
: Buat Bang Echa atas kesabarannya.
Hal ini menjadi perbincangan awal ketika Sinau ingin didirikan,
dibangun, selain dibuat sebagai ruang kosong. Pernyataan Setiap Yang
Datang Adalah Orang Yang Tepat adalah sebuah pernyataan keyakinan kami
ketika semua orang sibuk dengan prasangka yang tidak perlu dan kami
berprasangka demikian. Prasangka ini bukan tanpa alasan ketika
kebetulan kawan Wildan di suatu pagi yang ganjil ingin menuntaskan
pembicaraan tentang prasangka yang akhirnya tidak tuntas. Pertama, ia
menanyakan lebih cepat mana indera mata menangkap cahaya atau telinga
menangkap bunyi. Jawaban saya, adalah mata menangkap cahaya. Jibal
menjawab telinga menangkap bunyi. Jika kita baca Rendra, dia berusaha
menyeimbangkan keduanya, sehingga jika hilang salah satu kita tidak
menjadi tuna (untuk pengecap, penciuman, peraba juga diperlakukan
sama). Bahkan Rendra berhasil mengembangkan teknik meninggikan rasa,
indera keenam. Apapun jawabannya saya bersetuju dengan pernyataan
berikutnya, yang lebih dulu hadir prasangka.
Prasangka yang didahului oleh akumulasi pengetahuan merupakan saringan
pertama ketika indera bekerja, berkorelasi dengan otak yang menyimpan
berbagai indeks. Prasangka ini menyimpan begitu banyak tanda dalam
indeks sehingga ia mendahului mendefinisikan sesuatu ketika kita
berhadapan dengannya. Prasangka menyusun kategori, stereotip, dan
bekerja tidak dalam sistem chaos, ia lebih cepat dari hitungan Pentium
4 hypertrading sekalipun. Begitu cepatnya prasangka kadang sebelum
bertemu sesuatu secara fisikpun kita sudah memutuskan; Apakah itu?
Siapa gerangan dirinya? Begitu cepatnya sehingga kami ingin
berprasangka baik dengan pernyataan diatas, karena sama sekali tidak
ada ruginya, bahkan keuntungan potensial ada di depan mata.
Sinau sebagai sebuah ruang kosong adalah suatu sikap yang ingin
ditegaskan bahwa siapapun berhak mengisi ruang tersebut dan silahkan
meninggalkannya jika sudah mendapatkan sesuatu yang paling berarti bagi
dirinya, jangan sampai orang yang datang ke Sinau cuma mengisi
kekosongan dengan kekosongan, tanpa eksistensi dan esensi. Walaupun ia
orang yang tepat namun kami berusaha sekuat tenaga agar ia sesegera
menentukan maksud kedatangannya. Komunitas yang ingin dibangunpun
berpandangan seperti ini, siapapun tepat dan siapapun berkontribusi dan
bersimbiosa mutualisma.
Tawa pecah ketika dalam perjalanan yang sudah 4 tahun ini, baik di
Malang maupun di Jakarta, ternyata Sinau dipandang sebagai Ruang
Tunggu. Maka pernyataan Setiap Yang Datang Adalah Orang Yang
Tepat diasumsikan sebagai seorang yang akan menjadi bosan karena
harapan yang bisa jadi datang, bisa jadi tidak. Bahkan seorang Beni,
kawan yang dapat berkelana liar dengan pikirannya memiliki tujuan
ketika bertandang dan duduk memesan. Ehm, Sinau sebagai ruang tunggu
sangat menarik untuk ditelusuri lebih jauh.
Menunggu membutuhkan stamina yang besar, dibandingkan ‘menjemput’
istilah yang sering dikatakan kawan Wildan. Menjemput memiliki tujuan
yang pasti dengan kerja yang aktif. Sedangkan menunggu sebuah kerja
pasif, dengan harapan yang diantara nyata dan sedikit ilusif. Menunggu
Godot sebuah absurditas lain, ketika sang penjemput bisa apa saja, dan
siapa saja. Di Malang hampir setiap kawan yang kukenal, yang baru lulus
dan diwisuda, menunggu sesuatu di Sinau. Mereka tampak serius dengan
segenap gurauan, harapan masa depan, sambil membaca koran, menghitung
probabilita, mengaris bawahi setiap lamaran kerja, dan menunggu
siapapun yang datang untuk diajak bicara. Usulan untuk membuat sesuatu
memenuhi udara siang dan malam di Sinau. Begitu banyak proposal yang
diajukan dan sampai sekarang mereka masih menunggu: entah. Kerja dalam
pengertian menjemput ide yang lalu lalang di udara siang dan malam tak
pernah masuk dalam hitungan matematika mereka. Menunggu ternyata lebih
mengasyikkan, apalagi sambil memelototi hotspot gadis-gadis sma,
karyawati atau mahasiswi, berharap mereka melakukan hal yang sama.
‘…I’m not a lazy boy …Meet me at the cofffeeshop we can dance like Iggy
Pop and the chick will find your hotspot…’-RHCP.
Sinau semakin riuh saja, di Malang dan Jakarta, karena Sinau Malang
lahir lebih dulu maka komunitas Sinau cepat beranjak dewasa; maksudnya
lebih peka, jika tidak puas dengan layanan, mereka segera minggat.
Obrolan warung kopi di Sinau Malang dan Jakarta, maunya ekstraordinary,
yaitu dengan pertanggungjawaban, bukan obrolan provokatif intel yang
mengenalkan dirinya intel, atau orang pintar yang mengaku dirinya
pintar. Pertanggungjawaban yang dimaksud adalah apakah obrolan warung
kopi di Sinau dapat membuat hidup menjadi lebih hidup. Seperti impian
seorang sahabat yang belum pernah singgah, ia memimpikan warung kopi
menjadi akademia, dimana ide yang muncul penuh pertanggungjawaban,
mencerahkan, membuat diri semakin muda karena jenaka. Puih berat
ya…kata Chairil Anwar susah sungguh…maka kepekaan pengunjung di Sinau
yang ingin menyia-nyiakan waktu mereka sangat diharapkan, cepat minggat
sebelum terlambat. Ada waktu-waktu tertentu untuk bersendiri,
namun pada acara yang diagendakan, itulah benih akademia, mimpi seorang
kawan yang belum pernah singgah dan ingin meniru obrolan warung kopi di
Prancis dengan kehadiran Derrida dengan segenap kebersahajaannya.
Jika pengunjung diharapkan tidak berperilaku seperti dalam Menunggu
Godot maka para penjaga kedai di Sinau diharapkan tidak berperilaku
seperti Sisipus, yang berusaha berulang-ulang tidak pernah belajar dari
kesalahan atau seperti taqlid dengan satu cara, atau melakukan kerja
tanpa kepastian. Berkembanglah, berbiaklah sebelum mimpi dilarang atau
dikontrol seperti SMS. Penjaga kedai Sinau dari sejak awalnya akan
diposisikan bagian dari produk, salah satu pembelajaran dari 7 Jurus
AntiMarket Sinau, yang berjudul Narcist Marketing. Penjual adalah
bagian dari produk yang dijual. Seperti pelacur mungkin prasangka
awalnya, namun di Sinau kita menjual dengan hati dan jiwa, sedangkan
pelacur cuma menjual tubuh tanpa hati dan jiwa.
Sinau sebagai Ruang Tunggu, kenapa tidak. Bukankah menunggu itu melatih
kesabaran. Dan menunggu adalah bagian dari ujian, ada sesuatu yang
ditunda oleh yang lebih kuasa. Mungkin Sinau belum sampai pada tingkat
akademia, sebagai Ruang Tunggu, Sinau cuma bisa dikalahkan waktu,
lagipula dalam tunggu kita dapat lebih banyak duduk merenung,
dibandingkan menjemput dalam suasana hiruk pikuk. Merenung sambil
menajamkan seluruh indera, supaya lebih peka. Terimaksih kami kepada
orang yang telah datang pada setiap kesempatan, Anda orang-orang yang
tepat. Mari mampir, ada buku, syair dan kopi bercangkir-cangkir.
(widhy |sinau)