Saturday, 5 March 2011

Senandika Sinculasis

The echo of a word, a thud, a rustle that has receded into the darkness of the past is the “shock with which a moment enters our consciousness as already lived.” (Walter Benjamin)[i]

Melawan Diri Sendiri

Jika membicarakan sisi isi maka informasi yang diberikan novel ini melimpah, membaca novel Paox kita diberikan keyakinan bahwa ada sejenis 'kegagalan tanpa batas' sehingga asumsi-asumsi 'negara gagal'[ii] yang mestinya bisa disematkan pada negeri tempat penulis tinggal, seketika sirna. Kita dihadapkan dengan kenyataan lain yang diberikan novel: layaknya kesabaran yang tiada habis, maka kegagalan negarapun tanpa batas, teka-teki yang dibuat tidak untuk dipecahkan', maka 'kematian' dipilih menjadi jalan keluar.[iii]

1.

Kaum kaya dan para pemegang lisensi tambang dan perkebunan tidak bisa bekerja sendirian. Selalu ada perangkat hukum, birokrasi, dan pekerja kerah putih bergaji tinggi. Inilah gambaran sebuah kegagalan yang disebut Stiglizt (dalam Making Globalization Works, 2006) sebagaiparadox of plenty: negara dengan kekayaan melimpah menghasilkan kemiskinan yang memerikan. Di halaman 40 ada beberapa baris senandika (soliloquy) oleh tokoh utamanya, Nuruda Fahbrani, "bagaimana provinsi sekaya ini bisa terpuruk menjadi daerah termiskin di Indonesia... sementara Indonesia yang kaya-raya sumberdaya alamnya ini menjadi salah satu negara termiskin di dunia...".

Novel ini antara lain menggambarkan narasi besar para pemikir (sebagai lawan dari percakapan biasa/narasi personal),  sehingga tidak secara intens menggali akar korupsi, kontradiksinya dalam tubuh orang-orang yang mengalami: sebagai korban dan pelaku. Penulis berusaha memperlihatkan vulgarnya  neo-liberalisme (yang memang secara pornografis-tanpa malu dipraktekkan di negeri si penulis) , lewat imperialisme baru: yaitu perdagangan dan lisensi pengusahaan hutan, lahan pertanian, dan tambang. Pengkaplingan bumi pertiwi untuk kuasa modal yang secara lugas terjadi, dituturkan dengan gaya senandika penulis lewat tokoh utamanya, hampir di setiap bab (misalnya di halaman 171-172).

Novel ini juga  mengeksplorasi  ketidakadilan, namun hal-hal yang terkait  praktek hukum yang bekerja memperdaya rakyat, menarasikan bagaimana secara trengginas mafia hukum dapat memfasilitasi kepentingan pemodal, mafia yang ada di legislatif, judikatif, dan eksekutif kita tidak detil tergali dari dramatik tokohnya, lewat dialog, kecuali lewat senandika Nuruda yang menceritakannya dengan berbagai kolase, tentang ingatan dan pengalaman yang menubuh dalam dirinya. Tentang  gelapnya ketidakadilan. Kegeraman pada rezim yang sewenang-wenang. Tentang kemuraman penggundulan hutan, penambangan, dan eksploitasi modal asing. Senandikanya mungkin terasa melantur terlalu jauh (Paox sendiri merasa gaya penulisannya agak bertele-tele, lihat hal. 319),  namun lanturan ini penting untuk memahami motif dan karakter sang tokoh.

Narasi dan informasi yang diberikan dalam novel ini mungkin bagi sebagian aktivis lingkungan dan  terbukanya akses informasi,  membuat keintiman tersendiri, Paox berhasil mengajak pembaca merasa 'mengalami'  (deja vu), apalagi penulis mengatakan dalam testimoni proses kreatifnya menyebutkan bahwa sebagian isi adalah sebuah penelitian ilmiah. Namun novel fiksi memerlukan kendaraan lebih dari sekadar informasi (baik faktual/aktual), misalnya ketegangan, eskalasi konflik, ketakterdugaan, dan kedalaman.

2.

Pembacaan saya, sisi lain dari watak heroine Nuruda adalah tokoh figuratif Tegar, lewatnya dihadirkan abnormalitas, jika bukan dunia tuna-daya, Tegar adalah kegelisahan itu sendiri. Tegar berkebalikan dengan Nuruda yang berpendidikan, pluralis, mampu bertahan dan melawan, dengan budaya urban (dan sederet karakter lainnya yang berkorespondensi dengan penjelasan karakter Nuruda dan Vandessa  pada  Bab Bohemian Project- dalam bab ini nuansa kelas bourgeois bohemian -baca: Bobo-lebih mendominasi dibandingkan terma bohemian itu sendiri, yang melanglang dan keluyuran, berpindah tempat, dan menjadikan setiap ruang sebagai tempat beraktivitas).

Tegar, si bongkok digambarkan bodoh, juling, dengan tubuh yang a-simetris, anak jadah yang dieksklusi dari  masyarakat karena ketidaknormalannya. Ia digambarkan sebagai lalat yang berada di pasar. Perjalanan Tegar melintasi kota, digunakan penulis untuk menggambarkan betapa idiotnya pemimpin, betapa tidak berdayanya masyarakat, Tegar yang begitu idiot seperti yang digambarkan penulis, dengan matanya, hidungnya, mulutnya, seluruh inderanya bahkan emosinya digunakan penulis sebagai yang maha tahu, namun lewat Tegar ini, ketaktertundukkan terhadap struktur diharapkan muncul, walau dengan jiwa neurosis.

Sisi lain Nuruda adalah jiwa neurosis yang emoh muncul pada tokoh utama yang ingin tampil 'sempurna'. Justru keganjilan Tegarlah yang membuat Bab Lalat Yang Menari-nari ini tidak terasa ganjil hadir di buku ini. Teriakan anak-anak, " hii ada monster", juga hadir pada diri Nuruda yang lain. Nuruda yang ingin mengabaikan polisi, meledek satpol PP, yang ingin merobek poster kampanye, yang ingin menyumpahi orang yang tidak disukainya, yang ingin melawan aturan yang tidak emansipatif, tapi Nuruda tetap ingin waras[iv] seperti yang diinginkan oleh dirinya atas desakan di luar dirinya.

Menelisik Tokoh

3.

Penulis menggunakan teknik penceritaan berbagai tokoh untuk menyampaikan berbagai pandangan dunianya, dengan kehadiran tokoh-tokoh dengan an all-knowing presence,sehingga penulis secara bebas mendramatisasi, berspekulasi, menghakimi, berfilosofi, dan membuat diskursus di antara mereka. 

Perbincangan Nuruda dengan tokoh lainnya dimaksudkan penulis sebagai diskursus dan tidak perlu selesai dalam novel itu sendiri. Pembaca diberikan berbagai sudut pandang sehingga si penulis dengan teknik ini (teknik arus kesadaran), terasa 'gatal' untuk terus berkomentar terhadap setting, karakter tokoh, bahkan perbincangan yang tiba-tiba berubah menjadi pertanyaan langsung kepada pembaca.

4.

Dari beberapa tokoh, yang 'berhasil dijadikan stereotipe' adalah (kelompok) pemabuk Taslim Jabir dan pengungsi-manusia perahu dari Irak dan Afganistan. Taslim Jabir, terutama, kehilangan 'kualitas hibridanya', bukan cuma ia Arab sebagai etnis tapi juga sebagai bagian dari Indonesia, karena bertahun tinggal dan berinteraksi dengan orang Indonesia di Lombok. Namun, teknik penceritaan yang menjurus pada stereotiping justru membuat (kelompok/jamaah-sebutan untuk keturunan Arab) Taslim Jabir, menjadi jelas motifnya, segala tindakannya dapat ditelusuri jejak dan akibatnya. 

Beberapa tokoh dalam bacaan saya yang termasuk dalam kategori marjinal-kurang beruntung, seperti Surti dan Lumitha memiliki  kesempatan untuk ditelanjangi oleh penulis, motif bertahan hidupnya. Novel ini hidup karena peran marjinal dapat dikenali oleh penulis, karena mereka langsung berkorespondensi dengan tesis besar penulis mengenai keserakahan, pertahanan dan perlawanan, dan kemenangan[v].

Tokoh-tokoh perempuan, disengaja atau tidak menjadi bagian yang paling sanggup bertahan. Bahkan dengan gambaran ketidaksempurnaan mereka, baik yang terdidik, Vandessa maupun yang digambarkan sebagai tidak terdidik seperti Surti. Vandessa menjadi tidak sempurna karena ingin membebaskan tubuhnya dari jerat partiarki, ia bukan hanya digambarkan sebagai liberal dalam pikiran, namun juga liberal dalam tindakan--namun kacamata liberal ini adalah kacamata budaya tempat penulis berasal, bukan dari kacamata tempat Vandessa dibesarkan, kota kecil Nice, di Prancis. Sedangkan Surti menjadi tidak sempurna karena ia terpaksa memulai melacur, juga karena jerat patriarki, laki-laki yang ditakdirkan mendominasi hidup perempuan.

Namun kelindan batas budaya (atau hibriditas budaya) dalam diri tokoh inilah yang menurut saya hilang dalam gelombang informasi narasi besar. Sehingga hampir semua tokoh dalam novel ini sebenarnya dapat ditemui di semua tempat, dimana negara penulis ini berasal, Indonesia. Budaya Sasak, Lombok, Sumbawa, Arab, China, Bajo, Bugis, dan lain-lain yang hidup disetting novel ini, seharusnya bisa menjadi solusi konflik batin diantara para tokohnya, lokalitas ini yang tidak terlihat[vi]. 

Desember Tergesa

5.

Novel ini memiliki potensi sebagai novel etnografis, nyaris, dimana pilihan identitas tokoh utama yang berlapis, beradu dengan tokoh sertaan yang 'seharusnya' juga kental dengan lokalitasnya.

Sebuah karya yang dapat dikategorikan sebagai etnografis bagi saya bukan cuma diniatkan, tetapi penggambaran yang detil terhadap peristiwa atau kondisi mental sebuah masyarakat yang dapat menggambarkan bagaimana masyarakat tersebut hidup, mempertahankan tradisi, mengakumulasikan pengetahuan, bersiasat dengan perubahan, menjadi sangat menarik. Narasi tentang kekalahan/kemenangan sesungguhnya dapat dijelaskan lewat sensasi, afeksi, pergumulan pikiran yang menyangkut hal dianggap remeh, seperti menenggak tuak, air brem, kawin lari, dan sebagainya, seharusnya dapat digali lebih banyak dan dalam, tentunya dari perspektif budaya yang bersangkutan, bukan dari kacamata pengarang sebagai pengamat, hal ini yang saya maksud dengan lokalitas.

Penghargaan terhadap kebudayaan, pergulatan ide dengan waktu, jika itu diwakilkan oleh wajah kota, maka Ampenan sesungguhnya dapat dijadikan ruang yang sangat luas untuk dilihat sebagai dunia sesungguhnya dari kehadiran tokoh-tokoh yang berdiam lama disana[vii]. Perubahan karakter kota, karakter orang-orang yang tinggal di dalamnya, sekalipun cuma dongeng dari sudut-sudut remang warung kopi, pelabuhan, kamar kost, tempat tidur, lantai diskotik, atau kerumunan anak muda tak sayang nyawa  dapat lebih bertenaga jika tidak tergesa dijejali oleh komentar penulis atas fakta dalam fiksinya[viii] (rasanya pembaca seperti diajak masuk kamar pas tanpa sempat mematut diri dalam cermin).

6.

Radhar Panca Dahana (dalam Dusta Dalam Sastra, penerbit  Indonesiatera2001) melihat proses banalitas sastra terjadi ketika sastra tidak lagi sempat melahirkan kedalaman, cuma klangenan pada hal-hal yang bersifat ideologis, namun lupa memberikan ruang yang cukup pada pembaca dalam upaya konfirmasi atas melimpahnya informasi, kejadian ini tak ubahnya seperti membaca koran atau melihat tontonan televisi. 

Bagi saya, sebuah karya yang baik adalah karya yang dapat dirujuk kemudian, sebagai sebuah kekhasan metodologis atau dapat direproduksi kembali sebagai sebuah wacana dan perbincangan. Lepas dari tanggapan pembaca atas bacaan, teks selalu menyediakan kesempatan bagi pembaca untuk melengkapinya.  

Tabik,

widhy | sinau

 

 

Catatan



[i]  Dikutip dari Krapp. Peter, Deja Vu: An Aberration of Cultural Memory, University of Minnesota Press, 2004.

[ii] Dalam buku Lester R. Brown. Plan B.3: Mobilizing for Save Civilization. Earthscan. 2008. Indonesia dihadapkan dengan kategori yang dibuat oleh Brown mengenai negara gagal, yaitu: lemahnya pemerintah (weak state) dalam mengagendakan perencanaan masa depan seperti (1) menyeimbangkan iklim, (2) menyeimbangkan populasi, (3) menurunkan angka kemiskinan, dan (4) restorasi ekosistem bumi. Lepas dari rapor sukses pemerintah yang dirilis oleh BPS tahun 2010, opini kedua dari kaum environmentalist memperlihatkan bahwa, akar kegagalan adalah meningkatnya jumlah penduduk miskin (riil) kemiskinan (bukan angka  kemiskinan) dan kemampuan daya beli masyarakat yang terus menurun (dilihat dari  nilai tukar pendapatan masyarakat untuk membeli barang/jasa).

[iii] Kematian dalam novel bisa jadi bersifat simbolik, artinya peran yang diusung tokohlah yang mati. Jika peran itu mati , maka dalam proses mengingat kembali--sesungguhnya sudah ada pemeran pengganti yang diharapkan hadir (seketika ketika kita membaca), karena tugas tulisan atau artifak kebudayaan salah satunya adalah mereproduksi dan menyusun ulang ingatan, dalam novel (fiksi) saya pikir ada ruang harapan layaknya di dunia nyata.

[iv] Kata tidak waras yang diberikan pada karakater Tegar ini bukan interpretasi pendedah terhadap tokoh, namun ada pada teks (seperti hardikan juru parkir kepada Tegar di hal. 147)

[v] Kemenangan ini, jika dilihat dari pembacaan terbalik atas tersingkirnya orang-orang seperti; petani, penduduk lokal yang dianggap kalah (dan harus dibangunkan), masyarakat marjinal, adalah sisi lain dari sebuah kekalahan. Maka mampusnya kesadaran, fetisisme komoditas seperti; masyarakat yang gemar mengkonsumsi berlebih, adalah akibat dari tumbangnya sumberdaya bersama (common property resource), yang dapat mengambil bentuk material dan ide atau pengetahuan.  Pada akhirnya masyarakat tumbang perasaan kolektifnya, dan kapitalisme akan masuk sebagai 'penolong', mulai dari apa disebutkan Paox di halaman 39-41.

Dan ini terus berlanjut dengan peran negara yang berusaha menghilangkan dirinya sendiri dalam sistem yang semakin kapitalis. Negara bahkan percaya dengan kapitalisme dan memberikan karpet merah berupa perundangan yang memusnahkan sumberdaya bersama tersebut, menggantikannya dengan Undang-undang yang menguras kekayaan yang tidak mensejahterakan warganya (sejalan dengan Stiglizt, dengan memberikan bukti: tidak ada rezim neo-liberal yang mengatasnamakan globalisasi tanpa bekerja dengan rezim di negara yang bersangkutan, para pekerja kerah putihnya, dan undang-undang yang melegalkan seluruh operasi Neo-liberal), kecuali lewat pajak yang ditariknya atau pada kedermawanan kaum kapitalis lewat corporate responsibility-nya, bukan pada surplus produksi yang seharusnya menjadi milik pekerja atau petani.

[vi] Kecuali novel ini secara sengaja ingin memberikan perasaan terPutihkan (bleaching), seperti yang diungkap Kivisto and Blanck (1990), generasi di luar kulit putih (terutama kaum Hispanik dan Indian) di Amerika Serikat sebagai ‘children of gilded ghetto’, generasi yang identitasnya hilang, cuma tersepuh tipis oleh tradisi asal, karena proyek reformasi/modernisasi, namun ini tidak terbaca sebagai perkara yang argumentasinya terang-benderang dalam novel ini, kecuali hilangnya pengetahuan lokal untuk merestorasi lingkungan akibat revolusi hijau (halaman 98-99)

[vii] Walter Benjamin,  (dalam The Arcades Project, Cambridge, Harvard: 1999) menyorongkan metode penulisan sejarah kota yang tidak biasa, kota dilihat dari jejak para penghuninya, yang menghuni jalan, menghuni kolong jembatan, menghuni taman kota, menghuni apartemen, menghuni pasar, baginya, setiap penghuni juga sebagai orang yang suka keluyuran, karena kota sebuah tempat dimana orang berdiam sekaligus berpergian. Dengan detil lewat teknik montasenya, ia memilah, memotong, dan menyambung-nyambung waktu dan tempat, antar tokoh dengan pendekatan yang individual, dibandingkan menganggapnya (tindakan orang-orang) sebagai keanehan/keganjilan. Ia juga melihat perubahan kota dari basis materialnya, benda-benda yang ada (pada saat sekarang) tidak begitu saja ada, karena benda-benda tersebut memang dibutuhkan sesuai perkembangan kota. Benda-benda tersebut merupakan fragmen dari masing-masing penghuninya. Orhan Pamuk,  (dalam Istanbul, penerbit Serambi, 2008) juga berhasil menggambarkan perubahan kota Istanbul beserta para penghuninya lewat novel biografi-kotanya.

[viii] Di luar itu novel ini menjadi lebih menarik, jika memang foto-foto yang ada di dalam novel ini dimaksudkan menjadi narasi pelengkap. Dalam novel ini, saya pikir, spenempatan dan ukuran dari foto tersebut malah mengganggu imajinasi pembaca tentang tempat.

 

No comments:

Post a Comment