Sunday, 1 June 2008

Koreografi Ruang

Konsep tentang ruang merupakan sesuatu yang selalu menarik, berlapis-lapis, penuh intrik, menantang, temporer, kadang berdiam dan tak berkesudahan dalam diri subjek pembicaranya. Ruang selain menjadi permasalahan individu, selalu bersisian dengan permasalahan sosial. Wacana ruang dengan demikian merupakan wacana semua orang, walaupun tak semua orang menyadari atau memperdulikannya. Dalam geografi ruang permasalahan kesadaran ruang berkaitan dengan bagaimana orang membayangkan dunia, lekuk likunya, baunya, bunyi yang ditimbulkannya, keinginan untuk mengenal lebih dalam, dan hasrat untuk mengulangi pengalaman ruangnya. Dalam arsitektur mengalami ruang dikenal sebagai taktilitas. Sebuah pengalaman indera. Sesuatu yang bisa disentuh dan dapat dihitung kadarnya. Dalam disiplin behavioral geography setiap ruang menyediakan sepenuhnya pengetahuan bagi manusia untuk peduli, pengalaman dan pemahaman atasnya, sehingga setiap ruang bersifat personal, diulang-ulang dan berkecenderungan berpola. Pemahaman tentang ruang multi disiplin, sehingga bisa jadi sangat kontekstual dalam pembacaannya.

Mengenal ruang dapat didekati dengan beberapa perspektif, pertama ruang dialami sebagai sebuah ‘teritori’. Sebagai sebuah teritori, ruang berbatas dan berisi objek-objek yang bisa dikenali oleh panca indera. Sebab itu ruang teritori selalu dibuat, didesain untuk kebutuhan tertentu. Sebagai contoh, desain kamar kerja jika dilihat dari perspektif ini tentu mudah dikenali dari kebutuhan apa yang ingin dilakukan di ruang itu oleh para pendesainnya. Aktivitas apa yang bisa dilakukan dalam sebuah ruang yang disebut kamar kerja, benda-benda yang ada dalam kamar kerja seorang montir akan berbeda dengan kamar kerja seorang kepala kecamatan. Contoh kedua adalah ‘desa’, sebagai sebuah ruang desa merupakan ruang yang berbatas, dikenali dan dialami oleh penghuninya, karena berbatas ia juga menimbulkan taktilitas, dalam bahasa psikologi menimbulkan ‘perasaan akan tempat’. Perasaan inilah batas terkuat dari sebuah teritori dimana para penghuninya mencoba memaknainya, mengisinya dengan kualitas tertentu. Dan jika merasa terancam atau tempat itu dihancurkan maka kita akan membelanya. Karenanya, teritori akan menyebabkan tumbuhnya perangkat aturan, hak-hak dan kewajiban para penghuninya. Dalam pengertian psikologi, perasaan akan tempat juga berarti identitas, bagian dari diri masing-masing penghuninya. Sebagai identitas maka ruang tersebut bisa jadi rumah, kantor, negara, bahkan kedai kopi sekalipun. Sebagai identitas sebuah teritori membutuhkan kedekatan, pertautan antar penghuninya, sebuah pertautan sosial.

Perspektif kedua adalah mengenal ruang lewat ‘ruang aktivitas’. Sebagai sebuah aktivitas ruang didekati oleh aktivitas keseharian, sebuah ruang dalam sebuah angkutan publik dimana kita bisa lebih dari dua jam bersama-sama adalah sebuah ruang aktivitas, namun cuma individu yang terlihat. Betapa kita mengalami sebuah gejala isolasi dimana individu berjarak dengan sosialnya sekaligus dekat. Kasus-kasus kriminalitas di angkutan publik merupakan contoh nyata-dengan apa yang disebut sebagai komunitas tanpa kedekatan, sebuah kerumunan. Sehingga kasus-kasus kriminalitas di ruang publik yang terisolasi ini (oleh kebiasaan) terselesaikan oleh ambang tolerasi tertentu penghuninya dan biasanya tak terencana, kasar, hampa etiket, dan anonim.

Tidak semua ruang aktivitas tanpa identitas. Kebanyakan malah kental identitas seperti kepala kecamatan atau montir. Namun sesungguhnya ruang aktivitas terbentuk dan terpelihara oleh apa yang disebut Castells sebagai aliran informasi. Aliran informasi inilah yang dapat memecah sebuah tubuh sosial atau mengintegrasikannya. Konflik di kantor ataupun konflik di masyarakat merupakan permasalahan aliran informasi. Identitas kolektif dapat dipecah, diceraiberaikan oleh aliran informasi. Lefebre mengatakan komunitas akan kuat jika diikat oleh ‘identitas ruang dan tempat’ (space and place). Secara kolektif identitas tempat akan memberikan kesadaran untuk melawan apa yang ia sebut sebagai ‘unaccountable institutions’, institusi yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, yang ia katakan sebagai sebuah institusi yang tidak dapat dikendalikan, subtil. Jika demikian, cerita tentang angkutan publik merupakan cerita tentang ruang hilangnya otoritas dalam sebuah komunitas, dalam hal ini komunitas pengguna kereta.

Identitas dalam sebuah ruang aktivitas juga dimungkinkan dalam sebuah komunitas yang memiliki kesamaan kepentingan, seperti partai politik atau komunitas hobi. Bahkan kecenderungan ruang aktivitas siber dalam ruang virtual menunjukkan integrasi sosial, di Indonesia (entah di mana lagi) para blogger menunjukkan diri mereka, yang secara fisik dapat dilihat, disentuh, dibaui, disentil, dicubit dan dikecewakan oleh penampakkan sebenarnya, bahkan ada piala untuk desain rumah virtual mereka. Ruang virtual yang dulu dituding sebagai sebuah media disintegrasi sosial bahkan sebagai keterpecahan individu (dengan gejala menampilkan ‘diri yang lain’, neurotik, palsu, distorsif) di sini (Indonesia) dimaknai ulang, dan ruang virtual menjadi rumah yang berbatas dengan perangkat aturan yang ditegaskan penghuninya. Ruang aktivitas dengan demikian dapat memberikan identitas tertentu atau anonim.

Perspektif ketiga adalah ruang sosial. Ruang sosial ditandai dengan posisi. Posisi ditandai dari hubungan yang relatif antar individu. Hubungan yang relatif ditandai dengan relasi kekuasaan. Sehingga hubungan yang relatif (diperbandingkan) seringkali disederhanakan menjadi apakah kita dapat diterima atau dikeluarkan dari konvensi tertentu atau hukum atau berdasarkan seksualitas, keyakinan, kelas sosial, keturunan, rasial, dan alasan lain. Ruang sosial ini merupakan bagian terbesar, mungkin keseluruhan dari ritus kehidupan setiap orang. Ruang sosial berimpit selalu dengan semua wacana tentang ruang.

Perspektif keempat adalah ruang diskursif. Adalah sebuah konsep ruang yang merupakan kumpulan dari sikap mental dan konvensi yang dipegang, tarik ulur oleh masyarakat, dan pilar masyarakat demokratis seperti media massa, partai politik, asosiasi sosial dan profesional, pemerintah, legislatifnya, dan kelembagaan hukumnya (aturan dan perangkat hukum). Ruang diskursif memproduksi nilai-nilai, mengkonstruksi sosial, mempengaruhi perilaku orang-orang, dan seringkali menghukum. Peraturan daerah tentang jam malam bagi perempuan di Tangerang, atau tentang segel vagina bagi tukang pijat perempuan di Jogjakarta merupakan contoh reifikasi dari ruang diskursif.

Perspektif kelima ruang publik. Adalah sebuah ruang dimana berbagai kepentingan publik bertemu di mana di dalamnya terbentuk otoritas publik, yang oleh Habermas dibagi menjadi tiga bentuk kepentingan; kepentingan kaum borjuis, intelektual dan ‘publik’ beroposisi dengan negara. Negara dalam posisi tidak memiliki otoritas ddalam domain publik sehingga wajib menyediakan ruang tersebut. Semakin otoriter sebuah negara maka semakin minimal kualitas ruang publik. Tingkat kepublikan sebuah ruang publik juga dapat direduksi oleh berbagai otoritas/kepentingan. Misalnya kaum borjuis dalam bingkai ekonomi kapitalis mereka menguasai ruang publik dan mereduksinya semata-mata lewat aturan pertukaran ekonomi. Atau tirani partisipasi yang menempatkan sebuah komunitas atau kelompok untuk mengkonstruksi sistem sosial (bisa jadi tirani mayoritas atau minoritas). Ruang publik dapat berisi fisik maupun non fisik, cirinya adalah majemuk. Ruang publik menjadi sebuah titik interaksi dan beraktivitas, kemajemukannya adalah prasyarat untuk membangun budaya bersama, belajar bersama. Sehingga ruang publik bukan saja bersifat kompromi, namun juga membuat sesuatu yang sama sekali baru.

Perspektif keenam adalah ruang privat. Ruang privat biasanya diantonimkan dengan ruang publik yang dalam pengertiannya tidak dalam kekuasaan atau kendali publik. Bagian yang personal, unik, tersendiri yang dimiliki individu. Yang tidak harus diketahui oleh publik. Dalam perspektif ini tubuh, perasaan dan rasio merupakan ruang tersendiri yang privat. Sebagai subjek privat, individu mengkomonikasikan pikiran dan perasaannya secara sadar untuk mengatakan iya atau tidak. Singkatnya ruang privat adalah ruang pertama untuk membuat pilihan.

Membaca Ulang Tata Ruang
Tata ruang adalah sebuah metafora tentang wadah dimana (i) dapat diwujudkan
pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan; (ii) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang; dan (iii) tidak menyebabkan terjadinya penurunan
kualitas ruang. Dalam UU ini tata ruang bertugas menyusun pusat-pusat permukiman dan sistem sarana dan prasarana pendukungnya, juga peruntukannya sebagai fungsi lindung dan fungsi budi daya, dengan tiga tujuan diatas.

Persoalannya selama ini tata ruang yang bertujuan mengatur manusia, aktivitas dan kelangsungan hidupnya memiliki tingkat keterlibatan publik yang minimal. Bahkan jauh dari realitas publik. Tata ruang di Indonesia mengendurkan simpul sosial, memecah masyarakat, menghilangkan identitas yang bersifat lokal.

Pusat-pusat permukiman adalah identitas pertama dari sebuah ruang. Permukiman dalam konsep kontemporer tidak hanya berisi rumah tangga-rumah tangga namun juga mencakup fasilitas pasar, pendidikan dan tempat-tempat rekreasi. Yang kesemuanya adalah ruang-ruang publik yang bersifat material. Dimanakah ruang publik yang bersifat kopnseptual, ide-ide, mimpi-mimpi dan cita-cita komunitas?  Dalam sebuah perencanaan tata ruang. Dimanakah ruang-ruang privat berada? Rumah-tangga. Sehingga kebertetanggaan (neighboourhood) merupakan ruang sosial tingkat pertama dan paling majemuk. jarak antara privat dan publik masih cukup jauh. Jika mengambil konsep ruang teritori, maka semakin luas teritori dan semakin banyak populasi maka publik yang terlibat semakin seragam, jika tidak ingin dikatakan terwakilkan.

Ketiadaan publik dalam tata ruang dimungkinkan ketika publik mengambil sikap yang diiklankan oleh kaum borjuis (para ekonom dan intelektual) seperti komodifikasi atas ruang pengambilan keputusan-politik pada sebuah ruang publik, sehingga semua ukuran dapat diperjual belikan. Artinya nilai sesuatu selalu dimenangkan oleh nilai tukarnya bukan oleh nilai guna. Ide ini yang akhirnya menguasai kesadaran masyarakat, sehingga pencitraan ini kemudian dianggap benar dengan sendirinya oleh masyarakat (taken for granted). Bentuk monopoli atas pemaknaan ruang publik seperti ini hanya memiliki satu tujuan, yaitu melegitimasi sebuah perencanaan tata ruang. Proses ini oleh Bourdieu disebut sebagai kekerasan simbol, yaitu kekerasan lewat dominasi bahasa, tanda dan pemaknaan. Hukum dan perundangan adalah kekerasan simbol, dan ketika ini diterima oleh masyarakat maka terjadi pengakuan atasnya dan sebuah sistem kekuasaan berhasil melanggengkan kekuasaannya. Bagaimana kekuasaan melakukannya.

Tata ruang dibuat selalu terpisah dengan tata kuasa. Artinya, memang ada klausul tentang partisipasi masyarakat, namun itu belum memperhatikan derajat partisipasi atau kontinum partispasi. Sama dengan derajat kepublikan maka partispasi memiliki derajat tersendiri. Terendah adalah informasi dan sosialisasi-tertinggi adalah otonomi. Selama ini masyarakat bukan pengambil keputusan, artinya masyarakat tidak dalam posisi sebagai perencana ruang, tidak ada kuasa di masyarakat untuk menghidupkan ruangnya sendiri. Secara mikro (rumah tangga-rumah tangga) masyarakat tersibukkan oleh urusan ‘bertahan hidup’ yang menyebabkan rabun dekat (myopic vision) dalam mengelola lingkungannya. Secara meso (komunitas) cenderung menjadi anonim, bersembunyi di balik lembaga (yang seringkali dibawah kontrol Pemerintah), atau kelompok untuk menghindari rasa tanggung jawab. Secara makro (nasional) masyarakat diredusir oleh kehidupan dalam wujud citra, yang oleh Seno (2004) disebut sebagai jembatan antara yang kaya dan miskin, peniruan. Dalam tingkat nasional konsumsi barang bermerek walaupun palsu, ataupun asli namun bukan berdasarkan fungsi, singkatnya konsumsi berlebih namun nihil produksi. Kepalsuan yang dimaksud juga pada proses perencanaan tata ruang dimana perencanaan dibangun berdasarkan representasi atau tindakan tanpa pengetahuan yang luas, landasan filosofis dan moral yang kokoh. Perencanaan tata ruang bersembunyi dibalik pencitraan ‘partisipatif’ yang populis (baca: strategi massa pop).

Secara patologis pisahnya tata kuasa dan tata ruang ini dapat dilihat dari pasal-pasal tentang peran serta masyarakat, yang dalam aturan turunannya tidak secara eksplisit menjamin otonomi di tingkat komunitas, desa, kabupaten/kota bahkan nasional sekalipun. Artinya kata partispasi yang sangat populer menjadi tidak bermakna, atau cuma bisa diterjemahkan oleh Pemerintah, sesuai dengan bunyi pasal 65 ayat 1. Pengertian-pengertian kawasan budidaya dan lindungpun merupakan dominasi tanda oleh pemerintah yang akhirnya mengeluarkan pengetahuan dan otonomi yang sifatnya khas di berbagai daerah, yang seharusnya pengertian-pengertian tersebut cukup sebagai arahan, namun petanya tetap pada lanskap kognitif dan spiritual masyarakat setempat.

Akhirnya, tegakah kita menyebut pemerintah sebagai innocent institutions atau sebagai unaccountable institutions? Yang selalu berwajah duka, ribet, salah tingkah dan lari ketika dihampiri.

widhy I sinau

Beberapa definsi dalam UU 26/2007 Tentang Penataan Ruang

1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat,
ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di
dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

2. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola
ruang.

3. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat
permukiman dan sistem jaringan prasarana dan
sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan
sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis
memiliki hubungan fungsional.
 
4. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang
dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan
ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang
untuk fungsi budi daya.

5. Penataan ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang.

6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan
yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan,
dan pengawasan penataan ruang.

Pasal 65
(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh
pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.
(2) Peran masyarakat dalam penataan ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan,
antara lain, melalui:
a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata
ruang;
b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan
ruang.

Penjelasan
Huruf b Peran masyarakat sebagai pelaksana pemanfaatan ruang, baik orang perseorangan maupun korporasi, antara lain mencakup kegiatan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang.



1 comment: