Tuesday, 24 June 2008
resep #9

Rating: | ★★★ |
Category: | Other |
Apa yang lebih teror dibandingkan akhir hidup.
Konon, agama ada karena ada fana. Juga surga dan neraka. Kebaikan dan keburukan. Nasihat dan kesabaran. Semua ada karena kesementaraan. Dalam kesementaraan orang terkadang memiliki harapan: ada perubahan. Bahkan Tuhanpun hadir karena ketidakkekalan yang ia pertontonkan. Sehingga harapan tentang Tuhanpun sebenarnya keinginan akan perubahan. Dan Tuhan tidak hadir disaat kemapanan bergeming. Tuhan tidak hadir dalam sebuah titik. Dalam diam. Ia berlari seperti kita mengira pohon-pohon bergerak ketika kendaraan kita menunjukkan angka diatas 100 km per jam. Mengira akhir hidup adalah titik, sama saja mengekalkan hidup, dan menyudahi Tuhan.
Sedangkan Tuhan saya pikir, menyukai koma, karena itu Ia ada. Dalam sebuah koma dan ruang yang fana.
widhy | sinau
Friday, 20 June 2008
Bali Coffee - Kopi Bali Official Website
Coffee, like tobacco and wine, has an old history with special charisma, not only because it always involves many people in its processing and creates job opportunities, but also because of its many flavours. Coffee has become a ritual for a great many people across the world.
The tastes of coffee depend on where it is planted and how it is processed and prepared. Therefore, prior to serving, coffee has to go through lengthy processing and special recipes help generate excellent flavours. To enable consumers to identify their favourite coffee, coffee producers acquire a trademark which guarantees consumer satisfaction.
The Tjahjadi family, for example, started their coffee business in Bali around 1935. The Tjahjadis started their coffee business by purchasing coffee seeds from farmers, processing them, and selling them at their shop - Bian Ek - on Jalan Gajah Mada, a business center in the heart of Denpasar.
http://www.kedaikopi.info/2008/
Kedai Kopi Espresso Bar (atau KeiKo – Begitu para pelanggan kami menyebutnya) merupakan outlet dan merek dagang yang dimiliki dan dioperasikan oleh Teammates Coffee Indonesia (TMCI).
KOPI GAYO COFFEE
Kopi Gayo (Gayo Coffee) merupakan salah satu komoditi unggulan yang berasal dari Dataran Tinggi Gayo. Perkebunan Kopi yang telah dikembangkan sejak tahun 1926 ini tumbuh subur di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah.
Wednesday, 18 June 2008
Perempuan Dengan Topi Cowboy di Stasiun Tebet
Bayangkan ini, penat kerja, bau keringat, peminta-minta yang menggila, dan pelayanan kereta api yang bertambah buruk dalam dua dekade. Setiap hari.
Di bangku panjang, seorang petugas satpam dan saya.
Bayangkan juga ini, seorang perempuan menarik berjalan tegap jam setengah sembilan malam di belukar bau ketiak dengan topi cowboy dan setelan jeans tanpa tali lasso di pinggangnya.
Petugas satpam berujar, mungkin ia penyanyi kafe.
Saya mesem-mesem, kok dia tahu apa yang saya sedang lihat dan pikirkan.
Mas pekerjaannya apa?
Saya satpam di Hotel Sahid.
Bagi saya yang sedang putus wacana, satpam yang sangat perhatian ini cukup menarik. Ternyata bukan hanya perempuan bertopi cowboy ini yang mengganggu pemandangan. Ada anak penjual minuman yang nyambi jadi peminta-minta, belasan peminta-minta profesional pulang kerja, segerombolan fashioned punker yang teriak sabot pemerintah dan jayalah anarkisme, lapak-lapak yang bergegas tutup, orang-orang yang berangkat kerja giliran malam dengan harum sabun, penjual koran 1000 dapat 3, tukang siomay yang cekatan naik turun ke rel sambil membawa bangku baso untuk pacarnya-dan pacar-pacarnya yang lain menyeberang ke sisi sebelah depan tempat saya duduk diam dan bermacam-macam gaya busana yang bisa dijadikan ajang perjudian untuk menebak jenis pekerjaannya.
Satpam di sebelah saya, berperawakan tinggi besar, botak boot style (mirip neo nazi gitu looh) dan memakai jaket tentara. Dan karena itu saya tak berminat memulai percakapan.
Dari seratusan orang, hanya sedikit yang berwajah muram atau marah. Yang terlihat marah hanya para punkers yang gagal mendapat recehan, sambil memaki-maki pemerintah dan keadaaan, beberapa terlihat kelelahan, selebihnya gembira, sungguh, seperti tanpa masalah. Bercakap-cakap dan tertawa lepas. Macam di stasiun bukan di meja makan.
Setelahnya (dalam perjalanan berjejalan) saya mulai berpikir untuk menulis ini:
Masih adakah duka
(dan saya ingin mengakhiri saja cerita)
Apa yang membuat kita bungkam
(dengan berbagai pertanyaan yang melintas ketika menulis akhiran, dari sebuah percakapan panjang dengan satpam yang dimulai dengan ‘mungkin ia penyanyi kafe’)
Kapan kita sejahtera
(pertanyaan satpam tentang keadaan ‘kami’ sekarang (saya pura-pura empati), yang ia jawab sendiri dengan penjelasan-penjelasan sederhana dari sisi ekonomi rumah tangga yang tidak bertambah baik, penghasilan dan nilai uang yang tidak ada artinya, dan pelayanan angkutan umum yang amat ngehe, dan hidupnya yang semakin ‘mapan’ tak beranjak sama sekali-di garis tipis tebal kemiskinan)
Bagaimana baiknya
(tidak mirip dengan sadapan Untung Kurang Beruntung dengan mantan bendaharawan PKB yang mungkin pernah berjasa cuma karena dia ‘orang kaya’ nan dermawan.
‘sudah dengar komentar saya’?
‘oh good very good’ – saya teringat Cinta Laura, ia pasti lebih giras mengucapkan ‘oh good very good’ dalam situasi apapun)
Sang satpam ternyata marah juga dengan keadaan, walau intonasinya datar. Bagaimana baiknya.
‘Jujur’
Terngiang pula ucapan Camus, ‘pada suatu umur tertentu setiap manusia bertanggung jawab atas wajahnya sendiri’. Ucapan yang baik. Tapi wajah kita selalu mempesona kita sendiri, wajah yang selalu cantik walaupun sering melukai yang lain. Kita tak pernah jujur, mengatakan wajah kita paling cantik. Dan karenanya kita tak pernah bertanggung jawab. Selalu takut. Sebab itu bungkam. Neurotik. Sudah susah, dijahati, dilecehkan, masih bisa tertawa lepas.
Coba bandingkan, mana hujan, becek, gak ada ojek? Tapi kalimat ini beserta intonasinya terlanjur menjadi gaya hidup, seperti pahlawan lahir begitu saja. Hujan, becek gak ada ojek-apa masalah? Gaul.
Perempuan dengan topi cowboy telah memilih pakaiannya, juga para punkers, saya dan satpam sebelah saya. Untuk identitas atau gaul. Untuk pantas-pantas atau ngepas-ngepas. Saya jadi berpikir apa yang orang pikir tentang saya, satpam sebelah saya, dan orang-orang yang saling curi pandang melihat apa yang tak pantas di wajah orang lain. Wajah-wajah yang sepertinya gembira dan bertanggung jawab. Merdeka dan banyak pilihan.
Wajah kita hari ini menurut saya simpang siur. Ulang alik seperti KRL. Bising.
widhy | sinau
Resep #8

Rating: | ★★★★ |
Category: | Other |
Di sebuah jalan yang menjadi buntu, bangunan tua, semak, dan bising suara gugusan mesin AC sebuah Mall pengganti landmark sebelumnya, lapangan bola sepak dan bola keranjang. Dua bangunan, satu art deco tahun 50an, landai, meluas, kalem, hijau tak butuh AC, lainnya bangunan ‘minimalis’ retro art deco, menjulang, ‘kereng’, tebar pesona, menyilaukan, menyedot energi dan memuntahkan gersang. Walaupun perubahan terjadi susul-menyusul namun dari sisi pengalaman ruang nyaris tak bertema. Hambar, asing.
Kecuali kedekatan kita dengan papan reklame, yang muncul juga di sela berita sore. Mall sebagai landmark baru bukanlah apa-apa. Tidak mengingatkan kita pada sesuatu. Nyaris bersifat tunggal, tempat belanja yang steril, bening, dengan aneka manekin berjalan dengan produk palsu, buatan Taiwan, Cina, Korea, atau Indonesia. Jika ingin memahami Indonesia kontemporer datanglah ke Mall, mungkin kita akan ikut gamang juga dengan pakaian kita, tiruan dari mana-merujuk pada apa, lebih lanjut siapa kita. Yang mengaku plural padahal sangat seragam, sederet barkode.
Diantara yang cepat, muda, cergas, temporer ada yang permanen, berjiwa muda, cukup tampil bergaram namun lincah dan lucu. Setelah bertahun melayani membuat kopi, mungkin saya generasi ke-3 dari dekade yang dia lewati. 30 tahun bertugas melayani staf, tamu dan supirnya. Saya menamakannya Kopi Pakar, pembuatnya pakar kopi.
Kopi ini sangat spesial. Karena setelah mengenalnya tiga bulan, pakar kopi ini mengetahui secara persis kapan waktunya menyuguhkan kopi. Bukan cuma di setiap pagi, namun di saat kita membutuhkannya. Kepakaran ini yang tidak bisa ditandingi, kopi tiba-tiba hadir disaat kita membutuhkannya, bisa jadi karena kelelahan, atau karena suntuk. Sepertinya pakar kopi ini mengintip setiap kamar kerja kami, membaca setiap gerak tubuh atau air muka kami.
Pakar kopi ini tempat curhat orang-orang yang tidak memperdulikan kategori golongan atau kepangkatan. Kami, secara kategori kelompok yang menginginkan kemapanan ala borjuis namun dengan korbanan pelayanan kaki lima. Kelas transisi yang tidak pandai berterima kasih. Saya kadang bertanya bagaimana pakar kopi bisa bertahan dengan orang-orang seperti ini. Jawabnya, tidak. Saya sering tersinggung dengan kelakuan kalian. Tapi ini hidup yang telah dipilih, hidup yang melayani orang. Jika saya sudah memilih, saya bertanggungjawab untuk menyelesaikannya. Bukan sekadar menyelesaikan tugas-namun memberikan yang terbaik-jadi terbalik mas, yang harus tersinggung mereka (termasuk saya). Gitu mas, itu menurut pendapat saya lho (kata-katanya di setiap akhir percakapan).
Diantara deretan ruang kerja, saya memilih sekamar dengan pakar kopi. Identitasnya jelas, tak pernah sembunyi di balik kepangkatan dan titel, yang memang tak ia miliki. Ia tak peduli dengan seperangkat pengetahuan dan pelayanan serba bisa yang cuma bisa dijelaskan lewat riwayat pekerjaan. Pakar kopi ini cuma melayani satu hal; menyuguhkan kopi dengan bonus percakapan yang biasa saja. Terutama tentang hidup yang biasa saja ia lakoni. Ia bilang semuanya biasa saja, mengalir saja, tidak usah berbohong untuk menyenangkan orang lain. Sang pakar memiliki seragam batik itu-itu saja (kelihatannya seragam wajib bagi seluruh staf di institusi ini). Dalam benaknya tak ada yang istimewa dari tampilan atasan, tamu dan para supirnya. Dunia tak habis dicari, katanya lagi. Yang istimewa adalah ya hidup, ya sekarang-saat ini-nikmati saja.
Saya menyeruput kopi tanpa gula, bikinan dia, sambil berpikir apakah saya masih punya malu untuk mengakui kekinian dan kesementaraan saya.
widhy | sinau
Friday, 13 June 2008
Meyakinkan Sekaligus Menakutkan
Apa yang aku kisahkan, terkait dengan peristiwa. Apa yang aku ceritakan, terkait dengan rekayasa. Apa yang aku narasikan, adalah nama-nama yang hadir dalam kehidupan nyata. Apa yang aku tuliskan, pada akhirnya adalah basa-basi yang selalu berfungsi menunda inti. Dan apa yang aku baca, lagi-lagi episode panjang sinetron bertajuk ‘Meyakinkan Sekaligus Menakutkan’.
Suatu ketika, bulan Juni dalam sajak-sajak pasti menyimpan gerimis. Mudah-mudahan bukan badai atau gempa bumi. Aksi-aksi kepahlawanan kadang memang tak bisa lepas dari tangan yang mengepal. Sesekali suara garang dan lantang sangat sakti bagi proses diskusi. Argumentasi pun menjadi persoalan bagaimana menguasai proses komunikasi dengan suatu cara gaib lagi mistis: Meyakinkan Sekaligus Menakutkan. Bila hanya meyakinkan, cukuplah didengar saja selanjutnya dilupakan. Bila cuma menakutkan, anggap sajalah semacam gertak sambal—meski warna merah menyala, pedasnya cabai pasti ada batasnya! Namun, bila sudah ‘meyakinkan sekaligus menakutkan’, ada baiknya waspada, berjaga-jaga, sebab para zombie sudah keluar dari dalam kubur dan mencari mahluk hidup untuk menemani keheningan dalam rumah di dalam tanah.
Semua bermula ketika waktu sudah menunjuk pukul 13.00. Tiga belas jam setelah permulaan pertama bulan Juni, siang yang gerah di jalanan berubah bara di dalam suatu rumah yang tak biasa. Ucapan adalah habitus manusia. Ketika suara menjadi lebih lantang dan meraung garang sambil mengepal-ngepalkan tangan dalam batin, bahasa sudah seharusnya dimaknai sebagai undangan bagi mereka yang berada di luar undangan. Sayangnya, sebuah kebenaran sudah menjadi hak-milik, komoditi dalam pasar bursa masyarakat konsumeristis. Pencurian hak-milik, penghancuran hak-milik dari suatu kebenaran tak jauh beda dengan tindakan kriminal. Kematian bagi pencuri dan destroyer adalah mutlak dan pasti, cepat atau lambat. Pada saat begitu, semua orang bakal mencari buku telepon dan buku diari. Berbicara sekaligus menulis.
Aku merasa siang semakin gerah. Dan malam kemarin, aku melihat cuaca yang gelisah. Aku mengambil majalah untuk berkipas-kipas sendirian saja. Tanpa sengaja, aku menjatuhkan huruf-huruf dari peta sejarah yang tak mengenal kadaluarsa. Dari luar, aku mendengar kabar, semua sudah siap dan tak ada yang perlu ditakutkan. Kematian, sebagaimana dirimu adalah kepastian. Di saat engkau menjadi kepastian, pada saat yang sama pula engkau bakal menjadi kematian, bagi dirimu atau bagi orang lain.
Seorang yang tak bisa tenang di sebelahku menenggak air mineral. Wajah yang begitu kaku seakan meredam sekaligus ingin meledakkan amarah. Antara air dan api memang sudah kodratnya untuk tidak bisa menyatu. Antara air dan api selalu mengacu persoalan jumlah. Air yang banyak mengalahkan api. Api yang banyak mengalahkan air. Tetapi, bukankah Bumi tempat yang cukup memadai bagi air dan api untuk lestari? Begitulah aku berpikir sekenanya saja. Dia kembali berkata dengan wajah yang memang tidak bisa tenang. Gejolak adalah tanda ketiadaan stabilitas. Amarah, seperti seorang lelaki yang berjalan membawa senapan api. Bahagia hanya muncul ketika seorang perempuan berjalan di pematang sawah sambil menenteng sekendi air dalam siang yang gerah. Semua cerita, tak jauh dari kehidupan pedesaan, bertani dan mengusir
Siang bulan Juni menghapus mimpi yang hadir sebelum pagi. Pada malam berikutnya, kegelisahan pelan-pelan datang sambil menghadiahkan pekerjaan tambahan yang sulit diselesaikan. Aku melihat tayangan televisi. Setiap tangan yang mengepal atau setiap bambu yang terpisah dari rumpun adalah akibat katanya. Segala hal memiliki sebab. Darah tertumpah bukan karena manusia memang punya darah. Darah yang tertumpah bukanlah celaka, tidak awas, atau lalai menjaga tubuh. Darah yang tertumpah tanda ikhlas berkorban dari setiap sosok yang bakal mengemban status pahlawan. Menang atau kalah bukanlah tujuan. Sebab setiap korban atau pemenang selalu punya skandal diam-diam yang mesra, enggan menyapa sekaligus setia menunggu. Di dalam kubur, hanya cacing dan belatung sajalah yang paham tentang apa sebab mereka begitu lapar.
Malam sudah datang. Tidak ada yang mengundang. Kehendak Bumi memang bukan tidur. Gelisah menyebar dalam setiap pembuluh manusia. Kadang ada yang berhasil masuk ke dalam jantung untuk selanjutnya menelusuri jejak-jejak batin yang penuh jebakan sembilu. Kadang menimbulkan bunyi yang melengking, kadang pula menimbulkan bunyi yang merdu penuh harmoni. Di dalam kegelapan, hanya burung hantu saja yang paham siapa-siapa yang melangkahkan kaki di kala malam dengan penuh perhitungan.
Mereka berbincang dalam telepon. Kalimat-kalimat sandi bekerja sendiri membangun ruang kedap suara. Tidak ada telinga yang istimewa dalam ruangan yang begitu. Sebab, setiap kelemahan adalah rencana yang sudah diketahui oleh para lawan. Sembunyi, salah satu cara kebenaran menyingkapkan diri. Kadang kala, hanya dalam hening bisa dirasa ada hawa atau cuaca. Kalimat-kalimat sandi adalah tanda dari kebenaran yang pribadi. Orang lain serupa zombie yang hendak melantakkan segala rencana yang selalu mengacu pada masa yang akan datang.
Aku melihat negara datang sambil menggenggam pedang. Mata pedang selalu mengarah pada setiap jantung-jantung yang dikehendaki rakyat untuk berhenti mendenyut. Membunuh adalah jalan mempertahankan hidup. Di hadapan aku, seorang lelaki memainkan sulapan kartu. Dari dalam tempat yang terkutuk, dia menghadiahkan hiburan mahal dengan kemurahan batin sambil berharap mudah-mudahan semua berlangsung bersih dan jernih. Sebab darah yang tumpah, bukanlah sesaji bagi para dewata. Meski bukan pekerjaan yang sia-sia, memilih kematian sekaligus menetapkan waktu kematian adalah lebih indah bila dielakkan. Memang, menjamin kehidupan lestari lebih sulit sekaligus rumit. Maka, menderita adalah kepastian(!) yang menatap kematian.
2008
dvd.tbg@gmail.com
Book Aid International - Book Aid International
Book Aid International promotes literacy in developing countries by creating reading and learning opportunities for disadvantaged people, in order to help them realise their potential and eradicate poverty.
Barksdale Reading Institute
The Barksdale Reading Institute is designed to improve significantly the preliteracy and reading skills of Mississippi's children from birth through the 3rd grade.
Poets.org - Poetry, Poems, Bios & More
Academy of American Poet
http://www.bookweb.org
the national trade association for independent booksellers — since 1900. ABA offers education, services and products, advocacy, and relevant business information. Look below for a selection of this month's key news and programs.
Wednesday, 4 June 2008
nonton bareng BF
Start: | Jun 14, '08 7:00p |
End: | Jun 14, '08 9:00p |
Location: | studio p4w-ipb, kampus ipb baranangsiang |
siapakah kami,
SALAM (susur alam lewat alur masyarakat), kedai sinau, p4w-lppm ipb.
mengadakan acara putar film 'mereka bilang saya monyet'. semoga bisa dihadiri oleh sang sutradara, djenar maesa ayu.
GENRE : Drama
PEMAIN : Titi Sjuman, Henidar Amroe, Ray Sahetapy, Bucek, Jajang C. Noer, Agust Melasz, Arswendo Atmowiloto, Indra Herlambang, Joko Anwar, Ayu Dewi, Fairuz Faisal, Mario Lawalatta, Nadya Rompies, Banyu Bening
SUTRADARA : Djenar Maesa Ayu
PENULIS NASKAH : Djenar Maesa Ayu, Indra Herlambang
PRODUSER : Djenar Maesa Ayu, Riyadh Assegaf
RUMAH PRODUKSI : INTIMASI PRODUCTIONS
DURASI : 90 menit
KLASIFIKASI PENONTON : Segala Umur
Di latar belakangi oleh realitas yang memprihatinkan mengenai tingginya angka tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak–anak, disertai minimnya edukasi masyarakat terhadap hak asasi yang sebenarnya dimiliki secara individu, INTIMASI PRODUCTIONS mempersembahkan film berjudul “Mereka Bilang, Saya Monyet!”, sebuah karya Djenar Maesa Ayu. Film ini diadaptasi dari dua cerita pendek dalam buku kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet!, yaitu Lintah dan Melukis Jendela, yang juga karya Djenar Maesa Ayu.
Film ini berkisah mengenai kehidupan seorang wanita dewasa bernama Adjeng, mencoba bergulat dengan segala aspek kehidupan yang menerpanya. Beranjak dari masa lalu yang kelam, ia memilih profesi sebagai penulis. Segala cara di tempuh Adjeng untuk memuluskan karirnya. Pelecehan yang sering diterima Adjeng semasa kecil dan perlakuan orang tua yang kurang layak membentuk karakter Adjeng dewasa jadi mendua. Di satu sisi, ia bersikap sangat agresif ketika sedang bersama teman–teman dan kekasihnya, namun di sisi lain ia terlihat begitu pasif di depan ibunya.
Kemampuan Djenar Maesa Ayu dan Indra Herlambang dalam bercerita patut diberi acungan jempol disini. Sebagai layaknya film yang mengangkat genre drama sebagai gambaran kehidupan yang memang kerap dialami sebagian orang. Namun, amat disayangkan, dalam film ini Djenar sebagai sutradara kurang memberikan sensitifitas yang dapat membuat film jadi lebih bergairah. Alur cerita terasa monoton dan ditambah sinematografi pada film yang terkesan sangat sederhana.
Menurut catatan saya, Titi Sjuman sebagai Adjeng dewasa, Henidar Amroe sebagai ibu atau mommy Adjeng, dan Ray Sahetapy yang memerankan kekasih sekaligus mentor menulis Adjeng dapat bermain maksimal. Namun, secara umum performa dari para pemain dalam film ini terlihat cukup baik, dan dapat memenuhi tuntutan peran.
Pemilihan judul Mereka Bilang, Saya Monyet! dalam film ini terasa kurang merepresentasikan ceritanya sendiri. Walaupun begitu, sebagai hiburan, Mereka Bilang, Saya Monyet! memberi banyak pesan moral dan dapat menjadi salah satu alternatif tontonan bagi masyarakat. (ARIO NUGROHO)
http://ruangfilm.com/?q=ulasan/mereka_bilang_saya_monyet
Tuesday, 3 June 2008
Void
kata demi kata
yang kuucapkan, lindap.
aku tahu aku hidup
diantara parentesis ganda.
(kepastian-octavio paz)
Phytagoras barangkali benar. Jika saja tidak ada jarak maka tidak ada pembeda, kesahihan, klaim, validasi selanjutnya deklarasi tentang sebuah kebenaran. Galileo terbunuh karena ini: sebuah deklarasi.
Sehingga ruang kosong terkait pada otoritas. Pascal lewat hukum Pascal harus berseteru dengan gereja-juga sebelumnya, Aristoteles yang menolak konsep ruang kosong yang disebut Plato sebagai chora untuk mendeklarasikan bahwa ada ruang kosong, yang secara teologis sukar diterima, jika ada ruang kosong siapa penghuninya, bukankah Tuhan menghuni semua ruang?
Dalam seni arsitektur void adalah gradasi antar ruang, atau sama sekali sebuah ruang yang kosong, diperuntukkan untuk tidak dihuni, didiami oleh manusia. Arsitektur modern dipandang terlalu banyak mengedepankan aspek ruang kosong sehingga menjadi tidak efisien, mubazir. Arsitektur modern dipengaruhi filosofi seni avant garde yang menihilkan nilai budaya tinggi atau tata nilai lama. Sehingga kekosongan menjadi sahih, orisinil, tanpa makna (meaningless) merupakan pemaknaan baru. Dalam seni avant garde tercipta doktrin seni lahir untuk seni. Sehingga sebuah karya bisa jadi tanpa fungsi, asosial, aneh, tanpa harus berguna atau menjadi bagian dari dari masyarakat.
Void juga berarti sunya. Dalam tradisi sufi dan kependetaan Hindu sunya atau sunyata berarti kebenaran. Dalam tradisi sufi menghilangkan diri (ego), adalah jalan untuk menuju kebenaran. Ketidakhadiran diri adalah upaya menghadirkan Tuhan sepenuhnya. Menghilangkan diri dalam tradisi sufi adalah mengosongkan pikiran dari validitas rasio dan berpikir logis, Tuhan berada diantaranya-yang mistis dan logis. Dan karenanya tak berbatas, infinit. Pada tingkat ini ruang kosong tidak pernah dibiarkan untuk kosong, namun untuk diisi. Secara teologis cuma yang tak terbatas, yang bukan sementara yang dapat menggantikan kekosongan.
Dalam kosmologi modern Einstein menyatakan ada kemungkinan Semesta berisikan sebentuk energi vakum. Sementara Queen bicara Nothing Really Matter, Metallica bicara Nothing Else Matter.
Apa yang harus dihindari (avoid), ditangkis, dielakkan?
Seperti ujaran Octavio Paz, aku tahu aku hidup.
widhy | sinau
void |void|
adjective
1 not valid or legally binding : the contract was void.
• (of speech or action) ineffectual; useless : all the stratagems you've worked out are rendered void.
2 completely empty : void spaces surround the tanks.
• [ predic. ] ( void of) free from; lacking : what were once the masterpieces of literature are now void of meaning.
• formal (of an office or position) vacant.
3 [ predic. ] (in bridge and whist) having been dealt no cards in a particular suit.
noun
1 a completely empty space : the black void of space.
• an emptiness caused by the loss of something : the void left by the collapse of communism.
• an unfilled space in a wall, building, or structure.
2 (in bridge and whist) a suit in which a player is dealt no cards.
verb [ trans. ]
1 declare that (something) is not valid or legally binding : the Supreme Court voided the statute.
2 discharge or drain away (water, gases, etc.).
• chiefly Medicine excrete (waste matter).
• [usu. as adj. ] ( voided) empty or evacuate (a container or space).
DERIVATIVES
voidable adjective
voidness noun
ORIGIN Middle English (in the sense [unoccupied] ): from a dialect variant of Old French vuide; related to Latin vacare ‘vacate’ ; the verb partly a shortening of avoid , reinforced by Old French voider.
THE RIGHT WORD
To void a check, to invalidate a claim, to abrogate a law, and to annul a marriage all refer to the same basic activity, which is putting an end to something or depriving it of validity, force, or authority. But these verbs are not always interchangeable.
Annul is the most general term, meaning to end something that exists or to declare that it never really existed (: the charter was annulled before it could be challenged).
Abrogate implies the exercise of legal authority (: Congress abrogated the treaty between the two warring factions), while nullify means to deprive something of its value or effectiveness ( | nullify the enemy's attempt to establish communications).
Void and invalidate are often used interchangeably as they both mean to make null or worthless (: void a legal document by tearing it up; invalidate a check by putting the wrong date on it).
Negate means to prove an assertion false (: her version of the story negated everything her brother had said) or to nullify or make something ineffective ( | the study's findings were negated by its author's arrest for fraud).
Thesaurus
void
noun
the void of space vacuum, emptiness, nothingness, nullity, blankness, vacuity; empty space, blank space, space, gap, cavity, chasm, abyss, gulf, pit, black hole.
verb
the contract was voided invalidate, annul, nullify; negate, quash, cancel, countermand, repeal, revoke, rescind, retract, withdraw, reverse, undo, abolish; Law vacate; formal abrogate. antonym validate.
adjective
1 vast void spaces empty, vacant, blank, bare, clear, free, unfilled, unoccupied, uninhabited. antonym full.
2 a country void of man or beast devoid of, empty of, vacant of, bereft of, free from; lacking, wanting, without, with nary a. antonym occupied.
3 the election was void invalid, null, ineffective, nonviable, useless, worthless, nugatory. antonym valid.
THE RIGHT WORD
To void a check, to invalidate a claim, to abrogate a law, and to annul a marriage all refer to the same basic activity, which is putting an end to something or depriving it of validity, force, or authority. But these verbs are not always interchangeable. Annul is the most general term, meaning to end something that exists or to declare that it never really existed (: the charter was annulled before it could be challenged). Abrogate implies the exercise of legal authority ( | Congress abrogated the treaty between the two warring factions), while nullify means to deprive something of its value or effectiveness ( | nullify the enemy's attempt to establish communications). Void and invalidate are often used interchangeably as they both mean to make null or worthless ( | void a legal document by tearing it up; invalidate a check by putting the wrong date on it). Negate means to prove an assertion false ( | her version of the story negated everything her brother had said) or to nullify or make something ineffective ( | the study's findings were negated by its author's arrest for fraud).
parenthesis |pəˈrenθəsis|
noun ( pl. -ses |-ˌsēz|)
a word, clause, or sentence inserted as an explanation or afterthought into a passage that is grammatically complete without it, in writing usually marked off by curved brackets, dashes, or commas.
• (usu. parentheses) one or both of a pair of marks ( ) used to include such a word, clause, or sentence.
• an interlude or interval : the three months of coalition government were a lamentable political parenthesis.
PHRASES
in parenthesis as a digression or afterthought.
ORIGIN mid 16th cent.: via late Latin from Greek, from parentithenai ‘put in beside.’
Sunday, 1 June 2008
Koreografi Ruang
Mengenal ruang dapat didekati dengan beberapa perspektif, pertama ruang dialami sebagai sebuah ‘teritori’. Sebagai sebuah teritori, ruang berbatas dan berisi objek-objek yang bisa dikenali oleh panca indera. Sebab itu ruang teritori selalu dibuat, didesain untuk kebutuhan tertentu. Sebagai contoh, desain kamar kerja jika dilihat dari perspektif ini tentu mudah dikenali dari kebutuhan apa yang ingin dilakukan di ruang itu oleh para pendesainnya. Aktivitas apa yang bisa dilakukan dalam sebuah ruang yang disebut kamar kerja, benda-benda yang ada dalam kamar kerja seorang montir akan berbeda dengan kamar kerja seorang kepala kecamatan. Contoh kedua adalah ‘desa’, sebagai sebuah ruang desa merupakan ruang yang berbatas, dikenali dan dialami oleh penghuninya, karena berbatas ia juga menimbulkan taktilitas, dalam bahasa psikologi menimbulkan ‘perasaan akan tempat’. Perasaan inilah batas terkuat dari sebuah teritori dimana para penghuninya mencoba memaknainya, mengisinya dengan kualitas tertentu. Dan jika merasa terancam atau tempat itu dihancurkan maka kita akan membelanya. Karenanya, teritori akan menyebabkan tumbuhnya perangkat aturan, hak-hak dan kewajiban para penghuninya. Dalam pengertian psikologi, perasaan akan tempat juga berarti identitas, bagian dari diri masing-masing penghuninya. Sebagai identitas maka ruang tersebut bisa jadi rumah, kantor, negara, bahkan kedai kopi sekalipun. Sebagai identitas sebuah teritori membutuhkan kedekatan, pertautan antar penghuninya, sebuah pertautan sosial.
Perspektif kedua adalah mengenal ruang lewat ‘ruang aktivitas’. Sebagai sebuah aktivitas ruang didekati oleh aktivitas keseharian, sebuah ruang dalam sebuah angkutan publik dimana kita bisa lebih dari dua jam bersama-sama adalah sebuah ruang aktivitas, namun cuma individu yang terlihat. Betapa kita mengalami sebuah gejala isolasi dimana individu berjarak dengan sosialnya sekaligus dekat. Kasus-kasus kriminalitas di angkutan publik merupakan contoh nyata-dengan apa yang disebut sebagai komunitas tanpa kedekatan, sebuah kerumunan. Sehingga kasus-kasus kriminalitas di ruang publik yang terisolasi ini (oleh kebiasaan) terselesaikan oleh ambang tolerasi tertentu penghuninya dan biasanya tak terencana, kasar, hampa etiket, dan anonim.
Tidak semua ruang aktivitas tanpa identitas. Kebanyakan malah kental identitas seperti kepala kecamatan atau montir. Namun sesungguhnya ruang aktivitas terbentuk dan terpelihara oleh apa yang disebut Castells sebagai aliran informasi. Aliran informasi inilah yang dapat memecah sebuah tubuh sosial atau mengintegrasikannya. Konflik di kantor ataupun konflik di masyarakat merupakan permasalahan aliran informasi. Identitas kolektif dapat dipecah, diceraiberaikan oleh aliran informasi. Lefebre mengatakan komunitas akan kuat jika diikat oleh ‘identitas ruang dan tempat’ (space and place). Secara kolektif identitas tempat akan memberikan kesadaran untuk melawan apa yang ia sebut sebagai ‘unaccountable institutions’, institusi yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, yang ia katakan sebagai sebuah institusi yang tidak dapat dikendalikan, subtil. Jika demikian, cerita tentang angkutan publik merupakan cerita tentang ruang hilangnya otoritas dalam sebuah komunitas, dalam hal ini komunitas pengguna kereta.
Identitas dalam sebuah ruang aktivitas juga dimungkinkan dalam sebuah komunitas yang memiliki kesamaan kepentingan, seperti partai politik atau komunitas hobi. Bahkan kecenderungan ruang aktivitas siber dalam ruang virtual menunjukkan integrasi sosial, di Indonesia (entah di mana lagi) para blogger menunjukkan diri mereka, yang secara fisik dapat dilihat, disentuh, dibaui, disentil, dicubit dan dikecewakan oleh penampakkan sebenarnya, bahkan ada piala untuk desain rumah virtual mereka. Ruang virtual yang dulu dituding sebagai sebuah media disintegrasi sosial bahkan sebagai keterpecahan individu (dengan gejala menampilkan ‘diri yang lain’, neurotik, palsu, distorsif) di sini (Indonesia) dimaknai ulang, dan ruang virtual menjadi rumah yang berbatas dengan perangkat aturan yang ditegaskan penghuninya. Ruang aktivitas dengan demikian dapat memberikan identitas tertentu atau anonim.
Perspektif ketiga adalah ruang sosial. Ruang sosial ditandai dengan posisi. Posisi ditandai dari hubungan yang relatif antar individu. Hubungan yang relatif ditandai dengan relasi kekuasaan. Sehingga hubungan yang relatif (diperbandingkan) seringkali disederhanakan menjadi apakah kita dapat diterima atau dikeluarkan dari konvensi tertentu atau hukum atau berdasarkan seksualitas, keyakinan, kelas sosial, keturunan, rasial, dan alasan lain. Ruang sosial ini merupakan bagian terbesar, mungkin keseluruhan dari ritus kehidupan setiap orang. Ruang sosial berimpit selalu dengan semua wacana tentang ruang.
Perspektif keempat adalah ruang diskursif. Adalah sebuah konsep ruang yang merupakan kumpulan dari sikap mental dan konvensi yang dipegang, tarik ulur oleh masyarakat, dan pilar masyarakat demokratis seperti media massa, partai politik, asosiasi sosial dan profesional, pemerintah, legislatifnya, dan kelembagaan hukumnya (aturan dan perangkat hukum). Ruang diskursif memproduksi nilai-nilai, mengkonstruksi sosial, mempengaruhi perilaku orang-orang, dan seringkali menghukum. Peraturan daerah tentang jam malam bagi perempuan di Tangerang, atau tentang segel vagina bagi tukang pijat perempuan di Jogjakarta merupakan contoh reifikasi dari ruang diskursif.
Perspektif kelima ruang publik. Adalah sebuah ruang dimana berbagai kepentingan publik bertemu di mana di dalamnya terbentuk otoritas publik, yang oleh Habermas dibagi menjadi tiga bentuk kepentingan; kepentingan kaum borjuis, intelektual dan ‘publik’ beroposisi dengan negara. Negara dalam posisi tidak memiliki otoritas ddalam domain publik sehingga wajib menyediakan ruang tersebut. Semakin otoriter sebuah negara maka semakin minimal kualitas ruang publik. Tingkat kepublikan sebuah ruang publik juga dapat direduksi oleh berbagai otoritas/kepentingan. Misalnya kaum borjuis dalam bingkai ekonomi kapitalis mereka menguasai ruang publik dan mereduksinya semata-mata lewat aturan pertukaran ekonomi. Atau tirani partisipasi yang menempatkan sebuah komunitas atau kelompok untuk mengkonstruksi sistem sosial (bisa jadi tirani mayoritas atau minoritas). Ruang publik dapat berisi fisik maupun non fisik, cirinya adalah majemuk. Ruang publik menjadi sebuah titik interaksi dan beraktivitas, kemajemukannya adalah prasyarat untuk membangun budaya bersama, belajar bersama. Sehingga ruang publik bukan saja bersifat kompromi, namun juga membuat sesuatu yang sama sekali baru.
Perspektif keenam adalah ruang privat. Ruang privat biasanya diantonimkan dengan ruang publik yang dalam pengertiannya tidak dalam kekuasaan atau kendali publik. Bagian yang personal, unik, tersendiri yang dimiliki individu. Yang tidak harus diketahui oleh publik. Dalam perspektif ini tubuh, perasaan dan rasio merupakan ruang tersendiri yang privat. Sebagai subjek privat, individu mengkomonikasikan pikiran dan perasaannya secara sadar untuk mengatakan iya atau tidak. Singkatnya ruang privat adalah ruang pertama untuk membuat pilihan.
Membaca Ulang Tata Ruang
Tata ruang adalah sebuah metafora tentang wadah dimana (i) dapat diwujudkan
pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan; (ii) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang; dan (iii) tidak menyebabkan terjadinya penurunan
kualitas ruang. Dalam UU ini tata ruang bertugas menyusun pusat-pusat permukiman dan sistem sarana dan prasarana pendukungnya, juga peruntukannya sebagai fungsi lindung dan fungsi budi daya, dengan tiga tujuan diatas.
Persoalannya selama ini tata ruang yang bertujuan mengatur manusia, aktivitas dan kelangsungan hidupnya memiliki tingkat keterlibatan publik yang minimal. Bahkan jauh dari realitas publik. Tata ruang di Indonesia mengendurkan simpul sosial, memecah masyarakat, menghilangkan identitas yang bersifat lokal.
Pusat-pusat permukiman adalah identitas pertama dari sebuah ruang. Permukiman dalam konsep kontemporer tidak hanya berisi rumah tangga-rumah tangga namun juga mencakup fasilitas pasar, pendidikan dan tempat-tempat rekreasi. Yang kesemuanya adalah ruang-ruang publik yang bersifat material. Dimanakah ruang publik yang bersifat kopnseptual, ide-ide, mimpi-mimpi dan cita-cita komunitas? Dalam sebuah perencanaan tata ruang. Dimanakah ruang-ruang privat berada? Rumah-tangga. Sehingga kebertetanggaan (neighboourhood) merupakan ruang sosial tingkat pertama dan paling majemuk. jarak antara privat dan publik masih cukup jauh. Jika mengambil konsep ruang teritori, maka semakin luas teritori dan semakin banyak populasi maka publik yang terlibat semakin seragam, jika tidak ingin dikatakan terwakilkan.
Ketiadaan publik dalam tata ruang dimungkinkan ketika publik mengambil sikap yang diiklankan oleh kaum borjuis (para ekonom dan intelektual) seperti komodifikasi atas ruang pengambilan keputusan-politik pada sebuah ruang publik, sehingga semua ukuran dapat diperjual belikan. Artinya nilai sesuatu selalu dimenangkan oleh nilai tukarnya bukan oleh nilai guna. Ide ini yang akhirnya menguasai kesadaran masyarakat, sehingga pencitraan ini kemudian dianggap benar dengan sendirinya oleh masyarakat (taken for granted). Bentuk monopoli atas pemaknaan ruang publik seperti ini hanya memiliki satu tujuan, yaitu melegitimasi sebuah perencanaan tata ruang. Proses ini oleh Bourdieu disebut sebagai kekerasan simbol, yaitu kekerasan lewat dominasi bahasa, tanda dan pemaknaan. Hukum dan perundangan adalah kekerasan simbol, dan ketika ini diterima oleh masyarakat maka terjadi pengakuan atasnya dan sebuah sistem kekuasaan berhasil melanggengkan kekuasaannya. Bagaimana kekuasaan melakukannya.
Tata ruang dibuat selalu terpisah dengan tata kuasa. Artinya, memang ada klausul tentang partisipasi masyarakat, namun itu belum memperhatikan derajat partisipasi atau kontinum partispasi. Sama dengan derajat kepublikan maka partispasi memiliki derajat tersendiri. Terendah adalah informasi dan sosialisasi-tertinggi adalah otonomi. Selama ini masyarakat bukan pengambil keputusan, artinya masyarakat tidak dalam posisi sebagai perencana ruang, tidak ada kuasa di masyarakat untuk menghidupkan ruangnya sendiri. Secara mikro (rumah tangga-rumah tangga) masyarakat tersibukkan oleh urusan ‘bertahan hidup’ yang menyebabkan rabun dekat (myopic vision) dalam mengelola lingkungannya. Secara meso (komunitas) cenderung menjadi anonim, bersembunyi di balik lembaga (yang seringkali dibawah kontrol Pemerintah), atau kelompok untuk menghindari rasa tanggung jawab. Secara makro (nasional) masyarakat diredusir oleh kehidupan dalam wujud citra, yang oleh Seno (2004) disebut sebagai jembatan antara yang kaya dan miskin, peniruan. Dalam tingkat nasional konsumsi barang bermerek walaupun palsu, ataupun asli namun bukan berdasarkan fungsi, singkatnya konsumsi berlebih namun nihil produksi. Kepalsuan yang dimaksud juga pada proses perencanaan tata ruang dimana perencanaan dibangun berdasarkan representasi atau tindakan tanpa pengetahuan yang luas, landasan filosofis dan moral yang kokoh. Perencanaan tata ruang bersembunyi dibalik pencitraan ‘partisipatif’ yang populis (baca: strategi massa pop).
Secara patologis pisahnya tata kuasa dan tata ruang ini dapat dilihat dari pasal-pasal tentang peran serta masyarakat, yang dalam aturan turunannya tidak secara eksplisit menjamin otonomi di tingkat komunitas, desa, kabupaten/kota bahkan nasional sekalipun. Artinya kata partispasi yang sangat populer menjadi tidak bermakna, atau cuma bisa diterjemahkan oleh Pemerintah, sesuai dengan bunyi pasal 65 ayat 1. Pengertian-pengertian kawasan budidaya dan lindungpun merupakan dominasi tanda oleh pemerintah yang akhirnya mengeluarkan pengetahuan dan otonomi yang sifatnya khas di berbagai daerah, yang seharusnya pengertian-pengertian tersebut cukup sebagai arahan, namun petanya tetap pada lanskap kognitif dan spiritual masyarakat setempat.
Akhirnya, tegakah kita menyebut pemerintah sebagai innocent institutions atau sebagai unaccountable institutions? Yang selalu berwajah duka, ribet, salah tingkah dan lari ketika dihampiri.
widhy I sinau
Beberapa definsi dalam UU 26/2007 Tentang Penataan Ruang
1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat,
ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di
dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
2. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola
ruang.
3. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat
permukiman dan sistem jaringan prasarana dan
sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan
sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis
memiliki hubungan fungsional.
4. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang
dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan
ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang
untuk fungsi budi daya.
5. Penataan ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan
yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan,
dan pengawasan penataan ruang.
Pasal 65
(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh
pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.
(2) Peran masyarakat dalam penataan ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan,
antara lain, melalui:
a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata
ruang;
b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan
ruang.
Penjelasan
Huruf b Peran masyarakat sebagai pelaksana pemanfaatan ruang, baik orang perseorangan maupun korporasi, antara lain mencakup kegiatan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang.