Apa yang aku kisahkan, terkait dengan peristiwa. Apa yang aku ceritakan, terkait dengan rekayasa. Apa yang aku narasikan, adalah nama-nama yang hadir dalam kehidupan nyata. Apa yang aku tuliskan, pada akhirnya adalah basa-basi yang selalu berfungsi menunda inti. Dan apa yang aku baca, lagi-lagi episode panjang sinetron bertajuk ‘Meyakinkan Sekaligus Menakutkan’.
Suatu ketika, bulan Juni dalam sajak-sajak pasti menyimpan gerimis. Mudah-mudahan bukan badai atau gempa bumi. Aksi-aksi kepahlawanan kadang memang tak bisa lepas dari tangan yang mengepal. Sesekali suara garang dan lantang sangat sakti bagi proses diskusi. Argumentasi pun menjadi persoalan bagaimana menguasai proses komunikasi dengan suatu cara gaib lagi mistis: Meyakinkan Sekaligus Menakutkan. Bila hanya meyakinkan, cukuplah didengar saja selanjutnya dilupakan. Bila cuma menakutkan, anggap sajalah semacam gertak sambal—meski warna merah menyala, pedasnya cabai pasti ada batasnya! Namun, bila sudah ‘meyakinkan sekaligus menakutkan’, ada baiknya waspada, berjaga-jaga, sebab para zombie sudah keluar dari dalam kubur dan mencari mahluk hidup untuk menemani keheningan dalam rumah di dalam tanah.
Semua bermula ketika waktu sudah menunjuk pukul 13.00. Tiga belas jam setelah permulaan pertama bulan Juni, siang yang gerah di jalanan berubah bara di dalam suatu rumah yang tak biasa. Ucapan adalah habitus manusia. Ketika suara menjadi lebih lantang dan meraung garang sambil mengepal-ngepalkan tangan dalam batin, bahasa sudah seharusnya dimaknai sebagai undangan bagi mereka yang berada di luar undangan. Sayangnya, sebuah kebenaran sudah menjadi hak-milik, komoditi dalam pasar bursa masyarakat konsumeristis. Pencurian hak-milik, penghancuran hak-milik dari suatu kebenaran tak jauh beda dengan tindakan kriminal. Kematian bagi pencuri dan destroyer adalah mutlak dan pasti, cepat atau lambat. Pada saat begitu, semua orang bakal mencari buku telepon dan buku diari. Berbicara sekaligus menulis.
Aku merasa siang semakin gerah. Dan malam kemarin, aku melihat cuaca yang gelisah. Aku mengambil majalah untuk berkipas-kipas sendirian saja. Tanpa sengaja, aku menjatuhkan huruf-huruf dari peta sejarah yang tak mengenal kadaluarsa. Dari luar, aku mendengar kabar, semua sudah siap dan tak ada yang perlu ditakutkan. Kematian, sebagaimana dirimu adalah kepastian. Di saat engkau menjadi kepastian, pada saat yang sama pula engkau bakal menjadi kematian, bagi dirimu atau bagi orang lain.
Seorang yang tak bisa tenang di sebelahku menenggak air mineral. Wajah yang begitu kaku seakan meredam sekaligus ingin meledakkan amarah. Antara air dan api memang sudah kodratnya untuk tidak bisa menyatu. Antara air dan api selalu mengacu persoalan jumlah. Air yang banyak mengalahkan api. Api yang banyak mengalahkan air. Tetapi, bukankah Bumi tempat yang cukup memadai bagi air dan api untuk lestari? Begitulah aku berpikir sekenanya saja. Dia kembali berkata dengan wajah yang memang tidak bisa tenang. Gejolak adalah tanda ketiadaan stabilitas. Amarah, seperti seorang lelaki yang berjalan membawa senapan api. Bahagia hanya muncul ketika seorang perempuan berjalan di pematang sawah sambil menenteng sekendi air dalam siang yang gerah. Semua cerita, tak jauh dari kehidupan pedesaan, bertani dan mengusir
Siang bulan Juni menghapus mimpi yang hadir sebelum pagi. Pada malam berikutnya, kegelisahan pelan-pelan datang sambil menghadiahkan pekerjaan tambahan yang sulit diselesaikan. Aku melihat tayangan televisi. Setiap tangan yang mengepal atau setiap bambu yang terpisah dari rumpun adalah akibat katanya. Segala hal memiliki sebab. Darah tertumpah bukan karena manusia memang punya darah. Darah yang tertumpah bukanlah celaka, tidak awas, atau lalai menjaga tubuh. Darah yang tertumpah tanda ikhlas berkorban dari setiap sosok yang bakal mengemban status pahlawan. Menang atau kalah bukanlah tujuan. Sebab setiap korban atau pemenang selalu punya skandal diam-diam yang mesra, enggan menyapa sekaligus setia menunggu. Di dalam kubur, hanya cacing dan belatung sajalah yang paham tentang apa sebab mereka begitu lapar.
Malam sudah datang. Tidak ada yang mengundang. Kehendak Bumi memang bukan tidur. Gelisah menyebar dalam setiap pembuluh manusia. Kadang ada yang berhasil masuk ke dalam jantung untuk selanjutnya menelusuri jejak-jejak batin yang penuh jebakan sembilu. Kadang menimbulkan bunyi yang melengking, kadang pula menimbulkan bunyi yang merdu penuh harmoni. Di dalam kegelapan, hanya burung hantu saja yang paham siapa-siapa yang melangkahkan kaki di kala malam dengan penuh perhitungan.
Mereka berbincang dalam telepon. Kalimat-kalimat sandi bekerja sendiri membangun ruang kedap suara. Tidak ada telinga yang istimewa dalam ruangan yang begitu. Sebab, setiap kelemahan adalah rencana yang sudah diketahui oleh para lawan. Sembunyi, salah satu cara kebenaran menyingkapkan diri. Kadang kala, hanya dalam hening bisa dirasa ada hawa atau cuaca. Kalimat-kalimat sandi adalah tanda dari kebenaran yang pribadi. Orang lain serupa zombie yang hendak melantakkan segala rencana yang selalu mengacu pada masa yang akan datang.
Aku melihat negara datang sambil menggenggam pedang. Mata pedang selalu mengarah pada setiap jantung-jantung yang dikehendaki rakyat untuk berhenti mendenyut. Membunuh adalah jalan mempertahankan hidup. Di hadapan aku, seorang lelaki memainkan sulapan kartu. Dari dalam tempat yang terkutuk, dia menghadiahkan hiburan mahal dengan kemurahan batin sambil berharap mudah-mudahan semua berlangsung bersih dan jernih. Sebab darah yang tumpah, bukanlah sesaji bagi para dewata. Meski bukan pekerjaan yang sia-sia, memilih kematian sekaligus menetapkan waktu kematian adalah lebih indah bila dielakkan. Memang, menjamin kehidupan lestari lebih sulit sekaligus rumit. Maka, menderita adalah kepastian(!) yang menatap kematian.
2008
dvd.tbg@gmail.com
No comments:
Post a Comment