Wednesday, 18 June 2008

Perempuan Dengan Topi Cowboy di Stasiun Tebet

Sebuah malam panas.
Bayangkan ini, penat kerja, bau keringat, peminta-minta yang menggila, dan pelayanan kereta api yang bertambah buruk dalam dua dekade. Setiap hari.

Di bangku panjang, seorang petugas satpam dan saya.
Bayangkan juga ini, seorang perempuan menarik berjalan tegap jam setengah sembilan malam di belukar bau ketiak dengan topi cowboy dan setelan jeans tanpa tali lasso di pinggangnya.

Petugas satpam berujar, mungkin ia penyanyi kafe.
Saya mesem-mesem, kok dia tahu apa yang saya sedang lihat dan pikirkan.
Mas pekerjaannya apa?
Saya satpam di Hotel Sahid.

Bagi saya yang sedang putus wacana, satpam yang sangat perhatian ini cukup menarik. Ternyata bukan hanya perempuan bertopi cowboy ini yang mengganggu pemandangan. Ada anak penjual minuman yang nyambi jadi peminta-minta, belasan peminta-minta profesional pulang kerja, segerombolan fashioned punker yang teriak sabot pemerintah dan jayalah anarkisme, lapak-lapak yang bergegas tutup, orang-orang yang berangkat kerja giliran malam dengan harum sabun, penjual koran 1000 dapat 3, tukang siomay yang cekatan naik turun ke rel sambil membawa bangku baso untuk pacarnya-dan pacar-pacarnya yang lain menyeberang ke sisi sebelah depan tempat saya duduk diam dan bermacam-macam gaya busana yang bisa dijadikan ajang perjudian untuk menebak jenis pekerjaannya.

Satpam di sebelah saya, berperawakan tinggi besar, botak boot style (mirip neo nazi gitu looh) dan memakai jaket tentara. Dan karena itu saya tak berminat memulai percakapan.

Dari seratusan orang, hanya sedikit yang berwajah muram atau marah. Yang terlihat marah hanya para punkers yang gagal mendapat recehan, sambil memaki-maki pemerintah dan keadaaan, beberapa terlihat kelelahan, selebihnya gembira, sungguh, seperti tanpa masalah. Bercakap-cakap dan tertawa lepas. Macam di stasiun bukan di meja makan.

Setelahnya (dalam perjalanan berjejalan) saya mulai berpikir untuk menulis ini:

Masih adakah duka

(dan saya ingin mengakhiri saja cerita)

Apa yang membuat kita bungkam

(dengan berbagai pertanyaan yang melintas ketika menulis akhiran, dari sebuah percakapan panjang dengan satpam yang dimulai dengan ‘mungkin ia penyanyi kafe’)

Kapan kita sejahtera

(pertanyaan satpam tentang keadaan ‘kami’ sekarang (saya pura-pura empati), yang ia jawab sendiri dengan penjelasan-penjelasan sederhana dari sisi ekonomi rumah tangga yang tidak bertambah baik, penghasilan dan nilai uang yang tidak ada artinya, dan pelayanan angkutan umum yang amat ngehe, dan hidupnya yang semakin ‘mapan’ tak beranjak sama sekali-di garis tipis tebal kemiskinan)

Bagaimana baiknya

(tidak mirip dengan sadapan Untung Kurang Beruntung dengan mantan bendaharawan PKB yang mungkin pernah berjasa cuma karena dia ‘orang kaya’ nan dermawan.
‘sudah dengar komentar saya’?
‘oh good very good’ – saya teringat Cinta Laura, ia pasti lebih giras mengucapkan ‘oh good very good’ dalam situasi apapun)

Sang satpam ternyata marah juga dengan keadaan, walau intonasinya datar. Bagaimana baiknya.

‘Jujur’

Terngiang pula ucapan Camus, ‘pada suatu umur tertentu setiap manusia bertanggung jawab atas wajahnya sendiri’. Ucapan yang baik. Tapi wajah kita selalu mempesona kita sendiri, wajah yang selalu cantik walaupun sering melukai yang lain. Kita tak pernah jujur, mengatakan wajah kita paling cantik. Dan karenanya kita tak pernah bertanggung jawab.  Selalu takut. Sebab itu bungkam. Neurotik. Sudah susah, dijahati, dilecehkan, masih bisa tertawa lepas.

Coba bandingkan, mana hujan, becek, gak ada ojek? Tapi kalimat ini beserta intonasinya terlanjur menjadi gaya hidup, seperti  pahlawan lahir begitu saja. Hujan, becek gak ada ojek-apa masalah? Gaul.

Perempuan dengan topi cowboy telah memilih pakaiannya, juga para punkers, saya dan satpam sebelah saya. Untuk identitas atau gaul. Untuk pantas-pantas atau ngepas-ngepas. Saya jadi berpikir apa yang orang pikir tentang saya, satpam sebelah saya, dan orang-orang yang saling curi pandang melihat apa yang tak pantas di wajah orang lain. Wajah-wajah yang sepertinya gembira dan bertanggung jawab. Merdeka dan banyak pilihan.

Wajah kita hari ini menurut saya simpang siur. Ulang alik seperti KRL. Bising.

widhy sinau

No comments:

Post a Comment