Rating: | ★★ |
Category: | Other |
Dengan penuh keyakinan ia katakan, bahwa peradaban yang dibangun (baca: sivilisasi) oleh segenap rakyat (baca: masyarakat sipil) sangat bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan (menolak penjajahan). Banyak hal yang sifatnya teror, diskriminatif. Pemerintah katanya lagi, senang memeras rakyatnya. Cita-cita kesejahteraan Hatta kandas sejak lama. Bangsa ini penuh curiga dan mudah diadu domba.
Masa depan bangsa ini, lanjutnya lagi terletak pada penjajah. Dan jika pemeritah terus menyengsarakan rakyatnya. Maka bangsa inlander ini akan rindu kembali pada induk semangnya, penjajah yang menurut dia sekarang adalah: bantuan asing yang mengikat (baca: bersyarat) dan penuh muslihat. Kita makin diikat oleh aturan yang bukan kita punya, baik bidang ekonomi maupun politik.
Adakah jalan keluar. Baginya jalan keluar cuma satu. Menemukan kembali Indonesia Raya. Melihat lagi otentisitas budaya, zuhud dalam kebanggaan Nasionalisme. Yang luntur dan uzur menurutnya bukan nasionalisme. Tapi kebanggaan, percaya diri, dan solidaritas sebagai satu bangsa. Nasionalisme menurutnya terus ada dalam bentuk-bentuk yang berbeda, dan setiap orang berhak saja menafsirkan nasionalisme dengan syarat ia memang bermuara pada kejayaan (ia sebut Glory) Indonesia Raya.
Kita tidak punya akar blues, katanya lagi. Blues yang kita pahami adalah jiplakan dari Missisipi atau Belanda. Jika kita ingin mendapatkan filosofi blues khas Indonesia, mainkanlah musik negeri sendiri, yang begitu kaya dengan nuansa etnik, beragam. Bhineka Tunggal Ika adalah syair blues yang sangat dalam, begitu dalam sehingga separatisme sesungguhnya cuma disebabkan oleh kemurkaan daerah terhadap pemerintah pusat yang suka menganiaya, birokrasi yang bermental inlander. Kita sudah rusak, remuk, dan berkeping. Jika memang ajal (ini yang paling menyeramkan) maka goodbye Indonesia Raya.
No comments:
Post a Comment