
Kumpul’ yang, maaf, aku lupa siapa namanya. Jadi lebih baik sekarang
salahkan semua pada rasa frustasi. Geliat libido yang
menggelora. Bagaimana caramu merasakannya?
Mengkhayalkannya sehingga lebih ajaib, lebih merangsang
dibanding dari rock n’ roll? Kepedihan, Cemburu, dan Frustasi.
Mesin waktu yang eksotis, wajar sekaligus mencandu.
Dan, maaf, kalau aku tidak peduli dengan bermacam klasifikasi, pemilah-
milahan, karena, maaf, aku juga tetap seorang manusia juga yang tak
luput dari suatu kealpaan, kelupaan. Jadi, ya, maaf saja. selain itu, seem
I,m not alone in being alone …
Tapi, setidaknya aku tahu (atau, maaf, lebih tepatnya: sok tahu) kalau
term ‘maaf’ itu memiliki tiga makna. Pertama, kata ‘maaf’ sebagai
bentuk eufimisme jawa (maaf, memang ada eufimisme Indonesia?),
unggah-ungguh gitu, tata krama, atau malah cuma pemanis bibir saja;
kedua, kata maaf sebagai sekedar apologize semata, bentuk
penyelamatan diri semata atau ‘kapok sambel’ kalau dalam ungkapan
jawa; dan yang terakhir, kata ‘maaf’ sebagai permintaan ‘maaf’ yang
sesungguhnya, tobat nasuha itu, sebuah kejujuran dan kesadaran atas
suatu kesalahan yang benar-benar disesali, sehingga aku di dalamnya
juga setengah manusia disini. Mencari Damai. Absurd!
Menjelajah berbagai media-das sein. das sollen. Bagai arloji,
mengulang tanda yang sama. Sejarah!
Tapi, maaf, kalau aku bertanya, apakah sebuah kejujuran bisa dinilai
secara material? Bukankankah ada idiom yang mengatakan ‘dalamnya
lautan bisa diukur, tapi hati orang siapa yang tahu?’ Seolah-olah sesuatu
selalu datang dan pergi. Tak ada ruang kosong. Sia-sia aku
menunggu atau mengejarnya. Tapi, aku tidak akan menjadi apatis
koq, karena memang sudah menjadi takdir manusia untuk selalu gelisah
dan selalu berjuang demi menemukan banyak jawaban, dari sekian
banyak pertanyaan dalam waktu yang begitu sempit dan daya yang
begitu terbatas: hanya satu malam! Maaf.
Maaf, kalau Tolstoy-ku terlalu letoy untuk bisa mendedah berbaris-baris
kata, berlarik-larik kalimat dan berpuluh-puluh baik yang diserahkan
secara tulus seorang pencinta buku cum pedagang buku bernama Widhie
kepadaku malam itu. Maaf.
Man proposed, God disposed. Aku sudah berusaha. Terlalu banyak
quantum yang meloncat malam itu, menjadikan pojok kosong pada
kondisi simulacrum yang menyesatkanku. Maaf. Padahal, bagaikan film
‘mission imposible’ aku, kamu, kau, dan dia sudah mencoba
membentuk tim yang sempurna dengan konsep rencana yang sempurna
pula. Yang mencoba menciptakan langkah-langkah taktis, menghindari
ranjau-ranjau yang sudah disebar. Memang biasa saja itu
kesimpulannya, bangun pagi, seduh kopi campurkan susu bila
perlu, beri gula sedikit saja atau tambahkan sesuai selera.
Maaf, sungguh, simulasi itu telah menjadi kondisi yang sungguh-sungguh
serius yang membutuhkan penanganan yang serius pula. Maaf, kalo aku
menjadi orang yang terlalu serius malam itu, karena saat itu, maaf, aku
tengah menyakinkan diriku sendiri bahwa apa yang tengah kulakukan itu
bukanlah kesia-siaan. Maaf, aku kira lebih baik aku duduk di teras,
baca koran-jangan banyak komentar, tegur tetangga-senyum,
tepuk pantat atau remas dada isterinya bila sang suami telah pergi
kerja. Lalu pikirkan hal lain: spontanitas. Dari pada hadir di pojok
kosong itu dengan ketidakbermaknaannya. Setidaknya Aku tidak mau,
maaf, spermaku terbuang percuma. Maaf, percayalah, sudah terlalu
mahal ongkos yang kita keluarkan kalau malam itu aku cuma kongkow-
kongkow, ngopi dan sekedar waste time saja. Tapi apa mau dikata: Yap,
dunia hanya gejala ketika Tuhan ingin mengatur semuanya. Jadi,
ya, maaf saja.
Finnaly, selanjutnya sampaikan simpatiku pada para pendosa,
para pemain gagah-penantang para tuannya, dan selalu bertanya
untuk apa ini semua. Apakah aku menggenapkan atau
mengganjilkan, atau disini aku cuma untuk berkeringat, lain
tidak.
Sehingga, maaf, aku tidak perlu lagi berkata pada siapapun: Setan, you
aturlah!
Dan, sekali lagi maaf, maaf, dan maaf, kalau aku juga terlambat meng-up
load tulisan ini. Maafkan aku kalau hanya satu puisi yang mampu aku
bedah, yang, maaf, kalau boleh, aku maknai dan aku isi seluruh
kekosongannya dengan ke-narsis-an kata-kataku sendiri. Maafkan pula,
kalau tulisanku ini terlalu panjang dan menjemukanmu. Maaf…
Maafkan aku, kalau seandainya aku berharap dengan kejadian ini, aku
akan belajar menjadi lebih komit dan disiplin daripada yang sudah-sudah.
Dari debu kembali ke debu, berawal dari maaf maka kembali ke maaf…
mampukah kita memaafkan semudah kita mengucapkannya?
Bintaro, menjelang pagi 11 Januari 2006
With my apologize
Ferre,
Disorientedman
(mohon maaf lahir dan bathin)