Tuesday, 16 January 2007

resep #6

Rating:★★★★
Category:Other
Baca selagi hangat.

Dan mulailah pekerjaan membaca. Jarimu diatas cangkir, jika berbayang maka tak ada racun dalam kopimu, sebaliknya, berhati-hatilah. Ada seorang pendengki sedang mengincarmu. Mungkin disebabkan hal-hal yang teramat sepele, seperti membelakangi mereka, lupa membasuh tahi dalam toilet umum, meludah di depan mereka dengan sengaja karena ingin meludah tanpa maksud menyinggung siapapun namun itu tabu dan menyinggung banyak orang yang mudah sekali tersinggung, marah, dan lepas kendali atau tergelak ringan dengan tidak sengaja ketika menatap headline berita harian yang lucu keterlaluan mendekati mistik. Disaat yang sama mistik seperti itu dialami dan terceritakan kembali menjadi tertib sosial.

Kau berada dalam sebuah kedai kopi.
Setiap orang seperti menatapmu dan dipenuhi ingin tahu.
Kau tak hendak beranjak dan tak mau tahu.

Dingin.
Kau berhasil membaca suasana.
Kopimu terasa begitu panas dalam saat seperti ini dan menjadi teman paling setia untuk menutupi salah tingkah.
Perlahan dingin mencair. Tapi tak jadi basah.
Kopimu pahit.
Jarimu membayang kental.
Semua menjadi biasa saja.
Suasana mistik gagal tercipta.
Kau tak percaya.
Sampai cerita ini terceritakan dan kau selalu berusaha melihat jarimu setiap menyentuh cangkir kopi.
Mencari jejaknya yang tak pernah hilang dalam secangkir kopi.

Apa yang larut?

widhy | sinau

resep #5

Rating:★★★★
Category:Other
Katamu: ketika kita curiga, kebenaran berbelok seperti cahaya yang masuk dalam prisma

Seorang kawan pada suatu pagi menawarkan kopi.

Aku takut kau tak suka. Karena menurut kabar kau penggemar kopi.
Baiklah, ini seduhan spesial. Bukan berasal dari kopi yang dijual di daerah sekitar sini.

Enak.
Bisa minta resepnya?

Aku tak menambahkan apapun. Cuma kopi-yang terlihat seperti hujan abu vulkanik gugur dalam bening gelas.

Menurutku, apa yang kita putuskan dengan perantaraan akal, kalah lambat dibandingkan prakonsepsi yang kelamaan bersedimen di otak kita. Persoalannya apakah kita pernah melakukan kritik terhadap otak kita sendiri. Memahamkan diri tentang bagaimana cara kerja mereka. Sehingga didapatkan suatu kesegaran, seperti aroma kopi yang begitu menggugah, pun sebelum kita tahu kopi itu akan disuguhkan pada kita. Biasanya aku bersandar pada pagi untuk memahamkan diri, dan kopi untuk menjaga agar aku percaya hari ini mesti lebih baik. Apakah kau sependapat denganku?

Aku seperti penggemar kopi.
Kau mendengar kabar itu.
Kau menyuguhkan secangkir.
Dan ini waktu pagi.
Kau memiliki keduanya, sebuah momen dan secangkir pengetahuan yang membuatmu memiliki keyakinan akan hari ini. Pengetahuan tentang kopi, aku dan dirimu sendiri.

Aku bagian dari momen.
Sedangkan keyakinanmu tetap menjadi milikimu.
Pagi ini milik kita.

Kataku; dalam prisma cahaya diurai menjadi pelangi, demikian halnya kebenaran.

widhy | sinau

Sunday, 7 January 2007

Resep #4

Rating:★★★★
Category:Other
Panggilannya Bibi, ia melayani dengan baik keluarga kami. Bibi seorang janda beranak lima, ditinggal suami sekitar 10 tahunan yang lalu. Ngopi baginya adalah mengenang. Mengenang harum suami, tawanya, kegiatan sehari-hari, tuturannya, dan segala hal ketika suami masih ada disampingnya. Bibi, suami dan anak-anaknya ngopi bareng ketika kumpul malam hari, selepas makan malam. Kopi sang suami yang kebetulan bekerja di pabrik tebu, manis-tidak kental. Ini disebabkan kopi itu sering diseruput oleh anaknya yang masih kecil-kecil. Cara membuat kopinya cukup unik, bukan dengan gula pasir, namun dengan perasan tebu cair. Kopi diseduh dengan perasan tebu dan air panas.

Bagi Bibi kopi cair itu sekental kenangannya bersama suami. Dia tidak ngopi, namun kerinduan akan masa lalulah yang membuatnya membuat kopi. Jika orang percaya kopi dapat menunda tidur, maka Bibi lebih sering ngopi sebelum tidur, di malam hari. Dan Bibipun tertidur dengan segelas kenangan manis-kental-selalu hangat.

widhy | sinau

Resep #3

Rating:★★★★
Category:Other
Setiap lelaki disini minum di kedai kopi. Pagi dan sore sampai malam. Di kedai kopi semua orang bisa berkumpul, sambil menyeleksi adakah orang baru atau kawan yang absen.

Dalam kondisi ketakutan yang serupa tangkup Atlantis di Tanah Rencong, kedai kopi adalah tempat silaturahmi dan pusat informasi. Laki-laki pergi ke kedai kopi karena budaya ngopi yang demikian kental dan kedai menjadi ruang yang sangat terbuka untuk meramu strategi sekaligus memperhatikan musuh bahkan sambil menjamu dengan keaslian wajah. Silahkan minum kopiku sebelum kau paksa aku jadi pelayanmu.

Bagi yang segan bicara maka pojokan kedai manjadi tempat yang paling aman untuk mengamati dan diamati. Bergeming sedemikian rupa sambil menyeruput kopi mendengarkan tawa dan lelucon yang sengaja bikin merah telinga, tentu dengan maksud dan alamat yang jelas. Budaya yang gagal diamati bahkan ketika sedang berperang, ngopi menjadi bagian dari startegi. Di kota dan desa, kopi kental dalam budaya masyarakat Aceh.

Budaya ngopi yang menyejarah ini sejalan dengan orientasi masyarakat Aceh yang dirundung peperangan berkepanjangan. Orientasi masyarakat Aceh adalah orientasi masa lalu yang cenderung mengingat dan membanggakan masa lalu yang pernah gemilang, makmur, sejahtera, maju dan damai. Masa lalu adalah sumber gerak. Masa lalu menjadi identitas. Bahwa Aceh harus tetap Aceh. Di kedai kopi masa lalu bertahan. Cuma dengan budaya ngopi. Ini adalah strategi perlawanan.

Silahkan minum kopi kami, ada sejarah disana yang tak bisa tandas.

widhy | sinau

Wednesday, 3 January 2007

TERBUNUHNYA SEORANG PROFESOR POSMO

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Other
Author:arthur asa berger
SINOPSIS YANG BUKAN BAHKAN MELEBIHI SERTA MENYERUPAI SINOPSIS ITU SENDIRI HINGGA KITA PUN TERSADAR BAHWA ENAM MILIAR MANUSIA YANG MEMILIKI LEBIH DARI DUA KALI LIPAT KATA TERNYATA MASIH KURANG JUGA UNTUK MENYEBUTKAN ADA YANG MENJADI DEFENISI DARI SINOPSIS YANG BUKAN BAHKAN MELEBIHI SERTA MENYERUPAI SINOPSIS DARI ‘TERBUNUHNYA SEORANG PROFESOR POSMOS – Arthur Asa Berger’

Sinopsis yang melebihi sinopsis ini lahir ketika aku selesai menonton sebuah film yang bercerita tentang kehidupan satu keluarga Yahudi di suatu kota metropolis yang berada entah dimana. Keluarga itu terdiri atas pasangan suami-istri dengan tiga anaknya—anak pertama, perempuan, hendak menikah dengan lelaki turunan Palestina; anak kedua, perempuan, tak lagi percaya Tuhan dan senang gonta-ganti pasangan senggama hingga menghasilkan seorang putri yang tak berayah nyata; anak ketiga, laki-laki, lagi suka-sukanya belajar agama dan mencoba menerapkan peraturan agama dalam keluarganya yang sudah serupa kapal pecah—dan seorang lelaki tua lagi buta, ayah kandung dari ayah beranak tiga itu, veteran perang Israel yang sempat tinggal di panti jompo sampai anak lelakinya datang ‘menyelamatkan’ dari panti itu.
Konflik pun dimulai ketika anak pertama membawa dan mengenalkan calon suaminya kepada ibunya; sebelum itu mereka menyempatkan diri bercinta di dalam elevator di apartemen ibunya tinggal. Ketika mengetahui bakal menantunya adalah turunan Palestina, ibu beranak tiga itu pun marah-marah. Sebabnya, tentu saja dikarenakan tradisi konflik yang selalu berdarah antara Israel-Palestina sejak 1948.
Di saat pertengkaran ibu dan anak pertamanya terjadi—pertengkaran yang disebabkan perbedaan ras, dimana ras itu bukanlah soal pilihan pribadi melainkan ketentuan dari Yang Di Atas, dalam konteks posmodernisme ‘Yang Di Atas’ adalah metanarasi—lelaki turunan Palestina itu sedang berada di dapur hendak memanaskan sup beku yang tersimpan di dalam lemari es buat makan malam bersama. Tapi, rencana memanaskan sup beku itu tidaklah berlangsung mulus. Dikarenakan kecerobohan atau kegagapan kultural yang terjadi di dalam dirinya, tiba-tiba saja sup beku itu terlepas dari tangan lelaki turunan Palestina itu dan menggelincir jatuh dari jendela apartemen. Sebelum membentur jalan, sup beku itu menghantam kepala seorang lelaki botak bermantel hangat yang tengah melintas. Lelaki botak itu pun tersungkur jatuh tak sadarkan diri untuk ‘beberapa lama.’ Bagi orang yang tengah lalu di jalan lelaki botak bermantel hangat itu pingsan, ‘beberapa lama’ pun memiliki nilai lebih, yakni kesempatan mengambil dompet yang terselip di saku pantat kanan dari celana yang sudah ditakdirkan untuk tak lagi dikenakan lelaki botak bermantel hangat itu.
Takdir itu terjadi ketika lelaki botak bermantel hangat itu siuman dan kehilangan ingatan akibat satu benturan dari sup beku bakal makan malam bersama pasangan keluarga Yahudi bersama calon menantunya yang berasal dari Palestina. Dalam keadaan hilang ingatan, lelaki botak bermantel hangat bertemu pelacur kulit hitam yang tanpa basa-basi panjang langsung membawanya ke dalam VW kombi biru yang sudah dipersiapkan sebagai ajang transaksi syahwat komersil.
Di dalam mobil tersebut, ketika transaksi seksual nyaris terjadi, lelaki botak bermantel hangat dan hilang ingatan itu tersadar bahwa dompetnya yang berisi uang sudah tak lagi terselip di saku pantat kanan celananya. Satu barang berharga bagi lelaki botak bermantel hangat yang hilang ingatan dan pelacur kulit hitam yang terdesak kebutuhan ekonomi kapitalis hanyalah arloji tangan. Dalam konteks transaksi birahi, arloji tangan cuma sanggup membeli komoditi ‘masturbasi manual dengan tangan’ yang ditawarkan dalam industri jasa seks komersil. Lelaki botak bermantel hangat yang hilang ingatan tak berkeberatan. Karena itu, kesepakatan pun terjadi!
Di saat transaksi tengah berlangsung, mendadak seorang lelaki masuk ke dalam kabin kemudi mobil dan menyatakan bahwa ‘mereka’ sudah waktunya pulang. Lelaki botak bermantel hangat yang hilang ingatan itu pun ‘mereka’ paksa keluar dari dalam mobil tanpa sempat mengenakan kembali celana panjangnya dan mantel hangatnya. Ketika mobil melaju pergi, lelaki botak itu diam berdiri. Tubuh dia hanya berbalutkan kemeja lengan panjang putih, dasi yang tak rapi, celana dalam putih, kaos kaki hitam, dan sepatu hitam.
Singkat cerita, film yang berjudul entah ini berakhir bahagia. Ingatan lelaki botak, yang merupakan suami dari ibu beranak tiga itu, yang ditakdirkan tertimpuk sup beku lalu kehilangan ingatan dan kehilangan dompet dan kehilangan celana, kembali. Sedang pertengkaran yang terjadi antara ibu dengan anak pertamanya dan perempuan dari Israel dengan laki-laki dari Palestina ditutup lewat perkataan “No body perfect,” yang diucapkan oleh perempuan dari Israel kepada laki-laki dari Palestina lalu berciuman. Sabtu, 30 Desember 2006,

pukul 02:00
‘TERBUNUHNYA SEORANG PROFESOR POSMO’ novel detektif berpola klasik. Lampu padam lalu menyala dan Profesor Ettore Gnocchi pun ditemukan tewas dengan empat luka sekaligus. Pisau kue menancap di punggung, anak panah di pipi, satu peluru di kening, dan minuman anggur beracun. Sebelum ajal, satu senyum sempat menghias wajahnya lalu membeku di jasad kaku Ettore Gnocchi.

Soal utama: Siapa pembunuh Ettore?
Soal tambahan, mungkinkah Ettore mati dengan empat luka sekaligus?
[Pertanyaan ini tidak hanya hadir di dalam benak pembaca, tetapi juga hadir di dalam novel itu sendiri. Cerita di dalam novel menggiring pembaca tanpa perlu bersusah-susah berimajinasi untuk sampai pada dugaan: ada pelaku pembunuhan yang harus dicari.
Padahal, seturut dengan posmodernisme, ada baiknya terminator (saya sangat ingin menggunakan kata ‘terminologi’, tapi saya memiliki hasrat yang lebih besar pada kata ‘terminator’ untuk menyatakan makna terminologi) ‘pembunuhan’ dimaknai ulang. Lewat pemaknaan ulang itu maka ‘pembunuhan’ beroleh artikulasi baru, pengertian baru. Uniknya, menurut saya, saat kaum posmodernisme memaknai ulang ‘pembunuhan,’ mereka malah bertemu dengan metanarasi ‘nyawa.’ Pertemuan itu dapat menyebabkan timbulnya kontradiksi dalam diri kaum posmodernisme yang ‘meragukan metanarasi.’ Pertemuan itu berdampak pada pengenyahan terminator ‘nyawa’ yang berdampak pada hilangnya terminator ‘pembunuhan,’ dan apa bila itu yang terjadi maka polisi di masa kontemporer ini pun tak lagi perlu mengungkap motif dan mencari siapa pelaku ‘pembunuhan.’]
�� Ya, posmodernisme ternyata masih memiliki metanarasi! Seperti mimpi!

Sabtu, 30 Desember 2006, 11:40
Shoshana TelAviv, istri professor Ettore Gnocchi, mengungkapkan bahwa Profesor Ettore berencana mengadakan seminar posmodernisme. Untuk itu, Ettore pun mengundang koleganya,
(1) Myra Prail yang merupakan asistennya di Universitas Berkeley,
(2) Allain Fess, doktor sosilog dari Perancis,
(3) Slavomir Propp, profesor linguis dari Rusia,
(4) Miyako Fuji, professor tamu dari Universitas Tokyo, dan
(5) Basil Constant, novelis posmodernisme,
buat merancang detail seminar. Rencananya, dalam seminar itu akan menghadirkan empat narasumber posmodernisme, yakni Jean Baudrillard (Perancis, Eropa), Jean Francois Lyotard (Perancis, Eropa), Fredric Jameson (Amerika Serikat, Amerika), dan Jurgen Habermas (Jerman, Eropa).

Kematian Ettore baru diketahui Shoshana dan lima kolega Ettore bersamaan dengan menyalanya lampu. Pada saat kematian Ettore atau pada saat lampu padam, Shoshana sedang ada di dapur mau mengambil hidangan pencuci mulut. Kepada Inspektur Solomon Hunter Shoshana mengaku bahwa sebelum beroleh fakta inderawi Ettore tewas dia sempat mendengar desahan lalu desisan serupa ular (desis ini merujuk pada suara senjata berperedam yang dijelaskan Inspektur Solomon Hunter saat mengungkapkan kematian Profesor asal Italia, Ettore Gnocchi).
Dalam pengakuannya kepada Hunter, Shoshana pun menjelaskan alasan logis mengapa lampu padam. Lampu padam dikarenakan hujan deras dan angin kencang yang menggangu aliran listrik di kota pasangan Ettore Gnocchi-Shoshana TelAviv tinggal. Dan ketika lampu padam Ettore tewas.

Minggu, 31 Desember 2006, pukul 09:10
Ketika Shoshana berada di dapur, di saat bersamaan anggur yang terhidang di meja habis dan Myra Prail berinisiatif mengambil anggur tambahan yang berada di dapur, dan di saat bersamaan dengan itu Slavomir Propp pergi ke dapur untuk mengambil kue panettone (sekalipun menggunakan imajinasi, saya tidak mampu mengetahui apa itu ‘kue panettone’) yang sangat besar yang dia beli dari Victoria Pastry (seturut dugaan Shoshana dalam pengakuannya kepada Inspektur Solomon Hunter). Ketika mereka—Shoshana TelAviv, Myra Prail, dan Slavomir Propp—kembali, Ettore mati!

Sabtu, 30 Desember 2006, 18:00
[Ruangan tempat Ettore mati adalah ruang makan utama di rumah tinggalnya. Lampu yang tergantung, dugaan saya, berkesan klasik dengan cahaya remang-remang. Di luar jendela tampak sambaran halilintar dan hujan deras disertai angin kencang yang menghantam-hantam daun jendela hingga berbunyi keriut-keriut, dan aku pikir hal seperti itu mungkin serupa cerita Agatha Christie yang tak pernah kubaca kecuali menonton beberapa film yang terinspirasi dari cerita criminal atau detektif Agatha Christie.
Sesaat setelah lampu menyala, seluruh kolega Ettore memunculkan wajah tercengang, kaget, pasi, mata membelalak, nafas tertahan, jantung berdegup kencang.]

Norman K. Denzin ‘Images of Postmodern Society: Social Theory and Contemporary Cinema’�� Masyarakat posmodernisme adalah masyarakat yang telah mengganti pengalaman aktualnya dengan representasi kenyataan. Representasi kenyataan adalah reproduksi realitas yang hadir melalui beragam media visual dan audiual. Dalam masyarakat posmodernisme mengalami representasi aktual sudah berarti benar-benar mengalami pengalaman aktual. (Jangan terlalu mempercayai hal ini! Sebab pemaknaan saya bisa berbeda dengan Anda; dan penjelasan saya tentulah tidak sejelas apa yang hendak dijabarkan Norman K. Denzin dalam buku yang mempersoalkan teori sosial dan sinema kontemporer!)

Allain Fess, doktor sosiolog dari Perancis. Dia sudah menulis gagasan posmodernisme dengan mengambil sampel kehidupan kultural di Amerika Serikat yang penuh macam mall.

(Vyachislov) Slavomir Prop, pengarang Morfology of Modernism, mengaku bahwa ia membeli kue panettone di Vistoria Pastry, dan pengakuan ini berdampak pada kebenaran yang terkandung dalam dugaan Shoshana TelAviv. Ketika menjelaskan motifasinya pergi ke dapur, Slavomir pun tersadar bahwa pisau kue yang akan dipergunakan untuk memotong kue panettone ternyata menancap di punak kanan Ettore. Sebelumnya, Slavomir sempat mencatat dalam memorinya bahwa dia sempat melihat pisau kue itu tergeletak di tengah meja. Dan seingat Slavomir pula, pisau kue itu adalah hadiah dari Shoshana TeAviv kepada Ettore Gnocchi ketika bapak posmodernisme Amerika Serikat itu merayakan ulang tahun ke-60.

Sabtu, 30 Desember 2006, 19:34
�� Di saat membaca novel ini, dalam benak saya muncul hipotesa berikut: untuk mengetahui siapa saja pembunuh Ettore Gnocchi, dalam konteks posmodernisme, Inspektur Solomon Hunter harus berupaya mengetahui siapa yang melakukan kebohongan diantara lima orang yang dia interogasi, yakni Shoshana, Myra, Slavomir, Miyako, dan Basil. Dalam pembahasaan metanarasi, Inspektur Solomon Hunter harus menemukan ‘kebenaran!’
[Komentar: Posmodernisme adalah reproduksi realitas. Seturut dengan itu, maka Inspektur Solomon Hunter pun masuk dalam perangkap reproduksi realitas atau representasi kenyataan. Dalam kasus ‘pembunuhan’ ini semua reproduksi realitas yang berasal dari pengakuan Shoshana, Myra, Allain, Slavomir, Miyako, dan Basil; dan surat-surat Ettore kepada Baudrilliard, Lyotard, Jameson, dan Jurgen Habermas; dan rekaman video dari kuliah terakhir Ettore, ‘dibenarkan’ menjadi benar.
Reproduksi realitas dalam konteks pemikiran Inspektur Solomon Hunter adalah alibi. Ketidakmasukakalan alibi itulah yang menjadi dasar pemecahan kasus ‘pembunuhan’ Ettore dalalm konteks posmodernisme.
Namun perlu diingat juga bahwa posmodernisme sendiri sudah mendobrak batasan modern yang dibangun pada era rasionalisme atau zaman pencerahan, yakni kesederhanaan atau clear and distinct. Persoalan posmodernisme masuk ke dalam konteks ‘kerumitan!’ yang berarti ketidakmasukakalan pun harus diterima apabila argumen yang diajukan, yang sekalipun tidak mungkin terjadi, beroleh nilai ‘benar’ dikarenakan konsistensi dan koherensi yang dilahirkan era rasionalisme atau zaman pencerahan.
Selain itu, perlu juga diingat bahwa posmodernisme yang mendasarkan diri pada multi-perspektif mengarah pada kebenaran atas setiap hal yang coba dimaknai ulang atau dimengerti ulang atau dipahami ulang atau ditelaah ulang atau dipelajari ulang atau dinilai ulang atau dihakimi ulang. Nilai kebenaran pun akhirnya bergantung pada perspektif sumber-lah yang menjadi titik pijak pemaknaan ulang atau pengertian ulang atau pemahaman ulang atau penelaahan ulang atau pembelajaran ulang atau penilaian ulang atau penghakiman ulang.
Dampak paling hebat dari posmodernisme itu sendiri akhirnya bermuara pada kesulitan mencari kesalahan dikarenakan ‘kebenaran tunggal’ sudah digugat hingga akhirnya menjadi ‘diaspora kebenaran.’]

�� Lyotard: postmodernisme setara dengan ‘keraguan pada setiap metanarasi.’ Metanarasi dalam pembahasaan sederhana disebut sebagai kebenaran tunggal. Kebenaran tunggal ini bisa hadir dalam beragam media, semisal filsafat, agama, institusi politik, dan institusi moral individu atau kolektif.
Untuk memahami posmodernisme harus dimulai menengok sejarah posmodernisme itu sendiri. Sebelum posmodernisme hadir, masyarakat atau pun individu hidup dalam metanarasi yang disetarakan dengan ideologi, reliji, dan mitos. Di saat posmodernisme hadir metanarasi itu pun dipertanyakan, diragukan kebenarannya. Peraguan atas kebenaran metanarasi berdampak pada ketiadaan makna. Ini disebabkan metanarasi pada awalanya ditujukan untuk menghadirkan makna ‘apa yang benar,’ ‘apa yang tepat,’ ‘apa yang indah.’ Misal, perayaan Natal dalam tradisi Nasrani. Metanarasi yang dimunculkan dari tradisi perayaan Natal adalah keselamatan abadi yang ada di balik alam kematian, yang menjadi tujuan manusia. Posmodernisme mengambil posisi mempertanyakan bahkan meragukan keberadaan metanarasi ‘keselamatan abadi yang ada di balik kematian!’ (Bila Anda tidak sepakat dengan ide posmodernisme yang semakin hangat di masa sekarang ini, setidaknya kita harus berterimakasih kepada Komite Nobel karena memilih Orhan Pamuk sebagai peraih Nobel Sastra 2006. Pengisahan Orhan Pamuk penuh metanarasi keimanan yang dapat kita diperoleh hanya dengan membaca dua puluh halaman pertama dari buku Benim Adim Kirmizi yang diterjemahkan menjadi My Name is Red dan ketika dialih-bahasakan ke dalam bahasa yang didefenisikan oleh pemuda/i Hindia Belanda pada 1928 menjadi Namaku Merah Kirmizi, tetap muncul rasa inferioritas dalam diri bangsa kepulauan ini dikarenakan pada sampul depan buku terjemahan Orhan Pamuk ini masih tertera My Name Is Red yang berukuran lebih besar dari Namaku Merah Kirmizi!) Ketika metanarasi hancur, maka hidup pun tak ada makna. Dalam tingkatan praktis, sistem posmodernisme bekerja dengan mempertanyakan segala legitimasi yang sudah mapan. Dan Jurgen Habermas membahasnya dalam buku ‘Krisis Legitimasi’. Seperti mereka dan saya dan kami dan kita dan engkau merasakan bahwa negara ini adalah sekumpulan rencana bejat, berisi pembodohan, korupsi, janji-janji, ketololan, dan juga benih perpecahan! (Agak meloncat!) Karena itu diperlukan individualisme ‘mutlak’ sebagai tanda bahwa manusia yang hidup dalam satu negara tidaklah harus mematuhi segala aturan yang dibuat negara. Legitimasi negara diragukan, digugat atas dasar keberadaan hak prifat! Menurut saya pribadi, pengugatan legitimasi itu terjadi dikarenakan tujuan negara tak pernah tercapai alias tidak ada bukti! (Persoalan pembuktian menjadi soal baru dalam posmodernisme.)

[Novel ‘TERBUNUHNYA SEORANG PROFESOR POSMO’ menjelaskan posisi Jurgen Habermas dalam konteks polemik posmodernisme. Posisi Jurgen Habermas: menentang posmodernisme. Habermas menawarkan jalan keluar melalui pembuatan kesepakatan kolektif yang baru yang didasarkan pada kesepemahanan kolektif. Kesepemahaman melahirkan kesepakatan! Dan aku bisa mengerti mengapa jalan keluar ini ditawarkan Habermas. Menurutku Habermas melihat permasalahan posmodernisme terletak pada multi-interpretasi. Hubungan dalam komunikasi bukan lagi hubungan satu-satu; melainkan satu-seribu! Korelasi yang tak sepadan ini hanya dapat dipecahkan melalui penyamaan sudut pandang, kesepemahaman. Namun, sepertinya aku melihat kontradiksi dalam jalan keluar Habermas, dikarenakan nilai yang berlaku dalam posmodernisme adalah ‘diaspora kebenaran,’ bukan lagi ‘kebenaran tunggal.’ Pertarungan wacana yang terjadi di era posmodernisme tidak ditujukan pada pencapaian kebenaran tunggal, tetapi lebih pada kesenangan belaka! Setidaknya ini yang muncul dalam pikiran mereka, aku, kami, kita, engkau, dan yang lainnya. Dalam benakku, Habermas memang sosok idealistik-romantis-rasionalistik-menarik.]

�� Pada dasarnya, posmodernisme tidaklah menghilangkan metanarasi tunggal an-sich. Dalam era posmodernisme pun masih ada metanarasi yang tak terbantahkan yakni uang. Secara simbolis uang dapat diartikan dengan kekuasaan. Kalimat ‘Dengan uang orang dapat memperoleh apa saja’ setara dengan ‘Dengan kekuasaan orang dapat memperoleh apa saja’ (yap, sesuai perkembangan zaman yang semakin materialistik, ide posmodernisme memang sangat realistis!)

Sabtu, 30 Desember 2006, 22:30
Akhirruallam, penulisan novel ini mengesalkan. Menjemukan. Ettore Gnocchi mati sebelum dibunuh. Kalimat ‘mati sebelum dibunuh’ memang mengandung pengertian ada yang berniat membunuh Gnocchi dan jumlah orang yang berniat itu ada 4 orang. Tapi sebelum Ettore mati dibunuh, dia terlebih dahulu mati karena serangan jantung. [Komentar: Sialnya si Arthur Asa Berger pukimak ini tak menambahkan bumbu realis dan konsistensi pengisahan. Ketika Inspektur Solomon Hunter menemukan jawaban sebab kematian Ettore kemudian menceritakannya pada Shoshana, Myra, Allain, Slavomir, dan Basil, tak terungkap apa yang menjadi pemicu serangan jantung. Penyakit itu muncul mendadak, dan Ettore pun mati. Padahal, si Arthur Asa Berger ini sesungguhnya dapat menggunakan bahan baku yang sudah dia siapkan sebagai alasan mengapa listrik padam. Bahan baku itu adalah hujan dan angin dan halilintar, yang dalam konteks serangan jantung dapat berfungsi sebagai stimulan.]
Sesuai dengan posmodernisme, novel ini tepat!
(1) Tidak ada motif,
(2) Dangkal (posmodernisme mengandalkan kedangkalan disebabkan ketiadaan kedalaman; dan pendapat saya pribadi, dalam konteks posmodernisme kedalaman adalah kedangkalan yang meluas),
(3) Rumit
(4) Meloncat (yang bagiku ini dipaksakan penulis untuk memenuhi ciri posmodernisme. Loncatan yang ia maksudkan sesungguh muncul di percakapan antara Inspektur Solomon Hunter dengan istri dan empat kolega Ettore; kecamuk pikiran di benak Shoshana, Myra, Slavomir, Allain, dan Miyako Fuji!
Namun sesungguhnya pula loncatan yang dibuat sebenarnya tidaklah murni meloncat dikarenakan alur cerita masih masih dalam konteks yang sama, yakni mengetahui siapa yang membunuh Profesor Ettore Gnocchi serta mempelajari posmodernisme. Sanggahan atas ‘Meloncat’ ini pun muncul dari fakta bahwa ini novel ini bercerita soal ‘pembunuhan,’ cerita detektif yang memerlukan alur berpikir yang logis dan masuk akal dan runtut, bukan alur berpikir yang menari-nari, meloncat-loncat, atau berjumpalitan)!

�� Persoalan mendasar yang hendak dibahas adalah realitas sesungguhnya penyebab kematian Ettore. Myra Prail, Basil Constant, Shoshana TelAviv, Allen Fess, Miyako Fuji dan Slavomir Propp sudah diinterogasi Inspektur Solomon Hunter. Tidak hanya kelima orang yang dapat menjadi tersangka itu saja, penyelidikan Inspektur Solomon Hunter pun menjalar pada surat-surat Ettore kepada Jean Baudrillard, Jurgen Habermas, Fredric Jameson, dan Jean Francois Lyotard; dan rekaman video ceramah kuliah terakhir Ettore. Fakta pengungkap kematian muncul dari media reproduksi realitas, yakni rekamanan video ceramah kuliah terakhir Ettore. Bagi saya, pendeskripsian itu hendak menjabarkan posisi pragmatisme dari posmodernisme yang hendak menyatakan bahwa representasi kenyataan sesungguhnya masih memiliki kenyataan an-sich. Sisi trivia dalam posmodernisme yang, dugaan saya tidak disadari posmodernisme itu sendiri, malah timbul sebagai kenyataan an-sich, serupa dengan Ludwig Mies van der Rohe: God is in the details.
Secara sederhana aku menangkap ide mendasar dari posmodernisme ini adalah mencapai detail. Seperti yang dijelaskan Foucault bahwa multi-perspektif diperlukan agar pengetahuan dapat lebih dipahami. Konsep itu memiliki ‘kedekatan emosional’ dengan ‘meragukan segala metanarasi.’ Posmodernisme ingin mengetahui detail dari metanarasi itu sendiri; dan cara untuk mengetahuinya lewat pembongkaran multi-perspektif atas metanarasi itu sendiri.

Dalam novel ini, Ettore mendedah persoalan yang memicu kehadiran pemikiran posmodernisme, yakni masalah klasifikasi. Ettore mengambil contoh botak. Bagaimana ‘kita’ memahami botak di masa sekarang ini? Apakah botak itu berarti kepala yang tidak memiliki rambut atau rambut yang tidak ada di kepala? Pilihan itu sekilas memang terdengar konyol. Tetapi sesungguhnya hal bakal jelas bila soal kebotakan disandingkan dengan soal wig yang menghasilkan proposisi orang botak berwig.
Bila kita melihat seorang dan seorang itu pada dasarnya tidak kita ketahui botak tetapi kita melihatnya berambut dikarenakan seorang yang tidak kita ketahui botak itu mengenakan wig dan wig itu serupa dengan rambut asli, maka apakah seorang yang tidak kita ketahui botak dan mengenakan wig serupa dengan rambut asli itu akan kita katakan botak atau berambut? Disinilah posmodernisme hadir. Ketiadaan klasifikasi (!) dikarenakan keutuhan itu tidak lagi diketahui. Hal itu tercitra dalam kebudayaan masa kontemporer sekarang ini, suatu kebudayaan yang hanya membutuhkan penggalan saja.
Dari soal kebotakan timbul masalah mengapa seseorang yang tidak kita ketahui botak dan tidak kita ketahui ia mengenakan wig, mengenakan wig? Keruwetan formulasi itu dapat dipahami dengan cara:
(1) pada kenyataannya orang tersebut botak dan kita mengetahuinya
(2) dikarenakan dia botak dan kita mengetahuinya maka secara rasional adakah alasan yang dapat membenarkan orang botak tersebut mengenakan wig?
(3) apakah nilai kebenaran alasan mengenakan wig itu terletak pada kenyataan orang tersebut botak? atau dengan kata lain adakah korelasi yang masuk akal antara botak dan mengenakan wig?
Pertanyaan itu semakin njelimet dipahami dalam perspektif begini:
(1) kebotakan adalah sesuatu yang niscaya
(2) setiap orang pasti mati sama dengan setiap orang pasti tua sama dengan setiap orang pasti botak.
(3) bila hal (2) adalah kepastian mengapa pula harus ada wig, operasi plastik, gurah, susuk, dan segala macam taik kucing lainnya?
(4) jika rasio sudah mengenal kepastian tersebut dan rasio mengetahui bahwa dirinya tak dapat lari dari kepastian tersebut. Tetapi mengapa pula rasio yang menemukan jawaban hingga orang dapat melarikan diri dari kepastian itu?
(5) apa sebenarnya yang menjadi sebab pelarian tersebut? Pertanyaan ini bisa saja dijawab dari sisi psikologi, mengidap kelainan jiwa. Tetapi, semakin kerumitan baru muncul bila kesimpulan mengarah pada keberadaan seorang botak yang rasional yang mengidap kelainan jiwa yang menyebabkan dirinya mengenakan wig hanya dikarenakan botak.
Dari sisi posmodernisme penjelasan ‘mengapa mengenakan wig’ terletak dalam soal pencitraan yang mampu membentuk kesadaran kolektif atau pun prifat. Ketika orang botak itu banyak menonton televisi dan televisi menghadirkan representasi kenyataan yang ‘menomor-acuhkan’ botak, maka kesadaran orang botak ini terpengaruh. Dengan kata lain, televisi menyiarkan slogan: kebotakan memalukan (!) dan penonton televisi yang botak ternyata terpengaruh. Untuk menghindar dari malu, orang botak itu mengenakan wig. Kasus ini memiliki batasan: si orang botak sadar bahwa kebotakan memalukan.
Setelah memahami hal itu, maka muncul ironi. Kemunculan ironi dikarenakan si orang botak itu ternyata tidak sadar mengapa dia mengenakan wig? Koherensi logis yang sudah dibangun antara kebotakan memalukan dan mengenakan wig adalah cara menghindar dari malu pun menjadi hancur.
Kasus ‘kebotakan’ pun bermetamorfosis menjadi ‘mengenakan wig’ hingga melahirkan ironi yang paling ironis, yakni ketika seorang yang tidak botak, bisa perempuan bisa lelaki, malah mengenakan wig dengan satu alasan: trend! Disini permasalahan sudah masuk ke soal identitas diri. Mengikuti trend menjadi identitas tunggal bagi mereka yang hidup di masa sekarang ini.

Kolaborasi antara media visual dan audiual dan cetak yang memengaruhi kesadaran individu ataupun kolektif yang menyebabkan individu atau pun kolektif secara sadar ataupun tidak sadar terbawa gelombang pencitraan, representasi kenyataan sebagai kebenaran yang menabalkan identitas bagi kemanusiaan mereka! Hal ini dapat dimengerti ketika uang menjadi parameter utama dalam kehidupan posmodernisme. Metanarasi lainnya sudah hilang! Uang menjadi utama. Segala makna pun ditemukan dalam uang atau kekuasaan ini. Bukankah kebenaran dapat dibeli dengan uang? Dalam pola ini, sistem pengadilan republik indonesia pun dapat disorot. Pilihannya, kebenaran adalah kebenaran dan tidak tergantikan atau kebenaran adalah uang dan itu tidak tergantikan, kecuali besarannya seturut dengan gejolak inflasi atau pun naik-turunnya kurs serta saham di pasar bursa.
Dengan demikian diketahuilah bahwa media berperan dalam masyarakat posmodernisme. Persoalan kelas, buruh versus pemilik modal, tidak lagi menjadi utama dalam masa sekarang. Oposisi baru dalam masyarakat telah ditemukan. Mereka yang di dalam televisi versus mereka yang di luar televisi. Mereka yang terkenal versus mereka yang tak terkenal. Konflik popularitas(!) yang berdampak pada pengkudetaan popularitas. Popularitas pun menjadi moda lain dari kekuasaan, selain uang. Mereka yang menguasai popularitas dapat menjadi penguasa legal!
Perebutan kekuasaan di popularitas menjadi tema menarik dengan pendekatan psikologi. Mereka yang berada di luar televisi, yang tidak dikenal, ditakdirkan merebut popularitas dengan tujuan menyebarkan ide-ide yang ada di benak mereka kepada mereka-yang-berada-di-luar-televise (saya bingung kenapa laptop IBM Think Pad dengan install-an Windows xp bajakan selalu mencetak ‘televise’ ketika saya menekan tombol spasi setelah menulis ‘televisi?’); bentuk pengkudetaan popularitas ini adalah bagian dari balas dendam psikopatik! Lihatlah, betapa dangkalnya posmodernisme ini. Perebutan kekuasaan hanya dikarenakan balas dendam, bukan dikarenakan keinginan yang bernada metanarasi yakni: menyejahterakan publik. Dalam cerita ‘TERBUNUHNYA SEORANG PROFESOR POSMO’ sebab kematian Ettore bukanlah pisau, peluru, panah, dan racun, melainkan serangan jantung.
Balas dendam yang dilakukan ‘kaumpsikopatikmasyarakatposmodern’ ditujukan merebut popularitas. Dengan demikian yang menjadi sasaran adalah tampilnya ‘kaumpsikopatikmasyarakatposmodern’ di layar kaca, head-line koran-koran, bahkan media saiber! Mencuri perhatian khalayak sepenggalan menit saja sudah berarti ketenaran! Andy Warhol: “Ketenaran dalam 15 menit!”
Bila sudah demikian, kondisi chaos adalah kondisi yang tak terhindarkan dalam masyarakat posmodernisme. Solusi keluarnya adalah mencari ‘pahlawan’ baru, yakni mereka yang kebal terhadap serangan pencitraan, penghabluran pengalaman aktual menjadi representasi kenyataan. Inilah ketakutan Profesor Ettore Gnocchi yang meninggal karena serangan jantung dan setelahnya ‘dibunuh’ (mohon dipahami, karena kosa-kata bahasa Indonesia tidak memiliki sebutan yang tepat untuk kondisi yang dialami Profesor Ettore Gnocchi, yakni seseorang yang sudah mati yang kemudian diberi perlakuan tambahan yakni, pembunuhan; dengan kata lain: apa sebutan atau kata yang tepat untuk menyatakan perbuatan membunuh mayat! Terdengar sangat menyenangkan kata tersebut, apakah membunuh orang yang sudah mati adalah perilaku pidana yang harus diganjar pasal 338 atau 340 KUHPidana? atau apakah memang dimungkinkan membunuh orang yang mati? Apakah Anda sudah mulai mengerti posmodernisme?) dengan empat cara secara bersamaan.

Minggu, 31 Desember 2006, 10:06
Sebagai penutup ada baiknya pembaca menikmati film Beerfest yang disutradarai Jay Chandrasekar. Film ini banyak menyoal posmodernisme, yang sudah tentu itu dikarenakan sudut pandang posmodernisme! Jujur saya akui, Jay Chandrasekar memberi pukauan baru bagi saya.

Sekian,
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda,
Sampai jumpa dalam penerbangan berikutnya,
Silahkan isi dahulu buku tamu, dan
kalau ada kartu namanya, please…

[Deif-Feil]

The Last Kiss

Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Drama
YANG SUCI DAN KETAKUTAN

Michael, Jenna, dan Kim. Christ, Lisa, dan Matthew. Institusi pernikahan!!!!!!?!!!!!!!
(1) Free-sex
(2) Perselingkuhan
(3) Institusi Pernikahan
(4) Ketakutan
(5) Cinta

Cinta
Old English/Jerman, lufu. Latin, lubet. English, love. Indonesia, cinta. Love memunculkan LIBIDO. Old Church Slavonik/Rusia, ljubot’. Sansekerta, lubhyati.
Sebelum abad ke-13, kata tersebut muncul di Inggris Raya. Dalam bahasa Indonesia, kata itu dapat diartikan: hasrat, perasaan terdalam dari lubuk hati manusia.

Ketakutan
Old English/Jerman, fǽr. Jerman, Gefahr. Indonesia, takut. Sebelum abad ke-13, kata tersebut muncul di Inggris Raya. Dalam bahasa Indonesia kata tersebut berarti kondisi perasaan yang tidak tenang yang disebabkan ‘oleh sesuatu.’

Institusi Perkawinan
Mengikut teori evolusi Darwin, tampaknya institusi perkawinan dikenal ras manusia ketika ras manusia sudah mampu menggunakan akal buat memecahkan masalah. Seturut dengan perkembangan akal, peradaban manusia pun semakin maju bila dibandingkan masa sebelumnya. Di masa sebelumnya, dapat dipastikan bahwa untuk berkembang-biak tak diperlukan institusi perkawinan. Di masa itu hanya dibutuhkan musim kawin.
Pengenalan agama ataupun sistem kepercayaan, dugaan saya, memunculkan institusi pernikahan. Lembaga inilah yang melindungi kebanalan hasrat primitif ras manusia untuk berkembang biak. Hubungan seksual pun mendapat tempat tertinggi dalam peradaban ras manusia.

Perselingkuhan
Dalam tradisi posmodernisme, perselingkuhan adalah pemberontakan atas nilai-nilai modern alias metanarasi. Dalam perspektif biologi, perselingkuhan serupa virus yang terinkubasi dalam tubuh (baca: institusi) pernikahan. Seturut teori, dalam lingkungan yang tidak cocok virus membentuk kista untuk melindungi dirinya sendiri. Namun dalam lingkungan yang cocok berlaku sebaliknya.Virus berkembang biak dan menghancurkan induk semangnya. Demikianlah virus perselingkuhan bekerja dalam tubuh perkawinan. Perselingkuhan menghancurkan tubuh pernikahan, dan ketika tubuh pernikahan yang menjadi induk semangnya hancur, virus tersebut tetap hidup; disebabkan kemampuan dirinya membentuk kista pertahanan diri.

Free-Sex
Seturut perkembangan zaman, ketika posmodernisme mulai merasuki peradaban ras manusia, diperkirakan pasca Perang Dunia II, saya menduga, free-sex (untuk seterusnya saya lebih menggunakan frase ‘seks-bebas’ dalam tulisan ini) dan perselingkuhan pun mewujud-nyata dalam perabadan ras manusia. Mengikuti aturan konsistensi dalam berpikir, saya mengambil sikap: perselingkuhan muncul lebih dahulu dari seks-bebas. Hasrat seksual yang semula ditujukan untuk berkembang-biak mengalami penurunan nilai. Sebabnya: tujuan menghasilkan keturunan terdistorsi menjadi sekadar kenikmatan 20 menit. Mungkin, ada juga yang berpendapat sebaliknya. Ideologi mendasar dari seks-bebas adalah kebebasan itu sendiri. Atau, dalam konteks posmodernisme, penentangan terhadap dominasi budaya modern yang mengagungkan metanarasi. [Dan kita bisa berdebat tentang hal itu dari segala perspektif, mulai dari feminisme yang memandang institusi pernikahan adalah produk budaya patriarkhi.]

Michael, Jenna, dan Kim. Christ, Lisa, dan Matthew.
Michael dan Jenna, sepasang kekasih. Jenna sudah hamil. Tapi, mereka belum menikah. Kim, selingkuhan Michael.
Christ dan Lisa, sepasang suami-istri; dan dengan perkataan ‘suami-istri’ maka keduanya sudah berada di dalam institusi pernikahan. Matthew, anak mereka.

Michael me-cinta-i Jenna. Namun, ketika hendak melangkah masuk ke dalam institusi pernikahan, Michael mengalami ketakutan, yang pada dasarnya disebabkan ketidak-siapan dirinya menghadapi institusi pernikahan. Karena ketakutan itu, dia pun melakukan perselingkuhan dan seks-bebas dengan Kim.
Christ me-cinta-i Lisa. Namun, ketika menyadari institusi pernikahan adalah perangkap bagi kebebasannya, dia pun memutuskan berpisah dengan Lisa. Alasannya sederhana, Christ dan Lisa sering bertengkar dan pertengkaran itu setidaknya terekam dalam memori Mathhew, anak mereka. Dalam benak Christ, pertengkaran yang mereka lakukan akan berpengaruh negatif terhadap Matthew. Karena ketakutan akan bayangan itu, Christ pun memutuskan berpisah; tanpa perlu melakukan perselingkuhan dan seks-bebas.

The Last Kiss memberikan jawaban, yang menurut aku lumayan menarik untuk ditelaah lebih jauh bagi mereka yang hidup dalam dunia yang semakin lama semakin menggila ini. Dalam bahasa Indonesia The Last Kiss berarti Ciuman Terakhir.
Dari film ini, kerja ‘cium’ mengalami penyucian. Ketika perkembangan zaman mensyaratkan kebebasan-tiada-batas (adakah yang bisa menolong menjelaskan apa dan bagaimana, jika memang ada ‘Etika Kebebasan.’), kerja ‘cium’ terdegradasi menjadi barang komoditi yang murah dan mudah dibeli jika Anda punya uang atau ‘cinta’ (lebih tepatnya proses kimiawi metabolisme tubuh yang merangsang hormon-hormon di dalam tubuh hingga akal mencetak kalimat ‘Ah, ini dia yang kucari. Sungguh ideal, sesuai dengan yang aku idamkan.’).
‘Cinta’ (baca: cinta dalam tanda petik) adalah pemberontakan posmodernisme terhadap metanarasi cinta yang dihasilkan modernisme. Cinta yang mengandung kesakralan terdeformasi menjadi ‘cinta’ yang dapat dirasionalisasi menjadi perubahan metabolisme tubuh yang mengakibatkan akal mencetak kalimat ‘Ah, ini dia yang kucari. Sungguh ideal, sesuai dengan yang aku idamkan.’ Dari pendekatan terakhir, maka tidak heran bila ada orang dari jenis kelamin tertentu mengucap ‘I Love You’ kepada 1.500 orang berbeda, entah kepada jenis kelamin yang sama atau berbeda (ada baiknya kita berharap ‘orang’ itu mengucapkan kata tersebut kepada orang lain yang berjenis kelamin beda dengan dirinya). Alasannya sudah diketahui sangat sederhana. Karena pengucapan kalimat ‘I Love You’ diakibatkan proses metabolisme tubuh, maka melalui rasionalisasi-saintifik pewujud-nyataan proses metabolisme tubuh tersebut dapat terjadi. Caranya tentu saja dengan mengkondisikan subjek dalam suatu lingkungan tertentu yang cocok untuk merangsang proses metabolisme tubuh yang akan mengakibat dia berkata ‘I Love You’ itu bekerja. Bila semua sistem bekerja dengan baik ‘cium-‘an pun terjadi. Kenyataan! [Karena itu, bagi Anda yang membaca artikel ini ada baiknya membuat penelitian faktor-faktor apa saja yang bisa menyebabkan sistem tersebut bekerja dengan baik; sebab sepengetahuan saya sistem ini masih bekerja di bawah hukum ‘kebetulan,’ bukan perhitungan matematis. Percayalah, Einstein belum menemukannya!]

Ketika keretakan terjadi, peluang pun bermain (untung ada ilmu statistika yang memperbincangkan hal ini dengan lebih mendetail). Pilihan ada dua, menyatu atau berpisah; dan keduanya memiliki peluang yang sama, 50 persen. Kenyataanlah menyimpan jawaban dan seturut perkataan bijak yang hidup ratusan bahkan ribuan tahun lebih ‘kita hanya bisa berharap.’ Itulah yang dilakukan Michael. Dia berharap dan berupaya agar bisa kembali menyatu dengan Jenna. Harapan itu muncul setelah dia menyadari bahwa ketakutan yang dialaminya, ketakutan yang menyebabkan dia berselingkuh dengan Kim, adalah ketakutan yang tidak rasional, ketakutan yang artifisial, ketakutan dikarenakan dia tidak mau terikat dalam metanarasi ‘cium’ yang sesungguhnya. Atas dasar kesadaran itulah dia pun berkorban dengan cara menunggui Jenna di teras rumah hingga Jena memulai percakapan pertama dengannya; penggarapan adegan ini diolah dengan sangat menarik oleh sutradara Tony Goldwin.

[Pembaca : Lalu bagaimana Anda menjelaskan Christ, Lisa, dan Matthew?

Penulis : Sesungguhnya, aku agak sulit menjelaskan hal tersebut. Namun di saat menonton film itu, aku melihat ada kesetaran posisi antara Kim dan Matthew. Retaknya hubungan 1,5 pasangan itu dikarenakan Kim dan Mathhew. Sebelumnya aku mau menjelaskan mengapa aku menggunakan ‘1,5 pasangan itu.’ Bagi aku, Christ dan Lisa adalah satu pasangan utuh yang sudah berada dalam institusi perkawinan; sedang Michael dan Jenna pasangan yang belum utuh dikarenakan belum masuk ke dalam institusi pernikahan.

Pembaca : Yah…, tapi rasanya itu terlalu berlebihan. Kau hanya mencoba memposisikan diri saja dalam soal posmodernisme. Bukan begitu? Ah, tak usah kau jawab, lanjutkan saja penjelasanmu tentang Christ, Lisa, dan Matthew.

Penulis : Hmm…, terima kasih. Tapi aku hanya ingin memberikan sedikit detail pada penjelasanku. God is in the details! (sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya di depan wajah) Itu kata-kata Ludwig Mies van der Rohe. Entah siapa dia aku tidak tahu. Aku merasa kata-kata itu bagus dan aku hanya perlu mengingat kata-kata tersebut dan siapa yang mengucapkannya tanpa menyoal sejarah pengucap kata-kata tersebut.

Pembaca : Apa gunanya buatku? Bisa tidak langsung ke masalah. Waktuku semakin sempit (agak sedikit marah).]

Waktu (kesadaran berada di dalam waktu)! Waktulah yang menjawab segala konflik yang terjadi. Perpecahan Christ dan Lisa dikarenakan Matthew hanyalah alasan rekaan saja. Kepada Michael, Christ membuat pengakuan bahwa ketika ia memasuki institusi pernikahan, dia kehilangan kebebasan.
Padahal, menurut aku alasan sesungguhnya adalah ketakutan dalam diri Christ dikarenakan dia tidak menyangka bahwa institusi pernikahan memiliki segudang masalah yang rumit, mulai dari menggendong Matthew, mengganti popoknya, membelikannya susu, merawat kesehatan, dan itu belum lagi ditambah pertengkaran yang pasti bakal terjadi antara dirinya dengan Lisa dan itu harus dimanajemen agar tidak terekam dalam memori Matthew. Meski akhirnya memutuskan berpisah dengan Lisa, berdasarkan intuisi aku menilai bahwa mereka berdua pasti akan menyatu kembali (mungkin di dalam film berikutnya, The Last Kiss 2). [Harus aku akui tidak ada adegan yang bisa membenarkan dugaanku tersebut. Beruntunglah mereka yang memiliki intuisi!]
Sedang Michael, aku menyebutnya si pintar yang bodoh dan tolol, seperti pengakuan dia kepada Stephen, ayah Jenna, pun tak jauh beda. Di dalam film tersebut, Michael menyatakan bahwa perselingkuhan itu dilakukan karena ketakutannya tidak bahagia dan bla-bla-bla. Dan ternyata, ketakutan serupa pun dirasakan oleh Jenna. Jenna takut bahwa nantinya dia akan menjadi ibu yang tak ideal bagi anaknya, juga ketakutan akan hancurnya pernikahan yang bakal mereka jalani. Tapi, menurut aku ini pun masih terkesan artifisial juga. Semua ketakutan itu adalah dikarenakan institusi pernikahan mengandung kesucian dan kesucian itu harus dipertahankan bagaimana pun, seturut dengan keretakan kecil pasangan Stephen dan Anna, orang tua Jenna, yang telah menikah selama 30 tahun lebih. Dan The Last Kiss menjadi tapal batas antara yang profan dengan yang suci!

[Pembaca : Jadi, menurut kau film ini buruk, bagus, lumayan atau ada alternatif lain?

Penulis : Setidaknya, untuk 1 Januari 2006, ini adalah film yang baik. Drama yang menarik. Sedang alternatif lain: pengalaman adalah guru terbaik! Lu Cuma butuh beli DVD-nya seharga Rp5.000 di Glodok atau Rp6.000 di Mall Ambasador; dan karena itu berterimakasihlah pada para pembajak yang pada dasarnya mereka hanya memikirkan keuntungan rupiah tanpa menyadari bahwa kerja mereka itu ternyata memberikan kesenangan dan pelajaran berharga. Aku serius, pelajaran berharga! Jangan tertawa (dengan mata membelalak).]

