Wednesday, 28 December 2005

tamu


you punya negara abolute insane, how gigantic the corrupt goverment do you have? and yo're stand still for this mess, huh! (terjemahan brutal)

yang hadir selalu tepat dan diinginkan

Monday, 19 December 2005

MENYOAL SEKANTONG KEKALAHAN SAAT MALAM TUJUH BELAS DESEMBER

(Perihal Kegenitan (?) Penulis-cum-Penyair-cum-Pedagang
Buku-cum-Pekerja Sosial dan seorang mencoba memposisikan diri, ya...
itu saya, sebagai ilmuwan-cum-seniman-cum-filosof-cum-manusia awam)



Eureka! Kita mulai berdebat. Kembali bergumul. Mari kenakan semua
perlengkapan perang. Mulai dari kacamata baca, fotokopi bahan diskusi,
hingga bergelas-gelas kopi. Lalu, siapkan nafas panjang--sayangnya,
nafas itulah yang tidak kita punya--untuk melakukan operasi matematis
imajinatif plus sedikit berbau figuratif (ini sengaja saya tulis, agar
tampak terlihat seksi, sensual, memikat, mungkin juga cerdas,
intelektual, cendikiawan; padahal belum tentu memiliki makna verbal,
berdaya guna jelas. Intinya, boleh dong bila sedikit saja kita
bergenit-genit ria sebelum dijemput malaikat pencabut nyawa.)

Kali ini, adalah Widhianto Abdul M yang menjadi korban selanjutnya.
Bersiap menyerahkan nyawa, atau melakukan perlawanan untuk
mempertahankan milik satu-satunya yang berharga, yakni: lagi-lagi itu
nyawa! Kehadiran 'benda ilutif' itu mewujud dalam berlembar-lembar
kertas fotokopi 'Poet Corner'. Puisi, itulah yang dideklarasikan
pemilik. Tidak tanggung-tanggung, dua belas puisi (entah mengapa, saat
menuliskan hal ini, saya jadi teringat bahwa jumlah duabelas puisi itu
memiliki kesesuaian dengan jumlah para rasul. Dua belas juga euy, murid
Yesus dalam kisah Perjanjian Baru, Injil.) yang berasal dari abad
sembilan belas pun abad milenium. Wau!!!!!!!!

Namun, teramat sayanglah hasil yang didapatkan. Sebabnya, kita manusia.
Keterbatasan kita didalam ruang dan waktu menyebabkan kita harus
memenggal saat. Kita harus menyudahi perdebatan, pengoperasian dua
belas puisi. Hanya satu yang sempat kita dalami. Sympathy for The Devil
buatan 1997 yang terinspirasi The Rolling Stones. Dan, tentulah jelas
hasil yang didapatkan. Puisi itu kurang berhasil. Dalam istilah yang
lebih pedas menyengat, gagal! Pasalnya pun sudah jelas. Sekadar
mengulangi hal yang tak perlu, kegagalan itu dikarenakan bentuk puisi.
Bentuk dalam pengertian diksi, irama, hingga peralihan bait. Mengenai
isi dan kejujuran, sudah vulgar. Sampai dan ada. (Meski begitu, saya
hendak mengingatkan bahwa pemahaman isi puisi harusnya kita lebih
kritisi untuk mencapai tahap yang lebih mumpuni. Bukan hanya sekadar
sampai atau tidak isi tersebut, tapi juga kita harus mempertanyakan
bagaimana isi tersebut. Apakah ia menawarkan sesuatu yang baru atau
tidak? dalam keberadaannya diantara puisi-puisi 'Sekantong Kekalahan',
juga didalam jagat antariksa puisi dunia hingga posisi yang sangat
melokal, Kedai Sinau, Jatinegara! Anyway, ini hanya gagasan sampiran
yang tidak memiliki kaitan mengutuh dengan kerangka tulisan 'MENYOAL
SEKANTONG KEKALAHAN SAAT MALAM TUJUH BELAS DESEMBER.)

Maaf, bila dalam tulisan ini, saya memperkenankan diri saya sendiri
untuk berbicara lepas. Berbicara lepas sebagai seorang yang mencoba
menjadi ilmuwan-cum-seniman-cum-filosof-cum-manusia awam. Perlu saya
tandaskan, itulah posisi saya saat ini. Masih teramat sulit bagi saya
untuk memilah diri (mohon maaf 1 x lagi, saya curhat disini), apakah
saya murni ilmuwan, atau seniman, atau filosof, atau manusia awam.
(btw, tentu pembaca tidak keberatan bukan?)

Dua belas puisi Widhie--nama keren penyair--secara umum di mata saya,
belumlah tergarap optimal. Optimal dalam arti bentuk!  Sekadar
tambahan, puisi yang hendak saya sorot ini berdasarkan tiga pilar yang
digaungkan Leo Tolstoy, bentuk, isi dan kejujuran. Keseluruhan puisi
buatan Widhie memiliki gagasan dan kejujuran.

Lebih lanjut, saya mencoba, tentunya dengan sesuka saya, beberapa puisi
yang 'berhasil' menggoda emosi saya. Yang paling berhasil, adalah 'Kamu
Miskin Maka Aku Ada'. Saya kutip seutuhnya dari
http://kedaisinau.multiply.com/journal/item/8



Kau Miskin Maka Aku Ada



Kemiskinan. Persiapan. Plano. Metacard. Spidol. Double tape.
Dinding. Jendela. Kursi. Urutan. Aturan main. Agenda. Kekhawatiran.
Harapan. Mari memulai. Isi kartu. Pilih masa depan. 5 kata. Huruf
kapital. Perhatikan lingkungan anda. Modal sosial. Berdaya.
Partisipasi. Pembangunan. Perhatikan. Potensi. Lahan. Diri. Waktu.
Hari. Harga. Coffee break. Mantra. Doa. Realitas. Permainan. Kelompok.
Berbagi. Sumber daya. Pengalaman. Individu. Pengetahuan. Presentasi.
Pertanyaan. Diskusi. Jawaban. Triangulasi. Kebenaran. Afirmasi.
Kontroversi. Tak biasa. Kebiasaan. Merubah. Keadaan. Manipulasi.
Rekayasa. Nilai-nilai. Keburukan dan kebaikan. Chaos. Coffee break?.
Lanjutkan!. Satukan. Persepsi. Impian. Visi. Larut. Malam. Pagi. Siang.
Petang. Hasil. Paparan. Penutup. Sejarah. Prosiding. Proyek. Berlanjut.
Persiapan. Proposal . Baru. Kembali ke awal. Kemiskinan.





Gambar Masa Depan Anda.


Kenali Kawan dan Lawan.





Jakarta-Bogor, November 2005



Sebenarnya, menurut saya puisi ini memiliki kekuatan konflik
tersendiri. Dalam pemahaman saya, puisi ini belum memiliki partitur.
Tegasnya, bentuk puisi ini belum ada partitur dalam dunia sastra
indonesia, bisa jadi dunia sastra planet ketiga yang terdekat dengan
bintang yang bernama matahari di galaksi Bimasakti. Memang, keganjilan
yang mirip dengan puisi ini sebenarnya pernah terjadi. Keganjilan dalam
arti sesuatu yang baru. Keganjilan dalam suatu rentang jaman yang
berakibat timbulnya genre puisi baru, yakni 'Puisi Mbeling'. Genre yang
digagas Alif Danya Munsyi/Yappi Tambayong/Remy Sylado. Namun, perasaan
saya malah cenderung tidak memiripkan puisi itu dengan apa yang sudah
terjadi di era '70 -an itu. Sebabnya, adakah penyair memiliki gagasan
makro--disamping gagasan yang dikandung dalam puisi itu sendiri--dalam
membuat puisi itu?

(Saya mencoba mengerahkan kemampuan akal untuk memaparkan hal ini
dengan kadar kesombongan pribadi tertentu, yang tentunya berdampak pada
penamparan bila saya gagal menyampaikan sebuah kebenaran. Seingat saya,
era 'Puisi Mbeling', memiliki gagasan makro bahwa puisi itu tidak
sulit. Puisi itu mudah! Tak perlulah orang yang hendak memikirkan puisi
mengikuti penyair besar Indonesia, Chairil Anwar. Mengikuti dalam arti
menyerupai kekuatan ledakannya hingga menembus jaman. Sederhananya,
para penyokong genre itu hendak menyuarakan gagasan bahwa idealisasi
puisi itu tidak berada dalam posisi yang suci nan agung nan tak
tersentuh nan abadi seperti yang sudah dilakukan oleh Chairil Anwar,
misalnya. Mereka berteriak, puisi itu tak harus abadi, suci, agung!
Puisi itu bisa saja menjijikkan, memualkan, bahkan me- me- me- lainnya
yang menegasikan ide tersebut. Berawal dari gagasan itu, diantara
mereka--Alif Danya Munsyi/Yappi Tambayong/Remy Sylado, juga pelukis
Jeihan--membuat puisi. Puisi yang berisi ide komunisme, individualisme,
indonesia, bahkan menyentuh religi. Alhasil, gagasan berpikir para
suporter genre 'Puisi Mbeling'--tentunya disokong dengan ke-hasil-an
mereka--itu pun berhasil abadi, meski puisi yang mereka hasilkan jarang
terdengar. Minimal bagi saya.)



Nah, kembali menyoal puisi Widhie, seharusnya kita mampu membongkar
batasan bentuk puisi yang sudah ada di jaman ini. Praktisnya, kita
harus mampu menemukan partitur yang hendak kita ajukan sebagai tesis
untuk mengklaim puisi ini memiliki nilai estetika. Artinya, pemahaman
bentuk puisi--harus ada rima, persajakan, melodi, harmoni, aliterasi
dan beragam konvensi lainnya-- harus dibongkar! Inilah yang tersulit!
Inilah tantangan itu. Karena, tantangan itu tidak terjawab, maka saya
memiripkan puisi ini dengan buatan Afrizal Malna. Ada kesesuaian dengan
Afrizal Malna yang mencoba mendekonstruksi metafora baru menggunakan
bahasa yang sudah mengota. Bila dulu, orang minum hanya air putih, maka
itu diganti fanta. Bila dulu orang duduk di tepi pantai atau danau atau
sawah, maka sekarang di mall,  diskotik, juga trotoar jalan bahkan
kamar mandi. Namun, puisi Afrizal Malna masih memiliki kesesuaian
dengan konvensi bentuk puisi. Itulah bedanya puisi Widhie dengan
Afrizal Malna; dan tentu saja itu masih satu sisi; sebab saya yakin,
antara Widhie dengan Afrizal Malna memiliki segudang perbedaan lainnya,
sama seperti Widhie dan Afrizal Malna memiliki segudang persamaan,
antara lain: sama-sama lelaki.

Atas dasar ketiadaan partitur bentuk itu, saya susah mendefinisikan
apakah puisi ini gagal. Meski begitu, saya memberanikan diri untuk
memberi penilaian sederhana saja. Puisi ini--yang bagi saya masih dalam
taraf permainan--kurang berhasil. Pengolahan bentuk yang masih tidak
jelas. Tapi, isi puisi dan kejujuran itu ada. Bila diperkenan
berimajinasi, saya bisa memperkirakan puisi ini akan ditolak redaksi
beragam media nasional--kecuali media
http://kedaisinau.multiply.com--untuk diterbitkan.

Hei...heii.....satu lagi, saya ingat. Bentuk puisi Widhie ini memiliki
keserupaan
dengan sebuah puisi Saut Situmorang. Saya lupa judulnya. Dalam puisi
Saut, tanda baca titik memiliki fungsi lebih dari sekadar penanda akhir
sebuah kalimat utuh. Ada ritme degup jantung dalam puisi itu. (Mungkin,
inilah penyebab kegagalan itu. Tanda baca titik dalam puisi Widhie
seakan kurang berbicara. Namun, ia banyak menyediakan ruang kosong
untuk memberikan kebebasan pembaca menambahkan partitur, setidaknya itu
yang saya lakukan untuk memperoleh estetik dari puisi itu sendiri.

Yang saya suka dari puisi ini, satu. Eksperimennya. Tapi, itu pun patut
pula memperhatikan gagasan makro  berpuisi sepenuhnya dari
penyair, yang saya belum ketahui total. Saya hanya mengetahui, bahwa
penyair menulis puisi untuk dengan penujuan tertentu, buat pembaca.
Dan, saya pikir banyak juga orang yang bergagasan seperti itu.
(Mungkin, untuk memberikan beban tanggung jawab bagi diri pribadi, saya
berjanji akan membuat tulisan ke-dua di situs ini yang memperbincangkan
puisi lebih manusiawi). Terus mengapa pula penyair harus melakukan
eksperimen puitis dalam puisi 'Kamu Miskin Maka Aku Ada'.



Dengan sesuka hati saya pulalah, maka puisi 'Belajar Menulis Puisi' saya pilih diteropong.



Belajar Menulis Puisi

(buat kawan-kawan di sinau)





ada puisi di dalam kopi, di setiap gigitan kerupuk.



bukan di dalam buku.



ada puisi ikut keriting di mangkok indomie.



ada puisi pesanan setengah matang di dalam roti sosis.







menghirup kopi setiap hari, membaca puisi.



puisi garing, renyah, bergaram bisa dimakan setiap orang.



tak perlu berkerut kening, semua puisi bisa dipesan.



asyik, bercangkir-cangkir puisi setiap hari. satu puisi sekurangnya satu hari.







ada puisi tenderloin, dijual di depan kedai.



daging segar, masih bisa basah oleh keringat.



bunyinya lenguh, berdecap-decap-gaduh.



puisi berkeringat, cocok untuk yang sedang sendiri.







ada puisi lahir dari kata-kata milik seniman.



yang penuh dengan makna hidup.



kadang menjadi sisi yang paling gelap.



puisi seperti ini tidak bisa dihirup setiap hari, karena seniman hidup sesuka hati.







oktober 19, 2005



Terkait bentuk, puisi ini belum mendapat pengolahan optimal. Kelancaran
bertutur yang hendak ditonjolkan justru mendapat batu sandungan,
menurut saya, di bait pertama.  '... di mangkok indomie',
misalnya; atau '... roti sosis', umpama berikutnya. Seharusnya--hei
penyair, harus dicatat, ini keinginan saya, terserah mau diikuti atau
tidak, sebab: '... seniman hidup sesuka hati'--Widhie memperhatikan
olah luncur kata yang menjadikan semuanya lancar. Saya merasa tersendat
saat membaca ' ada puisi ikut keriting di mangkok indomie'; atau '
ada puisi pesanan setengah matang di dalam roti sosis'. Dalam bayangan
saya, larik itu seharusnya menjadi: 'ada puisi ikut keriting mangkok
indomie' dan 'ada puisi pesanan setengah matang di dalam sosis roti'.
Saya menyebut ini kegagalan kecil berdampak maha. Hanya karena kata
depan 'di' dan bentuk terbalik Mengerti atau Dimengerti menjadi
Dimengerti atau Mengerti (hoi!!!!!, tolong gua; sebenarnya bahasa
Indonesia berpola D-M atau M-D),  berkurang kadar kesedapan puisi.
Padahal, kelancaran bertutur seirama dengan tema yang hendak diusung.
Dalam pikiran dan hati saya, tema puisi ini menyindir semua penyair.
Isi yang hendak ditawarkan penyair adalah puisi itu ada dimana-mana,
mudah didapat sebab bukan hanya 'bukan didalam di buku'; tinggal pilih
saja, ambil dan telan, kalau perlu buang. Puisi itu mudah! kalau saya
diperkenankan menyingkat isi yang ditawarkan
penulis-cum-penyair-cum-pedagang buku-cum-pekerja sosial ini.


Aliran kata yang terucap begitu mudah, hingga mengikut tema yang ada
didalam puisi; ini kekuatan puisi ini. Bahkan suasana kegembiraan pun
hadir didalamnya. Saya
perkirakan puisi ini dibuat penyair dalam suasana hati dan nurani yang
gembira ria serupa susu fanta gembira. Pilihan tiap kata yang begitu
sederhana juga cukup mengejutkan saya. (Puisi itu ternyata tak perlu
juga menggunakan kata 'macan' yang tak pernah kita lihat, 'bulan' yang
tak pernah kita kunjungi, 'persetubuhan' yang tak pernah saya lakukan,
' hati' yang tak pernah saya jamah, 'belati' yang tak pernah saya
pegang, atau segala macam yang lainnya.) Uniknya, dengan metafora yang
sangat 'mengedai' ini, puisi ini berhasil mengantarkan pesanan dari
dunia imajinatif penyair. Selamat!!!!



Secara keseluruhan, penyair Widhianto Abdul M, masih mencari-cari
bentuk puisinya sendiri. Ia masih bereksperimen. (Apakah penyebabnya?
Tolonglah, you jawab sekali-sekali penyair, biar kami orang bisa lebih
mengerti.) Jika memang you hendak bereksperimen, total-lah
bereksperimen. Jangan pula sampai muncul puisi seperti:



Tentang:  AkuKamuDiaMerekaKitaInidanItu

Buat: Toby Litt



AkuKamuDiaMerekaKitaInidanItu. Sialan.

KamuDiaMerekaKitaInidanItuAku. Sialan.

DiaMerekaKitaInidanItuAkuKamu. Sialan.

MerekaKitaInidanItuAkuKamuDia. Sialan.

KitaInidanItuAkuKamuDiaMereka. Sialan.

InidanItuAkuKamuDiaMerekaKita. Sialan.

AkuKamuDiaMerekaKitaInidanItu. Sialan.



“Kemudian Siapa lagi yang harus dipertuhankan, Apa lagi yang harus dipersetankan,

and how do you learn to hate so much ?”



1997





yang,
menurut saya terbawa arus Tobby Lit. Ada kegenitan saya rasakan disini.
Sebab saya juga pernah melakukan hal serupa. Menilai puisi ini
menimbulkan penolakan tersendiri dalam batin saya. Sebab, mungkin saja
gagasan yang ditawarkan puisi ini mantap, aku merasa ada hal prinsipil
yang dilanggar. Genit!



Hi...,

saya: David Tobing.

Nice to meet you.

;)

See, yaa.......

























Friday, 9 December 2005

dari candi ke penjara

kopi hitam sore ini sehitam rasa penasaran, aromanya memenuhi lapisan atmosfir ruang kerjaku, bereaksi kimiawi bahkan sebelum aku sempat meneguknya, sekejap rasa penasaran terpenuhi...aku yakin, detik ini keraguan itu akan hilang...bahkan ketika kawan saya masih tergagap bertanya tentang makna hidup, arti pekerjaan yang ia lakoni hampir sepanjang usia produktifnya.


apa yang menyebabkannya demikian? hanya ia sendirilah yang tahu persis jawabannya. pertanyaan itupun untuk dirinya sendiri. terngiang di kepalaku obrolan pada malam-malam sebelumnya tentang kisah ' the scientist' yang diangkat david dari sebuah lagu 'coldplay', sebuah kisah pecinta yang mencari kesejatian, dari sekeping uang--dimana salah satu sisinya adalah kebenaran dan sisi lainnya adalah kemajuan dan pengetahuan. dimanakah keabadian, kesejatian tentang makna segala sesuatu ketika probabilitas kita memilih adalah 50:50, bahkan pilihan kebenaran pun terkait dengan kemungkinan pilihan metode, kemajuan sebelumnya, dan pengetahuan yang kita miliki.


ah, rumit terlihat, namun itulah hidup yang saya sedang jalani dan rasakan setiap hela nafas saya, pun ketika sedang menghirup secangkir kopi sore ini. ada pertanyaan-pertanyaan tentang asal-usulnya. memperkirakan rasanya pahit, atau sedikit asam, robusta atau arabica? atau hibrida ketika dicampur oleh pedagangnya? tumbuh dimanakah kopi ini--digongseng kering atau samapi berminyak? ada literatur bersileweran, mondar-mandir diotak, sementara otak kanan saya terus mencari momen puitis dari  sore ini, bahkan didalam sebuah bangunan rutinitas.


hopla, saya tercebur kedalam ruang kosong-rasa penasaran lain ketika wajah saya dapat berkaca dalam pekatnya kopi. ruang itu hitam, namun semuanya seperti terlihat jelas, walau dalam gerak lambat. suara kawan di rapat, keprihatinannya, kegelisahan dirinya--jelas terpampang. dan saya lari kearah sebuah mesin ketik yang berada di penjara di Denpasar, ke msin ketik yang berada di pulau Buru, ke misn ketik yang berada di penjara Cipinang, ke msin ketik yang berada di sebuah rumah di Menteng...ke berbagai mesin ketik yang telah membantu penulisnya melampaui jaman, yang berhasil mencatatkan imajinasi mereka, untuk sekadar melempar sekeping uang: kebenaran atau ...


dari aksara yang tertulis tersebut maka terbukalah tempurung-tempurung yang ada di otak saya, atap kantor seolah hilang--bahkan langit yang berlapis terus tertembus oleh timeline sejarah...siapa yang menuliskannya? sementara kepedulian beberapa orang di negeri ini terus berkurang, untuk membangun peradaban, waktu terus berjalan ke belakang...samapi ke jaman yang teramat purba pun aturan main semakin jelas...pandangan saya semakin kabur menatap kedepan, bingung memilih metode, alat, pengetahuan untuk memahami 'kebenaran' sekarang. sayapun terpasung! bukan di masa lalu tapi oleh saat ini, pause. masa depan semakin tidak terjamah oleh indera saya, kopi sore menjadi masa lalu seperti buku sejarah yang ada di dinding candi.


pause, itulah kata yang tepat untuk saat sekarang ketika kita diambangkan oleh 'bahasa kekuasaan', tenggelam-terbang (lagu Netral) sebuah kondisi dimana seorang pecandu berada diantara kesadaran bawah sadar...saya terapung-apung, mati rasa, dan merasa bebal. tak punya pegangan untuk mencari kebenaran lain, selain yang terpampang di media massa yang sumpek oleh kepentingan penguasa...mengalahkan mesin ketik dari masa lalu, yang ada kertas memorandum untuk kesepakatan-kesepakatan yang meminggirkan kuasa ide, imajinasi, mesin tik cuma diperuntukkan untuk menulis SAYA DENGAR DAN SAYA IKUTI...


buku-buku dibakar, dicurigai, diberangus...


aroma kopi menghentak kesadaran...ah kapan peradaban bisa dibangun di warung kopi, di kebun petani, buka di istana atau di kantor yang steril ini...


widhy

Monday, 5 December 2005

poet corner#2

Start:     Dec 17, '05 8:00p
End:     Dec 18, '05 1:00a
Location:     kedai buku sinau, jl. bekasi timur 1 no. 32A (depan st. KA Jatinegara), Jakarta 13350
tentang sekantung kekalahan

tentang widhy:
pekerja sosial dan pedagang buku

sekantong kekalahan

Kita

Kita adalah orang yang selalu bicara tentang kita.

Perjuangan kita. Tapi dalam pengorbanan kita selalu bicara:

‘Asal bukan Aku’. Ini demi kita. Masa depan dan cita-cita kita !



Desember 1996






Sajak Kalah Dalam Empat Suasana





Tahun Baru



Pagi jenuh. Sisa kemarin masih belum tandas.

Kini. Awal Baru.

Orang-orang sibuk meramal. Kalah-Menang.

Bagiku yang penting adalah jatah.

Karena menang sudah tak mungkin.



Januari 1997.





Tentang Pemilu.



Hari ini suara dipungut entah dari mana.

Aku pasti gigit jari.



Hari H Pemilu 1997.





 Ketika Saat Bila Jika.



Ketika kuntum bunga menjadi gelas bercampur bensin,

Saat, belaian lembut adalah percikan darah,

Bila kewarasan mengayunkan parang dan pekik perang.

 Jika kedamaian cuma terletak dalam angan dan senyum adalah

gerak terakhir dalam hidup.




Februari-Mei 1998



Bercermin



Aku tak bisa melihatnya. Cuma basa-basinya saja yang kukenal. Wajahnya
tetap seperti itu. Itu melulu yang kuingat. Wajah yang makin buram saja.



Cuma basa-basinya yang kukenal. Sekarang aku tambah tidak ingat raut
mukanya. Bentuk hidungnya, garis pipinya, tebal bibirnya bahkan bau
mulutnya. Ahh basa-basi itu lagi. Cuma itu yang kukenal. Tapi mengapa
makin sering saja  aku bertemu dengannya.



Tampaknya basa-basi itu yang kekal. Juga pujian itu. Padahal sudah
kubilang aku tidak suka itu. Justru itulah yang mengental. Sial.



Desember 1999











Tentang:  AkuKamuDiaMerekaKitaInidanItu

Buat: Toby Litt



AkuKamuDiaMerekaKitaInidanItu. Sialan.

KamuDiaMerekaKitaInidanItuAku. Sialan.

DiaMerekaKitaInidanItuAkuKamu. Sialan.

MerekaKitaInidanItuAkuKamuDia. Sialan.

KitaInidanItuAkuKamuDiaMereka. Sialan.

InidanItuAkuKamuDiaMerekaKita. Sialan.

AkuKamuDiaMerekaKitaInidanItu. Sialan.



“Kemudian Siapa lagi yang harus dipertuhankan, Apa lagi yang harus dipersetankan,

and how do you learn to hate so much ?”



1997






Sympathy for Devil*



Debu menjadi bintang, menjelma mahluk, dan kembali ke asal ?‘



Bising disini,

Industri kepedihan penghasil cinta? Dijual dijalan-jalan, kaki lima,
mall, kampung kumuh, Pondok Indah, komplek pelacuran, kota satelit,
pelabuhan, kawasan berikat, sampai kurikulum wajib di sekolah.



Kita memulainya, mencipta kepedihan dengan cinta, dari fantasi
kanak-kanak sampai sado masochist:  penasaran, terasing lalu
sunyi.  Dilipatgandakan fungsinya dengan berbagai kepentingan atas
nama: Puing dan Arang, amis warna merahnya.

Jika kurang,  kita buat lagi subtitusinya: kecemburuan.



Sekarang salahkan semua pada rasa frustasi. Geliat  libido yang
menggelora. Bagaimana caramu merasakannya ?. Mengkhayalkannya sehingga
lebih ajaib, lebih merangsang dibanding dari rock n’ roll?.

Kepedihan, Cemburu, dan Frustasi. Mesin  waktu yang eksotis, wajar sekaligus mencandu.









‘  Seem I,m not alone in being alone …’ **




Aku di dalamnya juga setengah manusia disini. Mencari Damai. Absurd !

Menjelajah berbagai media-das sein. das sollen.
Bagai arloji, mengulang tanda yang sama. Sejarah! Sesuatu selalu datang
dan pergi. Tak ada ruang kosong. Sia-sia aku menunggu atau mengejarnya.


Man proposed, God disposed.



Biasa saja itu kesimpulannya, bangun pagi, seduh kopi campurkan susu
bila perlu, beri gula sedikit saja atau tambahkan sesuai selera. Duduk
di teras, baca koran-jangan banyak komentar, tegur tetangga-senyum,
tepuk pantat atau remas dada isterinya bila sang suami telah pergi
kerja. Lalu pikirkan hal lain: spontanitas. Yap, dunia hanya gejala
ketika Tuhan ingin mengatur semuanya.



Selanjutnya sampaikan simpatiku pada para pendosa, para pemain
gagah-penantang para tuannya, dan selalu bertanya untuk apa ini semua.
Apakah aku menggenapkan atau mengganjilkan, atau disini aku cuma untuk
berkeringat, lain tidak.



Setan, you aturlah!







* Sympathy for Devil, diambil dari lagu Rolling Stones



 ** Message in The Bottle, diambil dari lagu The Police

 

1997







Buat Retno



Biasanya aku terbangun setengah enam. Melihat kesisi lain, sambil
membayangkan dirimu, letih, terbaring telanjang memelukku. Sampai saat
kau melarangku untuk memikirkannya.



Aku tak mungkin menghindar. Katamu:

“Kau tak mungkin seserius itu, please, jangan diteruskan”.



Akupun memakai tanda duka. Percuma. Aku memakai tanda cinta. Katamu
lagi: “Kau tak mungkin seserius itu, please, jangan diteruskan.”

Aku kaku pucat.



Biasanya aku terbangun setengah enam, dan berharap, terbaring telanjang disisimu, letih.



Oktober 1996









Ah,



Aku ingin kembali

Memancing kata-kata dari  mulut mungilmu

Satu, dua, tiga, empat atau sekedar lenguh parau tertahan

Tak mengapa.



Tapi kamu malah memilih diam

Atau main mata dengan langit.

Biru, lembayung, merah senja, jawabmu:

“Kembali besok pagi dengan kadar cinta  yang sama “



Oktober 1996



Cuma itu isengku



Mungkin kali ini aku benar gila.

Bicara pada ikan di akuarium, atau berkhayal jadi kura-kura raksasa. Ingin aku berlayar ke negerimu. Menjadi orang asing.

Semoga kau tak mengenaliku.

Membelikanmu es krim strawberry atau vanilla, pilih yang kau suka.

Lalu tidur se-siang-an di pangkuanmu.

Cuma itu isengku.



Oktober 1996



Buat indo-nesia



I want you to come on, come on, come on, come on and take it,

Take it!

Take another little piece of my heart now, baby!

Oh, oh, break it!

Break another little bit of my heart now, darling, yeah, yeah, yeah..





sekarang aku menjadimu, kamu berhenti ada. tersenyumlah, nikmatilah, kesementaraan ini.



Dulu kau tambun kata-kata, hanya kau saja yang boleh menterjemahkannya.

Dulu ketika kau tikam aku dengan tuturmu, aku sudah mati berkali-kali.

Darahku terus mengalir-membentuk jiwa baru. Tidak satu-tapi seribu.

dan selalu berkata, ‘Ambil terus jiwaku. Itulah yang menjadi mimpi burukmu !’



ketika aku menjadimu, kamu berhenti ada.

sekarang aku menjadimu, aku bunuh diri.





Oh, oh, have it!

Have another little piece of my heart now, baby,

You know you got it if it makes you feel good,

Oh, yes indeed.



Take Another Piece Of My Heart, Janis Joplin



Desember 1996





Belajar Menulis Puisi

(buat kawan-kawan di sinau)



ada puisi di dalam kopi, di setiap gigitan kerupuk.

bukan di dalam buku.

ada puisi ikut keriting di mangkok indomie.

ada puisi pesanan setengah matang di dalam roti sosis.



menghirup kopi setiap hari, membaca puisi.

puisi garing, renyah, bergaram bisa dimakan setiap orang.

tak perlu berkerut kening, semua puisi bisa dipesan.

asyik, bercangkir-cangkir puisi setiap hari. satu puisi sekurangnya satu hari.



ada puisi tenderloin, dijual di depan kedai.

daging segar, masih bisa basah oleh keringat.

bunyinya lenguh, berdecap-decap-gaduh.

puisi berkeringat, cocok untuk yang sedang sendiri.



ada puisi lahir dari kata-kata milik seniman.

yang penuh dengan makna hidup.

kadang menjadi sisi yang paling gelap.

puisi seperti ini tidak bisa dihirup setiap hari, karena seniman hidup sesuka hati.



oktober 19, 2005







Kader: kepada kawan yang lebih muda dariku.



Rakyat kita sudah banyak menderita sekali. Sudah seharusnya kita
memberi lebih banyak pada mereka, semuanya yang kita miliki. Pablo
Neruda-Nyanyian Revolusi
.



Lama bercengkarama antara kita, selalu diinterupsi oleh nasib rakyat.

Ujungnya kita bicara nasib kita sendiri, yang juga miskin-melarat.

Apa bedanya antara kau dan aku. Selain tahun kelahiran. Tempat kita
sama reot dan rapuhnya. Sementara kau selalu membutuhkan api yang
keluar dari mulutku, yang akan membakar ingatanmu.



Apakah api itu memercik kesadaranmu?

Atau malah membuatmu menjadi abu?



Oktober, 2005





untuk donik



Obrolan kita adalah tikar yang dibentangkan di pelataran masjid itu, di
setiap permukaannya ada tuhan yang menyapa. sajadahku cuma selembar
koran-berganti setiap hari, sementara milikmu: keindahan sulaman yang
kau kerjakan sepanjang hidup.



Kenangan kita sama, tentang tanah dan keringat  mengkilap yang
memantulkan ladang ditubuh liat para petani. Tanah kita masih tanah
yang sama, yang menjadi sumber benih pada setiap sperma yang kupunya,
tanah yang sama akan menjadi daging di rahimmu-segumpal tanah yang
dicangkul dan disiangi petani. Lantas darimana pertanyaan: mengapa kita
selalu kalah? Sementara ladang terus menjadi bagian dari tubuh petani.



Tanah-tanah itu tak pernah menjadi senjata. Maniku tidak,  sel
telurmu tidak, juga daging di rahimmu. Sepanjang perjalanan kita, tanah
selalu  retak-retak, maniku-benihmu terbakar bersama jerami dan
kemarau. Segumpal tanah di rahimmu tidak berubah menjadi senjata.

Malam dipenuhi asap dari jerami yang terbakar-membumbung membawa kerja
keras mengolah tanah yang retak, baunya memenuhi ruang kita, rumah
petani.

Kau kemudian berkata; sengsaralah hidup orang yang selalu gelisah dan terus mencari tahu.



Asap jerami tak pernah membutakan mata, juga bukan sumber air mata.
Kekalahan demi kekalahan kita gantang bersamanya. Besok kita harus
berangkat, ke gunung yang selalu hadir di jendela kamar setiap pagi.
Kita buat lagi senjata dari tanah-tanah di atas gunung  itu. Aku
akan membawa selembar koran untuk bersujud, semoga cukup. Dan kamu akan
sibuk menyulam keindahan-sampai segumpal tanah yang ada di rahimmu
berubah menjadi senjata.



Turen, 61105





Kau Miskin Maka Aku Ada



Kemiskinan. Persiapan. Plano. Metacard. Spidol. Double tape.
Dinding. Jendela. Kursi. Urutan. Aturan main. Agenda. Kekhawatiran.
Harapan. Mari memulai. Isi kartu. Pilih masa depan. 5 kata. Huruf
kapital. Perhatikan lingkungan anda. Modal sosial. Berdaya.
Partisipasi. Pembangunan. Perhatikan. Potensi. Lahan. Diri. Waktu.
Hari. Harga. Coffee break. Mantra. Doa. Realitas. Permainan. Kelompok.
Berbagi. Sumber daya. Pengalaman. Individu. Pengetahuan. Presentasi.
Pertanyaan. Diskusi. Jawaban. Triangulasi. Kebenaran. Afirmasi.
Kontroversi. Tak biasa. Kebiasaan. Merubah. Keadaan. Manipulasi.
Rekayasa. Nilai-nilai. Keburukan dan kebaikan. Chaos. Coffee break?.
Lanjutkan!. Satukan. Persepsi. Impian. Visi. Larut. Malam. Pagi. Siang.
Petang. Hasil. Paparan. Penutup. Sejarah. Prosiding. Proyek. Berlanjut.
Persiapan. Proposal . Baru. Kembali ke awal. Kemiskinan.



Gambar Masa Depan Anda.

Kenali Kawan dan Lawan.



Jakarta-Bogor, November 2005































































 

Subjek=Objek= (f) Mimesis

Subjek=Objek=(f) Mimesis

Oleh: Widhy



Siapakah yang paling berhak menilai karya seseorang ketika pemegang
otoritas-author-penulis tidak lagi hadir sebagai subjek? Pertanyaan ini
mengemuka di sela diskusi poet narcissuss-di kedai buku sinau Jakarta,
13 November 2005 kemarin.



Seni konon merupakan mimesis kehidupan. Sebagai sebuah tiruan tentulah
seni bukanlah kehidupan itu sendiri, namun lebih merupakan sebuah
permainan tentang kehidupan. Dengan demikian kualitas dari permainan
(bukan realitas subjek pemain) merupakan unsur terpenting dalam sebuah
kritik terrhadap seni. Disini seniman adalah seorang yang bukan dirinya
dan merupakan representasi dari karyanya. Dalam pembicaraan malam itu
disebutkan bahwa David Tobing sang penyair adalah puisinya, puisinya
adalah David Tobing itu sendiri.



Lantas apakah yang bisa dijelaskan oleh David Tobing terhadap dirinya
sendiri? Saya beranggapan tidak perlu ada yang dijelaskan. Karena
setiap bait dalam puisi David Tobing malam itu adalah kepala, tubuh,
kaki, tangan, indera Dan sekantung besar pengalaman dia semasa
hidupnya. David Tobing tidak perlu melakukan ‘pembelaan’ terhadap
pengalaman puitisnya, itu cuma miliknya-hidupnya-tidak ada yang bisa
mengambil! Lantas mengapa perlu membincangkan David Tobing di depan
hidungnya sendiri sampai ia berkunang-kunang dan menjadi lapar ketika
mendengarkan kata-katanya ternyata lebih complicated ketika dibaca
orang, lebih bertuah, lebih dapat dijelaskan maksudnya, dikenai
nilai-nilai, ditelusuri sejarahnya, diungkapkan proses kelahirannya.



Minum kopi biar cerdas!. Berhubungan
atau tidak ada bagian-bagian dalam sebuah puisi (untuk menggantikan
kata seni) merupakan imajinasi tanpa batas. Sederhana, imajinasi harus
ditelusuri lewat imajinasi.  Permainan puisi mengikuti aturan main
puisi. Mengapa tiba-tiba jadi sebuah permainan? Sebuah tiruan memang
sebuah mainan. Hans-Georg Gadamer dalam Kebenaran Dan Metode memiliki
tesis bahwa yang harus dibicarakan adalah mode keberadaan karya seni
bukan state of mind dari pencipta atau mereka yang menikmatinya.
Sehingga penelusurannya menjadi apakah dia benar-benar mengetahui
tentang sesuatu dengan cara menciptakan sesuatu tiruan tersebut.
Gadamer menyebutnya sebagai tiruan yang orisinal. Sekali lagi apapun
bentuk seni itu ada benturan ontologis untuk pengungkapannya. Jadi
puisi atau seni memiliki unsur kognisi yang jelas. Bagi siapa?
Penikmatnya. Penonton.



Kemanakah sang otoritas, pada pencipta atau pada penonton? Pada
keduanya ketika fungsi kognisi berlangsung. Kebermaknaan puisi harus
mencakup keduanya, sehingga orisinilitas permainan dapat
dipertanggungjawabkan. Ketika pesan tesampaikan makna dapat dimengerti,
saya manggut-manggut, Jibal senyum penuh arti, Arif masih bernafsu
untuk mengetahui lebih jauh, Al Faruq berusaha menjelaskan lebih detil,
Karina menyampaikan sosok David si Kulintang Batu (bukan David Tobing
yang dilahirkan emaknya) secara lancar bertenaga seperti mengenalnya
berpuluh tahun, semuanya telah menjadi pencipta dan …my Godness, David
yang dilahirkan emaknya berkerut jadi penonton. Gilee.



Dari beberapa hidangan yang disuguhkan David Tobing ia tampak
bermain-main dengan metafora-juga bunyi. Hal ini dapat dilihat dari
puisi yang menjadi pilihan tamunya yang menikmati tulisan tentang
kegelisahan. Puisi berjudul gelisah ini sementara dianggap sebagai
pencapaian utuh David menjadi orang sedang bermain-main dengan
kata-kata.



GELISAH



dari bawah bohlam

bulan memandang

'Bibir di Mulut Ikan'





Sedang melihat apakah si Bulan (David) sebenarnya…bisa bermacam-macam
jawabannya. Bisa jadi ia sedang makan ikan, cuma frasanya dibalik: ikan
yang sedang mencicipi bibir, bisa juga ia melihat lukisan tentang
‘bibir di mulut ikan’, seperti lukisan dalam sampul kaset atau sebuah
sampul buku, siapa yang tahu. Salah satu yang belum tuntas terjawab
dalam diskusi malam itu adalah frasa-frasa yang tercipta dalam puisi
apakah harus menjadi arti baru (ditranformasikan), diartikan secara
tekstual atau kontekstual (historitas pembuatan puisi tersebut).
Sehingga puisi yang ada tidak cukup membuat rasa penasaran
pembacanya-dengan berbagai pengandaian yang pada puisi Gelisah tercapai
disuguhkan David Tobing. Bandingkan puisi Gelisah dengan Kolintang Batu
dibawah ini;



KULINTANG BATU



telinga, bangau memamah

tinta. Sepurnama:

pikulan kendang bergaun ikan.



Rasa penasaran penikmat Kulintang Batu semata-mata bukan karena
memaknai teks namun juga membunyikan kendang di kepala masing-masing.
Jika keduanya tidak tercapai maka sebagian orang mungkin gagal
menangkap Kulintang Batu sebagai karya puitis, momen puitis David sama
sekali tidak dapat dibagi, sehingga otoritas murni dimiliki David
Tobing. Bagi sebagian penikmatnya puisi ini dikategorikan sebagai puisi
gelap. Karena pesannya tidak tersambung. Bayangkan deretan kata pada
puisi Kulintang Batu yang jika dipisahkan memiliki arti dan makna
dengan puisi Bayangan Aku Yang Lelah Berjalan dibawah ini;



Bayangan Aku Yang Lelah Berjalan



  r m t  b l n  d l h   r

  r y  ng m n j  

k r ng.





(Bayangan aku yang lelah berjalan

ialah air mata tertusuk kering.)



M ng l r  k  

 k  m ng kh r k r ng

k r ng

b l n.



Depok, Juni 2004





Deretan kata  (huruf!)

     r m t  b l n  d l h   r

  r y  ng m n j  

k r ng. memiliki arti yang lebih dalam dibandingkan dengan Kulintang
Batu ketika keduanya dibacakan secara dramatik. Sehingga deretan kata
di dalam tanda kurung bisa ditunda penggunaannya (seolah tidak ada).



(Bayangan aku yang lelah berjalan

ialah air mata tertusuk kering.)



M ng l r  k  

 k  m ng kh r k r ng

k r ng

b l n.



bayangan aku yang lelah berjalan menjadi sebuah kelelahan (fatigue)
yang sangat bagi si penulis. Kata-kata tidak cukup mampu untuk
melukiskan kelelahan tersebut. Puisi-puisi David Tobing yang lain masih
mencoba bermain dengan rima, seperti dalam dua puisi dibawah ini:



Beku Kata Mengetuk Bentuk



hilang beku

mengalir bentuk

saling ketuk,

kata : aku



September 2004







LALU BERCERMIN KATA



begitu gampang lalu nyawa

lepas lalu

terban

ke tingkat bintang bilangan ∞ di langit gelap

lalu terjun

lewat hujan

lalu dingin

sekejap lalu

begitu gampang lalu tiba

di laut hempas

tanpa benang tak berenang tanpa sauh tinggal labuh

begitu jauh

aku lalu

tak bayang

begitu gampang!



Depok, Mei-Juni 2004



Secara intens dalam puisi Lalu Bercermin Kata David Tobing ingin
mengentalkan atau menebalkan, menggarisbawahi kalimat …lalu begitu
gampang, lepas lalu terbang, lalu terjun, lalu dingin, lalu hempas lalu
menjadi lalu menjadi tak bayang…begitu gampang. Ada rasa kehilangan
yang coba diungkap…tegas, dikentalkan lewat pilihan kata-kata yang
nyaris memiliki arti sama…lepas…hilang…berubah. Disini David Tobing
sekali lagi memiliki kemampuan pemilihan diksi yang homogen…yang
menyebabkan pembaca  diberondong kata-kata, diajari bahwa begitu
gampang untuk merasa kehilangan, bahkan tanpa sisa.



Usaikah permainan kata-kata David Tobing? Sepertinya tidak. Bisakah
kata-kata dibunuh, seperti permintaan beberapa kawan-untuk membunuh
sang penulis-kah? Sepertinya juga tidak. Kata-kata memilih kita,
setelah kita memilih mereka untuk menjadi media dalam berbahasa. David
Tobing telah menjadi puisinya sendiri, karena ia dipilih oleh
kata-katanya sendiri.











 











 

Monday, 21 November 2005

APOLOGIA HATI YANG DICAMPUR AKAL BUDI UNTUK MENERJEMAHKAN MERAHNYA KARINA BERSUARA SERTA SELINGKUHAN HAHA BERMAKNA DARI SEORANG REKAN LAMA, JIBAL NAMA DIA


(Sebuah Cerpen Filosofis; Bilamana Novel Filsafat Mendapatkan Tempat)



Suara ini berangkat dari atas ranjang dalam kamar temaram yang selalu
berbicara dalam bahasa kesunyian; dan aku mengisinya dengan keriuhan.
Namun seringkali malah aku yang terperangkap dalam sepi yang menjalar
di bilik kamar yang selalu kutinggalkan saat menjadi manusia pekerja;
bekerja memenuhi tuntutan perusahaan multi-media--bekerja untuk hidup!

Demikianlah ruang mengisi kehidupan yang mewaktu; kadang melalui jalan
penuh riuh-hiruk, kadang juga melintas lewat kesenyapan. Tragisnya,
semua akses-menuju-itu, bisa berujung menyeramkan, atau sekadar
menjadikan mulut mengeluarkan bahak bergema membahana. Dan,

adalah ruang jugalah yang mempertemukan suatu 'aku' dengan ke-'aku'-an
lain, hingga membentuk kami sebelum akhirnya menjadi kita; tentunya
dengan kesiapan mental menerima pelabelan baru menjadi lema 'mereka'.
Istilah yang disematkan sekelompok orang berbeda haluan atau sekadar
menjadi penikmat saja. Walahuallam! walaupun niat berteriak kuat:
Adalah kita yang sebenarnya ada; sedang mereka hanyalah kesemuan mata
menerjemahkan keberadaan yang utuh. Mengutip idiom yang kerap tercetus,
mulai dari jaman batu hingga revolusi teknologi informasi, yang
tentulah hadir dalam diskusi ringkas di malam 13 November lalu; dalam
bentuk: Si kembar mata uang. Apakah berlawanan atau saling melengkapi,
ataukah kelemahan dalam memahami bahwasanya tidak ada perbedaan. Itulah
pertanyaan mendasar, dan demikianlah 'kita' dan 'mereka' bertanya.



Dedengungan seberang mulut portal Jalan H Yakub Saidi masih mengurung
benak, merambat pasti penuhi hati, bermuara di episode akhir, apakah
pengalaman ini memberi arti? Seketika terlintas citra mesra dua manusia
yang entah melakoni apa. Tampaknya, saling dekap memadu kecup, sesekali
terlihat seperti saling pukul mengancam bunuh. Tapi, rasanya, sekali
lagi aku tegaskan rasanya, niatan untuk menjadi racun pertanda bahwa
Desember tiba, ihwal mekar meraja (keinginan untuk bertumbuh dan
mewarnai) di pekarangan lembah tersembunyi, kuntum bunga bernama: Poet
narcisus, merekah! Itulah kembang beracun. Itulah kembang beracun yang
dilengkapi dengan kemampuan adaptasi membuang sampah pada tempatnya!



Dan, dalam ruang tersembunyi di penghujung tahun Masehi yang disebut:
Puisi, polemik berbunyi! Lagi-lagi, dan--pembuat syair, sajak, puisi,
soneta, pantun, harus rela, ikhlas, legowo, pun tulus mengambil lokasi
kursi pemula perkara; bukan untuk diadii, melainkan berbagi! Yap,
berbagi! yang berarti rangsang-merangsang, pegang-memegang,
jamah-menjamah, tampar-menampar! Dus, atas posisi itulah, aku sebagai
tumbal pertama mendeklarasikan bahwa apa yang terjadi di '... MERAHNYA
KARINA BERSUARA SERTA SELINGKUHAN HAHA BERMAKNA DARI SEORANG REKAN
LAMA, JIBAL NAMA DIA', adalah berbagi. Laku aktif memberi untuk
diterima sekaligus menerima yang mengujung pada menyimpan atau,
lagi-lagi, membuang sampah pada tempatnya (layaklah aku mengucap maaf
sebab aku melakukan kerja kutip tanpa permisi dari dia yang punya
perenungan awal akan idiom tersebut, yang disemburkan dengan penuh
perhitungan dari laras mulut seorang yang mengenalkan diri di permulaan
diskusi dengan nama: Alfan, lalu tersebut menjadi Al-Ghifari,
Al-Fattah, Al-Faruq.). Oleh karena itu, layaklah kiranya kita melakukan
secuil kegenitan menggelitik fatwa yang dicetuskan Roland Barthes,
Pengarang Sudah Mati. Alasnya, tentu saja kata dasar verba aktif
turunan berprefiks: berbagi, pun membagi.



'Aku' harap kelegaan bertualang di lema aktif kata ' bagi'
menjadikan risalah yang ditulis dengan penuh subjektifitas ini semakin
membuka celah kita untuk kembali melakukan percumbuan yang, mungkin,
mematikan (?); mungkin juga menyegarkan!



Dan, puisi bagi 'Aku', dalam tahap yang paling primitif, adalah
menulis. Dus, menulis bagi 'Aku', dalam tahap yang juga sangat
primitif, bermula dari keinginan! Tegasnya, berpuisi adalah keinginan
menulis. Lugasnya, keinginan menulis untuk mengungkapkan perasaan.
Keinginan untuk mengutarakan (bilamana di belahan utara berdiam
kebekuan yang biasa menjadikan segala lebih awet, lebih tahan lama,
hingga tergelincir pada kata 'abadi')--kalaupun diperbolehkan untuk
memperoleh ke-ekstreman makna dapat juga disebut:
Menyelatankan--perasaan.



Sutardji Calzoum Bahri, dalam Kredo Puisi menuliskan: Pada Mulanya
adalah Kata. Maaf, sedikit aku menggubah hingga berubah menjadi: Pada
Mulanya adalah (K)ata. Lalu, Putu Arya Tirta Wirya yang mengutip ujaran
seorang sastrawan besar Rusia Leo Tolstoy, yang menegaskan (mungkin
meringkaskan) tiga pilar keindahan sebuah karya seni--dalam kerangka
ini risalah, puisi merupakan bagian atau varian dari apa yang
disebutkan secara makro itu sebagai seni--yakni bentuk, isi dan
kejujuran! Dan, setelahnya, pandangan retina pun beralih ke kitab
'kerygma & martyria'-nya Remy Sylado, dimana dalam bagian yang
berjudul 'APOLOGIA', adalah seorang Yapi Tambayong menyatakan
panjang-pendeknya tarikan nafas dari nomina yang disebut puisi itu
adalah faedah penghiburan dan pengharapan akan kini plus
besok-besok-besok-besok. Kalaulah 'Aku' boleh mengimbuhkan sedikit
lagi, 'Aku' teringat fatsun seni yang dikumandangkan oleh seorang
filosof ... (mungkin sidang pembaca sekalian bisa berbagi
ke-tahu-an--ingatan 'Aku' rasanya sudah merenta--tentang siapakah
filosof yang terlupa oleh 'Ku' ini, pula kapankah ia menyuarakan fatsun
seni itu?), dimana bagian terujung fatsun itu adalah pertentangan,
jikalau tidak ingin disebut sebagai pertempuran, dua kubu. Satu kubu
bertombakkan dalil: 'Seni untuk Seni'. Kubu lain bergadakan premis:
'Seni untuk Masyarakat'. (Dan kita akhirnya terperangkap dalam kebutaan
perang yang mewajibkan suatu tindak ekonomis: Memilih. Dan, 'Aku'
memutuskan, larut dalam pertempuran tanpa pemihakan 'A' atau 'B'; sebab
sekali-sekali 'Aku' berprofesi sebagai 'A', lalu meloncat ke kawah
dibawah kekuasaan 'B'. Kalau mau disebut pengkhianat, itu pun tak
apalah.) Filosof yang terlupa oleh 'Aku' inilah yang memadatkan seni
sebagai sesuatu yang indah plus berfaedah.



Dari uraian ringkas yang super-ekstrak nan instant, lumayan
benderanglah (atau malah temaram) upaya pribadi selalu menempuh
ruang-mewaktu untuk mengetahui, mengenali bahkan memahami seni,
khususnya, juga lebih khusyuknya lagi, puisi. Sutardji menyoal awal
mula puisi; Leo Tolstoy melalui Putu, mempermasalahkan persyaratan
puisi; Remy Sylado/Yapi Tambayong/Alif Danya Munsyi mempersoalkan
ke-bakal-apa-an puisi di kemudian hari, apakah abadi atau tidak?

Masiih didalam kamar yang sumuk, penuh debu bertumpuk, agaknya perlulah
'Aku' gemulai tiupan angin sepoi belahan bumi beraroma tropis membelai
pipi. Itulah pertanda syiar pemaklumatan sebuah pencarian akan
kebebasan dalam lautan rimba raya yang menyesatkan!

Melangkah keluar kamar menuju ruang dimana kegamangan malam terpancar
bersamaan dengan putaran galaksi Bima Sakti yang senantiasa memutar
planet Bumi hingga nyala matahari kembali sigap menerpa dataran
khatulistiwa tanpa memerlukan medium pemantul, 'Aku' memandang
sekeliling yang masih terlelap dalam kebimbangan apa yang akan terjadi
nanti, pun apakah yang sudah terjadi tadi. Maka, pada saat seketika,
merayaplah sebuah keinginan, niatan menggelar diskusi dalam diri,
antara 'Aku' dengan 'Aku'!

Demikianlah muasal puisi berlokasi. Dan, rasa menempati porsi perdana.
Sebab itu, puisi 'Aku' sebut pengungkapan rasa, entah mau dikebiri
menjadi ekspresi atau impresi. Dan, sebab itu pulalah, dalam tahap yang
sangat primitif, penujuan puisi terarah pada 'Aku'. Maka, mengelegarlah
kesunyian ke sekujur penjuru mata angin, kredo cipta kreatif penulisan
yang paling primitif: 'Aku' Menulis Kepada 'Aku'! dalam bahasa
metropolis kaum urban, gema itu berubah menjadi melodi yang sedap
dicerna telinga: Curhat! Bila sudah demikian, fatwa Roland Barthes pun
dapat disebandingkan dengan beragam acara infotainment yang berisi satu
hal pokok: Gosip! (Maka, kelayakan menggelitik fatwa itupun terjawab
sudah, entah dengan cara tak sengaja atau berkesadaran maha.)

Pepohonan cendana yang termangu di depan barisan ilalang liar yang
tertimpa cahaya bulan, memberi 'Aku' isyarat. Ia memanggil. Ajakan itu
centil menggoda, menggoyang naluri 'Aku' untuk bicara tentang arti
sebuah keberanian. Lagi-lagi, dalam bentuk yang sungguh sangat primitf,
perkataan 'keberanian' yang begitu absurd berubah wujud menjadi sesuatu
yang begitu pejal dan padat. Keyakinan 'Aku' menyebutnya dengan nama:
Melihat! Demikianlah plankton-plankton kehidupan tersedot masuk ke
dalam lubang hitam, lalu memprovokasi serat-serat darah yang berisi
O-dua untuk bekerja lebih giat memutar piranti dendrit celebrum besar
pun kecil hingga melahirkan perumusan premis keindahan: Penerimaan atau
Penolakan.

Kala 'Aku' terpaku melamun, sekelebat gejolak meloncat. Ia berlari
mengejar seorang aktor. Ia berlari sekencang mungkin, secepat ia bisa,
agar pesan yang beada dalam genggamannya tidak hilang sia-sia. Dan,
pesan yang sangat sederhana itu adalah sebuah timbangan. Ya, timbangan!
Timbangan yang mengejawantahkan diri menjadi frase yang sangat
bersahabat dan pedas rasanya, yakni: 'Tahan Dulu'. Disinilah muncul
akar subjektifitas, yang menghamili pikiran hingga berumur sembilan
bulan sepuluh hari. Dan, kita yang sedang dimabuk bergelas-gelas kopi
serta bisa nikotin pun berkata, 'Relatif'--lagi-lagi, 'Relatif' dalam
bentuk yang paling primitif adalah tindak 'Memahami'. Sebuah
keberanian untuk melihat sekaligus merelatifkan adalah bentuk
penghargaan terhadap sifat kemanusiaan: berbagi. Indah bagi-Mu, belum
tentu sebangun dengan-Mu. Semua itu tergantung nada dasar: 'Do=Tahan
Dulu'.

Sebab itu, kabar dari balik pegunungan tenggara pun menyebar lekas.
Kombinasi Penerimaan-atau-Penolakan dengan 'Tahan Dulu', hendaknya
menjadikan kita menempuh jalan menunggu. Sebab, selalu saja ketelitian,
pun kejernihan, menyimpan misteri! Dan, berbagi pun berevolusi menjadi
misteri. (Demikianlah puisi!) Demikian pulalah kebenaran muncul. Dari
kejelasan yang sangat benderang hingga terlampau menyilaukan; di satu
saat kita menyatakan: Ya; di ubah saat kita pun berkata: Ah.

Berjaga-jagalah, sebab, dua kata itu selalu saja datang menghajar
ketika kita saling belajar. Ketika kita menempuh laku misteri. Jika
sudah demikian, maka kejujuran pun mendasari semua tingkah berbagi.
Mulai dari menulis, berpuisi, juga diskusi--menuju misteri! Adalah itu
yang berat! Lihatlah, betapa liarnya kejujuran. Ia begitu jalang!
hingga-hingga ia pun menentang, menerjang! Betapa lukanya seekor singa
yang dirajang lima peluru dari moncong senapan pemburu. AummMMmm...!!!

Itulah kelukaan. Kelukaan yang meliarkan. Kelukaan yang mengujung
keganasan. Kelukaan yang memampukan meloncat, bahkan terbang. Kelukaan
melampaui diri. Kelukaan yang menyengat sel-sel saraf untuk berproduksi
mengatasi atau membawahi ambang. Kelukaan yang memunculkan riak arus
ketidaksadaran yang bergelut dengan kesadaran. Kelukaan berpusar-pusar.
Kelukaan yang kerap hadir menjelang tidur pukul bulan nyembul telanjang
di pertengahan cakrawala sehabis matahari tuntas menyelesaikan kerja
melintasi bentangan arah timur menuju barat sesuai pusaran diri planet
Bumi. Kelukaan yang memuat masuk segala harapan ataupun
ketidak-berharapan! Kelukaan yang menjadikan jiwa melayang di lautan
rimba raya angkasa aksara! Saat itulah puisi menciprat 'Aku'.
Demikianlah kelukaan yang muncul dalam raut: Haha! Demikianlah kelukaan
yang muncul di barisan penutup risalah, mengambil wajah pengingatan di
pengakhiran kertas:



N.B : Maaf, 'Aku' sudah pusing dan mengantuk; sebab aku manusia, membutuhkan ranjang yang berarti perlu: Tidur!



Demikianlah misteri ini musnah dalam tidur!

Dan, ada suara 'Hahahahahaha.....' berkumandang!



Wassalam.



--David Tobing--






Friday, 18 November 2005

PERSELINGKUHAN antara KATA dan GELISAH, MENCARI MAKNA DIRI


(sambil minum kopi ‘kami’ membahas beberapa puisi David Tobing)

by Ferre


 

“Bila kamu ingin menghancurkan dunia, maka terlebih dahulu hancurkanlah puisi!”

(dari film seri ‘Dangerous Mind’ Episode I)




Sekudap Kopi ala Nusantara dan saji-sajian penganan lebaran, siap
menemani malam itu. Menemani sejumlah rangkaian kata – yang entah
apakah itu nyaris menjadi sebuah puisi atau belum – untuk dibedah dan
ditelaah bagian perbagian seluruh kujur tubuhnya.

Layaknya team ahli yang mengamati struktur DNA dari balik lensa sebuah alat bantu pandang yang bernama mikroskop, Team
mencoba menemukan apakah di fosil kata yang berangkai-rangkai itu
benar-benar terjerat spirit dari seorang manusia yang bernama David Tobing. Seorang laki-laki yang dikatakan sangat menggemari musik Soul dan Blues ini. Yang kini sibuk menjaring berita tentang Jakarta.

Dia-lah Sang Penyair malam itu, penyair yang merelakan rangkaian kata-kata indahnya di bedah, lantas disusun kembali dalam persepsi pemaknaan Team,
demi hanya menemukan kesejatian diri – sebuah kebenaran yang sederhana
dari kata-kata yang ternyata sama sekali tidak sederhana.

Berpuluh butiran kacang melumat di kedalaman mulut Sang Penyair saat pembedahan dimulai. Tapi Team yakin Sang Penyair selalu punya telinga dan hati nurani yang siaga mencerna toxic yang berhamburan malam itu; toxic yang kelak mengkontaminasi seluruh penjuru angin.

Keringat demi keringat mencampuri busa kata yang terlontar dari
bibir-bibir perindu kegagahan makna, “Ibarat pemain bola, sang penyair
sangat menguasai teknik mengolah bola. Tapi menjadi tergeragap saat dia
harus mengeksekusi bola tersebut ke mulut gawang…” ujar  Profesor seraya mengelap harmonikanya yang mulai aus diterpa masa.

“Yup, posisinya seharusnya bukan striker yang harus siap naik turun
dengan irama yang konsisten. Dia akan lebih baik sebagai pencetak gol
aja, yang menangkap operan-operan liar maupun terarah dari sang maha
pengoper,” sambung seorang Hakim
yang harus selalu menjadi sok tahu demi mendapatkan sebuah keadilan
yang belum tentu adil, “Dia lebih berhasil menggelisahkan pembaca
dengan sajak-sajaknya yang pendek. Tanpa banyak kata, transformasi
puitis telah mengutuh dalam benak pembacanya. Ah, jadi ingat puisi yang
berjudul ‘rembulan di malam lebarannya’ sitor situmorang…” sambungnya.
(Seluruh team mengiyakan)

Dari bawah bohlam

Bulan memandang

‘Bibir di Mulut Ikan’


Sang Penyair pun berkata, “Aku gelisah, inilah yang membuatku selalu memiliki desire dan passion untuk
selalu menuliskan kata-kata sebagai sebuah puisi, tanpa harus
menyulit-nyulitkan diri, jika bagiku ini adalah puisi maka ini adalah
puisi!”

Hmm, begitu gampang, yah? Begitu gampang sebagaimana katamu dalam ‘LALU
BERCERMIN KATA’. Sobat, memang puisi sebagai salah satu cabang kesenian
adalah desire/passion yang paling dalam. Hal ini senada sekali dengan
apa yang diucapkan oleh almarhum Paus Sastra kita, HB Jassin, bahwa ‘kunst is de allerindividueelste expressie van de allerindividueelste emotie’(seni
adalah ekspresi yang paling individual dari emosi yang paling
individual).  Betul sekali itu, tetapi itu dalam konteks ‘art to art’ bukan ‘art to utility’.
Sementara kamu lihat sendiri, beberapa puisi yang kamu sodorkan di meja
bedah kami, selalu saja berusaha memprovokasi kami supaya menyediakan
sebuah ruang fikir dan ruang renung di dalam kegelapannya.

R m t b l n d l h r

R y ng m n j

K r ng…

(Bayangan aku yang lelah

berjalan

ialah air mata tertusuk kering)


“Ini eksperimen!” ungkap Sang Penyair jujur.

Oke, sahabat, kalaulah ini eksperimen (yang selalu punya peluang
menemukan ‘sisi kebenaran’ melalui ketidaksengajaan dan sebuah
kesalahan) tetaplah ia harus mengikuti metode dan kaidah-kaidah ilmiah,
karena hakikat (an sich) yang hendak dicapai oleh eksperimen adalah kebenaran ilmu (ingat ‘kan the scientists), bukan cinta yang bijaksana (the phylosophia).
Tidak, sobat, kami tak bermaksud menghukummu dengan ‘Beku Kata mengetuk
Bentuk’mu yang dalam letikan mesin ketiknya selalu merangkai kata
‘aku’. Karena memang kita adalah manusia yang tidak akan pernah puas
membicarakan ‘aku’.

Marilah kini kita bersepakat dengan apa yang diungkapkan oleh Einstein
bahwa penghargaan yang paling indah bagi seseorang yang telah
membaktikan seluruh hidupnya untuk meraih sedikit kebenaran, apabila ia
melihat bahwa orang lain telah betul-betul memahami dan menikmati buah
karyanya.

Telinga, bangau memamah

Tinta. Sepurnama:

Pikulan kendang bergaun ikan


Ingatlah, saat lantunan kata diklaim sebagai puisi dalam sebuah
lingkungan sosial sekecil apapun (seperti malam ini – antara kita
saja), secara ikhlas sang penyair harus mampu dan mau membiarkan
kata-katanya bertanggungjawab sendiri, (Ijinkan kata-kata itu menjadi
pengertian itu sendiri seperti yang telah dikredokan oleh Penyair
Kesayanganmu Sutardji Calzoum Bachri)

Inilah yang menjelaskan kenapa Profesor
kita yang hadir malam itu menjadi sangat lucu hanya dengan memaknai
‘kata-kata biasa’ yang terlontar dari para ahli lainnya. Hal inilah
yang menyebabkan mengapa kritik sastra dibutuhkan (makanya itu malam
ini kita ngumpul dan membentuk forum poetic writing ini). Setidaknya,
seperti yang diungkapkan oleh Abdul Hadi WM,
bahwa kemajuan yang pesat (dalam puisi) hanya bisa diharapkan ketika
para penyair menghayati perubahan-perubahan sosial dan pengalaman
kemanusiaannya.

Sebelum angka mengurut, perlahan

Kitapun pulang

Tanpa bepelukan. Mungkin,

Itu nanti. Di Bali!

Lampion

Kita

Pecah!


“Eureka, ini adalah perselingkuhan!” teriak salah seorang Metafisis Herbal kita yang malam itu menjadi paling cantik dengan baju merahnya. Yang lain pun manggut-manggut. Sekilas terlihat Sang Penyair tersedot black hole pada titik koenstalasi pada derajat tak terhingga yang pada detik itu pula melemparkan Sang Penyair ke sisi lain: white hole. (Mari, kita berterimakasih kepada Stephen Hawkins yang menemukan istilah untuk merumuskan lubang-lubang misterius itu)

Malam

Memandang sebaris rahim dua puluh delapan

Perempuan

:kehilangan logam.


“Ia mencintai makna, tetapi berselingkuh dengan kata-kata. Di sana Ia menemukan keindahan dalam perselingkuhan itu.”

 “Benar, tapi keindahan bukanlah kebenaran, meskipun setiap
kebenaran adalah keindahan yang teruji oleh waktu, lihat betapa
gelisahnya telah menghantui dan menjadi hantu bagi siapa saja yang
membacanya!”

 “Liris. Ini liris sekali. Meski untuk bisa mengapresiasikannya
kadang membutuhkan sebuah performa tetapi bau kamarnya kental sekali,
seperti secangkir kopi bergula yang dia hirup aroma dan cairannya tanpa
sisa itu.”

“Tapi kadang kita harus merasakan selingkuh untuk bisa menghargai setia!”

Kata-kata bersliweran, menjadi racun, menebarkan kengerian, dan jadi
bahaya besar bagi benak-benak yang melayang dihampaan udara penuh
kemabukan. Apalagi ketika setiap professor harus mengungkapkan
hipotesanya sebagai penutup.

“Terima kasih sahabat, betapa bangganya kami dipercaya untuk memelihara
anak-anakmu dengan cinta yang bijaksana, dengan cinta yang tidak
membabi buta, dengan cinta yang selalu siap memberikan hukuman
sekaligus hadiah dari sebuah kerinduan hakiki.”

“Ijinkan aku untuk mengirimkan puisi-puisi ini kepada seorang wanita yang kusayangi…” rajuk seorang Pecinta yang datangnya tadi terlambat, sang penyair pun mengangguk...

Dan Kartu Miskin pun dibagi-bagikan oleh Pak RT. (apapun itu, setidaknya dalam kehangatan malam itu, kita telah menikmati kentalnya kopi persahabatan kita)



Kedai Sinau Jakarta,

12 November 2005



Friday, 4 November 2005

penggembala sapi

http://angonurip.multiply.com/

tentang david tobing

Start:     Nov 12, '05 8:00p
Location:     kedai sinau jakarta, jl. bekasi timur 1, no. 32A (depan stasiun jatinegara)
sajak-sajak pilihan dan diskusi

Friday, 28 October 2005

poet corner#1 12 november 2005

Start:     Oct 28, '05 6:00a
Location:     kedai buku sinau, jl. bekasi timur 1 no. 32, jakarta 13350 (depan stasiun jatinegara)
tentang puisi david tobing
DI BALI, LAMPION KITA PECAH
: buatmu


Perkenalan kita cuma sebentar
sehabis engkau berobat jalan,

Utan Kayu International Literary Biennale 2005,
Jakarta, 1 September lalu.

Gemetar engkau menulis alamat:
lioeie@yahoo
di secarik kertas a-empat
aku catatkan nomor telepon
yang engkau sebut

sebelas angka mengurut, perlahan
kita pun pulang
tanpa berpelukan. Mungkin,

itu nanti. Di Bali!
Lampion
kita
pecah!


NYANYIAN ELENIA: SEGELAS SAJAK ANGIN
(Elenia: The Flying Wind Poetry)

Gelimpangan:
siul rempah daun-
daun bergerimis bening pecahan angin, mengiring
tarian pasang musim bulan,
yang ritmis.

Segelas mata air berayun, lepas
lima belas keping lengking memanggil-manggil
puluhan awan turun

menggunung. Harum

buih buih anggur, berkumpul
kemilau candu dari jari jari yang melepuh.
Di halaman,

malam
memandang sebaris rahim dua puluh delapan perempuan

:kehilangan logam.


GELISAH

dari bawah bohlam
bulan memandang
'Bibir di Mulut Ikan'


KULINTANG BATU

telinga, bangau memamah
tinta. Sepurnama:
pikulan kendang bergaun ikan.


LALU BERCERMIN KATA

begitu gampang lalu nyawa
lepas lalu
terban
ke tingkat bintang bilangan ∞ di langit gelap
lalu terjun
lewat hujan
lalu dingin
sekejap lalu
begitu gampang lalu tiba
di laut hempas
tanpa benang tak berenang tanpa sauh tinggal labuh
begitu jauh
aku lalu
tak bayang
begitu gampang!

Depok, Mei-Juni 2004






Bayangan Aku Yang Lelah Berjalan

r m t b l n d l h r
r y ng m n j
k r ng.

(Bayangan aku yang lelah berjalan
ialah air mata tertusuk kering.)

M ng l r k
k m ng kh r k r ng
k r ng
b l n.

Depok, Juni 2004



Beku Kata Mengetuk Bentuk

hilang beku
mengalir bentuk
saling ketuk,
kata : aku

September 2004

minum kopi biar cerdas


melanglang dunia, bersama gerobak buku

baca buku bikin melek, minum kopi bikin cerdas

Petisi

pertanian di ujung tanduk. Puluhan juta petani Indonesia yang
menyediakan pangan bagi seluruh rakyat hidup dalam ketidakpastian.
Petani kehilangan lahan. Petani tidak mampu menyediakan fasilitas
pendidikan, kesehatan bahkan makanan yang layak bagi anaknya. Bukankah
pertanian adalah jalan keluar dari himpitan kemiskinan dan kelaparan.
Mengapa yang terjadi sebaliknya? Terjadi pemiskinan secara ekstrim di
kelas petani?



Tolak fasis baru bernama WTO. Wujudkan perdagangan yang lebih adil. Wujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.



Nyatakan dukungan Anda melalui petisi!