Monday, 5 December 2005

sekantong kekalahan

Kita

Kita adalah orang yang selalu bicara tentang kita.

Perjuangan kita. Tapi dalam pengorbanan kita selalu bicara:

‘Asal bukan Aku’. Ini demi kita. Masa depan dan cita-cita kita !



Desember 1996






Sajak Kalah Dalam Empat Suasana





Tahun Baru



Pagi jenuh. Sisa kemarin masih belum tandas.

Kini. Awal Baru.

Orang-orang sibuk meramal. Kalah-Menang.

Bagiku yang penting adalah jatah.

Karena menang sudah tak mungkin.



Januari 1997.





Tentang Pemilu.



Hari ini suara dipungut entah dari mana.

Aku pasti gigit jari.



Hari H Pemilu 1997.





 Ketika Saat Bila Jika.



Ketika kuntum bunga menjadi gelas bercampur bensin,

Saat, belaian lembut adalah percikan darah,

Bila kewarasan mengayunkan parang dan pekik perang.

 Jika kedamaian cuma terletak dalam angan dan senyum adalah

gerak terakhir dalam hidup.




Februari-Mei 1998



Bercermin



Aku tak bisa melihatnya. Cuma basa-basinya saja yang kukenal. Wajahnya
tetap seperti itu. Itu melulu yang kuingat. Wajah yang makin buram saja.



Cuma basa-basinya yang kukenal. Sekarang aku tambah tidak ingat raut
mukanya. Bentuk hidungnya, garis pipinya, tebal bibirnya bahkan bau
mulutnya. Ahh basa-basi itu lagi. Cuma itu yang kukenal. Tapi mengapa
makin sering saja  aku bertemu dengannya.



Tampaknya basa-basi itu yang kekal. Juga pujian itu. Padahal sudah
kubilang aku tidak suka itu. Justru itulah yang mengental. Sial.



Desember 1999











Tentang:  AkuKamuDiaMerekaKitaInidanItu

Buat: Toby Litt



AkuKamuDiaMerekaKitaInidanItu. Sialan.

KamuDiaMerekaKitaInidanItuAku. Sialan.

DiaMerekaKitaInidanItuAkuKamu. Sialan.

MerekaKitaInidanItuAkuKamuDia. Sialan.

KitaInidanItuAkuKamuDiaMereka. Sialan.

InidanItuAkuKamuDiaMerekaKita. Sialan.

AkuKamuDiaMerekaKitaInidanItu. Sialan.



“Kemudian Siapa lagi yang harus dipertuhankan, Apa lagi yang harus dipersetankan,

and how do you learn to hate so much ?”



1997






Sympathy for Devil*



Debu menjadi bintang, menjelma mahluk, dan kembali ke asal ?‘



Bising disini,

Industri kepedihan penghasil cinta? Dijual dijalan-jalan, kaki lima,
mall, kampung kumuh, Pondok Indah, komplek pelacuran, kota satelit,
pelabuhan, kawasan berikat, sampai kurikulum wajib di sekolah.



Kita memulainya, mencipta kepedihan dengan cinta, dari fantasi
kanak-kanak sampai sado masochist:  penasaran, terasing lalu
sunyi.  Dilipatgandakan fungsinya dengan berbagai kepentingan atas
nama: Puing dan Arang, amis warna merahnya.

Jika kurang,  kita buat lagi subtitusinya: kecemburuan.



Sekarang salahkan semua pada rasa frustasi. Geliat  libido yang
menggelora. Bagaimana caramu merasakannya ?. Mengkhayalkannya sehingga
lebih ajaib, lebih merangsang dibanding dari rock n’ roll?.

Kepedihan, Cemburu, dan Frustasi. Mesin  waktu yang eksotis, wajar sekaligus mencandu.









‘  Seem I,m not alone in being alone …’ **




Aku di dalamnya juga setengah manusia disini. Mencari Damai. Absurd !

Menjelajah berbagai media-das sein. das sollen.
Bagai arloji, mengulang tanda yang sama. Sejarah! Sesuatu selalu datang
dan pergi. Tak ada ruang kosong. Sia-sia aku menunggu atau mengejarnya.


Man proposed, God disposed.



Biasa saja itu kesimpulannya, bangun pagi, seduh kopi campurkan susu
bila perlu, beri gula sedikit saja atau tambahkan sesuai selera. Duduk
di teras, baca koran-jangan banyak komentar, tegur tetangga-senyum,
tepuk pantat atau remas dada isterinya bila sang suami telah pergi
kerja. Lalu pikirkan hal lain: spontanitas. Yap, dunia hanya gejala
ketika Tuhan ingin mengatur semuanya.



Selanjutnya sampaikan simpatiku pada para pendosa, para pemain
gagah-penantang para tuannya, dan selalu bertanya untuk apa ini semua.
Apakah aku menggenapkan atau mengganjilkan, atau disini aku cuma untuk
berkeringat, lain tidak.



Setan, you aturlah!







* Sympathy for Devil, diambil dari lagu Rolling Stones



 ** Message in The Bottle, diambil dari lagu The Police

 

1997







Buat Retno



Biasanya aku terbangun setengah enam. Melihat kesisi lain, sambil
membayangkan dirimu, letih, terbaring telanjang memelukku. Sampai saat
kau melarangku untuk memikirkannya.



Aku tak mungkin menghindar. Katamu:

“Kau tak mungkin seserius itu, please, jangan diteruskan”.



Akupun memakai tanda duka. Percuma. Aku memakai tanda cinta. Katamu
lagi: “Kau tak mungkin seserius itu, please, jangan diteruskan.”

Aku kaku pucat.



Biasanya aku terbangun setengah enam, dan berharap, terbaring telanjang disisimu, letih.



Oktober 1996









Ah,



Aku ingin kembali

Memancing kata-kata dari  mulut mungilmu

Satu, dua, tiga, empat atau sekedar lenguh parau tertahan

Tak mengapa.



Tapi kamu malah memilih diam

Atau main mata dengan langit.

Biru, lembayung, merah senja, jawabmu:

“Kembali besok pagi dengan kadar cinta  yang sama “



Oktober 1996



Cuma itu isengku



Mungkin kali ini aku benar gila.

Bicara pada ikan di akuarium, atau berkhayal jadi kura-kura raksasa. Ingin aku berlayar ke negerimu. Menjadi orang asing.

Semoga kau tak mengenaliku.

Membelikanmu es krim strawberry atau vanilla, pilih yang kau suka.

Lalu tidur se-siang-an di pangkuanmu.

Cuma itu isengku.



Oktober 1996



Buat indo-nesia



I want you to come on, come on, come on, come on and take it,

Take it!

Take another little piece of my heart now, baby!

Oh, oh, break it!

Break another little bit of my heart now, darling, yeah, yeah, yeah..





sekarang aku menjadimu, kamu berhenti ada. tersenyumlah, nikmatilah, kesementaraan ini.



Dulu kau tambun kata-kata, hanya kau saja yang boleh menterjemahkannya.

Dulu ketika kau tikam aku dengan tuturmu, aku sudah mati berkali-kali.

Darahku terus mengalir-membentuk jiwa baru. Tidak satu-tapi seribu.

dan selalu berkata, ‘Ambil terus jiwaku. Itulah yang menjadi mimpi burukmu !’



ketika aku menjadimu, kamu berhenti ada.

sekarang aku menjadimu, aku bunuh diri.





Oh, oh, have it!

Have another little piece of my heart now, baby,

You know you got it if it makes you feel good,

Oh, yes indeed.



Take Another Piece Of My Heart, Janis Joplin



Desember 1996





Belajar Menulis Puisi

(buat kawan-kawan di sinau)



ada puisi di dalam kopi, di setiap gigitan kerupuk.

bukan di dalam buku.

ada puisi ikut keriting di mangkok indomie.

ada puisi pesanan setengah matang di dalam roti sosis.



menghirup kopi setiap hari, membaca puisi.

puisi garing, renyah, bergaram bisa dimakan setiap orang.

tak perlu berkerut kening, semua puisi bisa dipesan.

asyik, bercangkir-cangkir puisi setiap hari. satu puisi sekurangnya satu hari.



ada puisi tenderloin, dijual di depan kedai.

daging segar, masih bisa basah oleh keringat.

bunyinya lenguh, berdecap-decap-gaduh.

puisi berkeringat, cocok untuk yang sedang sendiri.



ada puisi lahir dari kata-kata milik seniman.

yang penuh dengan makna hidup.

kadang menjadi sisi yang paling gelap.

puisi seperti ini tidak bisa dihirup setiap hari, karena seniman hidup sesuka hati.



oktober 19, 2005







Kader: kepada kawan yang lebih muda dariku.



Rakyat kita sudah banyak menderita sekali. Sudah seharusnya kita
memberi lebih banyak pada mereka, semuanya yang kita miliki. Pablo
Neruda-Nyanyian Revolusi
.



Lama bercengkarama antara kita, selalu diinterupsi oleh nasib rakyat.

Ujungnya kita bicara nasib kita sendiri, yang juga miskin-melarat.

Apa bedanya antara kau dan aku. Selain tahun kelahiran. Tempat kita
sama reot dan rapuhnya. Sementara kau selalu membutuhkan api yang
keluar dari mulutku, yang akan membakar ingatanmu.



Apakah api itu memercik kesadaranmu?

Atau malah membuatmu menjadi abu?



Oktober, 2005





untuk donik



Obrolan kita adalah tikar yang dibentangkan di pelataran masjid itu, di
setiap permukaannya ada tuhan yang menyapa. sajadahku cuma selembar
koran-berganti setiap hari, sementara milikmu: keindahan sulaman yang
kau kerjakan sepanjang hidup.



Kenangan kita sama, tentang tanah dan keringat  mengkilap yang
memantulkan ladang ditubuh liat para petani. Tanah kita masih tanah
yang sama, yang menjadi sumber benih pada setiap sperma yang kupunya,
tanah yang sama akan menjadi daging di rahimmu-segumpal tanah yang
dicangkul dan disiangi petani. Lantas darimana pertanyaan: mengapa kita
selalu kalah? Sementara ladang terus menjadi bagian dari tubuh petani.



Tanah-tanah itu tak pernah menjadi senjata. Maniku tidak,  sel
telurmu tidak, juga daging di rahimmu. Sepanjang perjalanan kita, tanah
selalu  retak-retak, maniku-benihmu terbakar bersama jerami dan
kemarau. Segumpal tanah di rahimmu tidak berubah menjadi senjata.

Malam dipenuhi asap dari jerami yang terbakar-membumbung membawa kerja
keras mengolah tanah yang retak, baunya memenuhi ruang kita, rumah
petani.

Kau kemudian berkata; sengsaralah hidup orang yang selalu gelisah dan terus mencari tahu.



Asap jerami tak pernah membutakan mata, juga bukan sumber air mata.
Kekalahan demi kekalahan kita gantang bersamanya. Besok kita harus
berangkat, ke gunung yang selalu hadir di jendela kamar setiap pagi.
Kita buat lagi senjata dari tanah-tanah di atas gunung  itu. Aku
akan membawa selembar koran untuk bersujud, semoga cukup. Dan kamu akan
sibuk menyulam keindahan-sampai segumpal tanah yang ada di rahimmu
berubah menjadi senjata.



Turen, 61105





Kau Miskin Maka Aku Ada



Kemiskinan. Persiapan. Plano. Metacard. Spidol. Double tape.
Dinding. Jendela. Kursi. Urutan. Aturan main. Agenda. Kekhawatiran.
Harapan. Mari memulai. Isi kartu. Pilih masa depan. 5 kata. Huruf
kapital. Perhatikan lingkungan anda. Modal sosial. Berdaya.
Partisipasi. Pembangunan. Perhatikan. Potensi. Lahan. Diri. Waktu.
Hari. Harga. Coffee break. Mantra. Doa. Realitas. Permainan. Kelompok.
Berbagi. Sumber daya. Pengalaman. Individu. Pengetahuan. Presentasi.
Pertanyaan. Diskusi. Jawaban. Triangulasi. Kebenaran. Afirmasi.
Kontroversi. Tak biasa. Kebiasaan. Merubah. Keadaan. Manipulasi.
Rekayasa. Nilai-nilai. Keburukan dan kebaikan. Chaos. Coffee break?.
Lanjutkan!. Satukan. Persepsi. Impian. Visi. Larut. Malam. Pagi. Siang.
Petang. Hasil. Paparan. Penutup. Sejarah. Prosiding. Proyek. Berlanjut.
Persiapan. Proposal . Baru. Kembali ke awal. Kemiskinan.



Gambar Masa Depan Anda.

Kenali Kawan dan Lawan.



Jakarta-Bogor, November 2005































































 

No comments:

Post a Comment