[Deif-Feil]

Monday, 1 January 2007

sepilihan lagu dari kedai kopi

Rating:★★★★★
Category:Music
Genre: Miscellaneous
Artist:various
owner of the lonely heart | yes
rock n roll | led zeppelin
california dream |bobby womack
sympathy fora the devil | the rolling stones
house of the rising sun | animals
home by the sea | genesis
perfect day | duran-duran
brown eyed girl | van morrison
walk of life | dire straits
many rivers to cross | joe cocker
strawberry field forever | the beatles
i‘ve been loving you too long | dicky williams
love me two times | the doors
girl, you’ll be a woman soon | urge overkill
englishman in new york | sting
nights in white satin | moody blues
mustapha | queen

ˇ
lagu-lagu ini pengantar kemalaman di kedai sinau jakarta

harga: Rp 10.000/cd

modern no. 20

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:w.m. ahmad
Katalog Dalam Terbitan (KDT) Perpustakaan Nasional RI

w.m. ahmad
modern no. 20
Desember 2006
ISBN 978-979-15449-1-7

150 halaman, 12.5 x 12.5 cm


1. modern no. 20 2. Puisi, Sastra 3. Indonesia
Judul



Cetakan pertama, Desember 2006

Penulis: w.m. ahmad
Rancang sampul: adhiklaud
Foto sampul: herman


Diterbitkan oleh:
kedai buku | sinau
jl. Bekasi Timur 1, No. 32A
Jakarta 13350
e-mail: kedai_sinau@yahoo.com

Harga: Rp. 17.000



Risalah 2007: Manajemen kebetulan, manajemen sambil lalu dan manajemen akal-akalan.



Penguasa terburuk bukanlah yang suka memukul melainkan yang mengharuskanmu memukul diri sendiri.
Cadas Tanios-Amin Maalouf

Entah apakah ada perbedaan antara tahun lalu dan sekarang. Jika kita percaya dengan matematika sesungguhnya kecenderungan perubahan di Indonesia berdasarkan data yang ada adalah diminishing-menurun tidak bertambah baik. Setidaknya nuansa itu langsung saya dapatkan dalam kehidupan di Jakarta. Analisa paling sederhana adalah ketika kita sudah mulai menghabiskan tabungan kita. Perbedaan apa yang diinginkan dalam suasana krisis seperti ini ? Sementara transaksi ekonomi diluar sektor riil merayakan akhir tahun dengan kemenangan. Dan transaksi diluar sektor riil inilah yang menjadi indikator ekonomi bangsa. Diluar tembok analisa ekonomi saya harus kecapaian melihat pengemis dengan berbagai bentuk menjamur sebelum musim penghujan. Bertambah tahun semakin banyak. Dan lepas dari persoalan kesukarelaan keberadaan mereka sudah mengganggu afeksi dan motorik saya. 2007 setelah 2006, cuma itu penjelasannya. 2006 setelah 2005. 2005 setelah pemilu yang paling demokratis, setelah kita berhasil memilih pemimpin. Sebuah stepping stone yang diawali riwayat ‘paling’ dan pemimpin superlatifpun (setidaknya ini iklan dari para jubir kepresidenan dan intelektual yang selalu salah dalam meramal, atau tepatnya mislead dalam memaparkan data) terpilih dengan aneka macam atribut yang hampir jadi dongeng.

Di 2006 setelah hidup soliter. Gerak diam seperti gerak pikiran. Cukup banyak gunanya. Cuma dalam diam kita dapat menimang-nimang keyakinan. Di tahun 2006 saya menikah. Cari peruntungan. Karena rencana bisnis yang saya buat diawal tahun 2006 mentargetkan hal itu. Mengapa menikah termasuk rencana bisnis ? Karena bisnis buku dan kopi yang saya lakukan murni dari unsur hobi. Dan calon istripun diseleksi sehingga berasiran dan sanggup menambahkan nilai pada bisnis ini (karena satu hobby). Disamping harus mampu mengisi ruang sosialnya dan menjemput impiannya sendiri. Menikah merupakan pengalaman bisnis yang layak diuji cobakan, karena sudah banyak permintaan agar Sinau bisa dibuat di tempat lain. Persoalannya sistem franchise seperti apa yang sanggup menyertakan idealisme bukan bisnis. Sementara jika bicara keuntungan kedai Sinau masih jauh dari bisnis yang ideal, karena mendurhakai konsep manajemen.

Kedai Sinau mengalami kebangkrutan (dalam hitungan bisnis). Bukan pada visi tapi pada tataran operasional. Visi yang bagus ternyata tidak cukup. Aktivitas keseharian yang menuju visi tersebut yang tidak dimiliki oleh kedai Sinau. Aktivitas keseharian tersebut murni pada persoalan manajemen. Dan persoalan pertama dalam manajemen adalah kepemimpinan. Bagaimana seorang pemimpin memberikan contoh yang bukan fiksi (bukan lagi teori). Sementara kepemimpinan 4 tahun kedai Sinau seperti fiksi, melulu menciptakan tokoh kepahlawanan. Fiksi tentang komunitas yang bisa digembleng untuk mempercayai visinya sendiri dan bergerak maju bersamaan dengan orientasi bisnis, ternyata gagal dijadikan pengalaman nyata. Lagi-lagi persoalan kepemimpinan. Mungkinkah kedai bisa berjalan tanpa menghadapi persoalan manajemen seperti ini, dimana orang tidak menjadi maling buku, menepati kata-katanya untuk membayar utang? Ternyata tidak. Manajemen memainkan peranan penting. Keseharian adalah masa depan. Kebiasaan dibentuk dari aktivitas yang diulang-ulang setiap hari. Dan rutinitas seperti ini jika ditekuni ternyata memiliki tantangan, bagaimana menciptakan pasar dalam visi kedai Sinau yang cuma ingin menjual buku sastera dan filsafat, sambil berjualan kopi ?

Kepemimpinan mikro di kedai Sinau nampaknya sama bergetah di tingkatan negara. Sebagai pemegang kendali manajemen bangsa, pengelola negara sebenarnya sedang menciptakan fiksi, dengan menokohkan seseorang dan seluruh kabinet dengan perantaraan media massa, yang daya kritiknya perlu dipertanyakan ide dasarnya, apakah memang sebuah kritik yang disuarakan atau cuma berita dari jurubicara resmi yang sedang diungkap. Media massa sepanjang 2006 ternyata soliter, tidak sedang menjadi musuh ataupun menjadi kawan pengelola negara. Negara juga soliter tidak sedang memikirkan rakyatnya, malah menyuruh rakyatnya memukuli dirinya sendiri. Sebuah tindakan yang aneh yang dilakukan negara dan media massa. Mengapa negara dan media massa menjadi penting. Kerena dua institusi itu yang paling diharapkan masyarakat. Rakyat kebanyakan ditentukan oleh berita dan derita. Dua hal ini yang menjadi objek dua institusi tersebut. Pahlawan ditentukan oleh berita dan derita.

Rakyat korban manajemen, begitu juga karyawan-buruh. Mendurhakai manajemen setidaknya dapat ditelusuri dari tiga kebiasaan mengelola: pertama manajemen kebetulan, kedua manajemen sambil-lalu, ketiga manajemen akal-akalan. Manajemen kebetulan berlaku seperti ketika ada bencana, tiba-tiba kita sadar ada hal-hal yang perlu diantisipasi di masa mendatang. Manajemen kebetulan sama sekali tidak memperhatikan unsur masa depan dalam perencanaannya. Ia disebut sebagai manajemen semata-mata karena seolah-olah ada pengaturan, padahal sama sekali tidak. Manajemen kebetulan semata-mata ada karena kebetulan, kehadiran tiba-tiba, sehingga sangat reaktif, sepotong.

Kedua, manajemen sambil-lalu. Dalam manajemen sambil lalu aktivitas pengelolaan didasarkan pada obrolan sepintas lalu, rumor di sms, ilham yang sering hadir dalam emosi sesaat, biasanya dalam kemarahan. Manajemen sambil lalu ini sering salah kaprah disebut sebagai manajemen intuisi. Cuma batu asahnya saja yang tidak ada. Intuisi sesungguhnya adalah asahan, sedangkan manajemen sambil-lalu diasah dari obrolan yang seringkali datang dari orang-orang paling menyedihkan dalam cerita kehidupan. Dalam politik Indonesia orang-orang tersebut adalah purnawirawan ABRI dan birokrat sipil eselon satu purna bakti, tokoh politik yang menokohkan dirinya namun kalah melulu, pendeta dan ulama yang berpretensi kekuasaan an sich dan pemaksa atas keyakinannya, selebritas yang hilang pamor, dan orang-orang yang kehilangan terus menerus.

Ketiga manajemen akal-akalan, jika 2 jebakan manajemen tadi datang dari pemimpin maka manajemen akal-akalan datang dari bawahan-ummat-rakyat. Manajemen akal-akalan sering dijelaskan sebagai siasat, semacam tipuan gerak. Bawahan seringkali melakukan manajemen akal-akalan untuk menutupi kesalahan dan kecurangan. Berbagai alasan bisa saja disorongkan, intinya sebagai akal-akalan.
Jarak ternyata dimanfaatkan dalam mengelola negara. Jika penguasa melakukan manajemen kebetulan dan manajemen sambil-lalu maka rakyat melakukan manajemen akal-akalan. Sialnya, distorsi kata pemerintah dan penguasa sudah mendarah daging-rakyat menjadi yang diperintah dan yang dikuasai. Cuma akal-akalanlah yang bisa dilakukan oleh bawahan dan rakyat dalam bertahan hidup dalam situasi pengelolaan negara yang dilakukan secara kebetulan dan sambil lalu.

Dalam bisnis buku seperti yang dilakukan kedai Sinau-sebenarnya jarak yang jauh bukan persoalan-bukankah teknologi informasi menebas jarak ? Namun manajemen tipuan mendistorsi informasi, sehingga keputusan yang dibuat tidak berdasarkan kondisi sebenarnya.

Sebenarnya ada persoalan besar ketika bawahan dan rakyat cuma bisa mencuri-menjadi maling, bukan cuma permasalahan salah urus manajemen negara namun ada persoalan mental. Orang-orang yang melakukan manajemen akal-akalan adalah orang-orang kalah. Mereka tidak memiliki perlawanan. Tidak ada daya juang. Tidak ada cita-cita di tingkat komunal. Sebuah visi praktis bersama yang milik buruh-rakyat. Dan visi kolektif milik buruh dan majikan. Ada kegagalan serius dalam mengolah mental. Majikan yang semena-mena dan buruh yang menjadi penakut. Budaya yang terbentuk cuma budaya maling, besar dan kecil cuma ukuran pembeda.

Manajemen akal-akalan milik orang yang secara mental kalah. Sehingga perlawanan mustahil dilakukan. Orang-orang bermental kalah ini senang sekali diperintah dengan tangan besi. Memukuli dirinya sendiri. Otonomi dan kebebasan tidak menjadikan mereka lebih baik dan optimis. Yang ada dalam mental orang kalah adalah ketergantungan menyeluruh pada pihak lain. Dan usaha didefinisikan untuk ‘mencari kesempatan mencuri’ atau berpindah majikan. Daur hidupnya adalah membuat kesalahan, kehilangan, dan berganti majikan. Ritualnya memukuli diri sendiri dan berkeluh kesah tentang nasib yang tidak juga berubah. Menutup mata atas kemungkinan yang bisa dibuat sebagai harga dari sebuah kebebasan dan otonomi. Dalam perspektif ekonomi orang kalah macam ini tidak memiliki pilihan tapi dipilihkan. Orang yang tidak bisa memilih seringnya tidak bertanggung jawab pula atas apa yang dipilihkan kepada mereka.

Bagaimana 2007. Mendurhakai manajemen atau bencana manajemen. Bussiness as usual ? Di tingkat negara saya tidak ingin tahu. Tepatnya saya tidak butuh negara. Akan lebih banyak lagi tuntutan saya mengenai pengurangan peran negara. Apalagi pemerintahan yang berlangsung. Apalagi wakil rakyat yang semakin berjarak. Tentang kedai Sinau saya bisa cerita. Perubahan itu niscaya. Mau berubah adalah soal lain. Saya cuma ingin bercerita tentang beberapa tamu dan pengunjung kedai Sinau di Jatinegara yang cukup punya otonomi dan kebebasan dalam menentukan jalan hidup mereka, cerita tentang mereka dan kunjungan saya di kedai kopi dan buku menjadi resep kopi a la kedai Sinau. Mereka orang bebas, dan saya belajar banyak untuk mengerti manajemen, memberikan visi praktis. Mereka bergerak untuk mengurangi peran negara dalam kehidupan mereka sendiri. Ada yang membentuk asosiasi sipil atau bergerak sendirian, tujuannya meyakinkan orang lain dan menyebarkan rasa optimis-tentu dengan contoh yang ia lakukan sendiri. Kearifan seperti ini muncul dari orang yang belajar. Dan menempatkan impian-impian mereka di tahap kemungkinan, bukan di tidur siang. Menjajal setiap kemungkinan dan mengukur capaian. Kepemimpinan yang terus menerus belajar untuk tidak percaya pada pengkondisian ciptaan orang lain. Yang berani bersabda dunia itu tuna, aku yang menyempurnakannya. Dalam kemurungan yang nyaris sempurna, di kedai Sinau Jatinegara banyak orang yang berusaha mengobati dirinya. Mencoba bersikap seperti apa adanya, tanpa akal-akalan. Maka jika di tahun 2006 temanya Setiap Orang Yang Datang Adalah Orang Yang Tepat. Di tahun 2007 tema kedai Sinau menjadi Bayar dan Berkawan !

Bayar dan Berkawan ! Mengapa ? Dalam situasi serba kekurangan ada seorang Benny yang setiap hari datang di kedai Sinau Jakarta, jika banyak pelanggan di kedai, ia datang sebagai kawan dan diperlakukan sebagai kawan juga oleh kedai. Namun jika sama sekali, pada suatu malam, di kedai tak berpengunjung maka Benny dengan kesadarannya membayar secangkir kopi, yang cuma dihargainya 1000 rupiah dan menyodorkan rokok 369nya. Benny inspirasi Bayar dan Berkawan. Pengunjung setia yang setiap hari menjadi inspirasi. Benny seorang yang bisa menemani kita menikmati malam seperti siang hari-tidak sekadar termenung, bahkan bisa leluasa mengobati dirinya sendiri, bertambah baik setiap hari, mencicipi setiap kepahitan, berpijak pada realitas. Sebelumnya Benny adalah fiksi. Begitu juga cerita tentang komunitas yang pernah ingin direalisasikan di kedai Sinau Malang dan Jakarta, juga fiksi. Kemampuan membayar adalah harga untuk sebuah korbanan yang bernilai sama dengan pelayanan yang diberikan. Membayar adalah sebuah kebebasan, dan bukan suatu akal-akalan. Sementara komunitas di kedai Sinau seringkali berperan jadi pelanggan yang kapitalis (lawan dari tuduhan mereka mengenai pedagang selalu kapitalis-eksploitatif). Mengapa komunitas dan pelanggan/pengunjung bisa menjadi kapitalis, karena dibawah sadar mereka, komunitas bukan untuk memampulabakan diri mereka sendiri, tapi eksploitatif, serakah. Sikap eksploitatif ini berkedok kesukarelaan dalam berkawan-namun sesungguhnya parasit yang cuma ingin mencari makan gratisan. Bercerita fiksi tentang kepahlawanan dan kehidupan yang bahkan mereka tak sadari cuma kebohongan. Aksi kolektif yang ingin digalangpun selalu dibenturkan kepada pembiayaan (dan itu dibebankan/urusan kedai). Percobaan demi percobaan untuk bertukar pengalaman dan melakukan manajemen pengetahuan gagal dijalankan.

Bayar dan Berkawan ! Membayar adalah sebuah kesadaran untuk berkorban, membayar dengan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu. Sebagai sebuah korbanan ini tentu menjadi sebuah konsekuensi logis dan berlaku bagi yang ingin berkomunitas ataupun murni menjadi pembeli. Dan sesuatu yang didapatkan itu tentulah keuntungan bagi kedua belah pihak, penjual dan pembeli. Seseorang yang tidak serius menjual untuk mendapatkan laba atau bekerja sungguh-sungguh bukanlah orang yang rasional secara ekonomis. Andaipun ia beruntung maka ia cenderung tidak menjaga apa yang telah menjadi keuntungannya (ini karakter orang kalah). Konsep membayar adalah konsep ekonomi.

Sedangkan berkawan adalah pengakuan tentang identitas secara jujur-sehingga yang diharapkan adalah perlakuan setara, manusiawi dan personal. Di kedai semua pertemuan pertama dianggap sebagai kebetulan belaka, pertemuan kedua adalah keisengan, pertemuan ketiga adalah pelanggan, pertemuan keempat dan kelima adalah perkawanan, pertemuan keenam dan seterusnya mulai membicarakan impian dan kolektivitas. Berkawan adalah bicara logika ekonomi pula, dimana tugas dari perkawanan adalah memberikan bobot nilai dengan cara yang bukan berkaitan dengan pertukaran sesuatu dengan sesuatu senilai sama dengan sejumlah uang (menguangkan sesuatu atau mengukur dengan ukuran materi) namun dengan nilai-nilai yang dipercaya oleh seseorang (dan bagaimana orang tersebut menilai-menimbang sesuatu) dan membuktikan penilaiannya dengan tindakan bukan dengan kata-kata.

Bagaimana dengan nasib perkawinan ? Visi 2007 adalah perkawinan bisnis. Dimana terjadi dua institusi yang akan menggerakkan mimpi kolektif. Tentu ruang yang dibangun masih dalam koridor Bayar dan Berkawan ! Saya hampir percaya seratus persen bahwa lebih banyak keinginan dibandingkan kebutuhan. Dan keinginan tak kunjung habis. Seorang pembelajar bertugas mempelajari kebutuhan sehingga bukan menjadi orang yang selalu dipilihkan, dan belajar untuk bertukar lepas antara bermacam barang yang kita beri bobot nilai dan kita percayai bersesuaian dengan cita-cita kita.

Bayar dan Berkawan menjadi obat bangkit dari kebangkrutan. Semoga.

widhy | sinau