Rating: | ★★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Other |
Author: | arthur asa berger |
SINOPSIS YANG BUKAN BAHKAN MELEBIHI SERTA MENYERUPAI SINOPSIS ITU SENDIRI HINGGA KITA PUN TERSADAR BAHWA ENAM MILIAR MANUSIA YANG MEMILIKI LEBIH DARI DUA KALI LIPAT KATA TERNYATA MASIH KURANG JUGA UNTUK MENYEBUTKAN ADA YANG MENJADI DEFENISI DARI SINOPSIS YANG BUKAN BAHKAN MELEBIHI SERTA MENYERUPAI SINOPSIS DARI ‘TERBUNUHNYA SEORANG PROFESOR POSMOS – Arthur Asa Berger’
Sinopsis yang melebihi sinopsis ini lahir ketika aku selesai menonton sebuah film yang bercerita tentang kehidupan satu keluarga Yahudi di suatu kota metropolis yang berada entah dimana. Keluarga itu terdiri atas pasangan suami-istri dengan tiga anaknya—anak pertama, perempuan, hendak menikah dengan lelaki turunan Palestina; anak kedua, perempuan, tak lagi percaya Tuhan dan senang gonta-ganti pasangan senggama hingga menghasilkan seorang putri yang tak berayah nyata; anak ketiga, laki-laki, lagi suka-sukanya belajar agama dan mencoba menerapkan peraturan agama dalam keluarganya yang sudah serupa kapal pecah—dan seorang lelaki tua lagi buta, ayah kandung dari ayah beranak tiga itu, veteran perang Israel yang sempat tinggal di panti jompo sampai anak lelakinya datang ‘menyelamatkan’ dari panti itu.
Konflik pun dimulai ketika anak pertama membawa dan mengenalkan calon suaminya kepada ibunya; sebelum itu mereka menyempatkan diri bercinta di dalam elevator di apartemen ibunya tinggal. Ketika mengetahui bakal menantunya adalah turunan Palestina, ibu beranak tiga itu pun marah-marah. Sebabnya, tentu saja dikarenakan tradisi konflik yang selalu berdarah antara Israel-Palestina sejak 1948.
Di saat pertengkaran ibu dan anak pertamanya terjadi—pertengkaran yang disebabkan perbedaan ras, dimana ras itu bukanlah soal pilihan pribadi melainkan ketentuan dari Yang Di Atas, dalam konteks posmodernisme ‘Yang Di Atas’ adalah metanarasi—lelaki turunan Palestina itu sedang berada di dapur hendak memanaskan sup beku yang tersimpan di dalam lemari es buat makan malam bersama. Tapi, rencana memanaskan sup beku itu tidaklah berlangsung mulus. Dikarenakan kecerobohan atau kegagapan kultural yang terjadi di dalam dirinya, tiba-tiba saja sup beku itu terlepas dari tangan lelaki turunan Palestina itu dan menggelincir jatuh dari jendela apartemen. Sebelum membentur jalan, sup beku itu menghantam kepala seorang lelaki botak bermantel hangat yang tengah melintas. Lelaki botak itu pun tersungkur jatuh tak sadarkan diri untuk ‘beberapa lama.’ Bagi orang yang tengah lalu di jalan lelaki botak bermantel hangat itu pingsan, ‘beberapa lama’ pun memiliki nilai lebih, yakni kesempatan mengambil dompet yang terselip di saku pantat kanan dari celana yang sudah ditakdirkan untuk tak lagi dikenakan lelaki botak bermantel hangat itu.
Takdir itu terjadi ketika lelaki botak bermantel hangat itu siuman dan kehilangan ingatan akibat satu benturan dari sup beku bakal makan malam bersama pasangan keluarga Yahudi bersama calon menantunya yang berasal dari Palestina. Dalam keadaan hilang ingatan, lelaki botak bermantel hangat bertemu pelacur kulit hitam yang tanpa basa-basi panjang langsung membawanya ke dalam VW kombi biru yang sudah dipersiapkan sebagai ajang transaksi syahwat komersil.
Di dalam mobil tersebut, ketika transaksi seksual nyaris terjadi, lelaki botak bermantel hangat dan hilang ingatan itu tersadar bahwa dompetnya yang berisi uang sudah tak lagi terselip di saku pantat kanan celananya. Satu barang berharga bagi lelaki botak bermantel hangat yang hilang ingatan dan pelacur kulit hitam yang terdesak kebutuhan ekonomi kapitalis hanyalah arloji tangan. Dalam konteks transaksi birahi, arloji tangan cuma sanggup membeli komoditi ‘masturbasi manual dengan tangan’ yang ditawarkan dalam industri jasa seks komersil. Lelaki botak bermantel hangat yang hilang ingatan tak berkeberatan. Karena itu, kesepakatan pun terjadi!
Di saat transaksi tengah berlangsung, mendadak seorang lelaki masuk ke dalam kabin kemudi mobil dan menyatakan bahwa ‘mereka’ sudah waktunya pulang. Lelaki botak bermantel hangat yang hilang ingatan itu pun ‘mereka’ paksa keluar dari dalam mobil tanpa sempat mengenakan kembali celana panjangnya dan mantel hangatnya. Ketika mobil melaju pergi, lelaki botak itu diam berdiri. Tubuh dia hanya berbalutkan kemeja lengan panjang putih, dasi yang tak rapi, celana dalam putih, kaos kaki hitam, dan sepatu hitam.
Singkat cerita, film yang berjudul entah ini berakhir bahagia. Ingatan lelaki botak, yang merupakan suami dari ibu beranak tiga itu, yang ditakdirkan tertimpuk sup beku lalu kehilangan ingatan dan kehilangan dompet dan kehilangan celana, kembali. Sedang pertengkaran yang terjadi antara ibu dengan anak pertamanya dan perempuan dari Israel dengan laki-laki dari Palestina ditutup lewat perkataan “No body perfect,” yang diucapkan oleh perempuan dari Israel kepada laki-laki dari Palestina lalu berciuman. Sabtu, 30 Desember 2006,
pukul 02:00
‘TERBUNUHNYA SEORANG PROFESOR POSMO’ novel detektif berpola klasik. Lampu padam lalu menyala dan Profesor Ettore Gnocchi pun ditemukan tewas dengan empat luka sekaligus. Pisau kue menancap di punggung, anak panah di pipi, satu peluru di kening, dan minuman anggur beracun. Sebelum ajal, satu senyum sempat menghias wajahnya lalu membeku di jasad kaku Ettore Gnocchi.
Soal utama: Siapa pembunuh Ettore?
Soal tambahan, mungkinkah Ettore mati dengan empat luka sekaligus?
[Pertanyaan ini tidak hanya hadir di dalam benak pembaca, tetapi juga hadir di dalam novel itu sendiri. Cerita di dalam novel menggiring pembaca tanpa perlu bersusah-susah berimajinasi untuk sampai pada dugaan: ada pelaku pembunuhan yang harus dicari.
Padahal, seturut dengan posmodernisme, ada baiknya terminator (saya sangat ingin menggunakan kata ‘terminologi’, tapi saya memiliki hasrat yang lebih besar pada kata ‘terminator’ untuk menyatakan makna terminologi) ‘pembunuhan’ dimaknai ulang. Lewat pemaknaan ulang itu maka ‘pembunuhan’ beroleh artikulasi baru, pengertian baru. Uniknya, menurut saya, saat kaum posmodernisme memaknai ulang ‘pembunuhan,’ mereka malah bertemu dengan metanarasi ‘nyawa.’ Pertemuan itu dapat menyebabkan timbulnya kontradiksi dalam diri kaum posmodernisme yang ‘meragukan metanarasi.’ Pertemuan itu berdampak pada pengenyahan terminator ‘nyawa’ yang berdampak pada hilangnya terminator ‘pembunuhan,’ dan apa bila itu yang terjadi maka polisi di masa kontemporer ini pun tak lagi perlu mengungkap motif dan mencari siapa pelaku ‘pembunuhan.’]
�� Ya, posmodernisme ternyata masih memiliki metanarasi! Seperti mimpi!
Sabtu, 30 Desember 2006, 11:40
Shoshana TelAviv, istri professor Ettore Gnocchi, mengungkapkan bahwa Profesor Ettore berencana mengadakan seminar posmodernisme. Untuk itu, Ettore pun mengundang koleganya,
(1) Myra Prail yang merupakan asistennya di Universitas Berkeley,
(2) Allain Fess, doktor sosilog dari Perancis,
(3) Slavomir Propp, profesor linguis dari Rusia,
(4) Miyako Fuji, professor tamu dari Universitas Tokyo, dan
(5) Basil Constant, novelis posmodernisme,
buat merancang detail seminar. Rencananya, dalam seminar itu akan menghadirkan empat narasumber posmodernisme, yakni Jean Baudrillard (Perancis, Eropa), Jean Francois Lyotard (Perancis, Eropa), Fredric Jameson (Amerika Serikat, Amerika), dan Jurgen Habermas (Jerman, Eropa).
Kematian Ettore baru diketahui Shoshana dan lima kolega Ettore bersamaan dengan menyalanya lampu. Pada saat kematian Ettore atau pada saat lampu padam, Shoshana sedang ada di dapur mau mengambil hidangan pencuci mulut. Kepada Inspektur Solomon Hunter Shoshana mengaku bahwa sebelum beroleh fakta inderawi Ettore tewas dia sempat mendengar desahan lalu desisan serupa ular (desis ini merujuk pada suara senjata berperedam yang dijelaskan Inspektur Solomon Hunter saat mengungkapkan kematian Profesor asal Italia, Ettore Gnocchi).
Dalam pengakuannya kepada Hunter, Shoshana pun menjelaskan alasan logis mengapa lampu padam. Lampu padam dikarenakan hujan deras dan angin kencang yang menggangu aliran listrik di kota pasangan Ettore Gnocchi-Shoshana TelAviv tinggal. Dan ketika lampu padam Ettore tewas.
Minggu, 31 Desember 2006, pukul 09:10
Ketika Shoshana berada di dapur, di saat bersamaan anggur yang terhidang di meja habis dan Myra Prail berinisiatif mengambil anggur tambahan yang berada di dapur, dan di saat bersamaan dengan itu Slavomir Propp pergi ke dapur untuk mengambil kue panettone (sekalipun menggunakan imajinasi, saya tidak mampu mengetahui apa itu ‘kue panettone’) yang sangat besar yang dia beli dari Victoria Pastry (seturut dugaan Shoshana dalam pengakuannya kepada Inspektur Solomon Hunter). Ketika mereka—Shoshana TelAviv, Myra Prail, dan Slavomir Propp—kembali, Ettore mati!
Sabtu, 30 Desember 2006, 18:00
[Ruangan tempat Ettore mati adalah ruang makan utama di rumah tinggalnya. Lampu yang tergantung, dugaan saya, berkesan klasik dengan cahaya remang-remang. Di luar jendela tampak sambaran halilintar dan hujan deras disertai angin kencang yang menghantam-hantam daun jendela hingga berbunyi keriut-keriut, dan aku pikir hal seperti itu mungkin serupa cerita Agatha Christie yang tak pernah kubaca kecuali menonton beberapa film yang terinspirasi dari cerita criminal atau detektif Agatha Christie.
Sesaat setelah lampu menyala, seluruh kolega Ettore memunculkan wajah tercengang, kaget, pasi, mata membelalak, nafas tertahan, jantung berdegup kencang.]
Norman K. Denzin ‘Images of Postmodern Society: Social Theory and Contemporary Cinema’�� Masyarakat posmodernisme adalah masyarakat yang telah mengganti pengalaman aktualnya dengan representasi kenyataan. Representasi kenyataan adalah reproduksi realitas yang hadir melalui beragam media visual dan audiual. Dalam masyarakat posmodernisme mengalami representasi aktual sudah berarti benar-benar mengalami pengalaman aktual. (Jangan terlalu mempercayai hal ini! Sebab pemaknaan saya bisa berbeda dengan Anda; dan penjelasan saya tentulah tidak sejelas apa yang hendak dijabarkan Norman K. Denzin dalam buku yang mempersoalkan teori sosial dan sinema kontemporer!)
Allain Fess, doktor sosiolog dari Perancis. Dia sudah menulis gagasan posmodernisme dengan mengambil sampel kehidupan kultural di Amerika Serikat yang penuh macam mall.
(Vyachislov) Slavomir Prop, pengarang Morfology of Modernism, mengaku bahwa ia membeli kue panettone di Vistoria Pastry, dan pengakuan ini berdampak pada kebenaran yang terkandung dalam dugaan Shoshana TelAviv. Ketika menjelaskan motifasinya pergi ke dapur, Slavomir pun tersadar bahwa pisau kue yang akan dipergunakan untuk memotong kue panettone ternyata menancap di punak kanan Ettore. Sebelumnya, Slavomir sempat mencatat dalam memorinya bahwa dia sempat melihat pisau kue itu tergeletak di tengah meja. Dan seingat Slavomir pula, pisau kue itu adalah hadiah dari Shoshana TeAviv kepada Ettore Gnocchi ketika bapak posmodernisme Amerika Serikat itu merayakan ulang tahun ke-60.
Sabtu, 30 Desember 2006, 19:34
�� Di saat membaca novel ini, dalam benak saya muncul hipotesa berikut: untuk mengetahui siapa saja pembunuh Ettore Gnocchi, dalam konteks posmodernisme, Inspektur Solomon Hunter harus berupaya mengetahui siapa yang melakukan kebohongan diantara lima orang yang dia interogasi, yakni Shoshana, Myra, Slavomir, Miyako, dan Basil. Dalam pembahasaan metanarasi, Inspektur Solomon Hunter harus menemukan ‘kebenaran!’
[Komentar: Posmodernisme adalah reproduksi realitas. Seturut dengan itu, maka Inspektur Solomon Hunter pun masuk dalam perangkap reproduksi realitas atau representasi kenyataan. Dalam kasus ‘pembunuhan’ ini semua reproduksi realitas yang berasal dari pengakuan Shoshana, Myra, Allain, Slavomir, Miyako, dan Basil; dan surat-surat Ettore kepada Baudrilliard, Lyotard, Jameson, dan Jurgen Habermas; dan rekaman video dari kuliah terakhir Ettore, ‘dibenarkan’ menjadi benar.
Reproduksi realitas dalam konteks pemikiran Inspektur Solomon Hunter adalah alibi. Ketidakmasukakalan alibi itulah yang menjadi dasar pemecahan kasus ‘pembunuhan’ Ettore dalalm konteks posmodernisme.
Namun perlu diingat juga bahwa posmodernisme sendiri sudah mendobrak batasan modern yang dibangun pada era rasionalisme atau zaman pencerahan, yakni kesederhanaan atau clear and distinct. Persoalan posmodernisme masuk ke dalam konteks ‘kerumitan!’ yang berarti ketidakmasukakalan pun harus diterima apabila argumen yang diajukan, yang sekalipun tidak mungkin terjadi, beroleh nilai ‘benar’ dikarenakan konsistensi dan koherensi yang dilahirkan era rasionalisme atau zaman pencerahan.
Selain itu, perlu juga diingat bahwa posmodernisme yang mendasarkan diri pada multi-perspektif mengarah pada kebenaran atas setiap hal yang coba dimaknai ulang atau dimengerti ulang atau dipahami ulang atau ditelaah ulang atau dipelajari ulang atau dinilai ulang atau dihakimi ulang. Nilai kebenaran pun akhirnya bergantung pada perspektif sumber-lah yang menjadi titik pijak pemaknaan ulang atau pengertian ulang atau pemahaman ulang atau penelaahan ulang atau pembelajaran ulang atau penilaian ulang atau penghakiman ulang.
Dampak paling hebat dari posmodernisme itu sendiri akhirnya bermuara pada kesulitan mencari kesalahan dikarenakan ‘kebenaran tunggal’ sudah digugat hingga akhirnya menjadi ‘diaspora kebenaran.’]
�� Lyotard: postmodernisme setara dengan ‘keraguan pada setiap metanarasi.’ Metanarasi dalam pembahasaan sederhana disebut sebagai kebenaran tunggal. Kebenaran tunggal ini bisa hadir dalam beragam media, semisal filsafat, agama, institusi politik, dan institusi moral individu atau kolektif.
Untuk memahami posmodernisme harus dimulai menengok sejarah posmodernisme itu sendiri. Sebelum posmodernisme hadir, masyarakat atau pun individu hidup dalam metanarasi yang disetarakan dengan ideologi, reliji, dan mitos. Di saat posmodernisme hadir metanarasi itu pun dipertanyakan, diragukan kebenarannya. Peraguan atas kebenaran metanarasi berdampak pada ketiadaan makna. Ini disebabkan metanarasi pada awalanya ditujukan untuk menghadirkan makna ‘apa yang benar,’ ‘apa yang tepat,’ ‘apa yang indah.’ Misal, perayaan Natal dalam tradisi Nasrani. Metanarasi yang dimunculkan dari tradisi perayaan Natal adalah keselamatan abadi yang ada di balik alam kematian, yang menjadi tujuan manusia. Posmodernisme mengambil posisi mempertanyakan bahkan meragukan keberadaan metanarasi ‘keselamatan abadi yang ada di balik kematian!’ (Bila Anda tidak sepakat dengan ide posmodernisme yang semakin hangat di masa sekarang ini, setidaknya kita harus berterimakasih kepada Komite Nobel karena memilih Orhan Pamuk sebagai peraih Nobel Sastra 2006. Pengisahan Orhan Pamuk penuh metanarasi keimanan yang dapat kita diperoleh hanya dengan membaca dua puluh halaman pertama dari buku Benim Adim Kirmizi yang diterjemahkan menjadi My Name is Red dan ketika dialih-bahasakan ke dalam bahasa yang didefenisikan oleh pemuda/i Hindia Belanda pada 1928 menjadi Namaku Merah Kirmizi, tetap muncul rasa inferioritas dalam diri bangsa kepulauan ini dikarenakan pada sampul depan buku terjemahan Orhan Pamuk ini masih tertera My Name Is Red yang berukuran lebih besar dari Namaku Merah Kirmizi!) Ketika metanarasi hancur, maka hidup pun tak ada makna. Dalam tingkatan praktis, sistem posmodernisme bekerja dengan mempertanyakan segala legitimasi yang sudah mapan. Dan Jurgen Habermas membahasnya dalam buku ‘Krisis Legitimasi’. Seperti mereka dan saya dan kami dan kita dan engkau merasakan bahwa negara ini adalah sekumpulan rencana bejat, berisi pembodohan, korupsi, janji-janji, ketololan, dan juga benih perpecahan! (Agak meloncat!) Karena itu diperlukan individualisme ‘mutlak’ sebagai tanda bahwa manusia yang hidup dalam satu negara tidaklah harus mematuhi segala aturan yang dibuat negara. Legitimasi negara diragukan, digugat atas dasar keberadaan hak prifat! Menurut saya pribadi, pengugatan legitimasi itu terjadi dikarenakan tujuan negara tak pernah tercapai alias tidak ada bukti! (Persoalan pembuktian menjadi soal baru dalam posmodernisme.)
[Novel ‘TERBUNUHNYA SEORANG PROFESOR POSMO’ menjelaskan posisi Jurgen Habermas dalam konteks polemik posmodernisme. Posisi Jurgen Habermas: menentang posmodernisme. Habermas menawarkan jalan keluar melalui pembuatan kesepakatan kolektif yang baru yang didasarkan pada kesepemahanan kolektif. Kesepemahaman melahirkan kesepakatan! Dan aku bisa mengerti mengapa jalan keluar ini ditawarkan Habermas. Menurutku Habermas melihat permasalahan posmodernisme terletak pada multi-interpretasi. Hubungan dalam komunikasi bukan lagi hubungan satu-satu; melainkan satu-seribu! Korelasi yang tak sepadan ini hanya dapat dipecahkan melalui penyamaan sudut pandang, kesepemahaman. Namun, sepertinya aku melihat kontradiksi dalam jalan keluar Habermas, dikarenakan nilai yang berlaku dalam posmodernisme adalah ‘diaspora kebenaran,’ bukan lagi ‘kebenaran tunggal.’ Pertarungan wacana yang terjadi di era posmodernisme tidak ditujukan pada pencapaian kebenaran tunggal, tetapi lebih pada kesenangan belaka! Setidaknya ini yang muncul dalam pikiran mereka, aku, kami, kita, engkau, dan yang lainnya. Dalam benakku, Habermas memang sosok idealistik-romantis-rasionalistik-menarik.]
�� Pada dasarnya, posmodernisme tidaklah menghilangkan metanarasi tunggal an-sich. Dalam era posmodernisme pun masih ada metanarasi yang tak terbantahkan yakni uang. Secara simbolis uang dapat diartikan dengan kekuasaan. Kalimat ‘Dengan uang orang dapat memperoleh apa saja’ setara dengan ‘Dengan kekuasaan orang dapat memperoleh apa saja’ (yap, sesuai perkembangan zaman yang semakin materialistik, ide posmodernisme memang sangat realistis!)
Sabtu, 30 Desember 2006, 22:30
Akhirruallam, penulisan novel ini mengesalkan. Menjemukan. Ettore Gnocchi mati sebelum dibunuh. Kalimat ‘mati sebelum dibunuh’ memang mengandung pengertian ada yang berniat membunuh Gnocchi dan jumlah orang yang berniat itu ada 4 orang. Tapi sebelum Ettore mati dibunuh, dia terlebih dahulu mati karena serangan jantung. [Komentar: Sialnya si Arthur Asa Berger pukimak ini tak menambahkan bumbu realis dan konsistensi pengisahan. Ketika Inspektur Solomon Hunter menemukan jawaban sebab kematian Ettore kemudian menceritakannya pada Shoshana, Myra, Allain, Slavomir, dan Basil, tak terungkap apa yang menjadi pemicu serangan jantung. Penyakit itu muncul mendadak, dan Ettore pun mati. Padahal, si Arthur Asa Berger ini sesungguhnya dapat menggunakan bahan baku yang sudah dia siapkan sebagai alasan mengapa listrik padam. Bahan baku itu adalah hujan dan angin dan halilintar, yang dalam konteks serangan jantung dapat berfungsi sebagai stimulan.]
Sesuai dengan posmodernisme, novel ini tepat!
(1) Tidak ada motif,
(2) Dangkal (posmodernisme mengandalkan kedangkalan disebabkan ketiadaan kedalaman; dan pendapat saya pribadi, dalam konteks posmodernisme kedalaman adalah kedangkalan yang meluas),
(3) Rumit
(4) Meloncat (yang bagiku ini dipaksakan penulis untuk memenuhi ciri posmodernisme. Loncatan yang ia maksudkan sesungguh muncul di percakapan antara Inspektur Solomon Hunter dengan istri dan empat kolega Ettore; kecamuk pikiran di benak Shoshana, Myra, Slavomir, Allain, dan Miyako Fuji!
Namun sesungguhnya pula loncatan yang dibuat sebenarnya tidaklah murni meloncat dikarenakan alur cerita masih masih dalam konteks yang sama, yakni mengetahui siapa yang membunuh Profesor Ettore Gnocchi serta mempelajari posmodernisme. Sanggahan atas ‘Meloncat’ ini pun muncul dari fakta bahwa ini novel ini bercerita soal ‘pembunuhan,’ cerita detektif yang memerlukan alur berpikir yang logis dan masuk akal dan runtut, bukan alur berpikir yang menari-nari, meloncat-loncat, atau berjumpalitan)!
�� Persoalan mendasar yang hendak dibahas adalah realitas sesungguhnya penyebab kematian Ettore. Myra Prail, Basil Constant, Shoshana TelAviv, Allen Fess, Miyako Fuji dan Slavomir Propp sudah diinterogasi Inspektur Solomon Hunter. Tidak hanya kelima orang yang dapat menjadi tersangka itu saja, penyelidikan Inspektur Solomon Hunter pun menjalar pada surat-surat Ettore kepada Jean Baudrillard, Jurgen Habermas, Fredric Jameson, dan Jean Francois Lyotard; dan rekaman video ceramah kuliah terakhir Ettore. Fakta pengungkap kematian muncul dari media reproduksi realitas, yakni rekamanan video ceramah kuliah terakhir Ettore. Bagi saya, pendeskripsian itu hendak menjabarkan posisi pragmatisme dari posmodernisme yang hendak menyatakan bahwa representasi kenyataan sesungguhnya masih memiliki kenyataan an-sich. Sisi trivia dalam posmodernisme yang, dugaan saya tidak disadari posmodernisme itu sendiri, malah timbul sebagai kenyataan an-sich, serupa dengan Ludwig Mies van der Rohe: God is in the details.
Secara sederhana aku menangkap ide mendasar dari posmodernisme ini adalah mencapai detail. Seperti yang dijelaskan Foucault bahwa multi-perspektif diperlukan agar pengetahuan dapat lebih dipahami. Konsep itu memiliki ‘kedekatan emosional’ dengan ‘meragukan segala metanarasi.’ Posmodernisme ingin mengetahui detail dari metanarasi itu sendiri; dan cara untuk mengetahuinya lewat pembongkaran multi-perspektif atas metanarasi itu sendiri.
Dalam novel ini, Ettore mendedah persoalan yang memicu kehadiran pemikiran posmodernisme, yakni masalah klasifikasi. Ettore mengambil contoh botak. Bagaimana ‘kita’ memahami botak di masa sekarang ini? Apakah botak itu berarti kepala yang tidak memiliki rambut atau rambut yang tidak ada di kepala? Pilihan itu sekilas memang terdengar konyol. Tetapi sesungguhnya hal bakal jelas bila soal kebotakan disandingkan dengan soal wig yang menghasilkan proposisi orang botak berwig.
Bila kita melihat seorang dan seorang itu pada dasarnya tidak kita ketahui botak tetapi kita melihatnya berambut dikarenakan seorang yang tidak kita ketahui botak itu mengenakan wig dan wig itu serupa dengan rambut asli, maka apakah seorang yang tidak kita ketahui botak dan mengenakan wig serupa dengan rambut asli itu akan kita katakan botak atau berambut? Disinilah posmodernisme hadir. Ketiadaan klasifikasi (!) dikarenakan keutuhan itu tidak lagi diketahui. Hal itu tercitra dalam kebudayaan masa kontemporer sekarang ini, suatu kebudayaan yang hanya membutuhkan penggalan saja.
Dari soal kebotakan timbul masalah mengapa seseorang yang tidak kita ketahui botak dan tidak kita ketahui ia mengenakan wig, mengenakan wig? Keruwetan formulasi itu dapat dipahami dengan cara:
(1) pada kenyataannya orang tersebut botak dan kita mengetahuinya
(2) dikarenakan dia botak dan kita mengetahuinya maka secara rasional adakah alasan yang dapat membenarkan orang botak tersebut mengenakan wig?
(3) apakah nilai kebenaran alasan mengenakan wig itu terletak pada kenyataan orang tersebut botak? atau dengan kata lain adakah korelasi yang masuk akal antara botak dan mengenakan wig?
Pertanyaan itu semakin njelimet dipahami dalam perspektif begini:
(1) kebotakan adalah sesuatu yang niscaya
(2) setiap orang pasti mati sama dengan setiap orang pasti tua sama dengan setiap orang pasti botak.
(3) bila hal (2) adalah kepastian mengapa pula harus ada wig, operasi plastik, gurah, susuk, dan segala macam taik kucing lainnya?
(4) jika rasio sudah mengenal kepastian tersebut dan rasio mengetahui bahwa dirinya tak dapat lari dari kepastian tersebut. Tetapi mengapa pula rasio yang menemukan jawaban hingga orang dapat melarikan diri dari kepastian itu?
(5) apa sebenarnya yang menjadi sebab pelarian tersebut? Pertanyaan ini bisa saja dijawab dari sisi psikologi, mengidap kelainan jiwa. Tetapi, semakin kerumitan baru muncul bila kesimpulan mengarah pada keberadaan seorang botak yang rasional yang mengidap kelainan jiwa yang menyebabkan dirinya mengenakan wig hanya dikarenakan botak.
Dari sisi posmodernisme penjelasan ‘mengapa mengenakan wig’ terletak dalam soal pencitraan yang mampu membentuk kesadaran kolektif atau pun prifat. Ketika orang botak itu banyak menonton televisi dan televisi menghadirkan representasi kenyataan yang ‘menomor-acuhkan’ botak, maka kesadaran orang botak ini terpengaruh. Dengan kata lain, televisi menyiarkan slogan: kebotakan memalukan (!) dan penonton televisi yang botak ternyata terpengaruh. Untuk menghindar dari malu, orang botak itu mengenakan wig. Kasus ini memiliki batasan: si orang botak sadar bahwa kebotakan memalukan.
Setelah memahami hal itu, maka muncul ironi. Kemunculan ironi dikarenakan si orang botak itu ternyata tidak sadar mengapa dia mengenakan wig? Koherensi logis yang sudah dibangun antara kebotakan memalukan dan mengenakan wig adalah cara menghindar dari malu pun menjadi hancur.
Kasus ‘kebotakan’ pun bermetamorfosis menjadi ‘mengenakan wig’ hingga melahirkan ironi yang paling ironis, yakni ketika seorang yang tidak botak, bisa perempuan bisa lelaki, malah mengenakan wig dengan satu alasan: trend! Disini permasalahan sudah masuk ke soal identitas diri. Mengikuti trend menjadi identitas tunggal bagi mereka yang hidup di masa sekarang ini.
Kolaborasi antara media visual dan audiual dan cetak yang memengaruhi kesadaran individu ataupun kolektif yang menyebabkan individu atau pun kolektif secara sadar ataupun tidak sadar terbawa gelombang pencitraan, representasi kenyataan sebagai kebenaran yang menabalkan identitas bagi kemanusiaan mereka! Hal ini dapat dimengerti ketika uang menjadi parameter utama dalam kehidupan posmodernisme. Metanarasi lainnya sudah hilang! Uang menjadi utama. Segala makna pun ditemukan dalam uang atau kekuasaan ini. Bukankah kebenaran dapat dibeli dengan uang? Dalam pola ini, sistem pengadilan republik indonesia pun dapat disorot. Pilihannya, kebenaran adalah kebenaran dan tidak tergantikan atau kebenaran adalah uang dan itu tidak tergantikan, kecuali besarannya seturut dengan gejolak inflasi atau pun naik-turunnya kurs serta saham di pasar bursa.
Dengan demikian diketahuilah bahwa media berperan dalam masyarakat posmodernisme. Persoalan kelas, buruh versus pemilik modal, tidak lagi menjadi utama dalam masa sekarang. Oposisi baru dalam masyarakat telah ditemukan. Mereka yang di dalam televisi versus mereka yang di luar televisi. Mereka yang terkenal versus mereka yang tak terkenal. Konflik popularitas(!) yang berdampak pada pengkudetaan popularitas. Popularitas pun menjadi moda lain dari kekuasaan, selain uang. Mereka yang menguasai popularitas dapat menjadi penguasa legal!
Perebutan kekuasaan di popularitas menjadi tema menarik dengan pendekatan psikologi. Mereka yang berada di luar televisi, yang tidak dikenal, ditakdirkan merebut popularitas dengan tujuan menyebarkan ide-ide yang ada di benak mereka kepada mereka-yang-berada-di-luar-televise (saya bingung kenapa laptop IBM Think Pad dengan install-an Windows xp bajakan selalu mencetak ‘televise’ ketika saya menekan tombol spasi setelah menulis ‘televisi?’); bentuk pengkudetaan popularitas ini adalah bagian dari balas dendam psikopatik! Lihatlah, betapa dangkalnya posmodernisme ini. Perebutan kekuasaan hanya dikarenakan balas dendam, bukan dikarenakan keinginan yang bernada metanarasi yakni: menyejahterakan publik. Dalam cerita ‘TERBUNUHNYA SEORANG PROFESOR POSMO’ sebab kematian Ettore bukanlah pisau, peluru, panah, dan racun, melainkan serangan jantung.
Balas dendam yang dilakukan ‘kaumpsikopatikmasyarakatposmodern’ ditujukan merebut popularitas. Dengan demikian yang menjadi sasaran adalah tampilnya ‘kaumpsikopatikmasyarakatposmodern’ di layar kaca, head-line koran-koran, bahkan media saiber! Mencuri perhatian khalayak sepenggalan menit saja sudah berarti ketenaran! Andy Warhol: “Ketenaran dalam 15 menit!”
Bila sudah demikian, kondisi chaos adalah kondisi yang tak terhindarkan dalam masyarakat posmodernisme. Solusi keluarnya adalah mencari ‘pahlawan’ baru, yakni mereka yang kebal terhadap serangan pencitraan, penghabluran pengalaman aktual menjadi representasi kenyataan. Inilah ketakutan Profesor Ettore Gnocchi yang meninggal karena serangan jantung dan setelahnya ‘dibunuh’ (mohon dipahami, karena kosa-kata bahasa Indonesia tidak memiliki sebutan yang tepat untuk kondisi yang dialami Profesor Ettore Gnocchi, yakni seseorang yang sudah mati yang kemudian diberi perlakuan tambahan yakni, pembunuhan; dengan kata lain: apa sebutan atau kata yang tepat untuk menyatakan perbuatan membunuh mayat! Terdengar sangat menyenangkan kata tersebut, apakah membunuh orang yang sudah mati adalah perilaku pidana yang harus diganjar pasal 338 atau 340 KUHPidana? atau apakah memang dimungkinkan membunuh orang yang mati? Apakah Anda sudah mulai mengerti posmodernisme?) dengan empat cara secara bersamaan.
Minggu, 31 Desember 2006, 10:06
Sebagai penutup ada baiknya pembaca menikmati film Beerfest yang disutradarai Jay Chandrasekar. Film ini banyak menyoal posmodernisme, yang sudah tentu itu dikarenakan sudut pandang posmodernisme! Jujur saya akui, Jay Chandrasekar memberi pukauan baru bagi saya.
Sekian,
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda,
Sampai jumpa dalam penerbangan berikutnya,
Silahkan isi dahulu buku tamu, dan
kalau ada kartu namanya, please…
[Deif-Feil]