Monday, 5 December 2005

Subjek=Objek= (f) Mimesis

Subjek=Objek=(f) Mimesis

Oleh: Widhy



Siapakah yang paling berhak menilai karya seseorang ketika pemegang
otoritas-author-penulis tidak lagi hadir sebagai subjek? Pertanyaan ini
mengemuka di sela diskusi poet narcissuss-di kedai buku sinau Jakarta,
13 November 2005 kemarin.



Seni konon merupakan mimesis kehidupan. Sebagai sebuah tiruan tentulah
seni bukanlah kehidupan itu sendiri, namun lebih merupakan sebuah
permainan tentang kehidupan. Dengan demikian kualitas dari permainan
(bukan realitas subjek pemain) merupakan unsur terpenting dalam sebuah
kritik terrhadap seni. Disini seniman adalah seorang yang bukan dirinya
dan merupakan representasi dari karyanya. Dalam pembicaraan malam itu
disebutkan bahwa David Tobing sang penyair adalah puisinya, puisinya
adalah David Tobing itu sendiri.



Lantas apakah yang bisa dijelaskan oleh David Tobing terhadap dirinya
sendiri? Saya beranggapan tidak perlu ada yang dijelaskan. Karena
setiap bait dalam puisi David Tobing malam itu adalah kepala, tubuh,
kaki, tangan, indera Dan sekantung besar pengalaman dia semasa
hidupnya. David Tobing tidak perlu melakukan ‘pembelaan’ terhadap
pengalaman puitisnya, itu cuma miliknya-hidupnya-tidak ada yang bisa
mengambil! Lantas mengapa perlu membincangkan David Tobing di depan
hidungnya sendiri sampai ia berkunang-kunang dan menjadi lapar ketika
mendengarkan kata-katanya ternyata lebih complicated ketika dibaca
orang, lebih bertuah, lebih dapat dijelaskan maksudnya, dikenai
nilai-nilai, ditelusuri sejarahnya, diungkapkan proses kelahirannya.



Minum kopi biar cerdas!. Berhubungan
atau tidak ada bagian-bagian dalam sebuah puisi (untuk menggantikan
kata seni) merupakan imajinasi tanpa batas. Sederhana, imajinasi harus
ditelusuri lewat imajinasi.  Permainan puisi mengikuti aturan main
puisi. Mengapa tiba-tiba jadi sebuah permainan? Sebuah tiruan memang
sebuah mainan. Hans-Georg Gadamer dalam Kebenaran Dan Metode memiliki
tesis bahwa yang harus dibicarakan adalah mode keberadaan karya seni
bukan state of mind dari pencipta atau mereka yang menikmatinya.
Sehingga penelusurannya menjadi apakah dia benar-benar mengetahui
tentang sesuatu dengan cara menciptakan sesuatu tiruan tersebut.
Gadamer menyebutnya sebagai tiruan yang orisinal. Sekali lagi apapun
bentuk seni itu ada benturan ontologis untuk pengungkapannya. Jadi
puisi atau seni memiliki unsur kognisi yang jelas. Bagi siapa?
Penikmatnya. Penonton.



Kemanakah sang otoritas, pada pencipta atau pada penonton? Pada
keduanya ketika fungsi kognisi berlangsung. Kebermaknaan puisi harus
mencakup keduanya, sehingga orisinilitas permainan dapat
dipertanggungjawabkan. Ketika pesan tesampaikan makna dapat dimengerti,
saya manggut-manggut, Jibal senyum penuh arti, Arif masih bernafsu
untuk mengetahui lebih jauh, Al Faruq berusaha menjelaskan lebih detil,
Karina menyampaikan sosok David si Kulintang Batu (bukan David Tobing
yang dilahirkan emaknya) secara lancar bertenaga seperti mengenalnya
berpuluh tahun, semuanya telah menjadi pencipta dan …my Godness, David
yang dilahirkan emaknya berkerut jadi penonton. Gilee.



Dari beberapa hidangan yang disuguhkan David Tobing ia tampak
bermain-main dengan metafora-juga bunyi. Hal ini dapat dilihat dari
puisi yang menjadi pilihan tamunya yang menikmati tulisan tentang
kegelisahan. Puisi berjudul gelisah ini sementara dianggap sebagai
pencapaian utuh David menjadi orang sedang bermain-main dengan
kata-kata.



GELISAH



dari bawah bohlam

bulan memandang

'Bibir di Mulut Ikan'





Sedang melihat apakah si Bulan (David) sebenarnya…bisa bermacam-macam
jawabannya. Bisa jadi ia sedang makan ikan, cuma frasanya dibalik: ikan
yang sedang mencicipi bibir, bisa juga ia melihat lukisan tentang
‘bibir di mulut ikan’, seperti lukisan dalam sampul kaset atau sebuah
sampul buku, siapa yang tahu. Salah satu yang belum tuntas terjawab
dalam diskusi malam itu adalah frasa-frasa yang tercipta dalam puisi
apakah harus menjadi arti baru (ditranformasikan), diartikan secara
tekstual atau kontekstual (historitas pembuatan puisi tersebut).
Sehingga puisi yang ada tidak cukup membuat rasa penasaran
pembacanya-dengan berbagai pengandaian yang pada puisi Gelisah tercapai
disuguhkan David Tobing. Bandingkan puisi Gelisah dengan Kolintang Batu
dibawah ini;



KULINTANG BATU



telinga, bangau memamah

tinta. Sepurnama:

pikulan kendang bergaun ikan.



Rasa penasaran penikmat Kulintang Batu semata-mata bukan karena
memaknai teks namun juga membunyikan kendang di kepala masing-masing.
Jika keduanya tidak tercapai maka sebagian orang mungkin gagal
menangkap Kulintang Batu sebagai karya puitis, momen puitis David sama
sekali tidak dapat dibagi, sehingga otoritas murni dimiliki David
Tobing. Bagi sebagian penikmatnya puisi ini dikategorikan sebagai puisi
gelap. Karena pesannya tidak tersambung. Bayangkan deretan kata pada
puisi Kulintang Batu yang jika dipisahkan memiliki arti dan makna
dengan puisi Bayangan Aku Yang Lelah Berjalan dibawah ini;



Bayangan Aku Yang Lelah Berjalan



  r m t  b l n  d l h   r

  r y  ng m n j  

k r ng.





(Bayangan aku yang lelah berjalan

ialah air mata tertusuk kering.)



M ng l r  k  

 k  m ng kh r k r ng

k r ng

b l n.



Depok, Juni 2004





Deretan kata  (huruf!)

     r m t  b l n  d l h   r

  r y  ng m n j  

k r ng. memiliki arti yang lebih dalam dibandingkan dengan Kulintang
Batu ketika keduanya dibacakan secara dramatik. Sehingga deretan kata
di dalam tanda kurung bisa ditunda penggunaannya (seolah tidak ada).



(Bayangan aku yang lelah berjalan

ialah air mata tertusuk kering.)



M ng l r  k  

 k  m ng kh r k r ng

k r ng

b l n.



bayangan aku yang lelah berjalan menjadi sebuah kelelahan (fatigue)
yang sangat bagi si penulis. Kata-kata tidak cukup mampu untuk
melukiskan kelelahan tersebut. Puisi-puisi David Tobing yang lain masih
mencoba bermain dengan rima, seperti dalam dua puisi dibawah ini:



Beku Kata Mengetuk Bentuk



hilang beku

mengalir bentuk

saling ketuk,

kata : aku



September 2004







LALU BERCERMIN KATA



begitu gampang lalu nyawa

lepas lalu

terban

ke tingkat bintang bilangan ∞ di langit gelap

lalu terjun

lewat hujan

lalu dingin

sekejap lalu

begitu gampang lalu tiba

di laut hempas

tanpa benang tak berenang tanpa sauh tinggal labuh

begitu jauh

aku lalu

tak bayang

begitu gampang!



Depok, Mei-Juni 2004



Secara intens dalam puisi Lalu Bercermin Kata David Tobing ingin
mengentalkan atau menebalkan, menggarisbawahi kalimat …lalu begitu
gampang, lepas lalu terbang, lalu terjun, lalu dingin, lalu hempas lalu
menjadi lalu menjadi tak bayang…begitu gampang. Ada rasa kehilangan
yang coba diungkap…tegas, dikentalkan lewat pilihan kata-kata yang
nyaris memiliki arti sama…lepas…hilang…berubah. Disini David Tobing
sekali lagi memiliki kemampuan pemilihan diksi yang homogen…yang
menyebabkan pembaca  diberondong kata-kata, diajari bahwa begitu
gampang untuk merasa kehilangan, bahkan tanpa sisa.



Usaikah permainan kata-kata David Tobing? Sepertinya tidak. Bisakah
kata-kata dibunuh, seperti permintaan beberapa kawan-untuk membunuh
sang penulis-kah? Sepertinya juga tidak. Kata-kata memilih kita,
setelah kita memilih mereka untuk menjadi media dalam berbahasa. David
Tobing telah menjadi puisinya sendiri, karena ia dipilih oleh
kata-katanya sendiri.











 











 

1 comment:

  1. Puisi.

    Pada akhirnya puisi adalah perayaan estetitik yang sangat personal yang tak bisa dibatasi sekadar sebuah teori baku semata. Manusia punya pengalama personal sendiri, dengan ke-unikannnya sendiri pula. Sedang puisi dalam hal ini memfasilitasikan dirinya untuk dijenguk dengan kerahasiaan yang tak mungkin diuraikan kata-kata dalam sebuah kritik yang konstruktif. Maka berpuisi sajalah, menulis sajalah. Selama apa yang kita tulis adalah sebuah kejujuran, maka orang akan senantiasa membacanya.

    Fahmi Faqih

    ReplyDelete