(sambil minum kopi ‘kami’ membahas beberapa puisi David Tobing)
by Ferre
by Ferre
“Bila kamu ingin menghancurkan dunia, maka terlebih dahulu hancurkanlah puisi!”
(dari film seri ‘Dangerous Mind’ Episode I)
(dari film seri ‘Dangerous Mind’ Episode I)
Sekudap Kopi ala Nusantara dan saji-sajian penganan lebaran, siap
menemani malam itu. Menemani sejumlah rangkaian kata – yang entah
apakah itu nyaris menjadi sebuah puisi atau belum – untuk dibedah dan
ditelaah bagian perbagian seluruh kujur tubuhnya.
Layaknya team ahli yang mengamati struktur DNA dari balik lensa sebuah alat bantu pandang yang bernama mikroskop, Team
mencoba menemukan apakah di fosil kata yang berangkai-rangkai itu
benar-benar terjerat spirit dari seorang manusia yang bernama David Tobing. Seorang laki-laki yang dikatakan sangat menggemari musik Soul dan Blues ini. Yang kini sibuk menjaring berita tentang Jakarta.
Dia-lah Sang Penyair malam itu, penyair yang merelakan rangkaian kata-kata indahnya di bedah, lantas disusun kembali dalam persepsi pemaknaan Team,
demi hanya menemukan kesejatian diri – sebuah kebenaran yang sederhana
dari kata-kata yang ternyata sama sekali tidak sederhana.
Berpuluh butiran kacang melumat di kedalaman mulut Sang Penyair saat pembedahan dimulai. Tapi Team yakin Sang Penyair selalu punya telinga dan hati nurani yang siaga mencerna toxic yang berhamburan malam itu; toxic yang kelak mengkontaminasi seluruh penjuru angin.
Keringat demi keringat mencampuri busa kata yang terlontar dari
bibir-bibir perindu kegagahan makna, “Ibarat pemain bola, sang penyair
sangat menguasai teknik mengolah bola. Tapi menjadi tergeragap saat dia
harus mengeksekusi bola tersebut ke mulut gawang…” ujar Profesor seraya mengelap harmonikanya yang mulai aus diterpa masa.
“Yup, posisinya seharusnya bukan striker yang harus siap naik turun
dengan irama yang konsisten. Dia akan lebih baik sebagai pencetak gol
aja, yang menangkap operan-operan liar maupun terarah dari sang maha
pengoper,” sambung seorang Hakim
yang harus selalu menjadi sok tahu demi mendapatkan sebuah keadilan
yang belum tentu adil, “Dia lebih berhasil menggelisahkan pembaca
dengan sajak-sajaknya yang pendek. Tanpa banyak kata, transformasi
puitis telah mengutuh dalam benak pembacanya. Ah, jadi ingat puisi yang
berjudul ‘rembulan di malam lebarannya’ sitor situmorang…” sambungnya.
(Seluruh team mengiyakan)
Dari bawah bohlam
Bulan memandang
‘Bibir di Mulut Ikan’
Bulan memandang
‘Bibir di Mulut Ikan’
Sang Penyair pun berkata, “Aku gelisah, inilah yang membuatku selalu memiliki desire dan passion untuk
selalu menuliskan kata-kata sebagai sebuah puisi, tanpa harus
menyulit-nyulitkan diri, jika bagiku ini adalah puisi maka ini adalah
puisi!”
Hmm, begitu gampang, yah? Begitu gampang sebagaimana katamu dalam ‘LALU
BERCERMIN KATA’. Sobat, memang puisi sebagai salah satu cabang kesenian
adalah desire/passion yang paling dalam. Hal ini senada sekali dengan
apa yang diucapkan oleh almarhum Paus Sastra kita, HB Jassin, bahwa ‘kunst is de allerindividueelste expressie van de allerindividueelste emotie’(seni
adalah ekspresi yang paling individual dari emosi yang paling
individual). Betul sekali itu, tetapi itu dalam konteks ‘art to art’ bukan ‘art to utility’.
Sementara kamu lihat sendiri, beberapa puisi yang kamu sodorkan di meja
bedah kami, selalu saja berusaha memprovokasi kami supaya menyediakan
sebuah ruang fikir dan ruang renung di dalam kegelapannya.
R m t b l n d l h r
R y ng m n j
K r ng…
(Bayangan aku yang lelah
berjalan
ialah air mata tertusuk kering)
R y ng m n j
K r ng…
(Bayangan aku yang lelah
berjalan
ialah air mata tertusuk kering)
“Ini eksperimen!” ungkap Sang Penyair jujur.
Oke, sahabat, kalaulah ini eksperimen (yang selalu punya peluang
menemukan ‘sisi kebenaran’ melalui ketidaksengajaan dan sebuah
kesalahan) tetaplah ia harus mengikuti metode dan kaidah-kaidah ilmiah,
karena hakikat (an sich) yang hendak dicapai oleh eksperimen adalah kebenaran ilmu (ingat ‘kan the scientists), bukan cinta yang bijaksana (the phylosophia).
Tidak, sobat, kami tak bermaksud menghukummu dengan ‘Beku Kata mengetuk
Bentuk’mu yang dalam letikan mesin ketiknya selalu merangkai kata
‘aku’. Karena memang kita adalah manusia yang tidak akan pernah puas
membicarakan ‘aku’.
Marilah kini kita bersepakat dengan apa yang diungkapkan oleh Einstein
bahwa penghargaan yang paling indah bagi seseorang yang telah
membaktikan seluruh hidupnya untuk meraih sedikit kebenaran, apabila ia
melihat bahwa orang lain telah betul-betul memahami dan menikmati buah
karyanya.
Telinga, bangau memamah
Tinta. Sepurnama:
Pikulan kendang bergaun ikan
Tinta. Sepurnama:
Pikulan kendang bergaun ikan
Ingatlah, saat lantunan kata diklaim sebagai puisi dalam sebuah
lingkungan sosial sekecil apapun (seperti malam ini – antara kita
saja), secara ikhlas sang penyair harus mampu dan mau membiarkan
kata-katanya bertanggungjawab sendiri, (Ijinkan kata-kata itu menjadi
pengertian itu sendiri seperti yang telah dikredokan oleh Penyair
Kesayanganmu Sutardji Calzoum Bachri)
Inilah yang menjelaskan kenapa Profesor
kita yang hadir malam itu menjadi sangat lucu hanya dengan memaknai
‘kata-kata biasa’ yang terlontar dari para ahli lainnya. Hal inilah
yang menyebabkan mengapa kritik sastra dibutuhkan (makanya itu malam
ini kita ngumpul dan membentuk forum poetic writing ini). Setidaknya,
seperti yang diungkapkan oleh Abdul Hadi WM,
bahwa kemajuan yang pesat (dalam puisi) hanya bisa diharapkan ketika
para penyair menghayati perubahan-perubahan sosial dan pengalaman
kemanusiaannya.
Sebelum angka mengurut, perlahan
Kitapun pulang
Tanpa bepelukan. Mungkin,
Itu nanti. Di Bali!
Lampion
Kita
Pecah!
Kitapun pulang
Tanpa bepelukan. Mungkin,
Itu nanti. Di Bali!
Lampion
Kita
Pecah!
“Eureka, ini adalah perselingkuhan!” teriak salah seorang Metafisis Herbal kita yang malam itu menjadi paling cantik dengan baju merahnya. Yang lain pun manggut-manggut. Sekilas terlihat Sang Penyair tersedot black hole pada titik koenstalasi pada derajat tak terhingga yang pada detik itu pula melemparkan Sang Penyair ke sisi lain: white hole. (Mari, kita berterimakasih kepada Stephen Hawkins yang menemukan istilah untuk merumuskan lubang-lubang misterius itu)
Malam
Memandang sebaris rahim dua puluh delapan
Perempuan
:kehilangan logam.
Memandang sebaris rahim dua puluh delapan
Perempuan
:kehilangan logam.
“Ia mencintai makna, tetapi berselingkuh dengan kata-kata. Di sana Ia menemukan keindahan dalam perselingkuhan itu.”
“Benar, tapi keindahan bukanlah kebenaran, meskipun setiap
kebenaran adalah keindahan yang teruji oleh waktu, lihat betapa
gelisahnya telah menghantui dan menjadi hantu bagi siapa saja yang
membacanya!”
“Liris. Ini liris sekali. Meski untuk bisa mengapresiasikannya
kadang membutuhkan sebuah performa tetapi bau kamarnya kental sekali,
seperti secangkir kopi bergula yang dia hirup aroma dan cairannya tanpa
sisa itu.”
“Tapi kadang kita harus merasakan selingkuh untuk bisa menghargai setia!”
Kata-kata bersliweran, menjadi racun, menebarkan kengerian, dan jadi
bahaya besar bagi benak-benak yang melayang dihampaan udara penuh
kemabukan. Apalagi ketika setiap professor harus mengungkapkan
hipotesanya sebagai penutup.
“Terima kasih sahabat, betapa bangganya kami dipercaya untuk memelihara
anak-anakmu dengan cinta yang bijaksana, dengan cinta yang tidak
membabi buta, dengan cinta yang selalu siap memberikan hukuman
sekaligus hadiah dari sebuah kerinduan hakiki.”
“Ijinkan aku untuk mengirimkan puisi-puisi ini kepada seorang wanita yang kusayangi…” rajuk seorang Pecinta yang datangnya tadi terlambat, sang penyair pun mengangguk...
Dan Kartu Miskin pun dibagi-bagikan oleh Pak RT. (apapun itu, setidaknya dalam kehangatan malam itu, kita telah menikmati kentalnya kopi persahabatan kita)
Kedai Sinau Jakarta,
12 November 2005
12 November 2005
No comments:
Post a Comment