Bagaimana kita menghadapi sebuah buku kumpulan puisi dan secangkir kopi? Di berbagai mal atau plasa (yang di negeri ini keduanya berarti jejeran toko-toko mewah), setiap sore hingga tengah malam, ribuan orang duduk berbincang, gaul, dengan laptop wi fi dan secangkir kopi di sisi. Puisi? Satu-dua ia mampir sesekali di halaman koran minggu pagi. Buku puisi? Satu-dua di antara mereka, boleh jadi, mengepitnya sebagai gengsi.
Di mal atau plasa, harga secangkir kopi tak jauh nilainya dari sebuah buku puisi. Sebagai gaya hidup, kebutuhan primer dunia urban, secangkir kopi seduhan Italia, Prancis atau Amerika (yang notabene Jawa juga asalnya), seolah memberi makna lebih ketimbang kenikmatan membaca puisi. Di negeri ini, nikmat satu tegukan yang instan, praktis dan pragmatis dianggap lebih bernilai dari sebuah makna yang tak katup dirundung usia, sebagaimana sastra, sebagaimana sebuah puisi.
Ketika jutaan orang mengunduh ring back tone (RBT) seharga Rp. 9.000/bulan atau Rp. 45.000/5 bulan, untuk sebuah potongan tak lengkap lagu “Tak Gendong” almarhum mbah Surip, ketimbang sebuah kumpulan puisi terbaru Sapardi Djoko Damono –yang lebih murah dan tak laku biar cetak hanya satu-dua ribu—sesungguhnya kita dengan segera mafhum: ada yang keliru, ada krisis, dalam cara kita mengapresiasi atau menghargai sebuah produk kultural.
Kita tidak lagi memiliki –atau mulai impoten dalam—kemampuan untuk melihat dan mengambil signifikansi dari sebuah karya seni atau produk kultural pada umumnya. Nilai yang menjadi ukuran bukan lagi pada kedalaman makna, daya tahan simbolismenya, atau keindahan bentuknya. Semua yang katakanlah terkategori sebagai nilai idealistis tadi menjadi begitu inferior berhadapan dengan karya-karya tisyu yang “sekali pakai buang”, yang tidak lengkap penikmatannya, yang lebih mengakomodasi pragmatisme dan hedonisme kita.
Dalam makna lain, kita –masyarakat—mengeluarkan bujet yang cukup besar untuk nilai-nilai praktis, temporer serta sensualistis, untuk memenuhi hasrat atau hajat sesaat kita, ketimbang nilai idealistis yang memperkaya, memperdewasa dan meninggikan harkat kita via kebudayaan. Dia menjadi tragik, ketika kesadaran yang cukup menyesatkan ini pun juga hinggap di –dan seperti terlegitimasi—kalangan elit, hingga mereka yang berkuasa. Dunia serebral akan segera memicu reaksi dan simpati kaum elit dibanding fenomen budaya yang dihasilkan oleh perasan keringat, jiwa dan pikiran bertahun-tahun.
Maka tak mengherankan, bila almarhum Pramoedya Ananta Toer dilayatkan dan ditanahkan tanpa kehadiran elit dan negara, betapapun jasanya pada promosi kebudayaan nasional tak tertandingi siapa pun yang ada di kursi kekuasaan. Tak mengherankan, tentu sebagaimana kita semua tahu, almarhum Rendra hanya mendapat karangan bunga titipan penguasa, sementara ia adalah pahlawan kebudayaan, yang nilainya mungkin lebih dari sekadar jejeran bintang atau tanda jasa.
Dan kita menjadi saksi, bagaimana para seniman atau pekerja budaya, hidup secara asketik, seperti Afrizal Malna di kabupaten Bantul, Gus tf di kota kecil Payakumbuh, Umbu Landu Paranggi di satu sudut Bali, Ahmad Tohari di Banyumas, dan banyak lainnya. Semata hidup seluruhnya diabdikan untuk kebudayaan, untuk sebuah kekuatan yang terbukti menjadi elemen terkuat bertahannya kita sebagai sebuah negeri, sebagai sebuah bangsa. Tapi hidup mereka tak terjangkau dan tak mampu menjangkau akses-akses sosial, ekonomi dan politik yang begitu mudahnya direngkuh dunia serebral, dunia praktis dan sensual.
Eksploatasi Industri
Semua itu tidak lain lantaran kebudayaan ditempatkan sebagai sebuah hasil yang hanya bermakna fungsional; sebuah produk yang material, terukur, dan karenanya mudah untuk dikomodifikasi secara industri dan mudah dikooptasi secara politis. Selebrasi kesenian via industri, akan menempatkan seni dalam takdir modernnya sebagai subordinat dari kapital yang dimiliki elit.
Hingga dengan senang hati elit ikut dalam selebrasi itu, menikmati sensasi, popularitas, juga dominasinya yang tertanam semakin kuat. Seniman pada gilirannya terbius oleh akses dan fasilitas itu, seraya membayangkan sebagian “kekuasaan” pun dapat digenggamnya. Sebuah impuls mental yang berdampak intelektual, hingga membuat sebagian artis/seniman berbondong jadi politikus, bahkan berharap jadi pemimpin eksekutif, semacam walikota, bupati, menteri, bahkan presiden.
