Monday, 7 November 2011

when rico loves erni

Link empat untai gambar bersambung (my friend novry, akhirnya menikah---happily ever after)

Betapa Indah dan Kaya Nusantara

Link

Betapa Indah dan Kaya Nusantara

Betapa Indah dan Kaya Nusantara[i]

Negara Kepulauan Yang Lupa Lautan

Untuk mengembangkan soft power (penduduk Indonesia yang peduli laut) kita secara relatif tidak usah mengeluarkan dana yang besar, bisa mulai dengan mengubah kurikulum sekolah yang mendekatkan generasi mendatang dengan hal ikhwal kemaritiman, agar generasi depan tidak lupa lautan (AB Lapian)

 

 

Nusantara, demikian banyak dongeng tentangnya, sebuah negeri bawah angin (muson Barat dan Timur). Sebuah negeri di Tenggara, yang kemudian menjadi demikian pentingnya, karena ada dua benua di atas dan bawahnya. Nusantara kita adalah sebuah laut yang mempersatukan, laut sebagai ruang depan dimana pantai adalah sebuah tepi yang ramai dan tempat yang asing mengenalkan diri dengan tradisi. Nusantara kita adalah sesuatu yang hibrida, sejak mulanya. Sebuah kekayaan budaya yang bikin iri banyak bangsa.

Ketika sejarah Eropa mencatat adanya kepulauan (archipelago) di sebelah Timur mereka, maka serta merta konstruksi mereka terhadap Nusantara adalah sebuah entitas yang lepas, tidak rekat, walau pada kenyataannya pernah pula dua kerajaan, Sriwijaya dan Majapahit menjadi kekuatan maritim, di ujung Sumatera ada Samudera Pasai yang juga besar sebagai salah satu suku bangsa yang memiliki angkatan laut yang kuat.

Konstruksi ini sejak jaman kolonial dijadikan alat politik, sejarah Eropa adalah sejarah daratan (kontinen) yang mulai beremansipasi setelah revolusi Prancis. Sejarah daratan ini menjadikan Eropa memiliki karakter dibangun di atas birokrasi yang teramat rapih, dengan militer yang kuat karena rentannya perbatasan oleh serangan lawan.  Karakter Eropa yang lain adalah bangunan rasial sangat kental, sehingga mereka ketika menguasai Nusantarapun menggunakan isu rasial untuk memisahkan masyarakat. Selain masalah rasial, adapula diskriminasi berdasarkan kekayaan. Pada kasus Eropa memang permasalahan feodalisme (tuan tanah dan petani) juga menjadi dasar untuk pemisahan di masyarakat, selanjutnya diterapkan di Nusantara dengan proyek pendidikan yang mementingkan keturunan ningrat dan kelas baru pelayan penguasa kolonial, yaitu birokrasi yang rapih, sebagai kelas amtenaar, berpusat pada Jawa. Dalam perkembangan perdagangan internasional dan khususnya selama periode kolonial Belanda, pulau Jawa menjadi pusat administrasi dan komersial di wilayah Nusantara. Sedangkan pulau-pulau lain disebut “Kepulauan Luar” (The Outer Islands), dan penduduknya banyak ditelantarkan oleh pemerintah pusat kolonial. Identifikasi pusat ini juga berpengaruh pada identifikasi pinggiran, 'Luar Jawa' bukan cuma sebagai sebuah entitas geografis, namun juga sebagai entitas budaya.

Dalam sejarah Nusantara, setidaknya dapat dibaca bahwa dasar pengikat kehidupan bermasyarakat kita di sebagian besar Nusantara berciri komunal, dimana lebih banyak sumberdaya milik bersama (common property resources) yang menjadi alat untuk menciptakan kesejahteraan bersama, tak luput pula ini dipraktekkan untuk mengatur sumberdaya kebaharian di masyarakat pesisir. Konsekuensinya, masyarakat komunal lebih memiliki tradisi kebersamaan atau hidup bersama dengan sejarah, nilai-nilai, dan tradisi bersama.

Selanjutnya negara Indonesia kemudian, penerus Nusantara melihat birokrasi negara (Apter, 1987)[1].  dan militer yang kuat sebagai cara untuk memodernkan Indonesia. Birokrasi negara dalam perjalanannya berubah menjadi 'negara' sebuah bentuk authoritarian goverment. Dengan pola pembangunan yang bertumpu pada negara (state lead development), dan pendikotomian antara negara dan masyarakat. Masih dalam Apter (1987) negara-negara poskolonial  masih diwarisi empat tahapan kolonial, yaitu penemuan, birokratisasi, perwakilan, dan pemerintahan yang bertangungjawab. Indonesia pada awal merdeka masih dalam kondisi konsolidasi birokrasi kolonial dan meneruskannya. Dengan birokrasi inilah manusia ditempatkan sebagai objek untuk didisiplinkan, objek yang menurut pada kehendak penguasa.

Dalam masa awal kemerdekaan wacana kedamaian dan nasionalisme berkembang. Hampir seluruh wilayah jajahan mendefinisikan dirinya melalui identitas geografis dengan batas yang pernah dibentuk penjajah. Di lain pihak, perihnya perang dunia kedua membuat Amerika dan Sekutu sebagai pemenang perang memplokamirkan diri sebagai 'perawat kedamaian'. Dan sejak tahun 1951 bantuan untuk 'membangun bangsa' atau nation building lebih banyak mengikut pada sejarah Amerika, yang memiliki cacat bawaan---orang kulit putih Amerika tidak memiliki tradisi panjang di Amerika Utara, para penghuni sebelumnyalah, Indian, yang memiliki sejarah, nilai bersama dan tradisi yang kental. Membangun bangsa bagi orang Amerika adalah membangun 'negara dan ekonomi'. Negara dalam konteks Amerika adalah negara imigran Eropa, dan ekonomi bagi mereka adalah ekonomi imigran Eropa (Fukuyama, 2006)[2]

Indonesia kemudian, dalam sejarahnya mengambil corak penguasa Hindia-Belanda, yang bercorak agraris (karena kepentingan awal mereka adalah tanaman rempah), dimulai dengan birokrasi yang seragam mulai dari desa, sebuah kesatuan terkecil (dalam politik spasial) yang pernah memiliki otonomi, sehingga kolektivitas keluarga seperti Nagari, Huta,  berangsur-angsur hilang, pengaturan sumberdaya milik bersamapun hilang ketika ikatan politik ruang masyarakat diambil alih oleh birokrasi negara, teritorial melulu dilihat sebagai kesatuan administrasi bukan ruang budaya. Berkebalikan, tesis Edward Said (1995) dalam Philpott (2000)[3] mengatakan bahwa orientalisme Amerika dan Eropa Barat menganggap bahwa tradisi dan budaya adalah penghambat utama kemajuan ekonomi dan politik a la Amerika. Sedangkan studi tentang  sukses Asia Timur sebaliknya membuktikan konstruksi tradisi dan budaya menjadi alas bagi sukses industrialisasi.

Ingatan Luput, Batas Yang Pupus

Luas teritorial dan struktur geografi Indonesia dalam beberapa hal merupakan keadaan yang sangat unik. Pertama jarak bentangan wilayah Nusantara dari sebelah Barat sampai ke Timur adalah 1900 km. Tetapi, wilayah daratannya terdiri dari pulau-pulau tidak kurang dari 13.677 pulau-pulau berkisar dari salah satu pulau yang terbesar didunia yaitu pulau Kalimantan dan Papua  sampai kepada pulau-pulau karang kecil dan atol-atol. Ada sebanyak 6.044 pulau-pulau diantaranya diperkirakan dihuni oleh manusia, tetapi hanya sekitar 3.000 pulau yang dihuni oleh penduduk yang bermukim tetap. Luas lahan keseluruhan negara mencapai hampir mencapai 2 juta km2, yang luasnya hampir sama dengan negara Mexico atau sekitar 8 kali negara Inggris atau 4 kali negara Jerman. Laut  yang termasuk kawasan Indonesia meliputi 12 mil mencapai lebih dari 3 juta m2. Jadi, luas lahannya hanya sekitar 37% dari wilayah yuridiksi teritorial Indonesia.

Konstruksi pemikiran negara sebagai pemain utama dan menentukan dalam pembangunan, dan pembangunan yang sentralistik tersebut menyebabkan pembangunan seragam, menghilangkan keragaman budaya dan eko-regional (keragaman sumberdaya lingkungan wilayah, fisik dan biologis).  Di atas dikemukakan bahwa ciri kolektivitas seperti adanya kekayaan bersama, dalam bentuk institusi pengaturan sumberdaya alam seperti Panglima Laot di Aceh yang berbasis adat hilang dari wacana pembangunan, bahkan restorasinyapun teramat sulit dalam masa otonomi daerah. Padahal institusi adat semacam ini sangat banyak di Nusantara, dan merupakan tradisi bagi kehidupan baik di laut, maupun di darat.

Pengkaplingan terhadap hak-hak masyarakat ini, terutama dalam hal  otonomi untuk mengurus sumberdaya komunal mereka memandulkan pengetahuan mereka.  Matinya  kesadaran akan ruang, adalah akibat dari tumbangnya sumberdaya bersama (common property resource), yang dapat mengambil bentuk material dan ide atau pengetahuan. Pada akhirnya masyarakat tumbang perasaan kolektifnya, ini berlangsung sejak jaman penjajahan dan diteruskan lewat modernisasi seperti disebutkan di atas.  Karena kolektivitas hanya bisa dilatih lewat tindakan-tindakan bersama, dimana dalam setiap bentuk tindakan ada nilai-nilai bersama yang dijaga dan direproduksi dari generasi ke generasi.

Studi antar negara oleh Bank Dunia (2000) memperbandingkan keadaan kerusakan sumberdaya alam, dengan mengukur hak-hak politik dan kebebasan sipil dan tingkat melek-huruf (literacy) yang tinggi cenderung untuk mempunyai kualitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang lebih baik. Sebaliknya negara-negara yang memperoleh hak-hak politik dan kebebasan sipil minimal serta tingkat melek-huruf yang lebih rendah, cenderung untuk mempunyai kualitas lingkungan hidup yang lebih jelek. Yang dimaksud hak-hak sipil tersebut anatara lain adalah otonomi daerah untuk mengatur dirinya sesuai dengan adat/tradisi mereka, termasuk di dalamnya mengatur pemanfaatan sumberdaya alam mereka.  

Sementara jika dilihat dari sisi teritorial (batas negara) maka, pemusatan atau sentralisasi pembangunan menyebabkan kawasan-kawasan perbatasan baik darat dan laut menjadi bagian paling terbelakang. Dan secara imaji menjadi daerah belakang, padahal posisi geo-politik daerah perbatasan adalah daerah muka.

Secara umum, kondisi kawasan perbatasan berada pada situasi serba memprihatinkan. Penduduk pemukimnya, relatif mempunyai pendidikan rendah, dan minat terhadap pendidikan yang juga relatif rendah, di samping jumlah dan sebaran sarana-prasarana pendidikan yang ada masih sangat terbatas.  Akibatnya orientasi kebangsaan mereka lebih ke negara tetangga. Seperti yang dialami oleh masyarakat Indonesia di perbatasan Malaysia. Kondisi yang sama dialami oleh negara tetangga kita, Timor Leste, di daerah perbatasan mereka dengan Nusa Tenggara Timur, kondisi Indonesia yang lebih baik menyebabkan orang Timor Leste menjadi pelintas batas yang permanen, walaupun faktor kekerabatan merupakan faktor yang sangat erat terkait dengan persoalan 'orientasi kebangsaaan'.

Menurut beberapa ilmuwan sosial ruang negara (state scape) menjadi menyempit, dan pernyataan mengenai batas negara  mengalami kuno. Terutama jika  dihubungkan dengan arus uang, arus perdagangan, ide, bahkan mobiliitas manusia. Pilihan-pilihan warga negara terhadap cara untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik menipiskan ruang negara ini. Sebagai penanda kekuasaan negara, batas negara semakin imajiner.

Lebih dari 25 tahun lalu, Benedict Anderson dalam Imagined Communities (1984) berargumentasi bahwa memahami ruang atau batas negara di daerah Asia Selatan berimplikasi pada konsep negara tradisonal, bukan negara bangsa modern. Secara kualitatif  menurutnya hal yang paling penting dipahami dalam konteks perbatasan adalah aspek politik lokal dan sejarah lokal masyarakat. Perbatasan, lanjutnya, berkelindan dengan kedua aspek tersebut. Karena Pusat begitu jauh dari jangkauan ide mereka.

Dalam Tambiah (1976), Wolters (1982), Errington (1989) dalam Carsten (1998)[4] dinyatakan bahwa sejarah  kebijakan pembentukkan negara ditentukan dari Pusat bukan dari daerah. Sehingga pendefinisian mengenai batas juga menjadi batas 'relasi kekuasaan (power) ideologis ' dibandingkan sebuah bentuk 'negara bangsa modern'. Konsekuensi mendefinisikan batas berdasarkan ideologi kekuasaan menyebabkan pendekatan pembangunan diarahkan melalui pendekatan keamanan bukan kesejahteraan. Padahal simbol-simbol kekuasaan sangat rapuh jika dihubungkan dengan sejarah berdirinya negara bangsa Indonesia.

Berdasarkan UU No. 43/2008 tentang Wilayah Negara, cakupan wilayah kawasan perbatasan negara didefinisikan sebagai bagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi dalam batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal batas wilayah negara di darat, kawasan perbatasan berada di Kecamatan. Dengan demikian, kawasan perbatasan darat meliputi kecamatan-kecamatan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga di wilayah darat. Adapun kawasan perbatasan laut, selain meliputi wilayah perairan laut teritorial, landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang berbatasan dengan negara tetangga, juga termasuk kecamatan-kecamatan perbatasan laut yang memiliki keterkaitan fungsional dan nilai strategi bagi pengelolaan kawasan perbatasan laut. Dalam kawasan perbatasan laut menurut penelitian yang dilakukan oleh lembaga Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W)-Institut Pertanian Bogor (2007) ada beberapa karakteristik permasalahan, sebagai berikut.

1.    Wilayah perbatasan yang berupa laut dan pulau-pulau kecil yang berpenghuni. Implikasinya (1) mengakibatkan pembangunan infrastruktur menjadi mahal dan tidak efisien, dan (2) aktivitas ekonomi tersegregasi ke dalam satuan-satuan kecil sehingga tidak mampu mencapai skala ekonomi yang mencukupi.  Penyediaan infrastruktur yang mahal tidak seimbang dengan intensitas pemanfaatannya mengingat komunitas masyarakat pulau yang terpencar, bahkan ada beberapa pulau yang tidak berpenghuni.  Karena itu untuk mempertahankan kualitas infrastruktur yang telah dibangun memerlukan subsidi terus menerus.  Sementara itu aktivitas ekonomi yang tersegregasi ke dalam satuan-satuan kecil mengakibatkan aktivitas ekonomi wilayah menjadi sulit untuk berkembang.  Lokasi-lokasi ini terutama terdapat di Provinsi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Maluku Utara, dan Maluku. 

2.    Wilayah perbatasan yang berupa laut dan pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni. Implikasinya (1) maraknya berbagai aktivitas ilegal dan (2) meningkatnya ancaman terhadap kedaulatan wilayah Indonesia. Kawasan perbatasan yang berupa pulau-pulau kecil dan terisolasi seringkali dijadikan lokasi dari berbagai aktivitas ilegal seperti penyelundupan, perdagangan narkoba, perdagangan senjata, human trafficking, aktivitas teroris dan sebagainya. Berbagai aktivitas ini tentunya akan mengganggu kelangsungan perekonomian, merusak moralitas bangsa, dan merendahkan citra Indonesia di mata internasional.  Hal ini terutama terjadi di wilayah perbatasan di Provinsi NAD, Provinsi Sulawesi Utara, sebagian Provinsi Riau (Pulau Natuna), sebagian Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Maluku. Di wilayah-wilayah ini, pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan posisinya sangat terpencil (remote) baik dilihat dari Indonesia maupun dilihat dari negara tetangga.  Belum lagi rata-rata di wilayah ini permasalahan penetapan tata batas masih belum jelas. Lemahnya pengawasan baik dari Indonesia maupun negara-negara tetangga mengakibatkan berkembangnya berbagai kegiatan ilegal seperti telah disebutkan sebelumnya. Kawasan perbatasan yang sama sekali tidak termonitor juga akan membahayakan pertahanan dan keamanan bangsa terutama dengan maraknya berbagai aktivitas konflik dan terorisme saat ini.  Penyelundupan senjata, satelit mata-mata asing dan sebagainya menjadi permasalah yang harus diwaspadai.  Hal ini terjadi di seluruh kawasan perbatasan di seluruh Indonesia. Lokasi-lokasi ini antara lain terdapat di Provinsi NAD, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku, Papua.

Menemui Kembali Nusantara

di pantai pulau kelapa
 semua nelayan tiba
 di rumah yang bahagia (Koes Plus, Larut Senja, Pop Melayu Vol. 2, 1974)

 

Nusantara yang kita kenal lewat lagu Koes Ploes adalah Nusantara yang diidealkan, Nusantara yang kaya. Lagu Jiwa Nusantara (dalam album Selalu di Hatiku, 1975) misalnya kaya akan semangat perlawanan, 'Aku dicaci aku dimaki/Ku tak tahan lagi,  ku tak tahan ku begini/ Sinar mataku api/Rentang tanganku besi/ Langkah kakiku pasti/Daya pikirku suci/.http://multiply.com/Aku jiwa muda aku jiwa Nusantara.

Sebaliknya dalam lagu Tradisi (Album Koes Plus, Volume 7, 1973 ) kita akan melihat Koes Ploes melihat tradisi sebagai sesuatu yang perlu dikritisi. Simaklah, Kali ini ku tidak akan bersedih hati/Dan kau akan mengerti mengerti/Kali ini kubuang musik yang lewat ini/Dan kan kulempar tradisi yang mati/Kutak dapat merasakan/Hidup yang penuh tantangan/Atau hanya kesempatan/Hari ini segalanya/Esok hari pengharapan/Lainnya hanya impian/Kali ini/Kudapatkan filsafat sendiri/Bukan filsafat tradisi yang mati.

Rendra (1983)[5] melihat tradisi dengan batas-batas relatif. Ia tidak boleh dijadikan absolut, dalam pengertian permanen, tidak berubah. Jika tradisi dibekukan maka ia akan merugikan pertumbuhan pribadi dan kemanusiaan. Oleh karena itu tradisi harus diberontak, dicairkan, dan diberi perkembangan baru.

Berangkat dari Koes Ploes dan Rendra, maka permasalahan Nusantara bukan sesuatu yang bisa dilihat menjadi sebuah ketetapan, termasuk urusan-urusan geo-politik. Kasus pemisahan Timor Timur dan menjadi negara independen Timor Leste adalah sebuah momen untuk memperhatikan kembali pendekatan kita dalam memandang sebuah kesatuan.

Penulis sejak bencana Tsunami, 2004, mulai memperhatikan permasalahan Panglima Laot di Aceh, Lembaga diatas, disebut: Lembaga Hukum Adat Laut, yang berpusat di Banda Aceh, meskipun lembaga ini telah lama dihormati masyarakat tetapi baru diakui sejak tahun 1972 oleh nelayan dengan dikoordi­nasikan oleh Dinas Perikanan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Walaupun pada kenyataannya Daerah Istimewa Aceh ini menerapkan hukum adat mereka secara penuh setelah perjanjian Helsinki tahun 2005. Sebelumnya program-program pembangunan pesisir di Aceh dilakukan seragam, sama dengan program-program lain di bagian Indonesia lainnya. Dan betapa berbedanya nuansa pembangunan yang dilakukan pasca tsunami, dimana legitimasi adat dapat memperlancar proses-proses rekonsiliasi, baik rekonsiliasi konflik antara Republik Indonesia dengan separatisme, maupun konflik pada proyek pembangunan pasca tsunami yang menyebabkan sebagian besar pesisir Aceh membangun dari awal. Catatan dari momentum ini memperlihatkan bahwa hak-hak sipil, budaya, dan ekonomi jika diteguhkan akan membawa pada kesetimbangan, antara tradisi dan pembangunan fisik dan pertumbuhan ekonomi yang selama ini dijadikan kendaraan bagi modernisasi Indonesia.

Berkaca pada kasus ini, tradisi penentuan seorang Panglima Laot misalnya, dipilih oleh masyarakat nelayan yang diwakili oleh para pawang.  Di zaman dahulu jabatan Panglima Laot adalah turun temurun, yang bila keturunannya  tidak ada maka dicari keluarga terdekatnya. Namun saat ini semua orang boleh menjadi Panglima Laot asal memenuhi syarat tertentu, dan  pengangkatannya berdasarkan pemilihan secara musyawarah.[6]

Panglima Laot menguasai kawasan teluk, sehingga bisa jadi wilayah kerja mereka meliputi beberapa kecamatan (dalam sistem administrasi negara). Panglima Laot ialah orang yang mengkoordinasikan satu atau lebih daerah perikanan, dulu tugas mereka sebagai berikut:

1.    mengawasi dan memelihara pelaksanaan hukum adat laut

2.    mengatur tata cara penangkapan ikan

3.    menyelaesaikan berbagai pertikaian yang terjadi dalam hubungannya dengan penangkapan ikan di laut.

4.    menyelenggarakan upacara adat laut, kecelakaan di laut, gotong royong dan masalah-masalah sosial lainnya.

5.    menjaga/mengawasi ekosistem laut secara keseluruhan.

6.    merupakan badan penghubung antara nelayan dengan pemerin­tah dan Panglima Laot lainnya.

7.    menjadi penghubung antara kesatuan adat (bahkan dengan otoritas negara lain) jika ada pelanggaran batas penangkapan.

Terkait dengan tradisi usang, kiranya bisa dilihat apakah aturan main Panglima Laot ini dapat disebut usang. Permasalahan lingkungan yang muncul semisal perubahan ekosistem pesisir, akhirnya dapat menjadi agenda masyarakat (walaupun sebelumnya masyarakat tidak pernah mengenal istilah-istilah perubahan iklim), sehingga program penanaman bakau, konservasi terumbu karang, pembuatan area penangkapan dan perlindungan sesungguhnya sejalan dengan ruh tradisi dimana masyarakat tersebut bertempat. Masyarakat mencairkan tradisi mereka melihat kembali apakah dapat menyatu dengan ide-ide yang datang kemudian.

Kerusakan sumber-sumberdaya hayati dan non-hayati pada pesisir, pulau-pulau kecil, dan sekitarnya, sama kasusnya seperti oleh konsesi HPH, serta konsesi pertambangan  di Indonesia, sebab kerusakan bukanlah semata-mata oleh hanya faktor-faktor fisik dan non-fisik yang bekerja di tingkatan mikro lokal (perilaku sosial ekonomi) individual semata-mata, namun juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berada di level makro nasional.  Kebijakan pembangunan makro tersebut yang menyebabkan perubahan masif pada kerusakan sumberdaya alam di Indonesia. Anwar (2002)[7] menjelaskan keadaan yang sama, bahwa sentralisme politik-ekonomilah faktor pemicu kerusakan alam, kemiskinan, dan benih separatisme.

Penutup: Ode Bagi Laut

Di sini

Mengepung pulau-pulau.

Di sanalah laut.

Tapi apakah laut?

Dialah yang senantiasa mengalir.

Menyebut ya,

Lalu tidak,

Lalu tidak lagi,

Dan tidak,

Menyebut ya,

Dalam warna biru

dalam percik

amuk ombak,

lalu menyebut tidak,

dan sekali lagi tidak.

Ia yang tak bisa diam.

Ia yang gugup gagap

Namaku adalah laut/... (Ode Bagi Laut, Pablo Neruda dikutip dari Hasan Asphani)

 

Menjadi negara maritim yang kuat adalah menjadi diri sendiri. Kutipan di awal tulisan dari AB Lapian menunjuk pada sebuah usaha untuk menggali kembali  konsep diri (Self), jika dihubungkan dengan studi pos-kolonial maka konsep ini bisa diajak berjalan-jalan untuk memahami kegagalan membangun lewat setralisme politik dan ekonomi, dan membangun lewat pendekatan keamanan. Konsep diri sebagai berbangsa bisa dibedah lewat konsep differance-nya Derrida[8]. Jika perbedaan (difference) adalah membuat makna, persepsi dan kognisi dimungkinkan, maka differance adalah membuat perbedaan itu menjadi mungkin. Differance adalah sesuatu yang jauh-sebelum, sehingga tidak dapat dialami dan hadir, karena pengalaman dan kehadiran hadir dalam perbedaan. Jika perbedaan sudah hadir maka differance-pun hadir, differance menjadi penundaan makna. Yang Lain terkait dengan ‘penundaan’ to defer’, untuk ditunda, sementara, tidak termasuk dalam ‘ruang’ yang sama. Jika perbedaan itu nyata hadir maka yang Lain (Others) hadir, dan terus berubah, jika yang Diri (Self) juga berubah. Sehingga identitas Diri dan Liyan mutually exclusive.

Secara spasial pendekatan Derrida bisa ditempatkan dalam pembangunan wilayah di Indonesia, bahwa ada perbedaan dalam ruang ketika bicara Indonesia. Ada ruang desa/kota, laut/darat, pulau kecil dan pesisir/daratan  walaupun dikotomi semacam ini bukan suatu hal yang kaku, namun butuh pembedaan dalam melayani ruang-ruang tersebut. Pembedaan tersebut senyatanya mengikuti 1. kondisi sosiologis, 2. kondisi alam yang terberikan. Sehingga dibutuhkan bukan sekadar infrastruktur untuk mengekspolitasi alam demi kemajuan, namun juga pengetahuan, emansipasi masyarakat (hal ini ditempatkan di awal, emansipasi bukan tujuan, sehingga proses partisipasi yang dijalankan bukan pada tingkatan prosedural, namun untuk meningkatkan kesimbangan antara berbagai pihak yang ingin menikmati sumberdaya wilayah). 

Determinan yang terpenting adalah yang Lain. Kasus sentralisme pembangunan seperti di Aceh atau Papua (yang sering dijadikan isu separatis) sesungguhnya sama seperti kasus pembangunan masyarakat lain di Indonesia.  Dalam tataran visi dan strateginya lebih banyak mengalami distorsi filosofis, yang sudah diwacanakan banyak orang, merayakan perbedaan, Bhineka Tunggal Ika. Unsur ketunggalan merupakan unsur yang dijadikan terpenting. Padahal ketunggalan tersebut ‘mematikan’ perbedaan. Persatuan yang dimaknai penyeragaman-tunggal inilah yang akhirnya, menjerumuskan bangsa ini seperti yang disinyalir –meminjam - Giddens[9], sebagai ketidaksiapan dalam menghadapi risiko-risiko, ketidaksiapan tersebut terutama pada persoalan trust dimana masing-masing suku bangsa, yang komunal, ethno, seharusnya dipercaya untuk membangun kedaulatannya sendiri-dalam pengertian-harga diri sebagai identitas yang berbeda (termasuk dalam melakukan reproduksi dan melahirkan kembali strategi budaya sendiri, misalnya menjadi nelayan). Sebuah tradisi, misalnya di Jepang bukan hanya menjadi masa lalu, namun juga menjadi sesuatu yang berarti kini-disini. Nelayan bagi nelayan tempatan di Jepang adalah jalan menuju sejahtera, dan lembaga pendidikanpun melakukan inovasi pada teknologi penangkapan yang bisa membantu nelayan mengkhidmati jalan kesejahteraannya, inilah strategi budaya yang tidak menyeragamkan, sebagian besar bangsa Jepang bergerak di industri manufaktur, namun sektor pertanian, peternakan, dan kelautan tidak pernah absen untuk dimodernkan). 

Karena bagaimanapun berbangsa merujuk Anderson (1984)[10] adalah ‘mengimajinasikan’ kebersamaan, dan jika meminjam istilah Derrida di atas sebagai ‘menunda’ proses ‘kebersamaan berbangsa’ jika perbedaan telah hadir menurut proses differance ini maka kebersamaan niscaya hadir. Sehingga Ika ada karena Bhinneka, mutually exclusive, jika bhinneka dibunuh maka artinya bunuh diri. Meletakkan ketidakpercayaan sebagai refleksi dari menjauhi bahaya perpecahan sesungguhnya  adalah menolak yang Lain. Sehingga ketika pembangunan dilakukan ia menjadi suatu hal yang dianggap universal dalam konteks kebangsaan, dan menolak yang partikular-kepentingan suku bangsa-suku bangsa, masyarakat yang memiliki bio-region, kebutuhan politik, material, dan institusi yang berbeda, ini yang kemudian disebut sebagai scriptural development, dimana  pembangunan dengan tetek-bengek metafora yang canggih tidak dimengerti oleh masyarakat, kebutuhan dan keutuhan masyarakat sebagai suatu identitas tidak diakomodir, lepas dari teks, karena desain pembangunan tersebut bukan diciptakan untuk merayakan perbedaan.

Indonesia adalah mosaik perbedaan, berawal dari Nusantara, negeri di bawah dua angin, tempat rempah-rempah diperebutkan, terserak sumberdaya budaya yang beragam, swa-kelola. Identitas budaya bagi seluruh rakyat Indonesia perlu untuk merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Apter, David. E. 1987. Politik Modernisasi. Penerbit Gramedia.

[2] Fukuyama, Francis (editors). 2006. Nation-Building and the Failure of Institutional Memory: dalam Nation-building : beyond Afghanistan and Iraq. John Hopkins University Press.

[3] Philpott, Simon. 2000. Meruntuhkan Indonesia:  Politik Poskolonial dan Otoritarianisme  Penerbit LKiS.

[4] Carsten, Janet. Borders, Boundaries, Tradition And State On The Malaysian Periphery Dalam "Border Identities: Nation And State At International Frontiers": Edited By Thomas M. Wilson And Hastings Donnan, Published By The Press Syndicate Of The University Of Cambridge, 1998.

[5] Rendra. 1983. Mempertimbangkan tradisi. Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.

[6] Pawang ialah seorang yang memimpin sebuah perahu/boat yang mengerti segala tata cara penangkapan ikan di laut. Oleh karena itu para pawanglah yang menentukan siapa menjadi Panglima Laot di sesuatu daerah.

[7] Anwar, Affendi. 2002. Dalam  Seminar Peluang Investasi Pulau-pulau Kecil di Indonesia. Direktorat Jendral  Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Hotel Indonesia, 10 Oktober, 2002. Diajdikan rujukan bahan kuliah pada Sekolah Pasca Sarjana Perencanaan Wilayah dan Perdesaan-IPB Bogor. Tidak dipublikasikan.

 

[8] Derrida, Jaques. 1982. Margin of Philosophy. Chicago University Press.

 

[9] Giddens, Anthony. 1990. The Consequences of Modernity. Stanford University Press.

 

[10] Anderson, Bennedict. 2001.  Imagined Community. Pustaka Pelajar.

 

 



[i] Widhyanto Muttaqien Ahmad, Penulis adalah pedagang buku, peneliti lepas, tinggal di Bogor.

resep #27 Kopi Peristiwa

Rating:★★★★
Category:Other
di kedai ada vietkong yang bertugas menyaring kopi. menemani anakmuda yang rajin berdiskusi. sepotong roti dibagi duabelas kemudian diiris tujuh hari. itu untuk keperluan revolusi hari ini. bukan, anarkhi kata sebagian lagi sambil tertawa

sepotong roti berselai teori dimasak setengah matang. dengan mayo dari Paris yang dibeli di supermarket Cina. semuanya bermerek hibrida asalusulnya. sepotong roti untuk keperluan revolusi disajikan setiap malam. menunggu kegentingan yang bukan dari kantong

namun malammalam tak kunjung hamil. anakanak muda sekarang mungkin lebih memilih masturbasi. dengan malam yang begitu genit dan menggairahkan. mereka tak kunjung menggenapkannya. memperkosa malam butuh dana

sepotong roti berselai teori mengajarkan mereka mimpi. yang basah di popok yang ditempeli A coret sebagai sebuah fungsi. dan meluncurlah serapah tentang nilai tukar dan pelembagaan. vietkong yang menyaring kopi empat jam menunggu. bertambahnya cangkir berikut kesimpulannya

'permisi, terimaksih untuk malam ini dan secangkir kopi
rotinya enak sekali, apakah harganya bisa diturunkan'
A coret dan A keong sekarang tidak bisa dibedakan
keduanya gagal mencipta luka--adakah tempat yang begitu setia, sekaligus steril

di kedai malam berselimut bunyibunyian. bijibiji kopi menantang daun telinga untuk sekadar membaca 'asal dengan pikiran terbuka'. disini masih ada harapan untuk menelan semua kenyataan. bahasa kalian, bahasa malumalu. secangkir kopi tidak pernah cukup membangunkanmu

aku pesan secangkir kenyataan yang paling pahit. kuregang bersama nyawa. sampai teguk penghabisan peritiwa seperti ini tidak perlu kuberi nama

Wednesday, 26 October 2011

Art of Possibilities Satu kata yang mirip dengan kemungkinan adalah kesempatan. Kemungkinan (possibilities) memiliki bentang waktu yang lebih panjang dibandingkan kesempatan (chance, opportunity). Kesempatan adalah 'sesuatu' yang memiliki momentum, memiliki daya dorong yang kuat. Ledakan energi, seperti reaksi berantai. Saya dan Karpov (yang bukan grandmaster) memiliki kesempatan yang sama dalam memenangkan satu set permainan catur. Namun dalam satu kali permainan, kami memiliki belasan (cukup di bawah 20 langkah) kesempatan untuk menyerang dan melakukan skak mat. Dalam permainan catur amatiran seperti ini, seringkali bukan kita yang menyusun strategi tersebut, namun lawan kita yang salah langkah, dan majulah kuda hitam. Ketika saya mencoba melawan Anatoly Karpov ( yang grandmaster) saya baru bisa membicarakan kemungkinan (sekalipun tetap ada kesempatan dalam setiap permainan). Kemungkinan tersebut dapat terjadi bila ada perhitungan dan sadar diri. Menghitung sumberdaya, dalam bahasa strategi menghitung amunisi dan bagaimana mendapatkan asupan amunisi. Bicara kemungkinan adalah bicara energi potensial. Dibutuhkan kalkulasi, setidaknya mengukur efek berantai pada tubuh, hati, dan pikiran kita untuk menghadapi ketidakpastian yang ingin dipastikan. Tsun Tzu mengajarkan cara berpikir di luar kotak, ketika berperang. Bahwa jumlah pasukan musuh dapat dikalahkan dengan 'perang urat syaraf'. Kalkulasi matematika dalam Tsun Tzu berguna, namun praktek untuk berpikir ke luar dari kalkulasi matematika (teori kemungkinan) penting untuk dilatih. Dalam banyak hal kita sering menghindar dari apa yang disebut kemungkinan. Bahwa semuanya baik-baik saja, dengan atau tanpa kita melakukan sesuatu. Jika kita tidak meluaskan kemungkinan, apakah ada sepikul, sekwintal, kesempatan yang bisa kita nikmati. Sesuatu yang tidak kita rencanakan akan terjadi dalam perjalanan menyusur kemungkinan. Semisal saja, ketika berjalan dari Ranu Pani ke Ranu Gembolo, kita mungkin berkalkulasi tentang cuaca, waktu, bekal, beban, dan kemungkinan mendapatkan tempat yang paling baik untuk bermalam. Dalam perjalanan kita akan berkesempatan menikmati semua kalkulasi tersebut dengan ketidakterhinggaan kebetulan-kebetulan. Sebut saja, bertemu kawan lama, berlama-lama di terowongan semak yang harum-daun dan bunga liar, menemukan sesuatu yang tidak kita kalkulasikan sebelumnya dan kita sesaat akan bersyukur dengan keputusan kita. Dan dalam permainan catur dengan granmaster Karpov kita akan sangat bergembira katika menemukan pola, menyiduk kecerdasan mereka, dan memanjangkan pengalaman untuk dijadikan amunisi pada pertandingan berikutnya dengan Kasparov (yang bukan granmaster dan yang granmaster). Kita memiliki pengetahuan tentang apa yang bisa kita lakukan selanjutnya. Kita bisa memiliki target yang lebih masuk akal, dan merencanakan sesuatu lebih baik, membuat peta jalan, dan (bahkan) kemungkinan-kemungkinan untuk mengalami seluruh 'kebetulan-kebetulan', kita mulai dapat mengkalkulasi sesuatu dengan pengalaman, bukan dengan asumsi. Dan kita berdialektika dengan kemungkinan tersebut, karena kita memiliki kesempatan yang sangat pendek semisal, katakanlah apakah ajal sudah dekat pada kita? Lupakanlah kesempatan ketika kita menyempitkan cakrawala kemungkinan. (widhy sinau)

SENIN,10 OKTOBER 2011 HAK MASYARAKAT ATAS RUANG (ESTY).mp3

http://www.mediafire.com/?n88p4gu6v33d549
pembicaraan tentang tata ruang, hak-hak masyarakat akan ruang, Senin 10 Oktober 2011 @RRI Pro 1 FM Malang

Sunday, 24 July 2011

Art Talks Vol 2 « PLATFORM3-Bandung

http://infoplatform3.wordpress.com/photos/art-talks-vol-2/

Pendaftaran Workshop Komik

Start:     Jul 27, '11 10:00a
End:     Aug 5, '11 11:00p
Akademi Sinau dan Murah Sandang Pangan mengadakan workshop Komik: Bertutur Lewat Komik. Narasumber: @Aji Prasetyo Penulis Buku Hidup Itu Indah. >>> Pendaftaran <<< 27 Juli s/d 5 Agustus. Angkatan Pertama dimulai 6 Juli 2011. Pendaftaran di Kedai Sinau: Jl. Simpang Wilis, Ruko B6, Malang. Per angkatan 15 orang.

Tuesday, 7 June 2011

sinau-bookshop and coffeeshop


Vian
Putri
Afid

--bergerak! siklus...baru usang mapan alternatif partikular ortodok usang mapan baru

Friday, 3 June 2011

kronik aji

Dalam sebuah bagian di bukunya Aji Prasetyo menggariskan bahwa hidupnya tidaklah untuk
perang, karena jika demikian maka ia lebih memilih komik model manga yang pasti laku di
pasaran, dan pasar hanya menciptakan perang (Melawan Manga, aji prasetyo, 2009)

Silahkan unduh

restoran indonesia

Syahdan, Thucydides3 ketika ia gagal
mempertahankan Amphipolis melawan
tentara Spartan menjadi orang yang eksil,
buangan. Dan mengatakan bahwa di
pengasingan ia menulis tentang perang, “by
reason of my exile, I had leisure to observe
affairs more closely."

Thucydides juga ingin mengatakan bahwa
ia merasakan kenyamanan dan merasa
intim dengan dirinya sendiri dibandingkan
ketika ia berada di rumah dengan berbagai
hal‐hal yang bendawi. Ternyata jarak
'blessing in disguise' menyebabkan
kewarasan dalam situasi perang yang sebelumnya dihadapi Thucydides. Ia
menjadi leluasa untuk secara jernih dan
melihat segala sesuatu lebih intim.

Film ini menggambarkan bagaimana orangorang
klayaban (versi pewawancara dalam
Nilm: penamaan orang klayaban diberikan
Gus Dur, antara lain kepada J.J. Kusni dan
kawan‐kawan, orang yang terhalang
pulang), yang tidak bisa pulang karena
pecahnya tragedi G30S. Mereka
kebanyakan sedang dikirim (tugas) belajar
di luar negeri. Dan dengan peristiwa itu
sampai paspor dan kewarganegaraan
mereka sebagai Warga Negara Indonesia
dicabut.

Unduh pengantar film disini

yang bertanah air tak bertanah

Melihat sejarah konflik sebagai sejarah
kontestasi ide, dimana akar kontestasi
tersebut ada sebelum Indonesia Raya
dikumandangkan. Bahkan seniman sekelas
W.R Soepratman‐pun mencukil kata‐kata
dalam buku Aksi Massa Tan Malaka pada
baris lagunya,"Indonesia Tanah Airku,
Tanah Tumpah Darahku...". Sejarah pada
masa sebelum kemerdekaan adalah sejarah
perlawanan terhadap kolonialisme dan
imperialisme.

Silahkan download disini

Friday, 20 May 2011

Resep #26 Kopi pertaruhan

Rating:★★★★
Category:Other
Ini rak-rak bukan untuk dikosongkan, isi dengan kamus hidup

Ini gelas bukan untuk anggur yang bikin mabuk, tapi kopi kampung halaman

Ini kedai bukan untuk diperdebatkan, tapi disandingkan malam dan siang

Ini kepala penuh dengan niat yang dilugaskan, walau tangan sulit memilih sebiji rejeki dengan trengginas

Gelas-gelas diisi gerak secepat angin dan impian sekuat ingin

Yang tandas bukanlah kegilaan yang mengkhawatirkan, karena tidak mensisakan sesuatu pengalaman

Segelas kopi dipilih karena ia sesuatu yang segar-dirawat, ia abadi-seperti ingatan bayi -akan payudara yang sehat- lamunan suami yang barusan bebas tugas

Segelas kopi adalah buku terbuka layaknya cerita Multatuli, segelas kopi adalah politik ekonomi

Sekali lagi, inilah segelas obat demam, bagi yang sulit memahami malam

Mungkin terasa menggelisahkan, tapi malam atau siang juga bukan gelas yang harus dikosongkan, keduanya penuh impian

Dari Hadrami ke Sipirok, orang menanam, orang di kedai, disampingnya pena, tinta, gulungan papirus dan bambu

Orkes gambus atau blues gondang sembilan, itu bunyi dari hati, segelas kopi dan sebaris buku dilafalkan fasih

Impian kedai seperti berjalan diantara sepadang ilalang dan edelweiss, mata lelah beradu dengan segelas kopi

Impian kedai seperti berjalan diantara berbaris buku yang terus kontraksi, seperti bayi yang sedang ditulis takdirnya

Impian kedai adalah membawa segelas rock 'n roll ke dalam bab-bab buku, karena hidup seperti gempa lantai dansa

Impian kedai adalah menggenapi akademi dengan tradisi, menuangnya di lidah yang tidak puas dengan rasa manis

Impian kedai adalah mengganti mabuk dengan mabuk, bubuk dengan biji, menuliskan jelaga sebagai telaga

Sebatang pohon kopi di halaman tabula rasa, digambar anak manis saja, sebiji buku bertahan di ayunan ingatan

Ia yang hitam sebagai pembuka, ia yang hitam bisa juga sebagai penutup

Anak-anak mengecap rasa, hitam/putihnya bukan masalah, hanya saja jangan tinggalkan noda di kepala mereka

Segelas kopi dengan harum mengantarkan percakapan dengan ledakan gairah akan penemuan

Segelas ide yang teraduk dimulai dari pikatan yang kental dari akhir yang diangankan

Sehalaman ditanam berbatang-batang, seperti keyakinan dalam-memiliki pintu yang berisi suratan

Yang datang ke kedai adalah pencicip, penulis kisah tentang hidup, yang demikian adalah orang yang tepat

Saturday, 14 May 2011

Resep #25 Kopi Waktu

Rating:★★★
Category:Other
yang diangankan waktu sesuatu yang tertentu, misalnya awan yang bertemu angin, warna kuning pada daun, bau bangkai dan lalat hijau, kelaparan dan orang-orang yang semakin beringas, seseorang yang menunggu namanya pada sebuah nisan atau sekadar batu. yang diangankan waktu sesuatu yang tertentu, mungkin hanya sebatas garis atau seberkas cahaya. dalam waktu ada kematian dan kemiskinan yang diberi warna dan diwariskan. kepala batu memahatkan kebodohan pada waktu. diangankannya waktu tertentu sebagai sesuatu. yang tetap dan mengendap.

Wednesday, 11 May 2011

seseorang bertanya tentang apa itu revolusi, kujawab sederhana, pindah sisi. ia tidak puas dengan jawaban yang demikian, kuberikan alternatifnya, seperti demikian---fuck me hard---it's a revolution...ah ah ah---a kind of revolution---a short of revolution---an essential---but don't say more, just fuck me hard...whoa, you know exactly how it is gonna be...yang demikian, revolusi: puncak gairah, (pesan: jangan memulai jika tanpa tenaga, jangan percaya obat kuat atau dukun)

Resep #24 Kopi Ukik

Rating:★★★
Category:Other
melalui lagunya ia menyandarkan visinya: negaranya Alengka, pahlawannya Kumbakarna. Hidup menunaikan kewajiban, bukan. Diaduknya yang tradisi dengan distorsi, seperti hidup ujarnya-modernitas dalam sepotong lagu atau sebiji kopi-meninggalkan ampas.Sejarah kita, lanjutnya lagi dibuat seperti kopi instan, tanpa ampas-penuh pengawet. Jejaknya sering terlihat cemar dengan merek dan bungkusan. Hidup yang terdistorsi seperti kisah pahlawan, Kumbakarna, melakoninya lewat ikhtisar Saraswati. Hidup yang seperti muson, bermusim. Dan para pahlawan tidak pernah membela seseorang, kecuali tanah airnya. Tanah dan air yang menghidupinya. Dan kematian yang datang mestilah disambut-karena ada anugerah, pengampunan. Jika hidup penuh distorsi, kematian menjadi begitu ringkas dengan kemewahan teremban: penyucian.

Thursday, 14 April 2011

Pangkal

Doctrines must take their beginning from

that of the matters of which they treat

Vico, The New Science

 

Apakah awal atau permulaan itu? Apa yang harus dilakukan untuk memulai? Adakah hal khusus tentang awal sebagai suatu kegiatan atau sebagai momentum atau sebagai sebuah rencana. Apakah orang memulai ketika ia merasa senang. Adakah satu sikap atau pikiran yang diperlukan untuk memulai?

 

Secara historis apakah ada saat yang paling tepat untuk memulai sebuah pekerjaan?

Dalam karya sastra, seberapa pentingkah awal? Apakah pertanyaan tentang awal ini bernilai dan layak untuk dipertanyakan? Dan jika demikian, bisakah pertanyaan tersebut dijawab secara konkret, dimengerti, dan informatif?

 

Buku ini berbicara tentang awal, sebuah pangkal. Begitu pertanyaan tersebut ditanyakan maka proses selanjutnya adalah  melonggarkan batas-batas, merasakan kenyamanan, lepas dari kekhawatiran. Sebaliknya,  hampir mustahil untuk merumuskan pertanyaan  yang kompleks, maka buku ini  berkonsentrasi pada pertanyaan tentang awal,  baik sebagai  sebuah  kata maupun sebagai sesuatu yang dipikirkan di kepala orang-orang. Dua pertanyaan ini seringkali datang bersamaan dan saling terhubung. Terlebih jika 'bahasa' digunakan, maksudnya ada kosa kata tertentu yang dipekerjakan-seperti permulaan dan memulai,  asal-usul dan keaslian, pelantikan, revolusi, kewenangan, titik keberangkatan, dan seterusnya.

 

Saat permulaan dijelaskan ataupun ditunjuk kehadirannya. Demikian pula, ketika seseorang memulai menulis, ada sekumpulan  keadaan yang mencirikan sebuah tahapan inisiasi.  Dalam bahasa, menulis atau berpikir tentang awal mula terhubung dengan menulis atau berpikir sebuah permulaan. Bicara permulaan adalah konsekuensi dari, baik aktivitas kreatif maupun kritik. Dan untuk memulainya, jika seseorang menggunakan bahasa pada disiplin ilmu tertentu,  harus dapat dibedakan secara ortodoks antara menulis kritis dengan menulis kreatif. Keduanya perlu diurai terlebih dahulu.

 

Awal tidak hanya jenis tindakan, tetapi juga merupakan kerangka pikir. Sebuah aktivitas, sikap, kesadaran. Hal ini sangat pragmatis, seperti halnya ketika kita membaca teks yang sulit dan bertanya-tanya bagian mana yang ingin dipahami atau dimana penulis memulai dan mengapa. Dan ini--secara teoritik-- kita bertanya apakah ada kerangka epistemologis yang diterapkan atau proses unik yang menyertainya. Untuk beberapa penulis memulai menulis adalah sebuah embarkasi, memutuskan untuk berangkat melalui sesuatu yang didesain untuk menjadi titik keberangkatan. Walaupun ini seringkali  menekan, menimbulkan stres, namun awal selalu menjadi langkah pertama dari (kecuali untuk beberapa kasus) sesuatu yang muncul kemudian. Jadi, sebuah awal memainkan peran--nyaris--sepenuhnya harus jelas dipahami. Tentu saja ada beberapa hal yang secara formal penting; pertengahan dan akhir, kesinambungan, dan kebangunan.  Dan yang paling rumit adalah logika di semua hal tersebut. Inilah awal.

 

Jika kita mengasumsikan kehadiran awal disana-sini: pada seniman,  kritikus reflektif, filsuf, politikus, sejarawan, dan psikoanalitik bahkan penyidik, sebuah studi awal dapat dengan mudah   menjadi sebuah katalog kasus tak terbatas. Tugas saya dalam buku ini adalah secara  tepat menghindari kompilasi seperti katalog (bahkan sementara menyadari kemungkinan-nya) dan untuk mengajukan alternatif  pertanyaan mengenai  awal yang menarik, cukup rinci, praktis, dan teoritis.  Saya tidak hanya mencoba untuk menunjukkan seperti apa bahasa yang digunakan dan menunjukkan pemikiran  macam apa yang ikut ambil bagian ketika seseorang menulis tentang awal. Saya juga berharap dapat menunjukkan bagaimana sebuah bentuk seperti novel dan bagaimana konsep semacam teks dibentuk dan dihadirkan ke dunia. Lebih jauh, perubahan-perubahan yang terjadi dari satu periode budaya ke generasi berikutnya dapat dipelajari sebagai pergeseran dalam gagasan tentang apa itu awal atau bagaimana seharusnya. Ketika seseorang mempraktekkan kritik hari ini, misalnya dimulai dengan kesadaran mendalam tentang cara memulai menuliskan sebuah kritik, lewat perangkat operasionalnya; kita sekarang cenderung berpikir bahwa kehidupan seorang penulis memiliki hak istimewa yang mutlak untuk dipahami, dalam rangka memahami karyanya. Mengapa hal ini terjadi, dan apa yang harus  kita mulai sekarang ketika kita mempelajari karya seseorang? Apa persyaratan penting dan aspek utama dari pengetahuan kritik dewasa ini.

 

Setiap pekerjaan yang berusaha menghadapi pertanyaan-pertanyaan berisiko seperti ini, dipersukar oleh bagaimana mengawalinya dan bagaimana dengan kontinuitasnya, pada pilihan subjek dan kosa kata. Potensi kesukaran dengan buku tertentu adalah sesuatu yang saya tidak dapat remehkan. Istilah kritis bagi saya (transitif dan intransitif, permulaan, otoritas, niat, metode, awal-yang dibedakan-dari asal-teks, keaslian, dan struktur) dibangun di atas hubungan ide sebagai berikut; beralas pada bukti yang cukup dan menempatkannya di tempat yang cukup luas untuk ditinjau dari berbagai macam kepentingan.

 

Buku ini terdiri dari  enam bab atau episode, semuanya secara internal saling memiliki sebuah koherensi, terhubung dan bergantung dengan 'awal'.Masing-masing bab mencakup pola historis (contohnya, perkembangan novel) dan setiap bab tidak menyimpang jauh dari subyek inti buku yaitu  awal. Meskipun anehnya saya menemukan bahwa mungkin dalam satu bab  dengan bab lainnya memiliki paradok. Namun secara keseluruhan, bab satu dengan bab lainnya bertugas menjelaskan tentang awal, walaupun tidak dengan cara yang linear.  Keputusan saya untuk mengutip Vico pada epigraf dan memasukkannya pada kesimpulan membuat saya (dengan metafora lingkaran), berani menunjuk bahwa awal adalah yang pertama dan penting namun tidak selalu nyata. Dan awal adalah aktivitas yang selalu berimplikasi untuk diulang dan  datang kembali, dibandingkan berjalan linear, menjauh dari awal--menuju sebuah tujuan. Dan awal dan mengawali kembali adalah sejarah, dimana titik asal adalah sesuatu yang abadi. Dan mengawali bukanlah sekadar mencipta, ia  memiliki cara sendiri, karena mengawali memiliki niat. Singkatnya, awal adalah membuat dan memproduksi perbedaan. Disini yang dimaksudkan dengan pembentukkan subj ek perbedaan adalah hasil kombinasi dari sesuatu yang sudah akrab sebelumnya dan melahirkan kebaruan dalam kerja bahasa.

 

Setiap bab dalam buku ini dibangun dengan saling-memengaruhi antara yang baru dan yang sudah tersedia (ex nihilo nihil fit), karena tanpa ini sebuah awal tidak dapat benar-benar ada atau terjadi. Tema besar yang ada dalam buku ini adalah:  komunitas bahasa dan pembentukkan sejarah dari sebuah 'permulaan', tanpa mengesampingkan awal lainnya. Untuk mengatakan ini pada awalan buku, semoga selanjutnya  hal ini dapat membangun sesuatu yang berbeda dibandingkan keamanan konservatif bahasa tanpa sejarah dan sebaliknya (bukan sejarah yang linear-penterjemah). Dengan demikian sebuah awal adalah mengkonfirmasi, dibandingkan mencegah, menegaskan dan memeriksa bukti dari setidaknya beberapa temuan, dari sesuatu yang sudah dimulai.

 

 

 

Translasi oleh Widhy Sinau dari Bagian Pengantar:

 

Said, Edward W. 1975. Beginnings: intention and method. Basic Book Publisher.

 

 

 

Saturday, 5 March 2011

Senandika Sinculasis

The echo of a word, a thud, a rustle that has receded into the darkness of the past is the “shock with which a moment enters our consciousness as already lived.” (Walter Benjamin)[i]

Melawan Diri Sendiri

Jika membicarakan sisi isi maka informasi yang diberikan novel ini melimpah, membaca novel Paox kita diberikan keyakinan bahwa ada sejenis 'kegagalan tanpa batas' sehingga asumsi-asumsi 'negara gagal'[ii] yang mestinya bisa disematkan pada negeri tempat penulis tinggal, seketika sirna. Kita dihadapkan dengan kenyataan lain yang diberikan novel: layaknya kesabaran yang tiada habis, maka kegagalan negarapun tanpa batas, teka-teki yang dibuat tidak untuk dipecahkan', maka 'kematian' dipilih menjadi jalan keluar.[iii]

1.

Kaum kaya dan para pemegang lisensi tambang dan perkebunan tidak bisa bekerja sendirian. Selalu ada perangkat hukum, birokrasi, dan pekerja kerah putih bergaji tinggi. Inilah gambaran sebuah kegagalan yang disebut Stiglizt (dalam Making Globalization Works, 2006) sebagaiparadox of plenty: negara dengan kekayaan melimpah menghasilkan kemiskinan yang memerikan. Di halaman 40 ada beberapa baris senandika (soliloquy) oleh tokoh utamanya, Nuruda Fahbrani, "bagaimana provinsi sekaya ini bisa terpuruk menjadi daerah termiskin di Indonesia... sementara Indonesia yang kaya-raya sumberdaya alamnya ini menjadi salah satu negara termiskin di dunia...".

Novel ini antara lain menggambarkan narasi besar para pemikir (sebagai lawan dari percakapan biasa/narasi personal),  sehingga tidak secara intens menggali akar korupsi, kontradiksinya dalam tubuh orang-orang yang mengalami: sebagai korban dan pelaku. Penulis berusaha memperlihatkan vulgarnya  neo-liberalisme (yang memang secara pornografis-tanpa malu dipraktekkan di negeri si penulis) , lewat imperialisme baru: yaitu perdagangan dan lisensi pengusahaan hutan, lahan pertanian, dan tambang. Pengkaplingan bumi pertiwi untuk kuasa modal yang secara lugas terjadi, dituturkan dengan gaya senandika penulis lewat tokoh utamanya, hampir di setiap bab (misalnya di halaman 171-172).

Novel ini juga  mengeksplorasi  ketidakadilan, namun hal-hal yang terkait  praktek hukum yang bekerja memperdaya rakyat, menarasikan bagaimana secara trengginas mafia hukum dapat memfasilitasi kepentingan pemodal, mafia yang ada di legislatif, judikatif, dan eksekutif kita tidak detil tergali dari dramatik tokohnya, lewat dialog, kecuali lewat senandika Nuruda yang menceritakannya dengan berbagai kolase, tentang ingatan dan pengalaman yang menubuh dalam dirinya. Tentang  gelapnya ketidakadilan. Kegeraman pada rezim yang sewenang-wenang. Tentang kemuraman penggundulan hutan, penambangan, dan eksploitasi modal asing. Senandikanya mungkin terasa melantur terlalu jauh (Paox sendiri merasa gaya penulisannya agak bertele-tele, lihat hal. 319),  namun lanturan ini penting untuk memahami motif dan karakter sang tokoh.

Narasi dan informasi yang diberikan dalam novel ini mungkin bagi sebagian aktivis lingkungan dan  terbukanya akses informasi,  membuat keintiman tersendiri, Paox berhasil mengajak pembaca merasa 'mengalami'  (deja vu), apalagi penulis mengatakan dalam testimoni proses kreatifnya menyebutkan bahwa sebagian isi adalah sebuah penelitian ilmiah. Namun novel fiksi memerlukan kendaraan lebih dari sekadar informasi (baik faktual/aktual), misalnya ketegangan, eskalasi konflik, ketakterdugaan, dan kedalaman.

2.

Pembacaan saya, sisi lain dari watak heroine Nuruda adalah tokoh figuratif Tegar, lewatnya dihadirkan abnormalitas, jika bukan dunia tuna-daya, Tegar adalah kegelisahan itu sendiri. Tegar berkebalikan dengan Nuruda yang berpendidikan, pluralis, mampu bertahan dan melawan, dengan budaya urban (dan sederet karakter lainnya yang berkorespondensi dengan penjelasan karakter Nuruda dan Vandessa  pada  Bab Bohemian Project- dalam bab ini nuansa kelas bourgeois bohemian -baca: Bobo-lebih mendominasi dibandingkan terma bohemian itu sendiri, yang melanglang dan keluyuran, berpindah tempat, dan menjadikan setiap ruang sebagai tempat beraktivitas).

Tegar, si bongkok digambarkan bodoh, juling, dengan tubuh yang a-simetris, anak jadah yang dieksklusi dari  masyarakat karena ketidaknormalannya. Ia digambarkan sebagai lalat yang berada di pasar. Perjalanan Tegar melintasi kota, digunakan penulis untuk menggambarkan betapa idiotnya pemimpin, betapa tidak berdayanya masyarakat, Tegar yang begitu idiot seperti yang digambarkan penulis, dengan matanya, hidungnya, mulutnya, seluruh inderanya bahkan emosinya digunakan penulis sebagai yang maha tahu, namun lewat Tegar ini, ketaktertundukkan terhadap struktur diharapkan muncul, walau dengan jiwa neurosis.

Sisi lain Nuruda adalah jiwa neurosis yang emoh muncul pada tokoh utama yang ingin tampil 'sempurna'. Justru keganjilan Tegarlah yang membuat Bab Lalat Yang Menari-nari ini tidak terasa ganjil hadir di buku ini. Teriakan anak-anak, " hii ada monster", juga hadir pada diri Nuruda yang lain. Nuruda yang ingin mengabaikan polisi, meledek satpol PP, yang ingin merobek poster kampanye, yang ingin menyumpahi orang yang tidak disukainya, yang ingin melawan aturan yang tidak emansipatif, tapi Nuruda tetap ingin waras[iv] seperti yang diinginkan oleh dirinya atas desakan di luar dirinya.

Menelisik Tokoh

3.

Penulis menggunakan teknik penceritaan berbagai tokoh untuk menyampaikan berbagai pandangan dunianya, dengan kehadiran tokoh-tokoh dengan an all-knowing presence,sehingga penulis secara bebas mendramatisasi, berspekulasi, menghakimi, berfilosofi, dan membuat diskursus di antara mereka. 

Perbincangan Nuruda dengan tokoh lainnya dimaksudkan penulis sebagai diskursus dan tidak perlu selesai dalam novel itu sendiri. Pembaca diberikan berbagai sudut pandang sehingga si penulis dengan teknik ini (teknik arus kesadaran), terasa 'gatal' untuk terus berkomentar terhadap setting, karakter tokoh, bahkan perbincangan yang tiba-tiba berubah menjadi pertanyaan langsung kepada pembaca.

4.

Dari beberapa tokoh, yang 'berhasil dijadikan stereotipe' adalah (kelompok) pemabuk Taslim Jabir dan pengungsi-manusia perahu dari Irak dan Afganistan. Taslim Jabir, terutama, kehilangan 'kualitas hibridanya', bukan cuma ia Arab sebagai etnis tapi juga sebagai bagian dari Indonesia, karena bertahun tinggal dan berinteraksi dengan orang Indonesia di Lombok. Namun, teknik penceritaan yang menjurus pada stereotiping justru membuat (kelompok/jamaah-sebutan untuk keturunan Arab) Taslim Jabir, menjadi jelas motifnya, segala tindakannya dapat ditelusuri jejak dan akibatnya. 

Beberapa tokoh dalam bacaan saya yang termasuk dalam kategori marjinal-kurang beruntung, seperti Surti dan Lumitha memiliki  kesempatan untuk ditelanjangi oleh penulis, motif bertahan hidupnya. Novel ini hidup karena peran marjinal dapat dikenali oleh penulis, karena mereka langsung berkorespondensi dengan tesis besar penulis mengenai keserakahan, pertahanan dan perlawanan, dan kemenangan[v].

Tokoh-tokoh perempuan, disengaja atau tidak menjadi bagian yang paling sanggup bertahan. Bahkan dengan gambaran ketidaksempurnaan mereka, baik yang terdidik, Vandessa maupun yang digambarkan sebagai tidak terdidik seperti Surti. Vandessa menjadi tidak sempurna karena ingin membebaskan tubuhnya dari jerat partiarki, ia bukan hanya digambarkan sebagai liberal dalam pikiran, namun juga liberal dalam tindakan--namun kacamata liberal ini adalah kacamata budaya tempat penulis berasal, bukan dari kacamata tempat Vandessa dibesarkan, kota kecil Nice, di Prancis. Sedangkan Surti menjadi tidak sempurna karena ia terpaksa memulai melacur, juga karena jerat patriarki, laki-laki yang ditakdirkan mendominasi hidup perempuan.

Namun kelindan batas budaya (atau hibriditas budaya) dalam diri tokoh inilah yang menurut saya hilang dalam gelombang informasi narasi besar. Sehingga hampir semua tokoh dalam novel ini sebenarnya dapat ditemui di semua tempat, dimana negara penulis ini berasal, Indonesia. Budaya Sasak, Lombok, Sumbawa, Arab, China, Bajo, Bugis, dan lain-lain yang hidup disetting novel ini, seharusnya bisa menjadi solusi konflik batin diantara para tokohnya, lokalitas ini yang tidak terlihat[vi]. 

Desember Tergesa

5.

Novel ini memiliki potensi sebagai novel etnografis, nyaris, dimana pilihan identitas tokoh utama yang berlapis, beradu dengan tokoh sertaan yang 'seharusnya' juga kental dengan lokalitasnya.

Sebuah karya yang dapat dikategorikan sebagai etnografis bagi saya bukan cuma diniatkan, tetapi penggambaran yang detil terhadap peristiwa atau kondisi mental sebuah masyarakat yang dapat menggambarkan bagaimana masyarakat tersebut hidup, mempertahankan tradisi, mengakumulasikan pengetahuan, bersiasat dengan perubahan, menjadi sangat menarik. Narasi tentang kekalahan/kemenangan sesungguhnya dapat dijelaskan lewat sensasi, afeksi, pergumulan pikiran yang menyangkut hal dianggap remeh, seperti menenggak tuak, air brem, kawin lari, dan sebagainya, seharusnya dapat digali lebih banyak dan dalam, tentunya dari perspektif budaya yang bersangkutan, bukan dari kacamata pengarang sebagai pengamat, hal ini yang saya maksud dengan lokalitas.

Penghargaan terhadap kebudayaan, pergulatan ide dengan waktu, jika itu diwakilkan oleh wajah kota, maka Ampenan sesungguhnya dapat dijadikan ruang yang sangat luas untuk dilihat sebagai dunia sesungguhnya dari kehadiran tokoh-tokoh yang berdiam lama disana[vii]. Perubahan karakter kota, karakter orang-orang yang tinggal di dalamnya, sekalipun cuma dongeng dari sudut-sudut remang warung kopi, pelabuhan, kamar kost, tempat tidur, lantai diskotik, atau kerumunan anak muda tak sayang nyawa  dapat lebih bertenaga jika tidak tergesa dijejali oleh komentar penulis atas fakta dalam fiksinya[viii] (rasanya pembaca seperti diajak masuk kamar pas tanpa sempat mematut diri dalam cermin).

6.

Radhar Panca Dahana (dalam Dusta Dalam Sastra, penerbit  Indonesiatera2001) melihat proses banalitas sastra terjadi ketika sastra tidak lagi sempat melahirkan kedalaman, cuma klangenan pada hal-hal yang bersifat ideologis, namun lupa memberikan ruang yang cukup pada pembaca dalam upaya konfirmasi atas melimpahnya informasi, kejadian ini tak ubahnya seperti membaca koran atau melihat tontonan televisi. 

Bagi saya, sebuah karya yang baik adalah karya yang dapat dirujuk kemudian, sebagai sebuah kekhasan metodologis atau dapat direproduksi kembali sebagai sebuah wacana dan perbincangan. Lepas dari tanggapan pembaca atas bacaan, teks selalu menyediakan kesempatan bagi pembaca untuk melengkapinya.  

Tabik,

widhy | sinau

 

 

Catatan



[i]  Dikutip dari Krapp. Peter, Deja Vu: An Aberration of Cultural Memory, University of Minnesota Press, 2004.

[ii] Dalam buku Lester R. Brown. Plan B.3: Mobilizing for Save Civilization. Earthscan. 2008. Indonesia dihadapkan dengan kategori yang dibuat oleh Brown mengenai negara gagal, yaitu: lemahnya pemerintah (weak state) dalam mengagendakan perencanaan masa depan seperti (1) menyeimbangkan iklim, (2) menyeimbangkan populasi, (3) menurunkan angka kemiskinan, dan (4) restorasi ekosistem bumi. Lepas dari rapor sukses pemerintah yang dirilis oleh BPS tahun 2010, opini kedua dari kaum environmentalist memperlihatkan bahwa, akar kegagalan adalah meningkatnya jumlah penduduk miskin (riil) kemiskinan (bukan angka  kemiskinan) dan kemampuan daya beli masyarakat yang terus menurun (dilihat dari  nilai tukar pendapatan masyarakat untuk membeli barang/jasa).

[iii] Kematian dalam novel bisa jadi bersifat simbolik, artinya peran yang diusung tokohlah yang mati. Jika peran itu mati , maka dalam proses mengingat kembali--sesungguhnya sudah ada pemeran pengganti yang diharapkan hadir (seketika ketika kita membaca), karena tugas tulisan atau artifak kebudayaan salah satunya adalah mereproduksi dan menyusun ulang ingatan, dalam novel (fiksi) saya pikir ada ruang harapan layaknya di dunia nyata.

[iv] Kata tidak waras yang diberikan pada karakater Tegar ini bukan interpretasi pendedah terhadap tokoh, namun ada pada teks (seperti hardikan juru parkir kepada Tegar di hal. 147)

[v] Kemenangan ini, jika dilihat dari pembacaan terbalik atas tersingkirnya orang-orang seperti; petani, penduduk lokal yang dianggap kalah (dan harus dibangunkan), masyarakat marjinal, adalah sisi lain dari sebuah kekalahan. Maka mampusnya kesadaran, fetisisme komoditas seperti; masyarakat yang gemar mengkonsumsi berlebih, adalah akibat dari tumbangnya sumberdaya bersama (common property resource), yang dapat mengambil bentuk material dan ide atau pengetahuan.  Pada akhirnya masyarakat tumbang perasaan kolektifnya, dan kapitalisme akan masuk sebagai 'penolong', mulai dari apa disebutkan Paox di halaman 39-41.

Dan ini terus berlanjut dengan peran negara yang berusaha menghilangkan dirinya sendiri dalam sistem yang semakin kapitalis. Negara bahkan percaya dengan kapitalisme dan memberikan karpet merah berupa perundangan yang memusnahkan sumberdaya bersama tersebut, menggantikannya dengan Undang-undang yang menguras kekayaan yang tidak mensejahterakan warganya (sejalan dengan Stiglizt, dengan memberikan bukti: tidak ada rezim neo-liberal yang mengatasnamakan globalisasi tanpa bekerja dengan rezim di negara yang bersangkutan, para pekerja kerah putihnya, dan undang-undang yang melegalkan seluruh operasi Neo-liberal), kecuali lewat pajak yang ditariknya atau pada kedermawanan kaum kapitalis lewat corporate responsibility-nya, bukan pada surplus produksi yang seharusnya menjadi milik pekerja atau petani.

[vi] Kecuali novel ini secara sengaja ingin memberikan perasaan terPutihkan (bleaching), seperti yang diungkap Kivisto and Blanck (1990), generasi di luar kulit putih (terutama kaum Hispanik dan Indian) di Amerika Serikat sebagai ‘children of gilded ghetto’, generasi yang identitasnya hilang, cuma tersepuh tipis oleh tradisi asal, karena proyek reformasi/modernisasi, namun ini tidak terbaca sebagai perkara yang argumentasinya terang-benderang dalam novel ini, kecuali hilangnya pengetahuan lokal untuk merestorasi lingkungan akibat revolusi hijau (halaman 98-99)

[vii] Walter Benjamin,  (dalam The Arcades Project, Cambridge, Harvard: 1999) menyorongkan metode penulisan sejarah kota yang tidak biasa, kota dilihat dari jejak para penghuninya, yang menghuni jalan, menghuni kolong jembatan, menghuni taman kota, menghuni apartemen, menghuni pasar, baginya, setiap penghuni juga sebagai orang yang suka keluyuran, karena kota sebuah tempat dimana orang berdiam sekaligus berpergian. Dengan detil lewat teknik montasenya, ia memilah, memotong, dan menyambung-nyambung waktu dan tempat, antar tokoh dengan pendekatan yang individual, dibandingkan menganggapnya (tindakan orang-orang) sebagai keanehan/keganjilan. Ia juga melihat perubahan kota dari basis materialnya, benda-benda yang ada (pada saat sekarang) tidak begitu saja ada, karena benda-benda tersebut memang dibutuhkan sesuai perkembangan kota. Benda-benda tersebut merupakan fragmen dari masing-masing penghuninya. Orhan Pamuk,  (dalam Istanbul, penerbit Serambi, 2008) juga berhasil menggambarkan perubahan kota Istanbul beserta para penghuninya lewat novel biografi-kotanya.

[viii] Di luar itu novel ini menjadi lebih menarik, jika memang foto-foto yang ada di dalam novel ini dimaksudkan menjadi narasi pelengkap. Dalam novel ini, saya pikir, spenempatan dan ukuran dari foto tersebut malah mengganggu imajinasi pembaca tentang tempat.

 

Wednesday, 2 March 2011

Peluncuran Buku: Medulla Sinculasis

Start:     Mar 7, '11 9:00p
End:     Mar 8, '11 02:00a
Location:     Perpustakaan Umum Kota Malang dan Universitas Negeri Malang
Senin, 7 Maret 2011
Penyelenggara: FPKM (Forum Penulis Kota Malang)
Tempat: Gedung Perpustakaan Umum Kota Malang,
Pukul: 09.30 s/d selesai
Pendedah 1: Liga alam Muchtar (FPKM).
Pendedah 2: Widhyanto Muttaqien (Kedai Sinau)
Moderator: Sidiq Nugroho (FPKM)

Selasa, 8 Maret 2011
Penyelenggara: BEM FIS Universitas Negeri Malang
Tempat: Aula Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Malang,
Pukul: 14.00 s/d selesai.
Pendedah 1: DR.Suwignyo (dosen sastra Indonesia UM)
Pendedah 2: Widhyanto Muttaqien (Kedai Sinau)
Moderator: Abdul Muid Arishofa (ketua BEM FIS UM)
Bincang Intim
Senin, 7 Maret 2011
Tempat Kedai Sinau
Pukul: 15.30-selesai
Forum Pelangi Malang
Pukul: 19.30-selesai
Tempat Tobuki
Bersama: Ratna Indraswari Ibrahim

Sunday, 30 January 2011

Resep #23 Kopi Ekonomi

Rating:★★★
Category:Other


jika dunia tempat berjudi
tak perlulah ilmu ekonomi
di sekolah aku kehilangan langit
di mana keindahan hidup tak berbatas
di meja judi dunia dilempar
tiga angka enam keluar
ilmu ekonomi menggenapkan
dengan teori maksimisasi

(widhy sinau)