Wednesday, 18 June 2008

Resep #8

Rating:★★★★
Category:Other
Kopi Pakar

Di sebuah jalan yang menjadi buntu, bangunan tua, semak, dan bising suara gugusan mesin AC sebuah Mall pengganti landmark sebelumnya, lapangan bola sepak dan bola keranjang. Dua bangunan, satu art deco tahun 50an, landai, meluas, kalem, hijau tak butuh AC, lainnya bangunan ‘minimalis’ retro art deco, menjulang, ‘kereng’, tebar pesona, menyilaukan, menyedot energi dan memuntahkan gersang. Walaupun perubahan terjadi susul-menyusul namun dari sisi pengalaman ruang nyaris tak bertema. Hambar, asing.

Kecuali kedekatan kita dengan papan reklame, yang muncul juga di sela berita sore. Mall sebagai landmark baru bukanlah apa-apa. Tidak mengingatkan kita pada sesuatu. Nyaris bersifat tunggal, tempat belanja yang steril, bening, dengan aneka manekin berjalan dengan produk palsu, buatan Taiwan, Cina, Korea, atau Indonesia. Jika ingin memahami Indonesia kontemporer datanglah ke Mall, mungkin kita akan ikut gamang juga dengan pakaian kita, tiruan dari mana-merujuk pada apa, lebih lanjut siapa kita. Yang mengaku plural padahal sangat seragam, sederet barkode.

Diantara yang cepat, muda, cergas, temporer ada yang permanen, berjiwa muda, cukup tampil bergaram namun lincah dan lucu. Setelah bertahun melayani membuat kopi, mungkin saya generasi ke-3 dari dekade yang dia lewati. 30 tahun bertugas melayani staf, tamu dan supirnya. Saya menamakannya Kopi Pakar, pembuatnya pakar kopi.

Kopi ini sangat spesial. Karena setelah mengenalnya tiga bulan, pakar kopi ini mengetahui secara persis kapan waktunya menyuguhkan kopi. Bukan cuma di setiap pagi, namun di saat kita membutuhkannya. Kepakaran ini yang tidak bisa ditandingi, kopi tiba-tiba hadir disaat kita membutuhkannya, bisa jadi karena kelelahan, atau karena suntuk. Sepertinya pakar kopi ini mengintip setiap kamar kerja kami, membaca setiap gerak tubuh atau air muka kami.

Pakar kopi ini tempat curhat orang-orang yang tidak memperdulikan kategori golongan atau kepangkatan. Kami, secara kategori kelompok yang menginginkan kemapanan ala borjuis namun dengan korbanan pelayanan kaki lima. Kelas transisi yang tidak pandai berterima kasih. Saya kadang bertanya bagaimana pakar kopi bisa bertahan dengan orang-orang seperti ini. Jawabnya, tidak. Saya sering tersinggung dengan kelakuan kalian. Tapi ini hidup yang telah dipilih, hidup yang melayani orang. Jika saya sudah memilih, saya bertanggungjawab untuk menyelesaikannya. Bukan sekadar menyelesaikan tugas-namun memberikan yang terbaik-jadi terbalik mas, yang harus tersinggung mereka (termasuk saya). Gitu mas, itu menurut pendapat saya lho (kata-katanya di setiap akhir percakapan).

Diantara deretan ruang kerja, saya memilih sekamar dengan pakar kopi. Identitasnya jelas, tak pernah sembunyi di balik kepangkatan dan titel, yang memang tak ia miliki. Ia tak peduli dengan seperangkat pengetahuan dan pelayanan serba bisa yang cuma bisa dijelaskan lewat riwayat pekerjaan. Pakar kopi ini cuma melayani satu hal; menyuguhkan kopi dengan bonus percakapan yang biasa saja. Terutama tentang hidup yang biasa saja ia lakoni. Ia bilang semuanya biasa saja, mengalir saja, tidak usah berbohong untuk menyenangkan orang lain. Sang pakar memiliki seragam batik itu-itu saja (kelihatannya seragam wajib bagi seluruh staf di institusi ini). Dalam benaknya tak ada yang istimewa dari tampilan atasan, tamu dan para supirnya. Dunia tak habis dicari, katanya lagi. Yang istimewa adalah ya hidup, ya sekarang-saat ini-nikmati saja.

Saya menyeruput kopi tanpa gula, bikinan dia, sambil berpikir apakah saya masih punya malu untuk mengakui kekinian dan kesementaraan saya.

widhy | sinau

No comments:

Post a Comment