Tuesday, 14 September 2010

Tentang Hukum


 

(sekelumit pengalaman in the Age of Century)

 

hokum |ˈhōkəm|

noun informal

nonsense : they dismissed such corporate homilies as boardroom hokum.

• trite, sentimental, or unrealistic situations and dialogue in a movie, play, or piece of writing : classic B-movie[1] hokum.

ORIGIN early 20th cent.: of unknown origin.

 

Dalam On Bullshit Harry Frankfurt (tahun tidak diketahui) menjelaskan sinonim dari ‘bullshit’ adalah ‘balderdash’, ‘claptrap’, ‘hokum’, ‘drivel’, ‘buncombe’, ‘imposture’, and ‘quackery’ dan ‘humbug’. Mengapa saya melihat hukum sebagai subjek pembahasan, semata-mata kata ini dalam software MS Word selalu digantikan dengan hokum, yang dalam berbagai kamus bahasa Inggris artinya seperti di atas, dan baru digunakan sekitar awal abad 20 dengan status tidak diketahui asal-usulnya.

 

Saya mencoba mencari tahu dengan kekuatan ‘bullshit’ yang saya punya. Pertama adalah melafalkan hokum dalam bahasa Inggris sebagai ˈhōkəm. Saya teringat ‘how come’ sebuah frase dalam bahasa Inggris yang artinya:

 

how come? informal said when asking how or why something happened or is the case : how come you never married, Jimmy?

 

Jika dibaca cepat maka pelisanannya mirip. Homofon maksud saya.

 

Kedua, seperti kata-kata lainnya, tentu asal-usulnya bisa dijelaskan. Kecuali kata tersebut benar-benar kata yang baru, atau kata tersebut digunakan pertama kali oleh penyair yang gemar menciptakan kata-kata. Dan jika arti kata tersebut dikonotasikan dengan kata hukum dalam kamus bahasa Indonesia maka artinya sebagai berikut:

1. peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah, 2. undang-undang atau peraturan yag digunakan untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, 3.  patokan (kaidah, ketentuan) mengenai berbagai peristiwa alam yang tertentu, 4. keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (di pengadilan), vonis.

 

Kata hukum di atas berasal dari bahasa Arab ha-ka-ma yang artinya (1) orang-orang yang cerdik pandai, (2) hakim-hakim (KBBI 2005). Dan pengertian  singkat ini lepas dari berbagai indeks ha-ka-ma dalam kamus Arabnya sendiri. Antara lain bijaksana dan atribut predikat yang selalu dilekatkan pada kata hukum yaitu adil (bahasa Arabnya adl).

 

Namun yang menarik dari kata hokum dan bullshit dalam konteks Indonesia adalah kemampuannya untuk ‘mengecoh’ dengan kuasa (terutama) pengetahuan dan  moral. Berbagai masalah di sini seolah selesai dengan kata ‘santun’.  Maka sekarangpun ada istilah baru seperti demokrasi santun, reformasi (baca: revolusi santun). Kemampuan mengecoh ini, dengan moralitas, merupakan salah satu bentuk hukum yang dianggap bertubuh dalam sosial (sayangnya dianggap statis, seperti lagu nostalgia Indonesia ramah-tamah, berbudi, berhati baik), dan dikonstruksikan untuk kepentingan pengecohan. Definisi pengecohan disini adalah mengambil keuntungan personal dari situasi yang  tidak jelas, tidak terang benderang-dimana bayang-bayangpun tidak muncul. Sehingga hukum sering berada di area ini. Dan sekarang politik dan demokrasi pun menjadi wilayah yang sama, wilayah pengecohan. Yang jika dikembalikan kepada pengertian hokum di atas, maka situasi ini seperti dalam B-Movies, film dengan anggaran rendah (lepas dari otentistas dan estetika yang dihasilkan) maka pengertian film beranggaran rendah ini adalah film kelas dua atau kelas tiga, dan dalam sejarah film kita mungkin kita bisa melihat mana film kelas dua atau kelas tiga, jika bukan sekitar dada dan paha-maka sekitar komedi non sense yang meminggirkan akal sehat.

 

Situasi ini adalah skenario ‘murah’ untuk memperlihatkan aspek dramaturgi pelaku penegakan hukum dan kekuasaaan yang tidak pernah berlatih teater (sebagi seni dan ilmu) atau mungkin tidak mengerti teater (sebagai sebuah pertunjukkan), namun memainkannya secara naif (maksudnya menganggap penonton memiliki kualitas pemahaman yang sama dengan dirinya). Skenario murah dan murah-an inilah yang sedang berlangsung dalam ‘negara teater’ (meminjam istilah Geerzt) di mana semua orang dalam lingkaran kekuasaan (sedang berkuasa dan pernah berkuasa dan masih memiliki massa bodoh)  memompa kebesaran dirinya sehingga power pomps people dan people pomps power. Pengertian pomps disini selain pump-pompa juga sebagai sebuah selebrasi, perayaan.

 

Atau justru si penguasa memang dilahirkan sebagai pengecoh ‘natural born’ sehingga ia menaiki tangga sejarahnya setapak demi setapak lewat skrip teatrikalnya. Menangis, marah, geram walaupun mimik dan gesturnya-nya tetap sama.  Maksud saya ‘natural born’ ia memiliki bakat yang kuat dan didukung perawatan (nurture) oleh sistem  yang mengecoh. Skrip tersebut memang bukan cuma dijadikan diskursus (constative) sekadar mempersoalkan benar-salah secara deskriptif tentang sesuatu, seperti pernyataan ‘korupsi harus dilawan dengan cara taat hukum’ (silahkan verifikasi apakah benar korupsi dilawan, apakah ada hukum yang dapat mengatasi korupsi-speech, deskriptif) atau rumah itu bercat merah (apakah benar rumah yang ditunjuk berwarna merah), namun juga dijadikan suatu hal yang sifatnya performatif (act) sesuai dengan keyakinan masing-masing. Korupsi harus dilawan dengan cara taat hukum, maka seketika itu sebuah efek dari pernyataan korupsi harus dilawan tercipta, sebuah kerja-tindakan, dengan cara yang taat hukum (but how come?) dibaca sebagai bagaimana menciptakan hukum (act) yang dapat memberantas korupsi atau mengabaikan hukum sama sekali untuk memberantas korupsi (act sebagai tindakan yang tidak melulu normatif, namun pragmatis).

 

Jika saya boleh menduga permasalahan speech-act ini memisahkan antara apa yang disebut filsofi omdo-omong doang dengan filosofi demonstratif. Dalam filsafat omdo, seseorang tidak harus melakukan apa yang ia kemukakan baik sebagai suatu pernyataan maupun ketika berargumen. Dalam filsafat demonstratif penyataan ataupun argumen harus dilakukan (act), you must practice what your preach, baru makna timbul. Makna bisa timbul dengan cara berpartisipasi, ketika penonton-pendengar  diposisikan sebagai partisipan (subjek-subjek, bukan subjek-objek). Bahkan penonton sebagai partisipan diajak untuk melakukan setelah ada teladan. Bukan penonton pasif yang cuma melihat citra atau penonton yang malah dicitrakan sebagai penonton aktif juga lewat pencitraan. Sebagai citra dari citra. People pomps powernya Geerzt saya pikir cocok sebagai citra dari citra, ia ada setelah ada power pomps people , lewat citra dan lewat citra pula ada pendukung kekuasaan yang sepatriot dan semilitan Die Hard-lah. 

 

Kembali kepada ‘bullshit’, sehebat apapun seseorang mengecoh, sesungguhnya ia juga sedang mengecoh dirinya, setidaknya ia mengecoh dirinya dengan anggapan orang akan terkecoh. Sehingga ungkapan orang dapat dikecoh pada setiap masa dan setiap tempat menjadi ‘bullshit’. Orang tidak dapat dikecoh pada setiap masa dan di setiap tempat (menurut saya pengecohan tidak meruang kecuali ada partisipasi intersubjek) . Orang senang dengan gaya ‘bullshit’ begini, layak ditanyakan, how come? Bagaimana bisa?

 

Jika dulu ‘bullshit’ adalah ‘bohong murni’, seperti mengatakan sesuatu yang tidak benar (bisa jadi kesaksian palsu atau sesuatu tersebut tidak sesuai dengan faktanya), atau sebagian saja benar (yang ditunjuk rumah merah, rumah berpagar merah setelah di verifikasi, rumah itu sendiri putih, beratap dari genting dan berpagar besi merah). Sekarang bullshit termasuk mengatakan apa-apa yang tidak sepenuhnya ia kuasai benar (seperti saya bicara filosofi atau tema bullshit begini). Bullshit sendiri adalah pekerjaan orang laki-laki di warung kopi (bull menunjuk jantan, sialnya menurut Oxford English Dictionary, bullshit diambil dari bull session, yaitu tugas rutin, seremonial, sehingga kehilangan makna contoh: tugas birokrasi). Sedangkan kita mengenalinya  sebagai obrolan warung kopi. Tapi pidato tentang terorisme yang santunpun juga menjadi bullshit ketika secara gamblang dibuktikan sebaliknya, bahwa bukti yang diungkapkan memiliki kontra bukti, juga tema lain semacam pemberantasan korupsi, penegakkan hukum, keadilan pasar, demokrasi santun. Itu yang gamblang, yang setengah benar atau sebagian benarpun menjadi bullshit, apalagi jika obrolan warung kopi dicatat intel. Too much bullshit. Bagaimana bisa? Itulah hukum ketika berubah hokum. Apalagi dengan menambah faktor selebrasi pencitraan. Selebrasi bahwa hukum di atas segalanya, prasangka tidak bersalah, pembuktian terbalik, semua dibayar kontan oleh hokum, bagaimana bisa. Hukum sebagai selebrasi di antara seleb atu elit adalah merayakan perselingkuhan mereka. Hukum tidak serta merta berubah di MS Word, menjadi hokum atau diketik HUKUM, di delete, ditebal-miring, garis bawah, apalagi copy paste dari hukum Neither Land. Hukum bullshit cuma bisa diwacanakan.

 

 



[1] B-movie

noun

a low-budget movie, esp. one made for use as a companion to the main attraction in a double feature : [as adj. ] a B-movie actress.

1 comment: