Saturday, 11 February 2006
Karena Kopi, Kalian Ada. Maafkan Aku, Bila Salah
Disini terlampau sunyi. Sepi. Ayah pergi, Ibu arisan. Dan, aku
sendirian di ruang tamu yang tak berkursi ini. Malam, siang, malam,
petang, siang, lalu semua berlalu. Semua berlalu tanpa ada perhitungan
waktu. Istilah malam, siang dan petang, adalh sebutan yang tak memiliki
arti. Bukan sebutan yang mengikat pada matahari. Sebab, semua sunyi.
Terlampau sunyi. Sunyi. Tak ada suara sedikit pun. Tidak ada sedikit
pun suara. Semua, seperti ayah yang pergi atau ibu yang arisan, dan aku
sendirian. Bila demikian,
cerita muasal kopi pun bermula.
Semua sejarah yang ditulis itu adalah salah. Aku berani mengatakan itu,
karena aku adalah sejarah. Mengenai penciptaan, pendapat para
manusia--mahluk yang mengisi planet ke-tiga galaksi Bimasakti, Bumi
namanya--beda pendapat. Ada yang mengatakan, bumi berawal dari big
bang, teori ledakan besar. Ada pula yang mengatakan bumi diciptakan
Tuhan. Ada Tuhan dibalik semua itu. Apa pun yang mereka, maksud aku,
manusia itu katakan, bisa dikatakan benar atau tidak. Itu, hanyalah
permasalahan: mereka mau berbicara bersama atau tidak. Bila mereka
berbicara bersama, aku yakin, pertanyaannya akan berubah. Bukan lagi,
bumi berasal dari mana. Tapi, mengapa bumi ada! Tapi,
yang terjadi, menurut aku, tidak seperti itu. Manusia-manusia itu tidak
akan pernah berbicara bersama. Mereka selalu bertindak sendiri-sendiri,
membangun kekuatan sendiri, hingga tanpa mereka sadari, akhirnya perang
terjadi.
Sebenarnya, aku ingin menjelaskan mengenai permasalahan utama itu.
Mengapa bumi ada. Tapi, aku yakin tak seorang pun bakal mendengar
penjelasanku ini. Sebab, terkadang Tuhan, maksudku, Sang Khalik, kadang
dipertanyakan keberadaan, kebenaran, bahkan kadang nama itu
diperjual-belikan di institusi pemutus kebenaran. Institusi yang aku
maksudkan dalam bahasa Inggris adalah 'court'. Terserah anda, mau
mengartikan hal itu sebagai apa. Mau mengikut kamus, terserah. Mau
tidak, pun terserah.
Cuma, pengenalan itu perlu aku sampaikan; sebab aku mengetahui plus memahami bahwa untuk menjelaskan permasalahan utama--mengapa bumi ada--aku
akan berhadapan dengan beragam hal, yang bakalan menjadi sandungan.
Mulai dari manusia pendukung Tuhan, atau yang tidak mendukung Tuhan,
atau segala macam manusia lainnya yang bisa memanfaatkan penjelasan aku
secara politis. Karena itu, aku menggunakan perisitilahan 'court'
sebagai pengantar bahwa aku akan menggunakan metafora untuk menjabarkan
mengapa manusia ada. Memang, semestinya aku tidak menganjurkan sesuatu
dalam hal ini. Tapi, apa pun itu, selayaknyalah aku mengingatkan anda,
yakni pembaca, untuk berhati-hati membaca risalah ini. Anjuran
'hati-hati' itu aku utarakan, karena sekarang ini lagi marak-maraknya
penolakan aksi pornografi, yang bagi aku, itu merupakan pertanda
sensitifitas manusia jaman sekarang, khususnya orang Indonesia.
Ruang tamu masih sunyi. Aku sendiri. Lalu, apa yang harus aku lakukan.
Beberapa kali aku mendengar sesuatu yang tidak dapat aku defenisikan.
Sesuatu itu berdesir, menghampiri telingaku untuk sejenak saja, lalu
pergi tanpa tinggalkan jejak. Dan, aku masih sunyi. Sepi.
Mengapa bumi ada.
Mulanya, kopi. Kalau aku tidak salah, ketika ayah pergi dan ibu arisan,
aku sendirian di rumah. Entah berapa waktu berlalu, aku cuma bisa
mondar-mandir, mulai dari ruang tamu, dapur, kamar mandi, ruang tidur,
halaman belakang, hingga ke atap. Tak ada siang atau malam. Memang,
penantian selalu membuat waktu terasa lama. Tapi, itulah yang terjadi.
Aku tidak berbohong. Karena itu, aku menciptakan kopi.
Kopi yang aku ciptakan memang belum sempurna. Kopi yang aku ciptakan
masih dalam bentuknya yang paling primitif. Khayalan. Ya, kopi yang
berbentuk bulat-bulat dan hitam. Kopi yang lebih dulu harus ditumbuk,
dihancurkan, hingga dapat dilebur dengan air panas. Dan, aku
membayangkan kopi itu adalah sejenis tanaman.
Ouw, alangkah indahnya.
Kopi yang aku ciptakan itu menuntut pengejawantahan. Dan, aku pun
memerlukan bumi. Bukankah tanaman hanya dapat tumbuh di atas tanah.
Tegasnya, tanaman membutuhkan media tumbuh, entah tanah, air atau
udara. Jadi, diperlukan bumi sebagai media tanam.
Ah, kenapa masalahnya menjadi ruwet begini. Bukankah aku hanya
memerlukan kopi saja. Bukan mau jadi pengusaha, lalu membuat pabrik
kopi, lalu 'listing' di pasar bursa, ekspansi kemana saja.
Kopi. Media tanam. Manusia.
Ini adalah putusan yang berat. Untuk perawatan, memang aku harus membutuhkan manusia.
Ahhh, maafkan aku. Terkadang pikiran membuat kita berhenti berpikir.
Sebab ada kehendak hati untuk berhenti. Dan, aku akan segera
menghentikan cerita ini.
Demikianlah. Para sufi pun menari bersama kopi. Begitulah,
cerita muasal kopi pun menuai konflik.
[Tulisan ini saya buat dan pertanggung-jawabkan semampu saya. Kalau
tidak memuaskan, maka itu bukanlah kesalahan saya; dan kalau pun itu
kesalahan saya, maka saya pertanggung-jawabkan. --David Tobing--]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment