Sunday, 26 September 2010

kita banyak berutang pada anjing

Di pojok kedai blues itu, seseorang, dengan umur seputih rambutnya, menghisap dalam-dalam ganja seindah harmonika yang sedang dinikmatinya. Anjing! teriaknya. Sebelumnya ia juga berteriak Anjing! namun lebih bernada marah, saya yang duduk disebelahnya bukannya mendengar nada itu, tapi melihatnya dari mimik mukanya. Anjing! begitu polisi menghentikan mobilnya. 

Anjing dalam kedai blues itu mungkin mirip-mirip pudel; cantik, manis, lembut, dan menggemaskan. Anjing di jalan mungkin sebaliknya, ia mirip manusia: serong, pembohong, teror, dan tidak tahu malu.

Lepas dari kedai, kami bercengkrama tidak lama, membahas performa musisi malam tadi. Kopi pagi, gorengan pisang disuguhkan isteri. Dari dalam terdengar suara televisi, isinya:  kasus-kasus yang tidak selesai, kasus-kasus yang dianggap selesai, kasus-kasus yang dijadikan teka-teki, kasus-kasus yang dijadikan pertunjukkan sulap dan komedi. Anjing! katanya lagi. 

Dengan iseng aku bertanya, kenapa pagi ini ia begitu murka dengan segala berita. 
Anjing luh! pake tanya segala. Kembali ia melinting ganja seraya mengganti berita dengan harmonika.

1 comment: