Monday, 21 November 2005

APOLOGIA HATI YANG DICAMPUR AKAL BUDI UNTUK MENERJEMAHKAN MERAHNYA KARINA BERSUARA SERTA SELINGKUHAN HAHA BERMAKNA DARI SEORANG REKAN LAMA, JIBAL NAMA DIA


(Sebuah Cerpen Filosofis; Bilamana Novel Filsafat Mendapatkan Tempat)



Suara ini berangkat dari atas ranjang dalam kamar temaram yang selalu
berbicara dalam bahasa kesunyian; dan aku mengisinya dengan keriuhan.
Namun seringkali malah aku yang terperangkap dalam sepi yang menjalar
di bilik kamar yang selalu kutinggalkan saat menjadi manusia pekerja;
bekerja memenuhi tuntutan perusahaan multi-media--bekerja untuk hidup!

Demikianlah ruang mengisi kehidupan yang mewaktu; kadang melalui jalan
penuh riuh-hiruk, kadang juga melintas lewat kesenyapan. Tragisnya,
semua akses-menuju-itu, bisa berujung menyeramkan, atau sekadar
menjadikan mulut mengeluarkan bahak bergema membahana. Dan,

adalah ruang jugalah yang mempertemukan suatu 'aku' dengan ke-'aku'-an
lain, hingga membentuk kami sebelum akhirnya menjadi kita; tentunya
dengan kesiapan mental menerima pelabelan baru menjadi lema 'mereka'.
Istilah yang disematkan sekelompok orang berbeda haluan atau sekadar
menjadi penikmat saja. Walahuallam! walaupun niat berteriak kuat:
Adalah kita yang sebenarnya ada; sedang mereka hanyalah kesemuan mata
menerjemahkan keberadaan yang utuh. Mengutip idiom yang kerap tercetus,
mulai dari jaman batu hingga revolusi teknologi informasi, yang
tentulah hadir dalam diskusi ringkas di malam 13 November lalu; dalam
bentuk: Si kembar mata uang. Apakah berlawanan atau saling melengkapi,
ataukah kelemahan dalam memahami bahwasanya tidak ada perbedaan. Itulah
pertanyaan mendasar, dan demikianlah 'kita' dan 'mereka' bertanya.



Dedengungan seberang mulut portal Jalan H Yakub Saidi masih mengurung
benak, merambat pasti penuhi hati, bermuara di episode akhir, apakah
pengalaman ini memberi arti? Seketika terlintas citra mesra dua manusia
yang entah melakoni apa. Tampaknya, saling dekap memadu kecup, sesekali
terlihat seperti saling pukul mengancam bunuh. Tapi, rasanya, sekali
lagi aku tegaskan rasanya, niatan untuk menjadi racun pertanda bahwa
Desember tiba, ihwal mekar meraja (keinginan untuk bertumbuh dan
mewarnai) di pekarangan lembah tersembunyi, kuntum bunga bernama: Poet
narcisus, merekah! Itulah kembang beracun. Itulah kembang beracun yang
dilengkapi dengan kemampuan adaptasi membuang sampah pada tempatnya!



Dan, dalam ruang tersembunyi di penghujung tahun Masehi yang disebut:
Puisi, polemik berbunyi! Lagi-lagi, dan--pembuat syair, sajak, puisi,
soneta, pantun, harus rela, ikhlas, legowo, pun tulus mengambil lokasi
kursi pemula perkara; bukan untuk diadii, melainkan berbagi! Yap,
berbagi! yang berarti rangsang-merangsang, pegang-memegang,
jamah-menjamah, tampar-menampar! Dus, atas posisi itulah, aku sebagai
tumbal pertama mendeklarasikan bahwa apa yang terjadi di '... MERAHNYA
KARINA BERSUARA SERTA SELINGKUHAN HAHA BERMAKNA DARI SEORANG REKAN
LAMA, JIBAL NAMA DIA', adalah berbagi. Laku aktif memberi untuk
diterima sekaligus menerima yang mengujung pada menyimpan atau,
lagi-lagi, membuang sampah pada tempatnya (layaklah aku mengucap maaf
sebab aku melakukan kerja kutip tanpa permisi dari dia yang punya
perenungan awal akan idiom tersebut, yang disemburkan dengan penuh
perhitungan dari laras mulut seorang yang mengenalkan diri di permulaan
diskusi dengan nama: Alfan, lalu tersebut menjadi Al-Ghifari,
Al-Fattah, Al-Faruq.). Oleh karena itu, layaklah kiranya kita melakukan
secuil kegenitan menggelitik fatwa yang dicetuskan Roland Barthes,
Pengarang Sudah Mati. Alasnya, tentu saja kata dasar verba aktif
turunan berprefiks: berbagi, pun membagi.



'Aku' harap kelegaan bertualang di lema aktif kata ' bagi'
menjadikan risalah yang ditulis dengan penuh subjektifitas ini semakin
membuka celah kita untuk kembali melakukan percumbuan yang, mungkin,
mematikan (?); mungkin juga menyegarkan!



Dan, puisi bagi 'Aku', dalam tahap yang paling primitif, adalah
menulis. Dus, menulis bagi 'Aku', dalam tahap yang juga sangat
primitif, bermula dari keinginan! Tegasnya, berpuisi adalah keinginan
menulis. Lugasnya, keinginan menulis untuk mengungkapkan perasaan.
Keinginan untuk mengutarakan (bilamana di belahan utara berdiam
kebekuan yang biasa menjadikan segala lebih awet, lebih tahan lama,
hingga tergelincir pada kata 'abadi')--kalaupun diperbolehkan untuk
memperoleh ke-ekstreman makna dapat juga disebut:
Menyelatankan--perasaan.



Sutardji Calzoum Bahri, dalam Kredo Puisi menuliskan: Pada Mulanya
adalah Kata. Maaf, sedikit aku menggubah hingga berubah menjadi: Pada
Mulanya adalah (K)ata. Lalu, Putu Arya Tirta Wirya yang mengutip ujaran
seorang sastrawan besar Rusia Leo Tolstoy, yang menegaskan (mungkin
meringkaskan) tiga pilar keindahan sebuah karya seni--dalam kerangka
ini risalah, puisi merupakan bagian atau varian dari apa yang
disebutkan secara makro itu sebagai seni--yakni bentuk, isi dan
kejujuran! Dan, setelahnya, pandangan retina pun beralih ke kitab
'kerygma & martyria'-nya Remy Sylado, dimana dalam bagian yang
berjudul 'APOLOGIA', adalah seorang Yapi Tambayong menyatakan
panjang-pendeknya tarikan nafas dari nomina yang disebut puisi itu
adalah faedah penghiburan dan pengharapan akan kini plus
besok-besok-besok-besok. Kalaulah 'Aku' boleh mengimbuhkan sedikit
lagi, 'Aku' teringat fatsun seni yang dikumandangkan oleh seorang
filosof ... (mungkin sidang pembaca sekalian bisa berbagi
ke-tahu-an--ingatan 'Aku' rasanya sudah merenta--tentang siapakah
filosof yang terlupa oleh 'Ku' ini, pula kapankah ia menyuarakan fatsun
seni itu?), dimana bagian terujung fatsun itu adalah pertentangan,
jikalau tidak ingin disebut sebagai pertempuran, dua kubu. Satu kubu
bertombakkan dalil: 'Seni untuk Seni'. Kubu lain bergadakan premis:
'Seni untuk Masyarakat'. (Dan kita akhirnya terperangkap dalam kebutaan
perang yang mewajibkan suatu tindak ekonomis: Memilih. Dan, 'Aku'
memutuskan, larut dalam pertempuran tanpa pemihakan 'A' atau 'B'; sebab
sekali-sekali 'Aku' berprofesi sebagai 'A', lalu meloncat ke kawah
dibawah kekuasaan 'B'. Kalau mau disebut pengkhianat, itu pun tak
apalah.) Filosof yang terlupa oleh 'Aku' inilah yang memadatkan seni
sebagai sesuatu yang indah plus berfaedah.



Dari uraian ringkas yang super-ekstrak nan instant, lumayan
benderanglah (atau malah temaram) upaya pribadi selalu menempuh
ruang-mewaktu untuk mengetahui, mengenali bahkan memahami seni,
khususnya, juga lebih khusyuknya lagi, puisi. Sutardji menyoal awal
mula puisi; Leo Tolstoy melalui Putu, mempermasalahkan persyaratan
puisi; Remy Sylado/Yapi Tambayong/Alif Danya Munsyi mempersoalkan
ke-bakal-apa-an puisi di kemudian hari, apakah abadi atau tidak?

Masiih didalam kamar yang sumuk, penuh debu bertumpuk, agaknya perlulah
'Aku' gemulai tiupan angin sepoi belahan bumi beraroma tropis membelai
pipi. Itulah pertanda syiar pemaklumatan sebuah pencarian akan
kebebasan dalam lautan rimba raya yang menyesatkan!

Melangkah keluar kamar menuju ruang dimana kegamangan malam terpancar
bersamaan dengan putaran galaksi Bima Sakti yang senantiasa memutar
planet Bumi hingga nyala matahari kembali sigap menerpa dataran
khatulistiwa tanpa memerlukan medium pemantul, 'Aku' memandang
sekeliling yang masih terlelap dalam kebimbangan apa yang akan terjadi
nanti, pun apakah yang sudah terjadi tadi. Maka, pada saat seketika,
merayaplah sebuah keinginan, niatan menggelar diskusi dalam diri,
antara 'Aku' dengan 'Aku'!

Demikianlah muasal puisi berlokasi. Dan, rasa menempati porsi perdana.
Sebab itu, puisi 'Aku' sebut pengungkapan rasa, entah mau dikebiri
menjadi ekspresi atau impresi. Dan, sebab itu pulalah, dalam tahap yang
sangat primitif, penujuan puisi terarah pada 'Aku'. Maka, mengelegarlah
kesunyian ke sekujur penjuru mata angin, kredo cipta kreatif penulisan
yang paling primitif: 'Aku' Menulis Kepada 'Aku'! dalam bahasa
metropolis kaum urban, gema itu berubah menjadi melodi yang sedap
dicerna telinga: Curhat! Bila sudah demikian, fatwa Roland Barthes pun
dapat disebandingkan dengan beragam acara infotainment yang berisi satu
hal pokok: Gosip! (Maka, kelayakan menggelitik fatwa itupun terjawab
sudah, entah dengan cara tak sengaja atau berkesadaran maha.)

Pepohonan cendana yang termangu di depan barisan ilalang liar yang
tertimpa cahaya bulan, memberi 'Aku' isyarat. Ia memanggil. Ajakan itu
centil menggoda, menggoyang naluri 'Aku' untuk bicara tentang arti
sebuah keberanian. Lagi-lagi, dalam bentuk yang sungguh sangat primitf,
perkataan 'keberanian' yang begitu absurd berubah wujud menjadi sesuatu
yang begitu pejal dan padat. Keyakinan 'Aku' menyebutnya dengan nama:
Melihat! Demikianlah plankton-plankton kehidupan tersedot masuk ke
dalam lubang hitam, lalu memprovokasi serat-serat darah yang berisi
O-dua untuk bekerja lebih giat memutar piranti dendrit celebrum besar
pun kecil hingga melahirkan perumusan premis keindahan: Penerimaan atau
Penolakan.

Kala 'Aku' terpaku melamun, sekelebat gejolak meloncat. Ia berlari
mengejar seorang aktor. Ia berlari sekencang mungkin, secepat ia bisa,
agar pesan yang beada dalam genggamannya tidak hilang sia-sia. Dan,
pesan yang sangat sederhana itu adalah sebuah timbangan. Ya, timbangan!
Timbangan yang mengejawantahkan diri menjadi frase yang sangat
bersahabat dan pedas rasanya, yakni: 'Tahan Dulu'. Disinilah muncul
akar subjektifitas, yang menghamili pikiran hingga berumur sembilan
bulan sepuluh hari. Dan, kita yang sedang dimabuk bergelas-gelas kopi
serta bisa nikotin pun berkata, 'Relatif'--lagi-lagi, 'Relatif' dalam
bentuk yang paling primitif adalah tindak 'Memahami'. Sebuah
keberanian untuk melihat sekaligus merelatifkan adalah bentuk
penghargaan terhadap sifat kemanusiaan: berbagi. Indah bagi-Mu, belum
tentu sebangun dengan-Mu. Semua itu tergantung nada dasar: 'Do=Tahan
Dulu'.

Sebab itu, kabar dari balik pegunungan tenggara pun menyebar lekas.
Kombinasi Penerimaan-atau-Penolakan dengan 'Tahan Dulu', hendaknya
menjadikan kita menempuh jalan menunggu. Sebab, selalu saja ketelitian,
pun kejernihan, menyimpan misteri! Dan, berbagi pun berevolusi menjadi
misteri. (Demikianlah puisi!) Demikian pulalah kebenaran muncul. Dari
kejelasan yang sangat benderang hingga terlampau menyilaukan; di satu
saat kita menyatakan: Ya; di ubah saat kita pun berkata: Ah.

Berjaga-jagalah, sebab, dua kata itu selalu saja datang menghajar
ketika kita saling belajar. Ketika kita menempuh laku misteri. Jika
sudah demikian, maka kejujuran pun mendasari semua tingkah berbagi.
Mulai dari menulis, berpuisi, juga diskusi--menuju misteri! Adalah itu
yang berat! Lihatlah, betapa liarnya kejujuran. Ia begitu jalang!
hingga-hingga ia pun menentang, menerjang! Betapa lukanya seekor singa
yang dirajang lima peluru dari moncong senapan pemburu. AummMMmm...!!!

Itulah kelukaan. Kelukaan yang meliarkan. Kelukaan yang mengujung
keganasan. Kelukaan yang memampukan meloncat, bahkan terbang. Kelukaan
melampaui diri. Kelukaan yang menyengat sel-sel saraf untuk berproduksi
mengatasi atau membawahi ambang. Kelukaan yang memunculkan riak arus
ketidaksadaran yang bergelut dengan kesadaran. Kelukaan berpusar-pusar.
Kelukaan yang kerap hadir menjelang tidur pukul bulan nyembul telanjang
di pertengahan cakrawala sehabis matahari tuntas menyelesaikan kerja
melintasi bentangan arah timur menuju barat sesuai pusaran diri planet
Bumi. Kelukaan yang memuat masuk segala harapan ataupun
ketidak-berharapan! Kelukaan yang menjadikan jiwa melayang di lautan
rimba raya angkasa aksara! Saat itulah puisi menciprat 'Aku'.
Demikianlah kelukaan yang muncul dalam raut: Haha! Demikianlah kelukaan
yang muncul di barisan penutup risalah, mengambil wajah pengingatan di
pengakhiran kertas:



N.B : Maaf, 'Aku' sudah pusing dan mengantuk; sebab aku manusia, membutuhkan ranjang yang berarti perlu: Tidur!



Demikianlah misteri ini musnah dalam tidur!

Dan, ada suara 'Hahahahahaha.....' berkumandang!



Wassalam.



--David Tobing--






No comments:

Post a Comment