
Rating: | ★★★★ |
Category: | Other |
Sore selepas kuliah, seperti biasa kami kumpul di kost, bicara-bicara yang tidak perlu. Memandang senja kemerahan, sambil menikmati batagor Gendut, kopi dan bajigur, lumayan untuk menghilangkan kepenatan, karena kuliah nonstop dari jam pertama sampai jam ngantuk. Seorang diantara kawan saya yang biasanya getol ngobrol berhalangan hadir, kebanjiran, katanya. Jadi sore ini kami membahas masalah banjir, yang membuat heboh banyak kalangan. Saya berpikir masalah lingkungan hidup tidaklah terlalu rumit. Yaitu bagaimana caranya lingkungan tetap lestari dengan adanya campur tangan manusia untuk memanfaatkan sumberdaya alam sesuai dengan kebutuhannya. Sayangnya kebanyakan dari kita menyukai falsafah ‘greed is good’ sehingga tak heran jika ada pemegang HPH yang memiliki tanah se-ha ha ha dan masih belum puas. Saya tidak ingin membahas nasalah banjir lebih jauh, cuma ingin mengutip kata-kata yang terngiang di telinga saya.
Kata penceramah di masjid di Jakarta sudah banyak maksiat, jadi Tuhan mengirimkan banjir. Kata ustadz lagi, manusia sudah terlalu banyak berbuat kemubadziran jadi alam marah karena tidak lagi seimbang. Kata pejabat, banjir datang disebabkan orang serampangan dan terlalu banyak menempati bantaran kali. Kata orang pinggir kali, banjir terjadi karena muara di utara ditutup oleh perumahan mewah, dan rawa-rawa dijadikan lapangan golf. Kata aktivis lingkungan hidup, banjir disebabkan karena pembangunan di das bopunjur. Kata pemilik villa, banjir tidak mungkin disebabkan oleh mereka. Kata pak menteri banjir disebabkan oleh perubahan iklim global yang disebabkan ulah manusia ratusan juta tahun yang lalu, katanya juga, banjir disebabkan oleh efek rumah kaca dari negara industri maju. Kata ilmuwan banjir disebabkan karena hal-hal yang sangat kompleks, multidimensi, dan satu dengan lainnya saling terkait, bergantungan, dan kusut seperti benang kusut, sehingga penanganannya pun tidak dapat dilakukan secara parsial, kita harus melihatnya dari kacamata makro dan mikro. Kata budayawan banjir disebabkan karena mentalitas masyarakat belum siap menghadapi modernisasi sehingga gaya hidup mereka yang masih norak tidak dapat mengimbangi lajunya pembangunan kota besar. Kata dokter masyarakat kita belum terbiasa hidup bersih dan sehat. Kata guru masalah lingkungan dan kesehatan merupakan tanggungjawab bersama sekolah, ortu dan masyarakat. Kata nenek banjir sudah ada sejak zaman Belanda. Kata pemda banjir disebabkan karena oknum pengembang yang tidak mengikuti RUTR. Kata pengembang mengapa mereka tidak menindak tegas oknum yang menyeleweng, cuma mengambil uang suapnya saja. Kata wakil FPPP, kolusi antara aparat pemda dan pengembang adalah masalah utama. Golkar seperti biasa sudah siap dengan siaran pers, dan mengatakan kepada wartawan siap membantu rakyat jika rakyat tertimpa musibah, kami siap mengirimkan supermi. Kata FPDI masalah tata ruang, amdal, semuanya harus ditegakkan. Kata gubernur masalah banjir akan diselesaikan secara bertahap. Kata gubernur berikutnya ia punya kebijakan baru mengenai masalah banjir. Kata pengamat masalah banjir dapat diselesaikan kalau pemerintah mempunyai komitmen dan kemauan politik. Kata DPR mereka akan memantau sejauh mana banjir akan merugikan wong cilik. Kata mahasiswa kita demo saja!!! Kata ABRI banjir sudah dapat menimbulkan keresahan di masyarakat dan dapat merongrong wibawa pemerintah, indikasinya sudah jelas, ada pihak-pihak, individu dan golongan tertentu yang mempergunakan momentum banjir untuk kepentingannya sendiri, dan membuat opini di masyarakat bahwa pemerintah telah gagal menangani banjir. Inikan subversib dan harus ditindak tegas, lha yaw. Bagi wartawan banjir adalah headline. Teman saya berkata banjir adalah hal biasa, yang luar biasa adalah jika tidak banjir. Kawan yang satu lagi berkata, emang gout pikirin, mendingan pikirin P.I (penulisan ilmiah) lau, yang gak kelar. Kata Mandra au ah blebeb…
Saya terbangun ketika banjir merayapi tempat tidur tingkat saya. Sh!? Whadda Nightmare! rutuk saya, kawan diskusi hilang disergap banjir. Kata adik, kita dapat kiriman dari Bogor. Saya hanya bengong jelek, kesal, dan sejuta perasaan yang tidak bisa diungkap disini, pikiran saya melayang pada tembang Iwan Fals, …lestarikan alam hanya celoteh belaka, lestarikan alam mengapa tidak dari dulu…oh mengapa.
Kata mama ayat suci mengatakan, “…segala kerusakan yang ada di bumi karena tangan manusia…”
Widhy Jogers
Koran Jogers 1996
Kata-kata bisa terus muda, pada bagian waktu mana saya sekarang hidup? Kemudaan kata-kata seakan tak memiliki umur disebabkan oleh realitas dunia yang juga tidak berubah, bahkan bertambah muda lagi wujud kata-kata karena dengan bertambahnya umur dunia, kata-kata menjadi asal-usul kata. Siapa lagi yang akan percaya pada kuasa kata-kata? Seorang kawan berucap, saya sejarah. Imajinasinya adalah sejarah.
Sebagai pelaku, saya, yang lengkap dengan pengalaman bathin dan pengalaman lampau yang tiba-tiba muncul menjadi kesadaran yang menguap dari bawah sadar. Pengalaman puitik yang belum sepenuhnya dialami oleh saya adalah pengalaman tentang masa depan yang belum saya raih tapi sudah saya rasakan. Pengalaman yang sudah diterbitkan dari mimpi-mimpi masa muda saya. Jika hidup dalam sebuah pengalaman masa muda terus menerus adalah gejala regresi, bagaimana jika masa depan sudah terlihat dari mimpi-mimpi dan kata-kata masa muda yang belum juga bertambah tua, sedangkan raga sudah layu, rambut panjang memutih, gigi mulai tanggal dan rol film sudah setengah terputar. Saya belum bisa beranjak dari bangku tontonan, sedangkan kacang kulit sudah habis dimakan, tinggal tersisa kulitnya.
Sejarah, demikian kita menyebutnya, bagi saya adalah konstruksi mimpi dan rekonstruksi masa depan. Sejarah terbit lebih dulu. Sebelum membuat tiga jilid buku magnum opus Das Kapital, Karl Marx yang masih berpuisi ria, menulis surat kepada Jenny, yang menyatakan kebosanannya kepada kata-kata indah tak berguna dan penuh metafora. Disalah satu bait puisi Karl Marx, dia menyatakan keyakinannya tentang perubahan; ‘…kita harus dapat menstrukturkan masa depan di dalam imaginasi kita, sebelum kita membuatnya nyata didalam realita…’ buku Das Kapital penuh hasrat, mimpi, imajinasi juga metafora. Mungkin menjadi bacaan yang paling banyak dibaca umat manusia diluar kitab suci mereka.
Sebagai sebuah konstruksi mimpi, sejarah adalah sesuatu yang harus diusahakan terbangun, materialnya harus disiapkan. Sebagai sebuah rekonstruksi masa depan bagaimana sejarah dapat menjelaskan? Saya berspekulasi bahwa arkaik, sebuah asal adalah partikel yang hilang dalam sejarah sehingga kepingannya harus direkonstruksi-layaknya sebuah puzzle yang tercecer. Jadi material masa depan sudah ada di dalam sejarah, untuk itu masa depan perlu direkonstruksi. Masa depan juga bertambah muda seperti kata-kata.
Yang baru dari sebuah masa depan tidak dapat sepenuhnya dikatakan baru, karena semuanya memiliki riwayat, sebuah asal-usul. Yang baru yang bukan sepenuhnya baru tersebut juga merupakan sebuah pengulangan, artinya keberadaannya bisa jadi sudah pernah terjadi. Masa depan memenuhi unsur kebaruan dan pengulangan. Masa depan barang baru yang bukan baru sama sekali. Dulu, di dalam aktivitas alam bebas diajarkan menentukan titik azimuth yang akan selalu mendekati ketepatan ketika sudah ditentukan back azimuthnya. Mengapa, untuk mengetahui arah pulang. Menentukan arah masa depan secara otomatis memutar waktu ke arah sebaliknya. Kita menamakan masa depan sebagai sebuah kemajuan, karena masa depan harus lebih baik dibandingkan masa lalu. Bagaimana jika terjadi sebaliknya? Saya mengatakannya sebagai kopi tragedi.
Rilke menggambarkan tragedi sebagai kengerian seperti dalam bait puisinya; karena Keindahan itu tak lain/permulaan kengerian, yang masih mampu kita tahan/dan kita takjub padanya olehnya karena ia terang-terangan/meremehkan/untuk membinasakan kita| dalam Duino Elegies. Masa depan mana yang tidak mengharapkan keindahan? Kemajuan mana yang tidak mengharapkan keindahan? Bahkan ketika kita membicarakan masa lalu nyaris kita cuma ingin bersentuhan dengan keindahan. Keindahan dengan huruf besar bisa jadi dimaksudkan oleh Rilke sebagai Sang Pencipta, bisa jadi sebuah pengalaman metafisik, bisa jadi sebagai masa depan. Bukankah pada setiap hidup keindahan demikian berakhir pada kebinasaan. Binasa seperti apa yang menimbulkan kengerian di mata seorang Rilke? Binasa ketika kata-kata membunuh imajinasi. Sedangkan awal mulanya adalah imajinasi.
Kata-kata yang membunuh imajinasi seringkali membunuh masa depan, ketika masa depan menjadi bagian dari imajinasi. Dan setiap masa depan adalah apa yang akan dibayangkan akan terjadi, bayangan itu dibandingkan dengan kondisi kini atau lampau. Tanpa itu masa depan tidak pernah ada, masa depan tidak pernah ahistoris. Kopi tragedi merupakan pengulangan kegagalan masa lalu, binasa karena keindahan yang tidak bisa berdamai dengan keindahan lain. Inilah kengerian sesungguhnya.
Nietzhe di tahun 1872 sudah menggambarkan suasana Eropa yang kala itu dilimpahi kegairahan intelektual, yang menguatkan eksistensi mereka yang bersamaan dengannya kemunculan pesimisme terhadap masa depan, modal pengetahuan yang berbanding lurus dengan meningkatnya kesejahteraan secara umum di daratan Eropa. Kengerian akan keindahan (kemajuan intelektual) yang beriring dengan pesimisme ini dianggap sebagai kemerosotan, kemunduran. Keindahan apa yang membunuh keindahan lain di masa itu? Keindahan ilmu pengetahuan yang tidak bisa berdamai dengan keindahan spiritual, keindahan spritual yang tidak bisa berdamai dengan keindahan religiuitas penganutnya di sejarah masa lalu. Sekarang kopi tragedi kembali membinasakan keindahan, ketika ‘maksud baik dan maksud baik tak bisa bertemu’. Kebinasaan, kengerian, kepahitan diusahakan dicangkokkan dari pengalaman masa lalu kepada masa depan. Rasa pesismis juga diekspor dari negeri yang justru berkelimpahan kepada negeri yang serba kekurangan, paradoks ini seolah mentertawakan obrolan di kedai…ketidaktahuan merupakan sebuah anugerah, ketidaktahuan adalah menyelamatkan…’ sebuah rasa pesimis dan pernyataan kebosanan akan pencarian tahu, yang pada dasarnya adalah pengetahuan tentang masa lalu dan masa depan, untuk dikonstruksi dan direkonstruksi. Untuk apa rasa pesimis dicangkok dan diekspor? Untuk apa lagi jika bukan untuk menghancurkan keindahan lain? Bukankah rasa pesimis sama dengan kengerian, dan kehancuran tidak pernah ada di belakang ketika kita bicara saat sekarang.
Pesimis, keserbahitaman sebuah keindahan yang dikatakan hitam oleh pihak lain merupakan alat tragedi paling mujarab. Siapa yang mau meminum pahitnya kopi tragedi? Mungkin Sokrates ketika ia masih hidup, ketika ia menolak memalsukan ilmu dan kepandaian untuk maksud-maksud curang dan nista, bukankah itu terlihat sekarang. Keindahan kata-kata Sokrates dilawan dengan keindahan kata-kata lawan politiknya. Sokrates menang cuma karena logika. Musuhnya menghukum mati dia karena berkuasa. Sokrates dan logikanya tidak memberikan standar ganda pada logika, pada lawan bicaranya. Kopi tragedi dilangsungkan perhidangannya, sejarah berulang dan masa depan hampir pasti mengunyah hidangan, Sokrates mati kembali. Selama kopi tragedi bukanlah kemustahilan dan tragedi sebelumnya ada, maka modus yang demikian bisa jadi, hampir pasti jadi terjadi kembali.
Modus yang dimaksud disebutkan oleh Jean Baudrillard sebagai politik pengalihan. Dimana terdapat agen-agen yang melakukan tugas untuk memberikan informasi yang salah, tersasar, dengan penciptaan suatu citra yang tidak ada, palsu, epidemik. Untuk apa semua ini dilakukan, untuk menutupi kelemahan, dan membuat persoalan sesungguhnya kabur, seolah-olah rahasia dan sukar untuk diungkapkan atau dijelaskan. Semuanya dilakukan dengan tujuan untuk membuat sesuatu tidak menempati tempat sebagaimana mestinya. Keindahan yang tidak bisa berdamai dengan keindahan lainnya. Modus inilah yang berulang, bukan saja di Eropa namun juga di semua negara yang memiliki ketakutan yang sama. Di semua rezim yang memiliki ketakutan sejarah dapat merekonstruksikan dirinya untuk kepentingan masa depan. Lantas diciptakanlah citra keindahan lain adalah muskil, palsu, menimbulkan kemerosotan. Rasa ketakutan, pesimis, ironi inilah yang dicitrakan akan terasa bila menghirup kopi tragedi, paradoksnya kopi tragedi ini diciptakan lebih dulu supaya kelemahan sendiri tertutup. Baudrillard kemudian memberikan sebutan terhadap kejahatan seperti ini sebagai kejahatan yang sempurna, karena dapat mengenyahkan setiap kepastian tentang fakta-fakta dan bukti-bukti, dapat mengacaukan sejarah seperti halnya mengacaukan masa depan secara otomatis.
Sedemikian mengerikankah sebuah kemerosotan masa depan, seperti halnya sebuah syair manis dari Cake, …to me coming from you…friend is a four a letter word …and is this only part of the world that I heard coming more bit of absurd…
Tidakkah penting jika itu cinta atau benci (love or hate) , karena kepastian semacam inilah sebuah keindahan yang mungkin masih masuk akal.
Sepuluh tahun kemudian, berdamai dengan banjir, duduk memangku lutut, termenung dan (masih) bingung. Di kedai, tengah malam kedatangan tamu, masuk dari jalan, kemudian surut menjelang subuh.
[widhy sinau|2006]
No comments:
Post a Comment