Apa yang tak terbayangkan oleh para seniman itu, sebagai produsen kebudayaan sesungguhnya mereka berada dalam sebuah sistem yang mengeksploatasi kekuatan dan potensi kebudayaan mereka yang sebenarnya. Sementara ada perbedaan nilai yang sangat mendasar di antara keduanya, yang tidak karena bakat dan pengalaman bertahun akan sulit dijembatani. Bila seniman “bermain dalam estetika” maka politikus hanyalah “memainkan artistika” demi kebutuhan pragmatis atau oportunistiknya.
Karenanya lihatlah dalam arsitektur industri dan politik kesenian kita yang dibungkus dengan label “industri kreatif”. Di semua lahan kreatif itu, posisi seniman sebagai produsen, selalu ditempatkan dalam posisi yang sangat minor. Jangankan seorang pengarang asketik seperti Afrizal Malna, bahkan seorang mbah Surip atau Glenn Fredly pun hanya mendapat porsi kurang dari 5% dari produk seninya yang menjadi industri. Baik itu dalam bentuk fisik seperti CD atau kaset ataupun virtual seperti RBT. Para pemodal, dalam hal ini major label atau operator telepon (yang hampir tanpa cost), justru menikmati 50% bagian dari harga jual.
Yang menarik, bahkan secara etis, seniman pun dipojokkan. Tak sebagaimana di bagian dunia lain, hampir tak pernah seniman ditempatkan sebagai produser, walau sesungguhnya dialah produsen dari karya itu. Sang pemodal, dengan skema kontrak dan industri modern yang manipulatif, selalu menempatkan diri sebagai produser, sehingga merasa memiliki hak untuk mendapatkan lebih.
Situasi ini sama mengenaskannya dengan dunia buku yang menempatkan penulis/pengarang hanya sebagai penerima 10% dari harga jual. Atau katakanlah sekitar Rp 3 juta untuk sebuah buku seharga Rp. 30.000,- yang laku 1.000 eksemplar. Untuk sebuah karya yang membutuhkan upaya tahunan, biaya besar, perasan keringat hati dan akal tak terpemanai, nilai itu hampir dapat dikatakan sebagai “penghinaan”, katakanlah dibanding toko buku yang menikmati 40-55% untuk fasilitas display yang ia sediakan.
Apresiasi dan tingkat penghargaan masyarakat terhadap sebuah nilai ideal dari karya kebudayaan barangkali bisa dikeluhkan dan dicari solusinya. Namun yang tampak nyata dalam situasi ini adalah para penanggungjawab negara sebagai pihak yang menetapkan regulasi dan menyusun arsitektur industri itu (sesungguhnya juga dalam arti bisnis secara luas), tidak berbuat apa-apa kecuali menangguk keuntungan dalam hampir semua dimensi. Sebuah kecenderungan menggiriskan, ketika eksploatasi itu terjadi di antara pelaku dan pemilik negeri dan kebudayaan itu sendiri.
Gelembung Kebudayaan
Tak dapat lain fakta yang mestinya dapat kita pandang dengan telanjang dari realitas di atas: kebudayaan adalah kuda beban yang sangat letih dari nafsu dan ambisi para penunggangnya. Inilah pokok yang semestinya membuat kita, terutama elit, merenung atas kematian seorang pahlawan seperti WS Rendra, Pramoedya dulu, dan entah siapa lagi.
Kehidupan, bernegara dan berkebangsaan, yang melalaikan nilai-nilai ideal yang dengan susah payah dibangun melalui pengayaan khasanah simbolik kebudayaan –kesenian, misalnya—sesungguhnya selalu menyimpan bom waktunya sendiri. Bukan karena kebudayaan menyimpan mesiu dalam kepalanya. Bukan pula sekadar kebudayaan memiliki kekuatan dahsyat di balik tubuhnya. Namun karena masyarakat kita, sejak ribuan tahun lalu, adalah entitas yang secara natural dan nurtural adalah pelaku dan produsen kebudayaan itu sendiri.
Bila mereka harus terus dinafikan, dialienasikan atau dieksploatasi (dari) ekspresi-ekspresi kulturalnya yang imanen, mereka akan meledak. Seperti gelembung udara, ruang kosong dalam alam spiritual dan mental itu akan pengap, membungkah dan pecah tak tertahankan. Karena hidup tak selesai hanya dengan materi, hanya dengan uang, hanya dengan pragmatisme-hedonis yang instan.
Manusia membutuhkan sesuatu yang lebih langgeng, bahkan yang dianggapnya eternal. Dan itu tak dapat diraihnya hanya dengan modal, ekonomi, politik, apalagi senjata. Hanya kebudayaan yang bisa menjawabnya. Apakah Saudara menghalangi publik untuk mendapatkan jawaban itu? Lihatlah waktu.
Rest in peace
ReplyDelete