Buku-cum-Pekerja Sosial dan seorang mencoba memposisikan diri, ya...
itu saya, sebagai ilmuwan-cum-seniman-cum-filosof-cum-manusia awam)
Eureka! Kita mulai berdebat. Kembali bergumul. Mari kenakan semua
perlengkapan perang. Mulai dari kacamata baca, fotokopi bahan diskusi,
hingga bergelas-gelas kopi. Lalu, siapkan nafas panjang--sayangnya,
nafas itulah yang tidak kita punya--untuk melakukan operasi matematis
imajinatif plus sedikit berbau figuratif (ini sengaja saya tulis, agar
tampak terlihat seksi, sensual, memikat, mungkin juga cerdas,
intelektual, cendikiawan; padahal belum tentu memiliki makna verbal,
berdaya guna jelas. Intinya, boleh dong bila sedikit saja kita
bergenit-genit ria sebelum dijemput malaikat pencabut nyawa.)
Kali ini, adalah Widhianto Abdul M yang menjadi korban selanjutnya.
Bersiap menyerahkan nyawa, atau melakukan perlawanan untuk
mempertahankan milik satu-satunya yang berharga, yakni: lagi-lagi itu
nyawa! Kehadiran 'benda ilutif' itu mewujud dalam berlembar-lembar
kertas fotokopi 'Poet Corner'. Puisi, itulah yang dideklarasikan
pemilik. Tidak tanggung-tanggung, dua belas puisi (entah mengapa, saat
menuliskan hal ini, saya jadi teringat bahwa jumlah duabelas puisi itu
memiliki kesesuaian dengan jumlah para rasul. Dua belas juga euy, murid
Yesus dalam kisah Perjanjian Baru, Injil.) yang berasal dari abad
sembilan belas pun abad milenium. Wau!!!!!!!!
Namun, teramat sayanglah hasil yang didapatkan. Sebabnya, kita manusia.
Keterbatasan kita didalam ruang dan waktu menyebabkan kita harus
memenggal saat. Kita harus menyudahi perdebatan, pengoperasian dua
belas puisi. Hanya satu yang sempat kita dalami. Sympathy for The Devil
buatan 1997 yang terinspirasi The Rolling Stones. Dan, tentulah jelas
hasil yang didapatkan. Puisi itu kurang berhasil. Dalam istilah yang
lebih pedas menyengat, gagal! Pasalnya pun sudah jelas. Sekadar
mengulangi hal yang tak perlu, kegagalan itu dikarenakan bentuk puisi.
Bentuk dalam pengertian diksi, irama, hingga peralihan bait. Mengenai
isi dan kejujuran, sudah vulgar. Sampai dan ada. (Meski begitu, saya
hendak mengingatkan bahwa pemahaman isi puisi harusnya kita lebih
kritisi untuk mencapai tahap yang lebih mumpuni. Bukan hanya sekadar
sampai atau tidak isi tersebut, tapi juga kita harus mempertanyakan
bagaimana isi tersebut. Apakah ia menawarkan sesuatu yang baru atau
tidak? dalam keberadaannya diantara puisi-puisi 'Sekantong Kekalahan',
juga didalam jagat antariksa puisi dunia hingga posisi yang sangat
melokal, Kedai Sinau, Jatinegara! Anyway, ini hanya gagasan sampiran
yang tidak memiliki kaitan mengutuh dengan kerangka tulisan 'MENYOAL
SEKANTONG KEKALAHAN SAAT MALAM TUJUH BELAS DESEMBER.)
Maaf, bila dalam tulisan ini, saya memperkenankan diri saya sendiri
untuk berbicara lepas. Berbicara lepas sebagai seorang yang mencoba
menjadi ilmuwan-cum-seniman-cum-filosof-cum-manusia awam. Perlu saya
tandaskan, itulah posisi saya saat ini. Masih teramat sulit bagi saya
untuk memilah diri (mohon maaf 1 x lagi, saya curhat disini), apakah
saya murni ilmuwan, atau seniman, atau filosof, atau manusia awam.
(btw, tentu pembaca tidak keberatan bukan?)
Dua belas puisi Widhie--nama keren penyair--secara umum di mata saya,
belumlah tergarap optimal. Optimal dalam arti bentuk! Sekadar
tambahan, puisi yang hendak saya sorot ini berdasarkan tiga pilar yang
digaungkan Leo Tolstoy, bentuk, isi dan kejujuran. Keseluruhan puisi
buatan Widhie memiliki gagasan dan kejujuran.
Lebih lanjut, saya mencoba, tentunya dengan sesuka saya, beberapa puisi
yang 'berhasil' menggoda emosi saya. Yang paling berhasil, adalah 'Kamu
Miskin Maka Aku Ada'. Saya kutip seutuhnya dari
http://kedaisinau.multiply.com/journal/item/8
Kau Miskin Maka Aku Ada
Kemiskinan. Persiapan. Plano. Metacard. Spidol. Double tape.
Dinding. Jendela. Kursi. Urutan. Aturan main. Agenda. Kekhawatiran.
Harapan. Mari memulai. Isi kartu. Pilih masa depan. 5 kata. Huruf
kapital. Perhatikan lingkungan anda. Modal sosial. Berdaya.
Partisipasi. Pembangunan. Perhatikan. Potensi. Lahan. Diri. Waktu.
Hari. Harga. Coffee break. Mantra. Doa. Realitas. Permainan. Kelompok.
Berbagi. Sumber daya. Pengalaman. Individu. Pengetahuan. Presentasi.
Pertanyaan. Diskusi. Jawaban. Triangulasi. Kebenaran. Afirmasi.
Kontroversi. Tak biasa. Kebiasaan. Merubah. Keadaan. Manipulasi.
Rekayasa. Nilai-nilai. Keburukan dan kebaikan. Chaos. Coffee break?.
Lanjutkan!. Satukan. Persepsi. Impian. Visi. Larut. Malam. Pagi. Siang.
Petang. Hasil. Paparan. Penutup. Sejarah. Prosiding. Proyek. Berlanjut.
Persiapan. Proposal . Baru. Kembali ke awal. Kemiskinan.
Gambar Masa Depan Anda.
Kenali Kawan dan Lawan.
Jakarta-Bogor, November 2005
Sebenarnya, menurut saya puisi ini memiliki kekuatan konflik
tersendiri. Dalam pemahaman saya, puisi ini belum memiliki partitur.
Tegasnya, bentuk puisi ini belum ada partitur dalam dunia sastra
indonesia, bisa jadi dunia sastra planet ketiga yang terdekat dengan
bintang yang bernama matahari di galaksi Bimasakti. Memang, keganjilan
yang mirip dengan puisi ini sebenarnya pernah terjadi. Keganjilan dalam
arti sesuatu yang baru. Keganjilan dalam suatu rentang jaman yang
berakibat timbulnya genre puisi baru, yakni 'Puisi Mbeling'. Genre yang
digagas Alif Danya Munsyi/Yappi Tambayong/Remy Sylado. Namun, perasaan
saya malah cenderung tidak memiripkan puisi itu dengan apa yang sudah
terjadi di era '70 -an itu. Sebabnya, adakah penyair memiliki gagasan
makro--disamping gagasan yang dikandung dalam puisi itu sendiri--dalam
membuat puisi itu?
(Saya mencoba mengerahkan kemampuan akal untuk memaparkan hal ini
dengan kadar kesombongan pribadi tertentu, yang tentunya berdampak pada
penamparan bila saya gagal menyampaikan sebuah kebenaran. Seingat saya,
era 'Puisi Mbeling', memiliki gagasan makro bahwa puisi itu tidak
sulit. Puisi itu mudah! Tak perlulah orang yang hendak memikirkan puisi
mengikuti penyair besar Indonesia, Chairil Anwar. Mengikuti dalam arti
menyerupai kekuatan ledakannya hingga menembus jaman. Sederhananya,
para penyokong genre itu hendak menyuarakan gagasan bahwa idealisasi
puisi itu tidak berada dalam posisi yang suci nan agung nan tak
tersentuh nan abadi seperti yang sudah dilakukan oleh Chairil Anwar,
misalnya. Mereka berteriak, puisi itu tak harus abadi, suci, agung!
Puisi itu bisa saja menjijikkan, memualkan, bahkan me- me- me- lainnya
yang menegasikan ide tersebut. Berawal dari gagasan itu, diantara
mereka--Alif Danya Munsyi/Yappi Tambayong/Remy Sylado, juga pelukis
Jeihan--membuat puisi. Puisi yang berisi ide komunisme, individualisme,
indonesia, bahkan menyentuh religi. Alhasil, gagasan berpikir para
suporter genre 'Puisi Mbeling'--tentunya disokong dengan ke-hasil-an
mereka--itu pun berhasil abadi, meski puisi yang mereka hasilkan jarang
terdengar. Minimal bagi saya.)
Nah, kembali menyoal puisi Widhie, seharusnya kita mampu membongkar
batasan bentuk puisi yang sudah ada di jaman ini. Praktisnya, kita
harus mampu menemukan partitur yang hendak kita ajukan sebagai tesis
untuk mengklaim puisi ini memiliki nilai estetika. Artinya, pemahaman
bentuk puisi--harus ada rima, persajakan, melodi, harmoni, aliterasi
dan beragam konvensi lainnya-- harus dibongkar! Inilah yang tersulit!
Inilah tantangan itu. Karena, tantangan itu tidak terjawab, maka saya
memiripkan puisi ini dengan buatan Afrizal Malna. Ada kesesuaian dengan
Afrizal Malna yang mencoba mendekonstruksi metafora baru menggunakan
bahasa yang sudah mengota. Bila dulu, orang minum hanya air putih, maka
itu diganti fanta. Bila dulu orang duduk di tepi pantai atau danau atau
sawah, maka sekarang di mall, diskotik, juga trotoar jalan bahkan
kamar mandi. Namun, puisi Afrizal Malna masih memiliki kesesuaian
dengan konvensi bentuk puisi. Itulah bedanya puisi Widhie dengan
Afrizal Malna; dan tentu saja itu masih satu sisi; sebab saya yakin,
antara Widhie dengan Afrizal Malna memiliki segudang perbedaan lainnya,
sama seperti Widhie dan Afrizal Malna memiliki segudang persamaan,
antara lain: sama-sama lelaki.
Atas dasar ketiadaan partitur bentuk itu, saya susah mendefinisikan
apakah puisi ini gagal. Meski begitu, saya memberanikan diri untuk
memberi penilaian sederhana saja. Puisi ini--yang bagi saya masih dalam
taraf permainan--kurang berhasil. Pengolahan bentuk yang masih tidak
jelas. Tapi, isi puisi dan kejujuran itu ada. Bila diperkenan
berimajinasi, saya bisa memperkirakan puisi ini akan ditolak redaksi
beragam media nasional--kecuali media
http://kedaisinau.multiply.com--untuk diterbitkan.
Hei...heii.....satu lagi, saya ingat. Bentuk puisi Widhie ini memiliki
keserupaan
dengan sebuah puisi Saut Situmorang. Saya lupa judulnya. Dalam puisi
Saut, tanda baca titik memiliki fungsi lebih dari sekadar penanda akhir
sebuah kalimat utuh. Ada ritme degup jantung dalam puisi itu. (Mungkin,
inilah penyebab kegagalan itu. Tanda baca titik dalam puisi Widhie
seakan kurang berbicara. Namun, ia banyak menyediakan ruang kosong
untuk memberikan kebebasan pembaca menambahkan partitur, setidaknya itu
yang saya lakukan untuk memperoleh estetik dari puisi itu sendiri.
Yang saya suka dari puisi ini, satu. Eksperimennya. Tapi, itu pun patut
pula memperhatikan gagasan makro berpuisi sepenuhnya dari
penyair, yang saya belum ketahui total. Saya hanya mengetahui, bahwa
penyair menulis puisi untuk dengan penujuan tertentu, buat pembaca.
Dan, saya pikir banyak juga orang yang bergagasan seperti itu.
(Mungkin, untuk memberikan beban tanggung jawab bagi diri pribadi, saya
berjanji akan membuat tulisan ke-dua di situs ini yang memperbincangkan
puisi lebih manusiawi). Terus mengapa pula penyair harus melakukan
eksperimen puitis dalam puisi 'Kamu Miskin Maka Aku Ada'.
Dengan sesuka hati saya pulalah, maka puisi 'Belajar Menulis Puisi' saya pilih diteropong.
Belajar Menulis Puisi
(buat kawan-kawan di sinau)
ada puisi di dalam kopi, di setiap gigitan kerupuk.
bukan di dalam buku.
ada puisi ikut keriting di mangkok indomie.
ada puisi pesanan setengah matang di dalam roti sosis.
menghirup kopi setiap hari, membaca puisi.
puisi garing, renyah, bergaram bisa dimakan setiap orang.
tak perlu berkerut kening, semua puisi bisa dipesan.
asyik, bercangkir-cangkir puisi setiap hari. satu puisi sekurangnya satu hari.
ada puisi tenderloin, dijual di depan kedai.
daging segar, masih bisa basah oleh keringat.
bunyinya lenguh, berdecap-decap-gaduh.
puisi berkeringat, cocok untuk yang sedang sendiri.
ada puisi lahir dari kata-kata milik seniman.
yang penuh dengan makna hidup.
kadang menjadi sisi yang paling gelap.
puisi seperti ini tidak bisa dihirup setiap hari, karena seniman hidup sesuka hati.
oktober 19, 2005
Terkait bentuk, puisi ini belum mendapat pengolahan optimal. Kelancaran
bertutur yang hendak ditonjolkan justru mendapat batu sandungan,
menurut saya, di bait pertama. '... di mangkok indomie',
misalnya; atau '... roti sosis', umpama berikutnya. Seharusnya--hei
penyair, harus dicatat, ini keinginan saya, terserah mau diikuti atau
tidak, sebab: '... seniman hidup sesuka hati'--Widhie memperhatikan
olah luncur kata yang menjadikan semuanya lancar. Saya merasa tersendat
saat membaca ' ada puisi ikut keriting di mangkok indomie'; atau '
ada puisi pesanan setengah matang di dalam roti sosis'. Dalam bayangan
saya, larik itu seharusnya menjadi: 'ada puisi ikut keriting mangkok
indomie' dan 'ada puisi pesanan setengah matang di dalam sosis roti'.
Saya menyebut ini kegagalan kecil berdampak maha. Hanya karena kata
depan 'di' dan bentuk terbalik Mengerti atau Dimengerti menjadi
Dimengerti atau Mengerti (hoi!!!!!, tolong gua; sebenarnya bahasa
Indonesia berpola D-M atau M-D), berkurang kadar kesedapan puisi.
Padahal, kelancaran bertutur seirama dengan tema yang hendak diusung.
Dalam pikiran dan hati saya, tema puisi ini menyindir semua penyair.
Isi yang hendak ditawarkan penyair adalah puisi itu ada dimana-mana,
mudah didapat sebab bukan hanya 'bukan didalam di buku'; tinggal pilih
saja, ambil dan telan, kalau perlu buang. Puisi itu mudah! kalau saya
diperkenankan menyingkat isi yang ditawarkan
penulis-cum-penyair-cum-pedagang buku-cum-pekerja sosial ini.
Aliran kata yang terucap begitu mudah, hingga mengikut tema yang ada
didalam puisi; ini kekuatan puisi ini. Bahkan suasana kegembiraan pun
hadir didalamnya. Saya
perkirakan puisi ini dibuat penyair dalam suasana hati dan nurani yang
gembira ria serupa susu fanta gembira. Pilihan tiap kata yang begitu
sederhana juga cukup mengejutkan saya. (Puisi itu ternyata tak perlu
juga menggunakan kata 'macan' yang tak pernah kita lihat, 'bulan' yang
tak pernah kita kunjungi, 'persetubuhan' yang tak pernah saya lakukan,
' hati' yang tak pernah saya jamah, 'belati' yang tak pernah saya
pegang, atau segala macam yang lainnya.) Uniknya, dengan metafora yang
sangat 'mengedai' ini, puisi ini berhasil mengantarkan pesanan dari
dunia imajinatif penyair. Selamat!!!!
Secara keseluruhan, penyair Widhianto Abdul M, masih mencari-cari
bentuk puisinya sendiri. Ia masih bereksperimen. (Apakah penyebabnya?
Tolonglah, you jawab sekali-sekali penyair, biar kami orang bisa lebih
mengerti.) Jika memang you hendak bereksperimen, total-lah
bereksperimen. Jangan pula sampai muncul puisi seperti:
Tentang: AkuKamuDiaMerekaKitaInidanItu
Buat: Toby Litt
AkuKamuDiaMerekaKitaInidanItu. Sialan.
KamuDiaMerekaKitaInidanItuAku. Sialan.
DiaMerekaKitaInidanItuAkuKamu. Sialan.
MerekaKitaInidanItuAkuKamuDia. Sialan.
KitaInidanItuAkuKamuDiaMereka. Sialan.
InidanItuAkuKamuDiaMerekaKita. Sialan.
AkuKamuDiaMerekaKitaInidanItu. Sialan.
“Kemudian Siapa lagi yang harus dipertuhankan, Apa lagi yang harus dipersetankan,
and how do you learn to hate so much ?”
1997
Buat: Toby Litt
AkuKamuDiaMerekaKitaInidanItu. Sialan.
KamuDiaMerekaKitaInidanItuAku. Sialan.
DiaMerekaKitaInidanItuAkuKamu. Sialan.
MerekaKitaInidanItuAkuKamuDia. Sialan.
KitaInidanItuAkuKamuDiaMereka. Sialan.
InidanItuAkuKamuDiaMerekaKita. Sialan.
AkuKamuDiaMerekaKitaInidanItu. Sialan.
“Kemudian Siapa lagi yang harus dipertuhankan, Apa lagi yang harus dipersetankan,
and how do you learn to hate so much ?”
1997
yang,
menurut saya terbawa arus Tobby Lit. Ada kegenitan saya rasakan disini.
Sebab saya juga pernah melakukan hal serupa. Menilai puisi ini
menimbulkan penolakan tersendiri dalam batin saya. Sebab, mungkin saja
gagasan yang ditawarkan puisi ini mantap, aku merasa ada hal prinsipil
yang dilanggar. Genit!
Hi...,
saya: David Tobing.
Nice to meet you.
;)
See, yaa.......
menurut saya terbawa arus Tobby Lit. Ada kegenitan saya rasakan disini.
Sebab saya juga pernah melakukan hal serupa. Menilai puisi ini
menimbulkan penolakan tersendiri dalam batin saya. Sebab, mungkin saja
gagasan yang ditawarkan puisi ini mantap, aku merasa ada hal prinsipil
yang dilanggar. Genit!
Hi...,
saya: David Tobing.
Nice to meet you.
;)
See, yaa.......
Kegagalan Yang Penting
ReplyDeleteMenarik! Tawaran yang diusung oleh David Tobing, menjelaskan, kemudian mendedah kata-kata [puisi] secara lebih humanis/tanpa teori yang mengerutkan kening. Seorang kawan lama semalam berkata bahwa kening berkerut setelah membaca adalah tanda penasaran, bingung, ketidaktahuan, dan kecamuk yang sedang ia coba definisikan wujudnya. Lantas ada juga ha, ha, ha, ha ketika membaca, tanda paham, [tapi mengumpat juga ia-sialan! Artinya anjing nih orang liar betul idenya], atau puisinya memang garing [dalam bahasa gaul artinya kadar/kualitasnya rendah sehingga susah dicerna kelima indera], hambar, basi. Selanjutnya, poet corner menawarkan-apa yang bisa diberikan oleh sebuah forum yang serius membicarakan kata-kata. Jika saya jadi host-nya saya mengeluarkan empat opsi, pertama ia tidak tahu dan mau belajar. Kedua, ia tahu banyak namun mau berbagi. Ketiga, ia tahu banyak dan bosan. Keempat, ia goblog sedemikian rupa sehingga tidak sadar dan tak acuh bahwa dirinya cuma bentukan simbol orang sekampungnya. Jika pilihannya tiga dan empat, maka poet corner membayar mahal untuk setiap cangkir kopi hanya untuk menemaninya bicara, pilihan satu dan dua adalah pilihan humanis dalam arti lebih jujur dan mau berbagi. Saya masuk opsi satu. Selamat datang kepada saya yang mengundang diri sendiri mengunjungi poet corner.
Perkenalkan, nama saya Widhyanto Muttaqien Ahmad, pedagang buku, pekerja sosial dengan bayaran mahal (di Indonesia pekerja social didefiniskan sebagai sukarelawan-bayaran murah, padahal asal usulnya dari social worker yang berarti pekerja yang lebih banyak berurusan dengan domain publik dibandingkan dengan domain privat/perusahaan pribadi atau patungan—pengakuan ‘bayaran mahal’ ini saya lakukan karena saya tidak ingin melabelkan diri saya ‘pelacur’ seperti yang sering diungkap beberapa kawan seniman di kedai, ketika butuh uang dan harus mencari ‘proyek’ untuk membuat perut semakin lapar dan mata semakin nanar). Saya membaptiskan diri dengan nama Widhy Sinau. Saya suka warna biru dan gradasinya, hitam, putih, dan oranye tanah. Saya suka harum laut, wangi kayu basah yang terbakar, dan aroma seduhan kopi. Perkenalkan, kawan-kawan saya yang akan memperkenalkan dirinya masing-masing.
Poet corner #2 kemarin menyisakan banyak pertanyaan, pernyataan sudah banyak dibeberkan. Mengapa orang harus menulis puisi? Lebih tepatnya mengapa seseorang harus menulis? Saya tidak tahu. Bagi saya menulis adalah melatih mental untuk dapat bertanggungjawab terhadap bacaan yang dialami oleh seluruh indera. Sedangkan puisi adalah metabolisme ekskresi dimana kotoran di hati dan pikiran harus dikeluarkan. Sebagai fungsi metabolisme tentu saja menulis puisi membuat nyaman, sekaligus menyehatkan. Sebagai sebuah latihan mental, menulis, terutama puisi, tentu memerlukan pertanggungjawaban yang menurut Tolstoy seperti dikutip David Tobing adalah bentuk, isi, dan kejujuran. Poet coerner #2 menyanjung kata-kata dengan menyatakan menulis puisi sebagai aktivitas intelektual.
Dan ternyata sulit!
Mengapa aktivitas intelektual? Sampai Aristotelespun menyandingkan puisi setingkat lebih tinggi dibandingkan tulisan sejarah. Sampai Jallaluddin Rumipun berkata hati-hatilah dengan tutur kata sang penyair, ia dapat menyesatkan walaupun yang ia berikan adalah sejumlah arah jalan. Sebagai sebuah aktivitas intelektual tentu menulis puisi tidak bisa dikatrol sehingga siap saji. Apalagi dengan kemiskinan berbahasa, kemiskinan agen bahasa, Sang Guru, seperti sajak Winarno Surakhmad kapan pengetahuan kami bukan ilmu kadaluwarso/mungkinkahberharap terbaik dalam kondisi terburuk/ . Guru terbaring di bawah nisannya, meninggalkan buku usang, kemiskinan pengetahuan-lantas bagaimana dengan Sang Murid? Tutur sang penyair membutuhkan bahan baku kata-kata yang diolah sehingga ada nyawa, gairah, dan bergerak kemana-mana. Saya ingin menguap bersama kata-kata, sublim, imajiner. Namun apa lacur keterbatasan dapur kata-kata dan kejenuhan dalam mengelola tukar menukar antara ide dengan realitas keseharian menyebabkan s
numpang lewat.... yahhhhh..
ReplyDeleteboleh minta artikel buat blogku kan
boleh. mari mampir.
ReplyDeletethx!